Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi.
Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik kedua tangannya kebawah untuk kemudian digerakkan secara melingkar ke kedua sisi, lalu menebas kedua sendi siku lawannya dengan menggunakan kedua sisi tangannya. Saat kedua tangan yang memegang parang itu terlempar ke samping, maka dengan secepat kilat pendekar penguji membenturkan kepalanya ke dada lawannya itu dengan amat keras.
Bugggh!! Krekk..!!
Terdengar suara tulang dada pendekar berparang kembar itu patah, yang disusul dengan terlemparnya tubuhnya ke belakang hingga beberapa tombak lagi, dan jatuh dengan dada membentur bumi. Hanya sesaat dia memandang tanpa berkedip ke arah pendekar uji, sebelum ia terkapar tak sadarkan diri dengan darah segar yang merembes keluar dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Dan tanpa diperintah, sekelompok membopong dengan sergap masuk mengangkat tubuh yang terkulai itu ke luar kalangan. Sorak dan tepuk tangan pun kembali bergemuruh.
Hongli menikmati pertunjukan itu dengan baik dan seksama, yang sekali-kali menilainya sambil tersenyum dan manggut-manggut.
"Jawara penguji utama itu namanya La Singa Tambora," La Gunta memberitahukannya dengan setengah berbisik. "Namun di dunia persilatan dia lebih dikenal dengan julukan Jawara Kundunawa (Pendekar Perenggut Nyawa). Dia merupakan salah satu jawara terbaik dan utama yang dimiliki oleh kerajaan, dan merupakan pengawal kepala kerajaan."
"Artinya, sampai saat ini belum ada seorang pendekar pun yang mampu melewatinya?" bertanya Hongli kepada La Gunta Marunta, dengan setengah berbisik pula.
"Begitulah, Tuan."
Keduanya tak melanjutkan lagi saling berbisiknya, karena saat itu pandangan mereka kembali terarah sepenuhnya ke dalam kalangan tarung. Saat itu tinggal dua pendekar calon lagi yang tersisa. Seorang bertubuh hitam tinggi dan kekar, tidak bersenjatakan apa-apa. Sedangkan pendekar peserta yang satunya lagi bertubuh cebol, gempal, berambut panjang, dengan memegang sebuah tongkat bambu kuning setinggi ukuran tubuhnya.
La Singa Tambora kembali mempersilahkan di antara kedua pendekar itu untuk maju ke dalam kalangan tarung. Ternyata yang maju duluan adalah pendekar cebol. Pendekar ini hanya hanya menjura sesaat lalu dengan tiba-tiba menyerang La Singa Tambora dengan sangat cepatnya. Permainan tongkatnya pun sangat lihai juga. La Singga Tambora yang sudah siap dengan serangan mendadak tersebut, segera bergerak menghindar dengan melentingkan tubuhnya ke samping. Sebatang tongkat rotan yang disiapkan di pojok kalangan diraihnya, dan langsung menghalau sembari menyerang balik tongkat lawan.
Pertarungan pun berlangsung dengan dahsyatnya. Suara dari beradunya kedua tongkat sakti itu terdengar demikian rapat dan gencar. Suara sorakan dan tepukan tangan para penyaksi serta gencarnya gendang dan serunai pengiring ditabuhkan dan ditiupkan menjadikan pertarungan antara kedua manusia yang sama-sama memiliki ilmu tinggi itu pun makin seru.
Pendekar cebol, yang di kalangan dunia persilatan dikenal dengan julukan Jawara Poro Sape (Pendekar Cebol dari Sape), memang terkenal ampuh dengan permainan tongkatnya. La Singa Tambora cukup kerepotan dalam menyambut setiap serangan dahsyat tongkatnya. Namun setelah pertarungan berlangsung hampir melewati sepuluh jurus, barulah La Singa Tambora berhasil mendaratkan satu pukulan pamungkas tongkatnya. Ujung tongkat rotannya berhasil menghantam tepat pada dahi pendekar cebol dengan sangat kerasnya, menimbulkan sobekan dan percikan darah segar. Tubuh pendekar cebol jatuh tergeletak dan langsung tak bergerak. Pingsan!
Belum lagi La Singa Tambora mempersilahkan lawan terakhirnya, si pendekar tinggi hitam sudah meloncat ke dalam kalangan. Tanpa menunggu lagi, dengan cepat menggempur La Singa Tambora dengan serangan memutar kakinya dengan gerakan yang amat cepat.
La Singa Tambora dibuat kaget juga dengan serangan dadakan itu, sehingga sempat juga tubuhnya terkena sabetan kaki sang lawan, sehingga membuatnya sedikit tergeser ke belakang. Saat tendangan susulan lawan kembali berkiblat ke arah lehernya, dengan sebuah gerakan yang amat sigap dan cepat, La Singa Tambora menangkap dan mencengkeram kaki lawannya dengan kuat, sembari mengiblatkan satu tendangan keras ke dalam selangkangan sang lawan. Tak ampun lagi, sang lawan yg bertubuh besar tinggi itu pun terlempar ke belakang. Ia mengerang guling-guling sembari memegang bagian selangkangannya yang sakit tiada terkira. Ketika La Singa Tambora hendak maju melanjutkan penyerangan, lawannya segera mengangkat tangan tanda menyerah. Suara tawa penyaksi pun sontak menggelegar.
