Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya.
"Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk.
"Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, sembari membantu memperbaiki kembali posisi baring Hongli. "Tuan sedang berada di ibukota Kerajaan Tambora. Nama saya La Mbila, pemilik gubuk ini. Dan ini La Hiri, isteri saya. Saya seorang nelayan. Dua hari yang lalu saya menemukan Tuan terombang-ambing tak sadarkan diri di tengah laut."
Jenderal Hongli memejamkan matanya sesaat, mengingat kembali kejadian yang dialaminya, lalu berkata dengan suara agak parau. "Oh, iya. Perahu saya memang mengalami kehancuran akibat dihantam badai laut. Saya menyelamatkan diri dengan menggunakan papan pecahan perahu. Kemudian saya tak sadarkan diri akibat kelelahan. Ooh, rupanya Dewata Agung masih memberi saya kesempatan untuk hidup. Dan saya sangat berterima kasih kepada Ama dan Ina berdua, karena telah menyelamatkan saya..."
"Maaf, sebenarnya dewa ini berasal dari negeri mana...?" bertanya La Mbila dengan nada sungkan."
"Ooh, iya. Saya lupa memperkenalkan diri. Nama saya Hongli. Saya berasal dari negeri Tiongkok. Saya…saya juga seorang…nelayan seperti Tuan," menyahut Jenderal Hongli. Namun ia harus menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya. Ia telah mengambil keputusan untuk meninggalkan negeri dan segala derajat dirinya. Jadi ia harus merahasiakan tentang siapa dirinya sesungguhnya. Ia bertekad untuk memendam dalam-dalam masa lalunya itu. Cukup dirinya sendiri saja yang tahu.
* * *
. Dalam tempo beberapa hari saja kondisi Jenderal Hongli telah pulih. Ia sangat berterima kasih kepada La Mbila dan La Hiri. Berkat jasa mereka, sehingga ia mampu menatap kembali dunia dan kehidupannya. Selama di pembaringan, pasangan suami-isteri itu demikian sabar dan tulus merawatnya. Bagi Jenderal Hongli, mereka bagai keluarganya yang lama dicari. Demikian juga bagi La Mbila dan La Hiri, Hongli bagaikan salah seorang keluarganya yang baru kembali setelah lama menghilang. Antara mereka benar-benar tercipta hubungan yang demikian erat, tanpa melihat bentuk fisik yang sangat nyata di antara mereka. Dan, kasta, bagi Jenderal Hongli adalah kisah lalu yang akan dia lupakan. Karena kenyataannya, kini dia tidak lagi berada di negerinya, Tiongkok, tapi berada di sini, di negeri nan jauh dan asing. Hidup di tengah-tengah keluarga yang sangat sederhana, dan sudah menjadi bagian dari keluarga itu. Pun, bagi La Mbila dan La Hiri, tidaklah keberatan jika Hongli akan terus bersama mereka di rumah panggung sederhananya. Bila perlu buat selamanya. Untuk keperluan Hongli, sementara mereka penuhi.
Demikianlah. Setelah hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan beberapa bulan pun tergenapi, Hongli sudah merasa kerasan tinggal bersama keluarga sederhana, La Mbila dan La Hiri. Suasana negeri yang demikian tenang dan damai, membuatnya sedikit demi sedikit bisa melupakan negeri dan masa lalunya. Demi membalas kebaikan dan membantu perekonomian keluarga barunya itu, Hongli tak sungkan-sungkan membantu pekerjaan apa saja yang dibutuhkan oleh keluarga barunya. Bahkan hampir setiap hari, jika kondisi laut sedang tenang, Hongli ikut melaut bersama La Mbila melaut. Ia sangat menikmati pekerjaan barunya ini. Bahkan Jenderal Hongli sudah mulai mahir menggunakan bahasa setempat.
Sebenarnya La Mbila dan La Hiri memiliki seorang anak laki-laki tunggal yang sudah beranjak remaja. Tapi menurut La Mbila, putranya yang bernama La Gunta Marunta itu ditarik oleh pihak kerajaan untuk digembleng menjadi calon tamtama kerajaan.
"Enam bulan sekali putra mada pulang ke rumah, " ucap La Mbila kepada Hongli, ketika sore itu keduanya sedang memperbaiki perahu mereka yang bocor di pantai dekat rumah. "Saat ini Kerajaan Tambora sedang bersitegang dengan kerajaan tetangga. Jadi mewajibkan setiap pemuda untuk bergabung dalam pasukan kerajaan. Ya, semoga Dewata Agung melindungi La Gunta, kerajaan, serta Paduka Sangaji dan keluarganya..!" (Paduka Sangaji = Paduka Raja).
