Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya.
“Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para murid yang sudah duduk di tikar. Tiba-tiba Jalu memanggilnya “Rangga, apa kamu yang memasak makanan ini?” Rangga menggeleng dengan hati berdebar, perasaannya mulai tidak enak “Bukan saya, para abdi yang memasaknya, saya hanya mencuci peralatan masak dan makan." “Bohong, kamu pasti yang masak, bubur sagu ini rasanya tidak enak. Dasar bodoh, belajar silat tidak becus, masak juga nggak bisa. Rugi perguruan ini punya murid macam kamu!” Tangan Jalu meraih mangkok lalu ditumpahkan ke kepala Rangga. Hasta dan teman-temannya tertawa terbahak-bahak mengejek Rangga, lalu beramai-ramai menumpahkan mangkok bubur itu ke kepala Rangga. "Kami tak sudi makan bubur buatanmu yang macam pakan babi!"Hasta menuangkan secawan air ke kepala Rangga. Beberapa murid lainnya termasuk Gondo dan Badra hanya memandangnya iba. Tiba-tiba Gondo berdiri dari duduknya lalu mendorong Hasta dan teman-temannya menjauhi Rangga. "Pergilah kalian semua. Di sini kalian belajar silat bukan mengerjai orang!"bentak Jalu. Hasta dan teman-temannya terkejut, wajah mereka tampak segan tak berani menyanggah Gondo. Jalu tampak tertegun namun dia juga tak berani menegur Gondo. "Ayo kita segera berlatih!"Jalu mengajak para murid segera berlatih. Namun sebelum keluar ruangan dia berpesan pada Rangga “Setelah ini kamu kalau masak yang enak, kalau tidak enak kami akan menghajarmu!” Jangan lupa bersihkan lantai yang kotor ini, kami mau latihan dulu,” ujar Jalu sambil berlalu pergi. Badra membantu membersihkan sisa-sisa bubur di kepala Rangga lalu berkata “Sudahlah, nanti aku bantu membersihkan semuanya.” “Tidak usah Badra, nanti kamu terlambat mengikuti pelajaran,” Rangga menolak halus. Gondo mendengus kesal sambil berujar "Mentang-mentang Mpu Waringin sedang bertapa seenaknya saja Jalu menyuruhnya memasak di dapur." Rangga segera membersihkan diri, setelah itu dia bersiap mengikuti kelas pengobatan. Setibanya di ruang belajar pengobatam, hatinya lega karena pelajaran belum dimulai berarti dia masih belum terlambat. Tak lama kemudian Gondo selaku murid senior menggantikan Mpu Waringin. Hari itu Rangga begitu bersemangat mengikuti materi pengobatan. Setidaknya dia tidak perlu berpanas-panas di luar berlatih silat atau menderita sakit akibat pukulan dan tendangan ketika berlatih silat. Usai pelajaran di dalam kelas, Rangga dan teman-temannya sudah berada di kebun tanaman obat, Gondo memperkenalkan berbagai jenis tanaman obat yang ada di kebun. Dia menunjukan sebuah tanaman berbunga indah berwarna krem seperti terompet dengan buah hijau bulat bergerigi pada Rangga “Ini tanaman kecubung, kamu bisa menggunakannya untuk mengerjai Hasta dan teman-temannya.” “Apa yang terjadi jika mereka memakan buah ini?” tanya Rangga. “Ha ha ha, tentu saja kamu tidak akan menyajikan pada mereka seperti ini, kamu bisa membuatnya menjadi bubuk lalu campurkan dalam tuak,” jelas Gondo. Rangga menatap Gondo dengan heran “Tuak? Bukannya di sini kita tidak boleh minum tuak, arak dan minuman memabukan lainnya?” “Hasta dan teman-temannya beda, mereka bisa mendapatkan tuak dengan mudah. Karena aku yang membuat sendiri tuak-tuak itu." Rangga tertegun memandangi Gondo dengan takjub "Jadi Kangmas sendiri yang membuat tuaknya?" "Ya, jangan dikira tuak hanya melulu untuk minuman. Ada beberapa bahan obat yang hanya bisa dilarutkan dengan tuak." Gondo tersenyum melihat Rangga yang masih bengong "Rangga, kamu masih harus belajar banyak." ***** Sorenya sehabis mandi, di dekat sumur tiba-tiba Hasta dan komplotannya mencegat “Hei, anak baru, kamu punya uang nggak? Kami butuh uang buat beli tuak dan judi!" “Aku tidak punya uang, lagipula di sini kan tidak boleh minum minuman yang memabukan apalagi