"Apa masih ada lagi yang mau mencoba keberuntungan...?" bertanya La Singa Tambora, setelah semuanya tenang kembali.
Tak ada sahutan. Pendekar utama kerajaan sanggar itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kalangan. "Apakah tidak ada lagi...?" tanyanya kembali. Masih tidak ada sahutan. "Kalau memang sudah tak ada lagi yang hendak mengadu keberuntungan, maka..."
"Maaf, Tuan, hamba mau mencoba. Sudilah Tuanku untuk menerimanya..."
"Hmmm...?" La Singa Tambora segera menoleh ke arah datangnya suara. Seorang laki-laki yang berwajah dan berpenampilan asing telah berdiri di belakangnya. La Singa Tambora memandang kepada calon lawannya itu dari ujung kaki hingga rambutnya yang bergelung dan diikat dengan sejenis pita putih yang sukup panjang dan lebar. "Siapa nama Tuan, dan berasal dari mana?"
Laki-laki yang tak lain adalah Hongli, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan, lalu berkata, "Nama hamba Hongli. Hamba berasal dari negeri China. Tapi hamba memutuskan untuk menetap di negeri tuan ini. Jika diijinkan, hamba siap untuk mengabdikan diri untuk kerajaan ini...!"
"Hmm, begitu?" ucap La Singa Tambora dengan suara berwibawa sembari mengangguk-angguk pelan.
"Benar, Tuanku!"
"Baiklah," ucap La Singa Tambora. "Kuijinkan kau untuk mengadu keberuntungan. Semoga kauberuntung!"
"Terima kasih, Tuan!" balas Hongli dengan penuh hormat.
Keduanya pun lantas mengambil jarak. Hongli memberi tabik dengan sikap yang demikian tenang, dan dibalas oleh La Singa Tambora dengan sikap serupa.
La Singa Tambora tidak ingin bertindak gegabah untuk lawannya yang satu ini. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kesaktian yang tinggi, tentu La Singa Tambora bisa menilai kalaulah lawannya itu bukanlah pendekar sembarangan. Pengalamannya sebagai bekas murid utama dari Poo Ling Pong Ah, setidaknya memberi gambaran kepadanya, bahwa pendekar dari negeri Tiongkok rata-rata memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Dan ketenangan yang ditampilkan oleh Hongli menunjukkan pengalamannya di dunia persilatan yang tidak singkat. Namun demikian, sebagai jawara utama di Kerajaan Tambora, La Singa Tambora bertekad untuk mempertahankan kedudukan dan nama besarnya itu. Dengan sekali hentakan kaki, La Singa Tambora pun segera melesat dengan cepat ke arah lawannya sembari sekaligus mengirimkan pukulan kedua tangan dan kakinya, dengan sasaran yang mematikan di tubuh lawannya.
Hongli yang sudah sangat hafal dengan jurus-jurus dari pendekar utama Kerajaan Tambora itu, segera menyentakkan kaki kanannya dengan keras, sehingga membuat permukaan kalangan tarung terasa berguncang, menyusul gerak melesat tubuhnya menyambut serangan lawan.
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini." Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama. Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?" &
Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?" Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Babuju tidak mengerti perkara londo iha? Namun si pemuda tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Artinya ya kami harus minggat. Kami sedang melakukan kawin lari. Kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis). Setelah mendapat penjelasan dari si
Desa La Kalimone dan La Alo Salaka tidaklah jauh dari kaki Gunung Sorowua. Hanya butuh waktu sepeminum kopi perjalanan ketiganya pun telah sampai. Desa itu bernama Kandunggu. Sebuah pemukiman yang cukup luas dan padat. Tentu saja kehadiran kembali La Kalimone dan La Alo Salaka menjadi perhatian hampir seluruh warga di desanya. Hal tidak lumrah sebenarnya sepasang kekasih yang baru melakukan selarian kembali lagi dalam waktu yang singkat. Namun demikian warga desa sudah bisa menerima baik, karena sudah tahu beritanya dari pihak keluarga La Alo Salaka yang pulang dari pengejaran tadi. Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi pihak keluarga si gadis adalah La Mudu benar-benar telah menepati janjinya untuk mengantar kembali kedua kekasih itu. Sebagaimana adatnya, keduanya di a
La Mudu tersenyum dan manggut-manggut pelan. Pikirannya bermain. Ia harus mengayuh sampan mulai dari sini. Warga desa ini adalah bagian dari negeri yang tengah menanti kehadiran dirinya. Kehadiran sang pembebas. Ia harus memulai tindakannya di sini. Karena itu ia pun berniat untuk memberikan sedikit bekal ilmu kesaktian kepada La Kalimone. Mungkin juga beberapa pemuda lagi agar lebih kuat. Kemudian ia bertanya, "Biasanya berapa orang anak buahnya La Afi Sangia yang mengambil jatah mereka di desa ini, Sahe?" "Ya rata-rata sekitar dua puluhan orang, Jawara Mudu. Tapi untuk menghadapi seorang anak buah La Afi Sangia pun kami tidak mungkin berani dan mampu. Mereka rata-rata memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.” "Hmm, begitu. Lantas mereka lewat mana? Sebab sepengatahuan saya, Pulau Sangiang itu be
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de