MARI KITA kembali dulu ke enam belas tahun yang silam...
Desa Tanaru adalah sebuah desa yang cukup padat, berada di pesisir timur Pulau Sumbawa, yang letaknya berhadapan langsung dengan Pulau Sangiang. Sumber mata pencaharian warganya adalah berlaut. Namun mereka juga bercocok tanam dan beternak kerbau, kuda, dan kambing. Lahan sabana dan persawahan yang luas dan subur yang berada di belakang perkampungan, mendukung setiap usaha yang mereka lakukan. Maka tidaklah heran, jika desa Tanaru merupakan salah satu desa yang sangat makmur di negeri Babuju kala itu. Dan teknologi penangkapan ikan untuk ukuran saat itu pun cukup maju di desa ini, sehingga menghasilkan penangkapan yang berlimpah, lalu disuplay di pasar-pasar di kota raja. Ya, kedamaian dan kemakmuran benar-benar terkaruniakan kepada segenap warga desa Tanaru. Kondisi tersebut juga tak lepas dari sifat kepemimpinan galara (kepala desa) mereka, Jara Tawera alias Ompu Mpore, yang sangat bijak dan cerdas.
Galara Jara Tawera alias Ompu Mpore baru-baru ini dikaruniai sepasang anak kembar dampit. Kembar laki-laki dan perempuan. Ini adalah kelahiran pertama istrinya, La Mbinta Wura alias Wa'i Canggo, setelah mereka membangun biduk rumah tangganya sudah hampir sepuluh tahun. Dengan demikian, kelahiran anak kembar dampitnya ini merupakan suatu karunia yang amat besar dan membahagiakan bagi mereka. Juga, merupakan kebahagiaan bagi seluruh penduduk Desa Tanaru. Karena dengan demikian, sang pewaris tahta, calon pemimpin mereka telah lahir. Kelahiran yang paling ditunggu-tunggu dalam waktu yang cukup lama.
Maka untuk menyambut kelahiran sang pewaris tersebut, Jara Tawera alias Ompu Mpore mengadakan acara syukuran dan pesta yang sangat meriah, yang disambut gempita oleh segenap rakyatnya, juga oleh segenap kepala desa-kepala desa lain yang ada di kerajaan Babuju. Bahkan Ndai Rato (Baginda Raja) sendiri mengirimkan utusan khususnya untuk memenuhi undangan sang galara yang terdiri dari beberapa Dato dan Ncuhi. Karena demikian, ada berpuluh-puluh kerbau dan kambing yang dipotong, serta beragam atraksi pesta yang digelar. Dan atraksi yang paling menyita perhatian seluruh yang hadir adalah atraksi Gantao dan Lanca, dua atraksi adu fisik yang diiringi dengan gendang, kenong, suling, dan serunai. Berbagai jawara gantao dan lanca di seantero Babuju diundang. Pesta itu rencananya akan diadakan selama tujuh hari tujuh malam.
. Namun, pada malam kedua acara pesta itu digelar, kemeriahan dalam suasana bahagia itu berubah menjadi petaka yang amat mengenaskan. Tanpa gelagat dan hawa sedikit pun, tiba-tiba La Afi Sangia menyerbu desa yang sedang berpesta bahagia itu bersama anak buahnya dalam jumlah yang besar. Setiap siapa pun yang mereka yang ada di desa dan dalam pesta itu, dibabat tanpa belas kasihan sedikit pun oleh La Afi Sangia dan anak-anak buahnya. Jerit-jerit kematian menyayat hati menembus langit malam. Nyawa-nyawa melayang sia-sia, mayat-mayat pun bergelimpangan tumpang-tindih satu sama lain dalam kondisi yang mengenaskan.
"Habisi juga galara dan keluarganya! Jangan ada yang tersisa seorang pun...!" teriak La Afi Sangia dengan suara lantang dan lalim kepada para anak buahnya, sembari terus menebaskan pedangnya ke tubuh-tubuh rakyat desa yang tak berdosa. Dan perintah itu dipatuhi oleh seluruh anak buahnya dengan baik dan tanpa perikemanusiaan. Mereka benar-benar tak ubahnya laksana para iblis yang amat ganas. Para manusia berseragam kebesaran merah-merah itu laksana segerombolan harimau yang sedang memangsa habis para kucing-kucing lemah. Karena tak ada perlawanan sama sekali, walhasil, Desa Tanaru pun telah mereka ubah menjadi sebuah medan pembantaian, menjadi desa yang benar-benar mati dan punah!