berjudi.” “Eeh…kurang ajar, ini anak baru sudah berani menceramahi kakak seperguruan! Teman-teman, hajar dia!” Hasta langsung menghampiri Rangga. Tanpa banyak bicara lagi, mereka memukuli Rangga tanpa ampun . Wajah dan hidung Rangga sudah berdarah-darah, badannya sudah lebam, tiba-tiba terdengar suara “Beraninya main keroyokan, namanya pendekar kalau berkelahi satu lawan satu. Ternyata ilmu kalian cuma ilmu cakar kucing yang cuma bisa dipakai untuk menakuti anak kecil.” Sontak anak-anak itu berhenti memukuli Rangga, saat itu Rangga melihat Gondo menghampiri Hasta dan teman-temannya. Aneh sekali, wajah mereka tampak ketakutan ketika melihat Gondo. “Ehmm…Kangmas Gondo, aku cuma sedikit bercanda saja dengan dia. Biasalah, malam ini kalau tidak minum tuak, mulut ini kecut rasanya,” dalih Hasta yang salah tingkah di depan Gondo. Gondo mendengus kesal "Huuh...dasar kalian gentong tuak tak berguna." Gondo mengambil gendul tuak yang terbuat dari labu kering di pinggangnya lalu melemparnya kepada Gondo. "Nih ambil, aku membuat arak dari buah Mangga. Pergilah jangan ganggu dia lagi!” Hasta menangkap Gendul itu, matanya berbinar "Waah...arak ini pasti enak. Terimakasih Kangmas Gondo!" Setelah itu Hasta dan teman-teman berandalannya segera meninggalkan Rangga yang sudah babak belur. Gondo memapah Rangga ke kamarnya lalu membersihkan lukanya dan memberinya obat. "Rangga, apa yang terjadi debgan kamu?"tanya Badra yang terkejut melihat keadaan Rangga. “Mereka meminta uang untuk beli tuak dan judi. Kangmas Gondo, kenapa Mpu Waringin dan para sesepuh di sini tidak ada yang menegur Hasta?”tanya Rangga. “Siapa yang berani terhadap Hasta? Dia anak Syah Bandar di Tuban yang dekat dengan para pejabat tinggi di istana. Oleh orangtanya, dia disuruh belajar di sini karena Hasta anak yang kelakuannya paling nakal,” ujar salah satu murid. “Sudahlah tak usah membahas mereka. Kalian tidur saja besok kita masih harus belajar lagi,"ujar Gondo. Malam itu Rangga tidak bisa tidur karena pegal-pegal dan seluruh tubuhnya masih terasa sakit. Tiba-tiba perutnya mulas “Ah sial, kenapa malam-malam begini aku malah pengen ke belakang,” gumam Rangga kesal. Dia bangun mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu berjalan ke sungai di belakang rumah. Usai menuntaskan hajatnya dia kembali ke kamarnya. Namun di dekat pondok Mpu Waringin, tiba-tiba dia melihat dua sosok bayangan berkelebat menuju kediaman Mpu Waringin. Tak lama kemudian satu sosok bergerak cepat menyusul. Rangga tertegun dan mulai curiga Jangan-jangan ada maling, coba aku ikuti mereka, pikir Rangga. Dia mematikan nyala api lampu sentirnya agar keberadaannya tidak diketahui lawan lalu berjalan mengendap-endap mengikuti dua sosok tadi. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan suara orang bertarung. Rangga berhenti melangkah, sejenak dia meragu apakah masih akan tetap melihat apa yang sedang terjadi atau kembali ke kamar. Namun rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya, dia bergegas menyusul melihat apa yang terjadi. Setibanya di kediaman Mpu Waringin, dalam temaramnya sinar bulan Rangga melihat ada dua sosok bayangan keluar dari pondok Mpu Waringin. Instingnya mulai mengatakan ada bahaya, Rangga segera bersembunyi di semak-semak. Dua sosok bayangan itu berhenti di depan semak-semak tempat Rangga bersembunyi. Lalu bercakap-cakap. “Kamu yakin tidak ada yang melihat kita?” “Tenang saja tidak ada yang curiga pada kita, yang penting Kitab Sang Hyang Agni ini sudah kukuasai. Ayo kita segera pergi, besok mereka akan kaget melihat apa yang terjadi.” Setelah kedua sosok itu pergi, Rangga merasa perasaannya mulai tak enak. Suara itu dia sangat mengenalnya. Rangga segera masuk ke pondok Mpu Waringin yang tampak gelap dan sepi lalu mencari kamar Mpu Waringin. Di