Jenderal Hongli mendengarkan dengan seksama penuturan laki-laki setengah baya di sampingnya. Ia teringat kembali akan kisah silam dirinya. Ia adalah mantan pemimpin pasukan yang sangat besar di suatu kemaharajaan. Mendengar cerita itu, tergugah juga hati kecilnya untuk ikut mengabdikan diri kepada kerajaan barunya sekarang. Bagaimanapun, saat ini ia sedang menikmati hidup di dalam negeri tersebut, di mana ia pun pernah diselamatkan oleh La Mbila dan La Hiri yang merupakan rakyat daripada kerajaan Sanggar dengan segala keikhlasan. Lantas apakah ia akan menutup mata dan tidak tergerak secara ikhlas juga untuk membantu kerajaan barunya dalam menghalau musuh-musuhnya?
"Apakah hanya pemuda saja yang dibutuhkan oleh kerajaan? Maksud saya, apakah seusia mada, misalnya, tidak diwajibkan untuk bergabung menjadi tamtama kerajaan,,,?" Hongli seolah-olah tanpa sadar mengungkapkan kata-kata itu.
La Mbila menghentikan kesibukan tangannya, dan dengan tersenyum ia memalingkan wajah kepada Hongli. "Tentu, jika memiliki keahlian silat yang mumpuni. Apakah Tuan berminat juga untuk bergabung,,,?"
"Hmm, memang perlu untuk dipikirkan,,," sahut Hongli.
La Mbila manggut-manggut. "Menurut kabar yang beredar, saat ini pihak istana sedang mencari seorang pendekar hebat yang akan menggantikan sementara panglima perangnya. Karena panglima perang, yang merupakan jenateke sedang terbaring sakit akibat terkena panah musuh dalam pertempuran beberapa bulan yang lalu." (Jenateke = putra mahkota).
Hongli kembali manggut-manggut mendengar kabar itu. "Mungkin ini kesempatan aku untuk bisa membalas jasa kepada kerajaan baruku!" ucapnya dalam hati.
"Dulu kerajaan pernah menyewa seorang pendekar dari negeri Tiongkok untuk menggembleng para calon tamtama kerajaan. Wajahnya mirip Tuan Hongli juga," La Mbila melanjutkan penuturannya.
"Oh ya?" Jenderal Hongli memandang wajah La Mbila lekat-lekat. "Siapa namanya? Masih ingat?"
La Mbila mengernyitkan dahinya. "Kalau tidak salah namanya…Poo Ling Pong Ah. Iya, itu namanya. Tapi kami di sini memanggilnya Paliponga. Dia orang yang sangat baik..."
"Poo Ling Pong Ah...," Hongli tak sadar mengucapkan lagi nama itu. Tampaknya ia ingat nama dan wajah pendekar itu. Sewaktu dirinya masih menghuni dunia persilatan, nama itu cukup terkenal. Ia adalah pendekar beraliran putih yang masyhur dengan julukan Maling Putih Dari Nanking. Namun setelah dirinya masuk mengabdikan dirinya kepada kekaisaran, ia tidak pernah lagi mendengar kabar tentang pendekar yang memang terkenal dermawan itu. Dijuluki sebagai 'Maling' karena Poo Ling Pong Ah suka merampok harta orang-orang kaya pelit, lalu hasilnya ia bagi-bagikan kepada rakyat miskin.
"Dewa mengenal Dewa Paliponga?" bertanya aLa Mbila.
Jenderal Hongli seolah terkaget dengan pertanyaan itu, dan dengan cepat ia berkata, "Oh, ah tidak...! Mana mungkinlah saya cuman seorang nelayan mengenal orang-orang dunia persilatan, Marunta..."
La Mbila tertawa agak terbahak-bahak. "Iya juga ya, Tuan..!"
Ketika keduanya mau merapikan perkakas untuk memperbaiki perahu, tiba-tiba seorang pemuda yang bertubuh gempal dan tegap menghampiri.
"Eh, kapan kau pulang, Anak?" bertanya La Mbila.
"Baru saja, Ama," menjawab pemuda itu seraya setengah membungkuk menyalami tangan La Gunta Marunta dan menciumnya.
"Oh ya, Tuan Hongli, " La Mbila berpaling kepada Hongli, "Inilah La Gunta Marunta, anak saya yang saya ceritakan barusan. Gunta, kenalkan, ini Tuan Hongli."ke
"Hei, Gunta. Bagaimana kabarmu?" menyapa Hongli, sembari menyambut uluran tangan si pemuda yang berusia dua puluhan tahun di depannya.
"Baik, Tuan, " jawab La Gunta dengan sikap santunnya
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini." Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama. Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?" &
Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?" Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Babuju tidak mengerti perkara londo iha? Namun si pemuda tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Artinya ya kami harus minggat. Kami sedang melakukan kawin lari. Kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis). Setelah mendapat penjelasan dari si
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de