Setelah aksi kebiadaban tersebut rampung terlaksana, La Afi Sangia dan seluruh anak buahnya setelah itu pun bergelak tawa yang paling pongah dan riuh-rimpah, seolah-olah mereka sedang menghadiri pertunjukan gelak-tawa! Namun sontak mereka menghentikan gelak tawanya, karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh tangis seorang bayi. Seperti dikomando pula, semuanya serentak memalingkan pandangannya ke asal suara tangisan.
"Oeeekk...oeeeek...oeeek..."
Salah seorang anak buah La Afi Sangia, yang bernama La Mbere Mbuda, melangkah ke arah bayi yang menangis. Bayi itu tak lain adalah bayi yang perempuan dari mendiang Galara Tanaru. Ia tergeletak di samping mayat ibunya, di samping tubuh saudara kembar laki-lakinya yang naga-naganya sudah ikut tewas.
"Ini salah satu dari anak kembarnya kepala desa, Dato!" berkata La Mbere Mbuda kepada La Afi Sangia dengan tanpa menoleh.
"Hmm! Satu-satunya yang tersisa! Hua ha ha ha ha..! Kita biarkan bayi itu hidup, kita bawa pulang dia ke Pulau Sangia," berkata La Afi Sangia. "Apa kembarannya juga masih hidup?"
La Mbere Mbuda mencoba membolak-balikkan tubuh bayi laki-laki Ompu Mpore dengan ujung jari kaki kanannya. "Tampaknya sudah lewat, Dato!”
"Baiklah! Bawa bayi perempuan itu. Sebelum kembali ke Pulau, kalian bumi hanguskan dulu desa ini..!" perintah La Afi Sangia.
Perintah dilaksanakan segera. Dengan hanya masing-masing mengiblatkan serangkum pukulan api, seluruh rumah penduduk pun porak-poranda dan dilalap api yang ganas. Hanya butuh beberapa waktu kemudian, Desa Tanaru benar-benar telah rata dengan tanah, punah dengan menyisakan asap dan nyala di sana sini. Sudah tak adalagi kehidupan di situ. Tak ada lagi cengkerama, gelak tawa, dan denyut kehidupan. Semuanya lenyap ditelan angkara. Kebahagiaan menjadi tragedi, telah tercipta di penghujung timur Pulau Sumbawa malam itu!
Perlu diketahui, La Afi Sangia adalah seorang tokoh dunia persilatan yang beraliran hitam yang sangat ditakuti kala itu, baik oleh para jawara sealiran dengannya maupun oleh para jawara persilatan yang beraliran putih. Ditakuti, tentu karena ia memiliki tingkat keilmuan yang amat sulit diukur ketinggiannya, di samping karena kebengisannya. Dia dunia persilatan, ia masyhur dengan julukan Dewa Api dari Tenggara. Demikian hebat dan bengisnya manusia ini, sehingga mendengar atau menyebut namanya saja orang-orang di kepulauan tenggara kala itu sudah merinding duluan. Tiada kawan bagi Dewa Api dari Tenggara dan seluruh anak buahnya, yang ada hanyalah lawan. Setiap yang bertentangan dengan mereka, wajib dihukum dan dimusnahkan. Dan pemusnahan terhadap Desa Tanaru, naga-naganya hanya kecewa karena ia tidak diundang dalam acara syukuran dan pesta tersebut oleh sang galara. Hal yang sepele. Tapi merupakan penistaan menurut pikiran La Afi Sangia beserta seluruh kekuasaannya.
Sebenarnaya, La Afi Sangia pernah dibuat tekuk lutut oleh seorang pendekar asing bermata sipit dalam suatu perang tanding yang sangat dahsyat. Sang pendekar yang bermata sipit yang tak lain adalah Dato Hongli itu bisa memaafkannya, karena La Afi berkali-kali menyembah-nyembah mohon ampunan dan berjanji untuk bertobat. Ternyata hanyalah sekedar sandiwara untuk meloloskan diri dari maut. Karena setelah sang Pendekar Besar memutuskan diri untuk mundur dari urusan duniawi dan menyepi di suatu tempat yang tak siapa pun mampu melacaknya, La Afi Sangia lantas kembali ke wataknya semua. Bahkan wataknya lebih durjana dari sebelumnya.