pondok itu Mpu Waringin tinggal sendirian karena isterinya sudah meninggal dan mereka tidak dikaruniai anak. Tiba-tiba terdengar suara merintih kesakitan, terkesiap Rangga mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Dia bergegas masuk kamar dan betapa terkejutnya Rangga melihat kamar Mpu Waringin yang sudah berantakan dan Mpu Waringin yang sudah tewas bersimbah darah. Di sisi yang lain, terlihat Gondo dengan keadaan yang tak kalah mengenaskan. Di tangannya tergenggam keris yang berlumuran darah. “Kangmas Gondo…apa yang terjadi?” “Rangga..., Kitab Sang Hyang Agni... Jalu...Hasta....” Setelah itu tubuh Gondo terkulai, Gondo kini telah tiada. Rangga berlutut menangisi kematian kakak seperguruanya. Terbayang sudah setelah kepergian Gondo tidak ada lagi.orang yang akan membelanya ketika Jalu, Hasta dan gengnya membullynya. "Kangmas Gondo...Kangmas Gondo!"Rangga berseru panik memanggil nama kakak seperguruannya. Tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah kaki memasuki pondok. Rangga menoleh terkejut, tampaklah Jalu, Hasta bersama para sesepuh dan para murid lainnya memasuki ruangan Mpu Waringin. Melihat Gondo dan Rangga, Jalu berseru “Gondo telah membunuh guru. Untung aku dan Hasta bisa membunuh Gondo! Anak baru ini pasti yang membantu Gondo melakukan pembunuhan ini!” “Kurang ajar sekali anak baru kok sudah berani bunuh gurunya!” seru orang-orang itu. Salah seorang sesepuh berusaha melerai “Tunggu dulu dia kan anak baru, mana mungkin dia berani masuk ke dalam urusan seperti ini.” “Sejak pertama datang, dia dan Gondo sudah sangat akrab, pasti Gondo memperalat anak ini untuk membantunya membunuh guru. Usir saja Rangga dari perguruan ini!” seru Hasta dengan marah. “Bawa dia keluar, nanti kita tanya dia kenapa Gondo tega membunuh gurunya!” Rangga bertambah takut, badannya gemetar, orang-orang di sekelilingnya mulai memakinya. Lalu tubuhnya diseret dengan kasar keluar pondok. “Tunggu, bukan Kangmas Gondo dan aku yang membunuh! Aku tadi habis buang air di sungai lalu ada suara keributan di pondok Guru. Aku masuk pondok dan ternyata Guru dan Kangmas Gondo sudah tewas!” seru Rangga. “Bohong, mana ada maling mengaku, bawa dia keluar!”bentak Jalu. Orang-orang itu menyeret Rangga keluar dan tidak mempedulikan teriakan Rangga yang ketakutan.Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga sesekali melirik ke arah dua orang tadi. Keduanya masih ada di sana sibuk dengan hidangan di depannya. "Kamu dan aku sama-sama pendatang baru di dunia persilatan. Tapi kalau ada kejadian seperti ini, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mengincarku atau mengincarmu terkait dengan Bapakmu di masa lalu,"ucap Rangga."Entahlah, Bapak tidak pernah terbuka dengan masa lalunya.""Kami tidak pernah bertemu atau berseteru dengan sekte Bulan Sabit Emas. Aku curiga, setelah kejadian Nyai Wijil, bisa jadi mereka sedang mengincar pusaka yang kalian miliki. Pedang Inti Air dan Kapak Setan,"tambah Blandhong."Ya tapi kami kan bukan pendekar terkenal. Masa berita tentang pusaka ini sudah tersebar?"tanya Rangga.Blandhong terbahak mendengar pertanyaan Rangga.kalian"Ha ha ha ha kaliang ini lugu sekali. Rangga, berapa kali pedangmu kamu gunakan di depan banyak orang? Ketua, Kapak Setan dalam gembolanmu itu juga menarik perhatian para pemburu pusaka. Apalagi saat berada di pengina
