Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya.
Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawakan Rangga. Rangga segera bangun, wajahnya tampak marah. Dia berjalan menghampiri Hasta lalu menegurnya "Aku tidak punya salah sama kalian, kenapa kalian mencari gara-gara denganku?!" Wajah Hasta berubah, selama ini belum pernah ada satu muridpun yang berani kepadanya. Tapi kali ini ada seorang murid baru yang dimatanya tampak klemar-klemer berani menantangnya. "Kamu berani sama aku? Baiklah, kita akan berkelahi, yang menang akan menjadi pemimpin para murid di sini, jika kalah dia harus bersedia menjadi pelayan kami dan memberi upeti lima kepeng setiap bulan," tantang Hasta. Mendidih darah Rangga mendengar ejekan Hasta. "Siapa takut? Ayo, majulah aku akan melawanmu!" tantang Rangga. "Kurang ajar kamu anak baru, baru saja datang sudah berani sama Kakak seperguruan!" Hasta langsung menerjang Rangga, tangannya bergerak memukul hidung Rangga. Rangga terkejut diserang tiba-tiba, tangannya berusaha menangkis, tapi dia justru kesakitan ketika tinju Hasta mengenai tangannya. Tangan Hasta bergerak lebih cepat meninju lagi wajah Rangga. "Buuk." Dahi Rangga terkena tinju Hasta, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Samar-samar dia mendengar suara seseorang membentak Hasta dan terdengar perdebatan sengit yang sudah tidak jelas terdengar di telinganya, setelah itu dia pingsan. Ketika sadar, Rangga mendapati dirinya sudah terbaring di tikar. Di tikar sebelah kanannya nya duduk seorang pemuda yang usianya lebih tua darinya. Pemuda itu memandang Rangga dengan pandangan acuh tak acuh “Sudah tidurlah, siapkan tenagamu, besok kamu akan menghadapi cobaan yang lebih parah dari mereka.” “Apa seperti itu adat di sini kalau ada murid baru masuk? Apa mereka tidak takut jika Mpu Waringin tahu” Tanya Rangga. Pemuda itu hanya tersenyum getir “Mereka pandai menutupinya, jika ketahuan mereka akan memberikan seribu satu alasan seolah mereka yang teraniaya. Entah ilmu pelet atau pengasihan apa yang dimiliki Hasta sehingga Mpu Waringin bahkan begitu percaya kepadanya.” “Sudahlah Kangmas Gondo, kamu jangan membuatnya semakin takut di sini. Yang penting kalau kita bisa menghindari Hasta dan teman-temannya selamatlah kita,” sela salah seorang murid yang duduk di sebelah kiri Rangga. Hmmm…ternyata namanya Gondo, tampaknya dia tidak takut dengan Hasta, pikir Rangga. “Tak ada salahnya dia tahu Badra, aku bisa melihat tubuhnya lemah, sudah pasti dia bakal jadi sasaran empuk Hasta dan teman-temannya. Tapi meskipun badannya lemah, nyalinya nyali macan,” tukas Gondo. Tampaknya Gondo dan Badra ini orang baik, aku yakin tidak semua murid di sini seperti Hasta, pikir Rangga. Tiba-tiba Rangga merasa pusing dan kembali rubuh. “Ah, kepalaku pusing,” keluh Rangga. Gondo mengambil sesuatu dari buntelannya lalu memberikan pada Rangga, namun masih dengan sikap acuh tak acuh. “Ini minumlah, besok pagi kamu sudah sembuh.” Rangga menerimanya dengan ragu-ragu, “Obat apa ini?” Gondo menoleh menatap tajam mata Rangga. “Kenapa kamu masih nanya? Kamu pikir aku mau meracunimu? Kamu mau besok bangun dalam keadaan lemas tak berdaya lalu mereka akan bertindak lebih kejam lagi mengerjaimu?” Walaupun dia tampak galak, tapi sepertinya dia orang baik, batin Rangga. "Baiklah aku akan meminumnya,"Rangga merasa tak enak hati pada Gondo. Rangga teringat dia masih membawa bumbung bambu berisi air bekal perjalanannya. Dia segera menelan tablet dari Gondo, lalu merebahkan tubuhnya di tikar, mencoba memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, dirasakannya obat itu mulai bekerja, rasa pusingnya mulai