Tak lama kemudian, La Afi Sangia mengumumkan diri sebagai sangaji (raja) dari segala pendekar dan aliran, dengan gelar La Dewa Afi, serta menjadikan Pulau Sangiang sebagai pusat kekuasaannya. Pulau Sangiang kala itu benar-benar telah ia ubah menjadi sebuah pulau yang paling angker. Ia juga memerintahkan para anak buahnya untuk melakukan perompakan terhadap setiap kapal yang melintasi laut di sekitar pulau tersebut. Kekayaan haram ia tumpuk di pulau bergunung tunggal itu. Untuk mempertangguh kekuasaannya, La Afi Sangia pun merekrut sangat banyak pemuda-pemuda tangguh untuk dididik menjadi jawara-jawara tangguh dan kemudian dijadikan anak buahnya. Benteng pertahanan di sekeliling pulau dibangun setangguh mungkin. Sehingga pasukan penumpas dari kerajaan Babuju pun selalu gagal. Jangankan mencapai pulau dan menembus benteng, justru mereka sudah ditumpas duluan di tengah laut. Hal tersebut bukan hanya sekali dua kali dilakukan oleh Kerajaan Mbojo, tapi sangat sering, dan bahkan Sangaji Mbojo beberapa kali meminta dukungan pasukan dari kerajaan-kerajaan tetangga dan menggempur dari segala penjuru, namun selalu dapat digagalkan oleh La Afi Sangia bersama pasukannya! Demikianlah.
* * *
Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini. Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia cukup lanjut, berkulit putih, bermata sipit, jenggot dan kumis panjang memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu. "Haiya...! Benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" bergumam laki-laki tua berjubah putih yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram, menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutn
Seorang laki-laki setengah baya yang diikuti oleh seorang wanita setengah baya memasuki kamar dan mendekati Jenderal Hongli. Tampaknya mereka adalah pasangan suami isteri pemilik rumah. "Syukurlah, Tuan sudah siuman," ucap si laki-laki dengan ramahnya. "Saya di mana? Maaf, Tuan berdua siapa?" bertanya Hongli, tentu dibantu dalam bentuk bahasa isyarat. Ia kebingungan. Bingung dengan keberadaan dirinya, lebih-lebih terhadap sepasang suami-istri dengan bahasanya yang sangat asing baginya. Namun karena dibantu dengan isyarat berupa gerakan-gerakan tangan, ia bisa menangkap dan membalas ucapan mereka. Ia berusaha bangun untuk sekedar menyandarkan tubuhnya di pada sandaran tempat tidur. Tapi kondisinya begitu lemah. Ia merasakan tulang-tulang di seluruh tubuhnya seolah-olah telah remuk. "Baiknya Tuan jangan banyak bergerak dulu, " ucap laki-laki itu lagi, sambil memberi isyarat pula, se
Malam hari, Hongli mengajak La Gunta untuk cerita-cerita di pinggir pantai. Bulan purnama menerangi jagat malam, memantulkan cahaya keperakan ke permukaan lautan. Api unggun dibuat untuk sekedar menghangatkan tubuh dari terpaan udara pantai. "Bagaimana perkembangan penggemblenganmu, Gunta?" "Yeah lumayanlah, Tuan. Cukuplah untuk sekedar membela diri, " sahut La Gunta seraya sekali-sekali memasukkan potongan-potongan kayu yang dikumpulkannya di sekitar pantai ke dalam api unggun. "Sekitar tiga purnama lagi kami sudah siap untuk digabungkan dalam barisan tamtama kerajaan, Tuan." "Guru gembleng kalian pendekar dari mana?" La Gunta mengambil tempat duduk agak di samping Hongli "Beliau pendekar khusus dari asi juga, Tuan. Namanya Dato Kandili. Beliau adalah pendekar terbaik dalam Kerajaan Tambora." (Asi = istana). "Hmmm.." Hongli mengangguk
Mungkin pendekar penguji utama merasa belum saatnya untuk melawan dengan senjata sejenis. Setiap tebasan kedua parang di arahkan ke bagian-bagian tubuhnya yang mematikan, maka dengan cepat pendekar penguji menghindari sembari mengiblatkan pukulan dan tendangan dengan kecepatan tinggi. Beberapa pukulan dan tendangannya pun telak dan keras mengenai tubuh pendekar berparang kembar hingga terlempar beberapa tombak ke belakang dan terduduk. Namun, dengan semangat kejawaraan sejati, pendekar bertubuh ceking itu segera mengumpulkan kembali tenaga dalamnya, dan kembali melakukan penyerangan dengan gerakan jurusnya yang lebih lihai dan dahsyat lagi. Namun, mungkin karena tak ingin memperpanjang waktu, pendekar uji utama pun menyambut serangan itu dengan mengarahkan kedua kepalanya ke depan. Pancingannya kena. Saat pendekar berparang kembar mengarahkan tebasan kepada kedua pergelangan tangan pendekar utama, dengan cepat pendekar penguji menarik
