Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai.
"Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?"
"Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan."
"Guru gembleng kalian pendekar dari mana?"
La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana).
"Hmmm.." Hongli mengangguk-angguk. "Tadi Ama-mu cerita, bahwa pihak kerajaan sedang mencari pemangku panglima perang sementara?"
"Benar, Tuan. Karena panglima yang juga adalah Jenateke sedang sakit parah. Sudah satu bulan, Tuan, tetapi calon pemangku panglima yang diharapkan kayaknya belum didapatkan."
Hongli mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Bentuk pencariannya bagaimana?"
"Ya kerajaan mengundang pendekar-pendekar mumpuni dari segala penjuru, kecuali yang berasal dari wilayah kerajaan-kerajaan musuh. Pendekar itu harus mampu mengalahkan para pendekar istana secara bertingkat."
"Secara bertingkat?"
"Iya, Tuan. Pada mulanya pendekar tersebut jika mampu mengalahkan pendekar uji satu lawan satu, maka selanjutnya ia harus menghadapi lima pendekar lagi, lalu sepuluh pendekar, hingga seratus pendekar."
"Wah, berat sekali ya seleksinya, Gunta?"
"Menurut mada juga begitu, Tuan. Sangat berat!Tapi tidak mustahil. Sebab Jenateke sendiri tingkat ilmunya setingkat itu. Namun pendekar-pendekar yang ikut ambil bagian rata-rata gugur ketika baru menghadapi lima pendekar uji." La Gunta Moti tiba-tiba memandang lekat-lekat ke wajah Hongli lalu bertanya, "Mungkin Tuan juga berminat untuk ikut?"
"Hm...? Aku...?" Hongli berpura-pura kaget seraya mengarahkan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Iya, Tuan. Kenapa tidak? Dulu, guru gembleng istana juga adalah pendekar dari negeri Tuan juga."
"Apakah menurutmu aku ini ada potongan seorang pendekar?"
La Gunta memandang sesaat ke seluruh sosok Hongli, lalu menjawab. "Mada tidak tahu, potongan seorang berilmu tinggi itu persis seperti apa. Tapi menurut firasat mada, Tuan memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Hm, setidaknya dari sorot matanya Tuan."
"Ha ha ha ha ha...," Hongli tertawa terbahak-bahak demi mendengar penuturan pemuda di sampingnya. Namun demikian, dalam hatinya mengakui akan ketajaman pandang dan firasat sang pemuda. Kemudian dalam nada datar ia bertutur. "Memang ketika muda, seusiamu, aku pernah menjadi murid di sebuah kuil. Tapi sekarang aku tidak tahu, apakah kemampuanku masih ada atau tidak. Soalnya sangat jarang terasah dengan pertarungan-pertarungan, Gunta."
"Kalau begitu, kenapa ragu, Tuan?" ucap La Gunta. Sinar matanya menyiratkan sebuah harapan. "Siapa tau nasib baik berpihak pada Tuan...?"
Hongli tersenyum sambil menganggu-angguk, lalu bertanya singkat, "Begitu..?"
"Iya, Tuan!"
Hongli mengangkat wajahnya sesaat, menampakkan rahang dan urat lehernya yang kokok. Sembari menoleh ke arah La Gunta, ia pun berkata dengan tandasnya, "Baiklah. Patut dicoba!"
Mendengar kesanggupan Hongli itu, sontak La Gunta berteriak kegirangan. Saking girangnya, pemuda itu sampai tak sadar memperagakan jurus-jurus silatnya.
"Cuiiiii...! Heaahh...heiit, heittt...!"
Hongli dibuat terbahak-bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala demi menyaksikan perilaku 'kemenakan' barunya itu. Dan, setelah puas bercakap-cakap, mereka pun beranjak dari tempat itu. Sesampainya di rumah La Gunta meceritakan perihal keinginan Hongli untuk ambil bagian dalam pencarian calon pengganti sementara panglima perang kerajaan. La Mbili dan La Hiri, kedua orang tua La Gunta Marunta, merasa senang sekaligus waswas mendengar kabar itu.
Hongli tentu tidak menganggap sepele tingkat ilmu para pendekar uji Kerajaan Tambora, sekalipun dirinya adalah seorang pendekar besar. Dia sudah kenyang makan asam garam di dunia persilatan. Kendati demikian, ia perlu memperbaharui dan memantapkan kembali kedigdayaan jurus-jurusnya, sekaligus untuk mengumpulkan kembali tenaga dalamnya terasa nyaris hilang. Ia memanfaatkan suasana pantai yang sepi di malam harinya utk melakukan hal tersebut. Latihan-latihan yang dilakukan oleh Hongli ini tentu tidak dilewatkan oleh keluarga barunya, yaitu La Mbili, La Hiri, dan La Gunta Marunta. Setiap gerakan jurus yang demikian cepat dan dahsyat yang diperagakan oleh pendekar dari negeri nun jauh ini senantiasa menimbulkan decak kagum dari ketiganya. Menurut penilaian La Gunta, kedahsyatan jurus-jurus yang diperagakan oleh Hongli ini masih jauh di atas tingkatan jurus-jurus yang dimiliki para pendekar penggembleng di padepokan kerajaan. Hingga muncul keyakinan dalam hati pemuda tanggung ini, bahwa laki-laki yang sudah berusia melewati separo baya ini bukanlah manusia awam, atau seorang nelayan yang sering diceritakannya, namun sesungguhnya ia adalah seorang pendekar besar di dunia persilatan. Harapan besar akan keberuntungan masa depan yang bisa diraih oleh sang anggota keluarga barunya ini pun teryakini dalam hati La Gunta Marunta dan kedua orang tuanya.