berkurang dan rasa sakit di tubuhnya berangsur hilang. Rangga menghembuskan nafas lega mengetahui kondisi tubuhnya mulai membaik. “Kangmas Gondo terimakasih atas obatnya, sekarang aku sudah tidak sakit lagi,” ujar Rangga. Tidak ada jawaban dari Gondo, yang ada hanya suara dengkuran halus. Ketika dia menoleh, Gondo ternyata sudah tertidur pulas. Rangga menghela nafas lalu kembali memejamkan matanya. “Dia memang begitu, terlihat tidak peduli tapi sebenarnya baik,” Badra yang tidur di sebelahnya menimpali. “Apakah dia juga sering dijadikan bulan-bulanan kelompok Hasta?” Tanya Rangga. “Dia murid satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sepertinya Hasta juga sungkan kepadanya. Yang jelas selama aku di sini aku belum pernah meihat Hasta menghajar Kangmas Gondo,” jelas Badra. "Oh, pantas, jika dia satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sudah pasti Hasta sungkan kepadanya,' ujar Rangga. Malam itu Rangga tidak bisa tidur dengan nyenyak, perubahan situasi dan perlakuan yang dialaminya membuatnya takut untuk segera tidur. Dia kuatir jika sewaktu-waktu Hasta dan teman-temannya kembali mengerjainya saat masih tidur. ***** Byuuur." Rangga gelagepan, wajah, rambut, selimut dan bajunya basah kuyup. Seseorang telah menyiram wajahnya dengan air. Sebagian air telah masuk ke hidung dan mulutnya membuatnya terbatuk batuk dan hidungnya terasa perih. “Hei, ini bukan di rumahmu, molor terus seperti juragan. Bangun dan segera ke lapangan latihan silat!” Rangga menoleh, terlihat Jalu memegang siwur (gayung dari batok kelapa) yang masih meneteskan air. Sinar Matahari sudah menerobos masuk dari jendela kamar, sadarlah Rangga dia sudah bangun kesiangan. “Maaf Kangmas Jalu, saya ketiduran terlalu lama. Tapi saya mau sarapan dulu, apakah sarapannya sudah siap?” Tanya Rangga. “Sarapan? Kamu itu sudah terlambat sarapan, tidak ada sarapan buat kamu. Lekas bangun dan pergilah ke halaman!” perintah Jalu dengan gusar. Rangga tertegun, baru disadarinya, setelah semalaman tidak tidur akhirnya dia bangun kesiangan. Perutnya mulai terasa lapar tapi dia tidak bisa sarapan karena waktu sarapan sudah terlewat. Dengan langkah gontai Rangga berjalan menuju halaman. Setelah Rangga pergi Jalu bergumam sendiri “Dasar anak manja klemar-klemer, harusnya dia tidak belajar di sini bikin repot saja anak itu.” Rangga telah tiba di halaman, beberapa murid terutama dari geng Hasta mulai menyoraki dan mengejeknya. “Wheeei…juragannya baru bangun!” seru Hasta ketika melihat Rangga memasuki halaman tempat berlatih. Hasta dan teman-temannya bertepuk tangan sambil menyoraki Rangga. Semua mata tertuju pada dirinya, Rangga hanya bisa berjalan dengan kepala tertunduk menahan rasa malu. Suara teriakan gerombolan Hasta terhenti ketika melihat Jalu datang. “Semua bersiap, latihan akan segera dimulai!” Seru Jalu. Para murid segera menyusun barisan. Rangga menelusuri wajah para murid namun dia tidak melihat keberadaan Gondo. “Dimana Kangmas Gondo? Kenapa dia tidak ikut berlatih?” Tanya Rangga pada Badra. “Gondo adalah murid yang belajar ilmu pengobatan, jadi dia tidak ikut di sini,” jawab Badra. “Sebenarnya aku sudah mengatakan pada Mpu Waringin bahwa aku lebih tertarik dengan ilmu pengobatan mengingat kekuatan tubuhku tidak mendukung. Tapi kenapa mereka tetap memintaku berlatih silat,” keluh Rangga. “Semua murid baru tetap harus menguasai dasar-dasar jurus-jurus silat khas Padepokan Sekar Jagad. Setelah tiga tahun belajar atau jika dia memang tidak berbakat menjadi pesilat, baru boleh memilih ilmu pengobatan,” jelas Badra. "Oh ya, kenapa tadi kalian tidak membangunkanku supaya tidak kesiangan?" tanya