Pertarungan antara kedua pendekar adisakti itu pun berlangsung dahsyat. Pergerakan keduanya pun demikian cepatnya, sehingga sulit diikuti oleh pandangan mata awam.Namun sebagai seorang pendekar dengan julukan besar di negerinya, Hongli bisa melihat kemampuan lawannya. Dalam jurus-jurus awal, ia sengaja bertahan dulu terhadap serangan-serangan gencar lawannya dengan gerakan supercepat dan sengaja membuat bingung lawannya. Namun saat itu ia ingat dengan peraturan tarung itu, bahwa ia akan menghadapi pertarungan-pertarungan beberapa tingkat lagi dengan jumlah lawan yang bertingkat pula, yang tentu akan membutuhkan tenaga lebih. Jadi dia harus menghemat tenaga. Maka setelah lebih dari sepuluh jurusmenghindar ia peragakan, Hongli pun memperagakan jurus serangan yang sangat cepat, sehingga membuat serangan lawannya menemui udara kosong. Sampai pada suatu momen yang tepat, yang dibarengi dengan
Paduka Sangaji tersenyum bahagia menyambut calon pemangku panglima angkatan perang kerajaannya. Beliau merentangkan kedua tangannya lalu memeluk tubuh Hongli dengan penuh keyakinan. Sang Jenateke (putra mahkota), yang duduk setengah berbaring di sebuah kursi kebesarannya karena masih sakit di sebelah kursi kebesaran ayahnya, menyambutnya dengan senyuman mengembang sambil mengangkat jempolnya kepada calon penggantinya sementara sebelum merentangkan kedua tangannya. Hongli membungkukkan badanya dan memeluk tubuh sang Jenateka. Mungkin karena terlalu erat pelukan itu dan Hongli tak mengerti di bagian tubuh mana Sang Jenateke terluka, sehingga menjadikan sang pewaris tahta Kerajaan Tambora itu terdengar menjerit tertahan. "Oh, maafkan hamba, Yang Mulia Raja Muda," berucap Hongli terkejut dan merasa bersalah. "Tidak apa-apa...." "Hongli. Nama hamba Hon
Mengingat Kerajaan Tambora sudah menjadi sebuah kerajaan yang kuat, aman, dan tenteram. Ada pun antara Kerajaan Mbojo dan Kerajaan Tambora merupakan dua kerajaan sahabat, maka segenap prajurit dari kedua dari kedua kerajaan tersebut tak jarang mengadakan latihan perang bersama, sehingga kedua kerajaan dikenal memiliki angkatan perang yang tangguh di kala itu. Dan kedua kerajaan yang bersahabat itu pun pernah sama-sama mengalami masa-masa kejayaan, ketentraman, dan kemakmuran. Mungkin karena merasa tugas dan pengabdiannya harus diakhiri, maka sang Pendekar Besar ini pun mundur dari urusan kenegaraan dan sekaligus urusan keduniawian. Tanpa seorang pun tahu, kemudian ia lenyap bagai ditelan bumi. Pencarian dilakukan oleh kedua kerajaan, yaitu Kerajaan Tambora dan Kerajaan Mbojo, pun tak pernah menemukan jejaknya. Bagaimana tidak, Dato Hongli telah memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding cadas curam yang sebuah gunung yang ber
Dato Hongli sesaat terdiam sebelum melanjutkan ucapannya, “Sebenarnya, dalam dirimu ada kekuatan titisan yang tak siapa pun memilikinya, yaitu kekuatan mahadaya api. Energi api terserap oleh kekuatan titisan yang ada dalam tubuhmu, dan energi api itu akan muncul dengan sendirinya disaat amarahmu muncul. Ato berharap agar kauharus mampu mengendalikan amarahmu dan tidak zolim dalam bertindak. Pergunakan ilmu yang kaumiliki untuk membela kebenaran dan membasmi kemaksiatan dan kelaliman. Sesungguhnya tak ada ilmu yang hitam, yang ada hanyalah perilaku pemegang ilmulah yang hitam dan jahat. Kau adalah murid dari seorang pendekar agung dari suatu kemaharajaan yang agung pula. Maka kauharus benar-benar menjadi seorang pendekar yang agung berikut ahl
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de