"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini."
Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama.
Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?"
&
Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?" Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Babuju tidak mengerti perkara londo iha? Namun si pemuda tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Artinya ya kami harus minggat. Kami sedang melakukan kawin lari. Kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis). Setelah mendapat penjelasan dari si
Desa La Kalimone dan La Alo Salaka tidaklah jauh dari kaki Gunung Sorowua. Hanya butuh waktu sepeminum kopi perjalanan ketiganya pun telah sampai. Desa itu bernama Kandunggu. Sebuah pemukiman yang cukup luas dan padat. Tentu saja kehadiran kembali La Kalimone dan La Alo Salaka menjadi perhatian hampir seluruh warga di desanya. Hal tidak lumrah sebenarnya sepasang kekasih yang baru melakukan selarian kembali lagi dalam waktu yang singkat. Namun demikian warga desa sudah bisa menerima baik, karena sudah tahu beritanya dari pihak keluarga La Alo Salaka yang pulang dari pengejaran tadi. Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi pihak keluarga si gadis adalah La Mudu benar-benar telah menepati janjinya untuk mengantar kembali kedua kekasih itu. Sebagaimana adatnya, keduanya di a
La Mudu tersenyum dan manggut-manggut pelan. Pikirannya bermain. Ia harus mengayuh sampan mulai dari sini. Warga desa ini adalah bagian dari negeri yang tengah menanti kehadiran dirinya. Kehadiran sang pembebas. Ia harus memulai tindakannya di sini. Karena itu ia pun berniat untuk memberikan sedikit bekal ilmu kesaktian kepada La Kalimone. Mungkin juga beberapa pemuda lagi agar lebih kuat. Kemudian ia bertanya, "Biasanya berapa orang anak buahnya La Afi Sangia yang mengambil jatah mereka di desa ini, Sahe?" "Ya rata-rata sekitar dua puluhan orang, Jawara Mudu. Tapi untuk menghadapi seorang anak buah La Afi Sangia pun kami tidak mungkin berani dan mampu. Mereka rata-rata memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.” "Hmm, begitu. Lantas mereka lewat mana? Sebab sepengatahuan saya, Pulau Sangiang itu be
La Mudu dan seluruh murid dadakannya akan melakukan serangan pertama mereka dengan menggunakan tombak. Mereka adalah pemuda-pemuda yang memang memiliki ketrampilan alami dalam hal menggunakan senjata yang satu ini, karena mereka adalah pemburu-pemburu kijang yang sangat mahir. Kemungkinan para gerombolan anak buah la Afi Sangia sangat tak mengira akan mendapat serangan yang berani seperti itu. Karena selama ini belum ada sejarahnya masyarakat desa di seantero negeri Babuju yang merani menentang kebesaran la Afi Sangia secara langsung. Jadi La Mudu memperhitungkan, para gerombolan perampok jahat itu dengan mudah dibasmi, bahkan dengan tombak. Malam itu
La Mudu alias Pendekar Dewa Api mengambil tempat duduk di bangku yang paling pojok. Saat melihatnya, si gadis yang bernama Meili mendatanginya dan bertanya, “Tuan mau makan apa?” “Iya, siapkan saya makanan dengan lauk yang ada untuk saya sendiri,” jawab La Mudu sambil mengangguk pelan. “Lalu Tuan mau minum apa? Di sini ada arak, yang agak keras, tapi juga ada air tuak. Kebetulan air tuaknya masih baru.” “Ya air tuak saja,”sekali lagi La Mudu mengangguk pelan seraya tersenyum. Ia sudah paham dengan kedua jenis minuman itu. Arak adalah minuman kesukaan gurunya, Dato Hongli. Ia tak pernah tahu entah dari mana
Belum sempat menyadari apa yang baru saja menimpanya, tiba-tiba La Goba kembali merasakan cekikan yang kuat pada jakun lehernya lalu disusul dengan tendangan keras lagi di dada. Kembali tubuh laki-laki itiu terlempar ke belakang dan jatuh di depan kaki-kaki keenam kawanannya. Ia mengerang kesakitan yang sangat, dan berkali-kali batuk-batuk yang menyemburkan darah segar dari mulutnya. Mendapati kenyataan yang d
La Mudu tersenyum dan menyadari apa yang menjadi keheranan Baojia. Dia melangkah masuk ke dalam warung, melewati Meilin, dan duduk kembali di meja makannya tadi, membasuh kerongkongannya dengan air nira. Baojia dan istrinya mengikuti dari belakang.Kepada kedua orang tuanya Meilin itu, La Mudu menceritakan sekedarnya tentang siapa dirinya, terutama tentang dirinya yang dibesarkan lalu diangkat murid oleh seorang pendekar besar dari Negeri Tiongkok, yang namanya tak ia sebutkan kepada Baojia dan istrinya.“Jadi jawara muda ini dibesarkan dan diangkat murid oleh seorang pendekar pelarian dari Tiongkok? Siapakah nama pendekar itu, Jawara Mudu?” bertanya Ba
Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik kelompok Teratai Merah. "Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.” "Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?” bertanya La Mudu kepada Baojia. *Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja La Pabise dan teman-temanny
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de