Rangga, "Kami sudah berusaha membangunkanmu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Mungkin kamu terlalu sakit karena pukulan Hasta dan efek obat yang kamu makan semalam,' ungkap Badra. Tak lama kemudian Mpu Waringin datang, dia memberikan beberapa instruksi kemudian mulai meperagakan jurus-jurus silat. Setelah itu semua murid bergerak mempraktekan jurus-jurus silat tadi. Jalu dan beberapa murid senior lainnya berkeliling mengawasi gerakan-gerakan para murid dengan sebatang rotan di tangan. Saat semua bergerak mengikuti instruksi pelatih, Jalu mengawasi gerakan para murid di tiap barisan dengan seksama. Saat melewati Rangga, tiba-tiba tangan Jalu bergerak memukul kaki Rangga membuat Rangga kesakitan. “Hei, kenapa Kangmas memukul saya?” protes Rangga “Kuda-kudamu kurang lebar dan posisi tubuhmu kurang turun. Dengan sikap tubuh sepertimu, kuda-kudamu kurang kuat dan lawan akan dengan mudah menjatuhkanmu,” ujar Jalu. Usai berlatih di halaman selama dua jam, Jalu memerintahkan murid-murid baru memisahkan diri. Hari itu adalah saatnya latihan kekuatan fisik, “Rangga, cepatlah kemari, kami sudah menunggumu lama!” seru Jalu. Rangga duduk bergabung bersama teman-temannya, mendengarkan instruksi Jalu. “Sekarang waktunya latihan ketahanan fisik! Kalian harus mengambil air dari sungai di belakang lalu diisikan ke bak penampungan air. Saat berlari tidak boleh ada air yang tumpah. Sudah jelas perintahnya?" "Sudah jelas!"jawab para murid serempak. Jalu tersenyum puas "Kalau sudah jelas, sekarang segera ambil ember dan pikulan lalu kerjakan!” Para murid segera bergerak mengambil ember kayu dan pikulan, kemudian berlari ke sungai. Rangga melihat, jarak antara permukaan tanah dengan sungai agak jauh. Dia harus menuruni undakan batu agar dapat mengambil airnya. Saat membawa ember yang sarat dengan air menuju tepian sungai, airnya sudah tumpah sebagian. Ketika membawa air sambil berlari, hanya sedikit air yang dapat dia bawa sampai bak penampungan. Setelah tiga kali bolak balik membawa air, tiba-tiba pandangan mata Rangga berkunang-kunang, kepalanya pusing dan perutnya terasa melilit sakit. Rangga baru ingat, dia belum sarapan, setelah itu tubuhnya ambruk ke tanah.Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Gajah Mada tercekat, berita itu membuatnya sedih sekaligus marah. Seseorang telah membunuh Rangga."Hasta...siapa dia?"tanya Gajah Mada."Saya mencari informasi ke salah satu murid Mpu Waringin yang selamat. Ketika dia menyebut nama Hasta, saya langsung menyelidiki soal Hasta. Dia adalah salah satu Senopati di pasukan Araraman dan Ra Kembar adalah pamannya,"jawab Tudjo.Gajah Mada terkejut, tak menyangka Hasta ternyata adalah seorang prajurit Majapahit keponakan Ra Kembar. Gajah Mada yang murka langsung berujar"Kurang ajar, prajurit rendahan saja beraninya dia mengganggu Rangga.""Sabar dulu Gusti Patih, kita harus memastikan dulu apakah Rangga memang sudah mati dibunuh Hasta atau dia sebenarnya masih hidup. Jangan sampai anda balas dendam ke orang yang salah,"Wasis mengingatkan."Tadi sewaktu acara selamatan di rumah Ra Kembar, saya menguping pembicaraan Hasta dan dua anak buah kepercayaannya Tunggul dan Gembong. Menurut informasi murid Mpu Waringin, Tunggul dan Gembong dulunya j