* * *
Setelah semuanya telah dipersiapkan dengan matang, maka di suatu sore yang cukup cerah, dengan didampingi oleh La Gunta dan ayahnya, La Mbili, Hongli pun berangkat menuju alun-alun istana, di mana uji pencarian pemangku panglima perang sementara itu dilakukan. Ketiganya menunggang kuda masing-masing. Dengan mengenakaian pakaian ciri khas pendekar dari negeri Tiongkok, penampilan Hongli sore itu terlihat begitu gagah dan berwibawa, menggambarkan ia adalah seorang pendekar besar dan amat pilih tanding.
Sesampai di alun-alun, pertarungan uji sedang berlangsung dengan seru dan dahsyatnya. Telah banyak pendekar yang gagal dan berguguran. Kebanyakan para pendekar gagal itu digotong keluar kalangan oleh para juru gotong dalam kondisi sudah meregang nyawa. Pendekar-pendekar malang tersebut rata-rata gugur di pertarungan uji tahap pertama melawan para pendekar uji istana. Para pendekar peserta diperbolehkan bertarung dengan menggunakan senjata kebesarannya masing-masing. Misalnya pendekar yang masyhur dengan ilmu tongkatnya, maka dia akan maju bersama tongkatnya, dan akan disambut oleh pendekar penguji pertama dan seterusnya dengan permainan tongkat pula. Demikian juga pendekar yang masyhur dengan ilmu pedangnya.
Karena sekeliling kalangan tarung sudah sangat padat oleh para penyaksi, maka La Gunta dan La Mbili mengajak Hongli untuk mengambil tempat di pojok selatan kalangan pertarungan, di dekat jalan keluar dan masuk. Saat itu sedang berlangsung pertarungan seorang pendekar berparang kembar melawan seorang pendekar utama. Pendekar peserta itu menyerang pendekar penguji dengan gerakan jurus-jurus yang demikian cepat dan lihai. Sepasang parang kembar di kedua tangannya bergerak dan berkiblat laksana kitiran, mengejar ke mana pun tubuh pendekar penguji bergerak. Namun anehnya pendekar penguji hanya melawannya dengan tangan kosong, dan sama sekali belum berniat untuk menggunakan senjata sejenis yang tersedia di atas sebuah meja kayu yang diletakkan di sudut utara kalangan.
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
"Tidak, Mudu!” potong Dato Hongli.” Tempatmu dan nasibmu bukan di sini, tapi di masyarakat yang sangat luas. Nasib, tugas, serta kewajibanmu sebagai seorang pendekar telah menantimu di sana." Dato Hongli berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Baiklah, Cucuku, duduklah dulu yang tenang. Aku ingin menceritakan suatu kisah yang terjadi di masa lalu. Semoga kisah ini nantinya akan menjadikanmu untuk segera turun dari dunia yang sunyi ini." Dato Hongli menceritakan semua tentang semua peristiwa yang terjadi di Desa Tanaru dua puluh tiga tahun yang silam. La Mudu mendengarkannya dengan seksama. Di akhir cerita, mendadak La Mudu memegang leontin kalung berupa separuh keping selaka (perak) yang menggantung di lehernya. Wajahnya tiba-tiba berubah merah padam. "Jadi…apa bayi dalam cerita Ato itu adalah…mada?" &
Kedua alis La Mudu saling merapat, menunjukkan keheranannya. "Londo Iha itu apa?" Sebaliknya, sepasang kekasih justru lebih terheran-heran lagi mendengar petanyaan yang terasa ganjil dari La Mudu. Mana bisa pemuda Babuju tidak mengerti perkara londo iha? Namun si pemuda tak ingin berpikiran panjang lebar lagi, lalu ia pun memberikan sedikit penjelasan. "Artinya ya kami harus minggat. Kami sedang melakukan kawin lari. Kami baru aman jika telah sampai ke rumah siapa pun, jika tidak sampai ke rumahnya tetua adat. Karena nanti orang yang punya rumah atau tetua adat akan mengirimkan laporan ke pihak keluarganya si perempuan, seperti kepada keluarga kekasihku ini, bahwa kami sudah wa'a sama. Setelah itu kami baru diantarkan kembali ke keluarga kami untuk dinikahkan," (Waa sama = londo iha yang dilakukan atas inisiatif bersama antara pemuda dan gadis). Setelah mendapat penjelasan dari si
Desa La Kalimone dan La Alo Salaka tidaklah jauh dari kaki Gunung Sorowua. Hanya butuh waktu sepeminum kopi perjalanan ketiganya pun telah sampai. Desa itu bernama Kandunggu. Sebuah pemukiman yang cukup luas dan padat. Tentu saja kehadiran kembali La Kalimone dan La Alo Salaka menjadi perhatian hampir seluruh warga di desanya. Hal tidak lumrah sebenarnya sepasang kekasih yang baru melakukan selarian kembali lagi dalam waktu yang singkat. Namun demikian warga desa sudah bisa menerima baik, karena sudah tahu beritanya dari pihak keluarga La Alo Salaka yang pulang dari pengejaran tadi. Dan yang lebih menggembirakan lagi bagi pihak keluarga si gadis adalah La Mudu benar-benar telah menepati janjinya untuk mengantar kembali kedua kekasih itu. Sebagaimana adatnya, keduanya di a
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de