Hasta sedang minum tuak di kapalnya berdama Tunggul dan Gembong saat Rama datang melapor."Kangmas Hasta, sepertinya kali ini lawanmu berat. Rangga ternyata bersahabat dengan Gerombolan Kapak Setan, gerombolan perampok yang paling ditakuti di Pajang.Hasta mengerutkan keningnya, dia baru saja mendengar nama gerombolan Kapak Setan."Ah, masa sih aku belum pernah mendengar kehebatan mereka di Timur,"ucap Hasta dengan nada meremehkan.Rama tersenyum melihat sikap Hasta yang memang suka merendahkan orang."Tapi kalau kamu tahu ilmu andalan mereka, pasti kamu juga menginginkan pusaka Kapak Setan itu. Dulu Liman adalah pemimpin mereka dengan senjata andalannya kapak setan. Di tangan Liman, kapak itu menjadi sebuah kapak yang bahkan mampu membelah bumi,"ungkap Rama."Ah, itu pasti cuma dongeng saja. Memangnya kamu pernah melihat sendiri kehebatan kapak itu?"tanya Hasta sambil menenggak tuaknya.Rama menggeleng"Belum pernah, aku mendengarnya dari Bapakku. Saat itu Liman ketua mereka masih ma
Sebuah kapal besar dan mewah tampak bersandar di dermaga. Pemilik kapal itu pastilah seorang bangsawan atau pedagang kaya. Terlihat Hasta yang berdiri di geladak kapal, sedang melihat kesibukan di pelabuhan Pajang. Di sebelahnya kirinya berdiri Tunggul sahabat sekaligus pengikutnya. Sedangkan di sebelah Tunggul seseorang yang berpakaian seperti pendekar ikut berbincang bersama Hasta. Saat mereka sedang asyik berbincang, Gembong naik ke kapal dengan tergesa-gesa, sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan."Gembong, kamu ini kenapa?"tanya Hasta heran."Huuh, aku melihat bocah itu berada di sini juga. Kukira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih hidup."Hasta mengerutkan keningnya dan bertanya"Siapa bocah yang kamu maksud?""Rangga, dia ada di sini!""Lho, mau apa dia kemari?"tanya Hasta terkejut."Sudahlah Kangmas Hasta, kedatangan kita ke Pajang ini kan untuk menemui Bhre Pajang lalu menyampaikan surat perintah dari Gusti Ratu Tribuana agar Bhre Pajang mewakili Gusti Ratu T
Rangga belum melihat sosok Nyai Wijil namun suaranya seolah-olah begitu dekat dengan mereka. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara berkelebat di udara. Dari arah belakang perahu muncul Nyai Wijil. Kali ini Rangga terkagum-kagum dengan ilmu meringankan tubuhnya. Nyai Wijil melompat ke sungai. Saat akan mendarat di air, kakinya menutul air sungai laku melompat lagi, bagai berjalan di atas air.Setelah dengan perahu, wanita itu langsung melompat ke dalam perahu."Wijil, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengganggu hidupku?"Nyai Wijil melihat ke arah Dhesta yang sedang terbaring di perahu dengan tatapan penuh kebencian."Itu anakmu dengan penari murahan itu kan?"Tapi Liman pura-pura tak mendengar, dia menghadang Nyai Wijil."Dia terkena racun Lali Jiwo milikmu, berikan obat penawarnya!""Aku mau memberikan penawarnya tapi dengan satu syarat!"Liman tertegun, matanya menatap curiga pada Nyai Wijil."Apa yang kamu inginkan dariku?""Tinggalkan penari murahan itu dan ikutlah dengank
"Dhesta!"seru Rangga cemas."Rangga, Dhesta keracunan, aku sudah berusaha mengeluarkan racunnya dari paru-parunya.Tapi hanya sedikit yang berhasil keluarkan."Mendengar suara yang yang sangat dikenalnya, Rangga segera menghampiri orang itu menyapanya."Ki Liman, anda di sini?"Liman tersenyum dan mengangguk, lalu dengan nada cemas dia berkata."Anakku satu-satunya yang selama bertahun-tahun tidak pernah keluar kampung. Tiba-tiba saja meninggalkan rumah pergi merantau. Tentu saja aku sangat mencemaskannya. Jadi aku memutuskan untuk menyusulnya kemari. Ternyata firasatku benar, pantas saja hatiku tidak tenang. Racun ini hanya orang-orang dari sekte ular hijau yang punya obatnya.""Ya, biar saya coba mengobatinya semoga saja berhasil. Tadi dia terkena asap beracun yang ditiupkan dari lubang di jendela itu. Saya tidak tahu racun jenis apa itu."Rangga segera mengeluarkan peralatannya dan mulai memeriksa Dhesta. Pemuda itu masih pingsan, wajahnya sudah mulai membiru.Celaka, racun itu tel