Tangisan bayi memecah ketenangan di Kasogatan Dharmasuci siang itu. Para bhiksuni di asrama bersuka cita menyambut kehadiran bayi laki-laki anak Siwi. Siwi tersenyum bahagia melihat anaknya terlahir selamat. Santini mendekatkan bayi yang sudah dibersihkan kepada Siwi. "Anaknya laki-laki, kamu sudah punya nama untuk dia?"tanya Santini Siwi menatap wajah anaknya lekat-lekat. Anak itu mirip dengan Hasta bapaknya. Kemudian dia berkata "Anak ini akan kunamai Shankara yang artinya pembawa keberuntungan. Semoga kelak hidupnya akan selalu beruntung." Senandung doa dari para bhiksuni menggema di seluruh relung Kasogatan Dharmasuci. Bersyukur atas kelahiran Shankara serta mendoakan Siwi dan Shankara. ***** Sementara itu Hasta sedang berada di kediaman keluarga Ra Kembar yang saat itu sedang dalam suasana duka. Sebuah acara selamatan sedang diselenggarakan oleh keluarga Ra Kembar. Saat itu rumah keluarga Ra Kembar dipenuhi oleh sanak saudara, teman dan rekan kerja Ra Kembar. Hast
Pedagang kue itu menjambak rambut Siwi dengan kasar hingga sanggulnya berantakan."Kamu mau bayar tidak? Kalau tidak kami akan membawamu ke Dhayksa!""Maaf saya lapar tapi saya tidak punya uang? Saya...saya tidak bisa bayar,"ucap Siwi lirih.Mata Siwi memandang ke sekelilingnya namun tak seorangpun yang membelanya.Salah seorang penonton berseru memprovokasi orang-orang disekitarnya."Dia bohong, mana ada maling mau ngaku!""Kita bawa dia ke Dhayksa!"penjual kue bersiap menyeret Siwi pergi."Tunggu!"Seorang laki-laki dengan pakaian yang indah dengan banyak perhiasan mendatangi Siwi. Laki-laki itu wajahnya tampan dan kulitnya bersih. Dia memakai selendang sutera berwarna hijau serasi dengan kipas dari bulu merak hijau di tangannya. Di belakangnya seorang abdi laki-laki berbadan gempal dan pendek mengikuti di belakangnya. Laki-laki itu meraih dagu Siwi dan meneliti wajahnya. Sejurus kemudian dia tersenyum, kecantikan Siwi masih memancar walaupun penampilannya kumal dan wajahnya kotor
"Gusti Putri Alit adalah putri bungsu Bhre Pajang Sureswari. Dia menghabiskan masa kecilnya di goa Selarong di kediaman keluarga bapaknya,"ungkap Rama. Tertegun Hasta mendengar penjelasan Rama, sejurus kemudian raut wajahnya tampak menyesal. "Sial, urusanku dengan Hasta jadi tambah panjang ditambah lagi aku harus berurusan dengan dia. Bhre Pajang sudah mengusirku, besok aku sudah harus pulang ke Trowulan,"ujar Hasta dengan geram. Rama menenangkan Hasta yang kecewa karena diusir dari Pajang "Kangmas Hasta tidak usah kuatir, masalah Hasta biar aku yang mengurusnya. Bhre Pajang boleh saja minta Rangga dibawa dalam keadaan hidup. Tapi aku tidak terima, Rangga dan teman-temannya sudah membunuh saudara-saudara seperguruanku. Mereka harus menerima balasannya!" Seorang abdi tiba-tiba masuk ke ruangan Hasta dengan tergesa-gesa "Ndoro Hasta, Ki Tunggul ingin bertemu dengan anda. Katanya ada berita penting yang harus segera disampaikan." "Suruh dia masuk!"perintah Hasta. Abdi itu
Saraswati menatap Rangga dengan tatapan cemas, namun sejurus kemudian dia teringat sesuatu. Saraswati berdiri di belakang Rangga lalu menempelkan tangannya ke punggung Rangga. Nyai Bima dan suaminya terkejut melihat tindakan Saraswati. "Hei tunggu apa yang kamu lakukan?!"seru Nyai Bima. Nyai Bima berjalan mendekati Saraswati namun suaminya mencegahnya "Jangan...tunggu, gadis itu tidak bermaksud buruk, dia hanya ingin menolongnya." "Tapi Kangmas, kita tidak tahu apa dia melakukannya dengan cara yang benar atau tidak,"tukas Nyai Bima. Bima memperhatikan Rangga, terlihat wajah Rangga yamg semula merah seperti kepiting rebus, kini berangsur normal. "Dia sudah melakukannya dengan baik dan benar. Lihat wajah Rangga, dia sudah mulai berangsur normal,"ujar Bima. Nyai Bima memperhatikan dengan seksama, Rangga sekarang memang terlihat jauh lebih baik. Perempuan itu lega melihat kondisi Bima sudah mulai pulih. Tapi kemudian dia teringat sesuatu. Cepat sekali Rangga pulih, ilmu apa yang d