Para pengeroyoknya terperangah melihat Rangga yang dengan santainya berdiri di atas dahan pohon Hujan yang lemah. Rangga tampak anteng dan tenang di atas dahan pohon. Tak sekalipun dia terlihat kerepotan menjaga keseimbangan. Sesekali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan dahan yang terkena angin. Orang-orang itu tersadar, kali ini lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan sembarangan. Kini mereka semakin waspada terhadap lawannya. "Hei, jangan cari aman sendiri di atas pohon. Kalau kamu memang pemberani, turunlah lawan kami di bawah!" Rangga berkelebat turun dari pohon lalu berseru. "Ayo majulah, lawan aku!" Para pengeroyoknya langsung menyerang Rangga. Pedang Inti Air berkelebat menangkis serangan mereka. Tenaga dalam sudah dikerahkan ke tangan Rangga, lalu pedangnya membuat gerakan memotong. "Traang traang traang!" "Klontrang klontraang!" Terdengar bunyi besi jatuh disusul bunyi teriakan kematian. "Aaaarrrrghh....aaarrgh....aaargh!" "Bruuuk...bruuuk...bruuuk!" Tubuh para p
Dhesta tampak kecewa, hidangan itu lezat tapi dia tidak bisa memakannya karena beracun. Dia meihat ke sekelilingnya, para tamu sedang makan dengan lahapnya, namun tidak terlihat tanda-tanda keracunan. Dhesta akhirnya duduk memeluk lutut sambil bersandar di tembok mencoba meredakan rasa laparnya.Rangga mengalihkan pandangan ke arah lain. Terlihat Nyai Wijil sudah kembali lagi menghampiri laki-laki lain, lalu duduk dipangkuannya. Sedangkan pria brewok yang tadi bersamanya sudah tak tampak lagi."Melihat tamunya hanya melihat situasi di sekitarnya dan tidak segera menyantap hidangannya, seorang pelayan mendatangi Rangga dan Dhesta lalu bertanya"Ki Sanak, kok makanannya tidak segera dimakan? Apa makanan ini tidak enak? Jika tidak berkenan kami akan menggantinya dengan yang lain.""Ooh, tidak bukan itu. Kami hanya kecapekan dan mengantuk. Bagaimana jika makanan ini kami bawa ke kamar saja."Wajah pelayan itu tampak berubah, senyum ramahnya lenyap seketika. Namun sejurus kemudian wajahnya
"Gruuudug gruudug gruudug!"bunyi tanah terbelah.Para penonton bubar ketakutan, sedangkan teman-teman si Kumis yang menonton pertarungan itu tertegun. Pria genderuwo pemimpin gerombolan itu langsung berseru"Itu jurus 'Kapak Pembelah Bumi'! Tidak salah lagi, hanya Liman yang bisa melakukannya. Bocah itu anaknya Liman!"Sementara itu si Kumis kelabakan melihat bumi merekah di bawahnya. Sontak dia menghentikan serangannya, melompat menghindar ke tempat yang aman. Rekahan tanah berhenti, pria genderuwo maju ke hadapan Dhesta sambil menunjuk"Tidak salah lagi, kamulah anaknya Liman!"Pria genderuwo memberi tanda pada anak buahnya untuk maju ke hadapan Dhesta."Kalian kemarilah, beri hormat pada ketua Kapak Setan yang baru!"Para perampok itu serta merta langsung mendatangi Dhesta lalu menundukan kepala memberi hormat di hadapannya."Terimalah hormat kami Ketua!"Dhesta hanya bisa bengong melihat para perampok itu memberi hormat kepadanya. Beberapa menit yang lalu mereka berlaku kasar kep
Mata Si Kumis terbelalak melihat kapak yang dipegang Dhesta. Namun dia mencoba menguasai diri."Baiklah, kapak itu tampaknya memang benar Kapak Setan. Tapi pesan kapak besar seperti itu di pande besi pembuat pisau dapur juga bisa. Kalau kamu memang benar-benar anaknya Liman, tunjukan jurus-jurus Kapak Setan itu!"tantang si Kumis.Dhesta tak mengiyakan atau menolaknya, dia balik bertanya."Lalu bagaimana seandainya aku bisa membuktikannya?"Si Kumis tertegun, dia menoleh pada kakaknya minta persetujuannya. Lalu pria genderuwo itulah yang menjawabnya."Kalau kamu bisa menunjukan jurus-jurus khas kapak setan, kami akan patuh kepadamu dan mengangkatmu sebagai pengganti Liman pemimpin kami!"Dhesta terkejut, orang-orang itu tidak dikenalnya tapi malah akan mengangkatnya sebagai pemimpin gerombolan perampok."Hei...apa-apaan ini? Aku tidak sudi melakukan kejahatan seperti kalian. Bapakku melarangku mengikuti jejaknya sebagai perampok. Sekarang dia sudah insyaf, mengasingkan diri dari dunia