Saraswati berdiri di tengah mencegah pertarungan berulang kembali.Pemimpin prajurit mulai marah"Kalau kamu tidak minggir, aku akan membunuhmu!"Namun Saraswati tak gentar menghadapi ancaman orang itu, dia malah menantangnya,"Baiklah kalau kamu masih tetap mau menyerang, bersiaplah menghadapi resikonya! Bukankah Gusti Bhre Pajang meminta kalian membawa Rangga dalam keadaan selamat tanpa luka seujung ramputpun?! Tapi sekarang kalian malah mencoba melukainya!"Saraswati mengambil lencana emas dari setagennya lalu ditunjukan ke hadapan pemimpin prajurit.Sontak wajah pemimpin prajurit berubah, buru-buru dia menyarungkan kembali pedangnya dan memberi hormat."Maafkan saya Gusti Putri, baiklah kami akan pergi.""Siapa yang menyuruh kalian menyerang Rangga?"tanya Saraswati."Ndoro Hasta Senopati dari Majapahit itu yang menyuruh kami. Katanya Rangga adalah biang kerok kerusuhan yang terjadi di Sywagrha,"jawab pemimpin prajurit.Saraswati mendengus kesal"Huuh orang Majapahit itu, seenaknya
Semakin jauh dia berjalan, orang-orang yang lewat semakin berkurang. Tak ada lagi kebun atau rumah penduduk. Yang ada hanyalah hutan belantara atau lahan yang penuh semak belukar. *****Pagi-pagi sekali Rangga sudah bangun lalu bersiap pergi. Dia membereskan bawaannya dan merapikan tikar tempat dia tidur. Dari arah dapur sudah tercium aroma makanan yang menggugah selera. Rangga bergegas ke dapur untuk berpamitan dengan Nyai Bima.Di dapur Nyai Bima terlihat sibuk mengaduk makanan di kuali. Rangga menyapa Nyai Bima,"Nyai, saya mau pamit pergi."Nyai Bima menoleh, melihat Rangga yang datang Nyai Bima berkata"Ngger, makanlah dulu, ini aku membuat bubur ganyong,"Nyai Bima menunjuk ke kuali di depannya. Ini makanannya sudah matang, kamu makan dulu ya." Nyai Bima berdiri dari duduknya lalu mengambil mangkuk gerabah, menyendok jenang ke mangkuk kemudian menyodorkannya pada Rangga."Ini makanlah, kamu harus makan karena perjalananmu masih jauh."Rangga menyambut mangkok berisi jenang gan
Terdengar suara anjing menggonggong di luar. Setelah itu, seorang pemuda masuk ke dalam rumah menyapa Bimo dan isterinya."Bapak Ibu, hari ini aku membawa kijang hasil berburu.""Aah...Jiwo kamu sudah pulang, hari ini kita ada tamu, dia Rangga murid Eyang Jolodhong,"Bima mengenalkan Rangga pada anaknya.Jiwo mengerutkan keningnya"Eyang Jolodhong? Tidak mungkin usianya masih muda dan Eyang Jolodhong sudah meninggal lama. Jika dia pernah menjadi murid Eyang Jolodhong seharusnya usianya sudah seusia Bapak,"ujar Jiwo sambil memandang Rangga dengan pandangan curiga.Bimo tampak tak enak hati melihat sambutan anak laki-lakinya yang dirasanya kurang ramah."Dia bisa mengamalkan ilmu Bayu Sumilir ilmu keluarga kita. Tidak ada orang di luar keluarga kita yang mampu mengamalkannya,"Bimo mencoba meyakinkan.Namun Jiwo masih saja menampakan sikap yang tidak bersahabat. Dari tatapan matanya terlihat dia mencurigai Rangga sebagai penipu."Bapak, ilmu Bayu Sumilir sudah lama ada sejak kerajaan Med
"Siapa namamu Ngger?"tanya bapak-bapak tadi. "Saya Rangga dari Lembah Hantu. Lalu siapa nama Ki Sanak?" Mendengar tempat asal Rangga, wajah bapak itu tampak berubah. "Panggil saja aku Bima dan itu anakku Wening,"bapak itu menunjuk anaknya. Bapak itu mendekati Rangga lebih dekat lalu bertanya lagi "Benar kamu berasal dari Lembah Hantu?" Rangga mengangguk "Ya, apa Ki Sanak tahu tentang Lembah Hantu?" Bima menggeleng "Aku cuma dengar dari berita para pendekar yang datang dari Timur. Di tempat itu dulunya pernah terjadi perebutan Kitab Pusaka Sang Hyang Agni. Semua pendekar yang ada di situ mati dan jiwa mereka ditahan oleh Raja Iblis. Bapakku salah satu pendekar yang mati di sana." "Siapa nama Bapak Ki Sanak?" "Bapakku bernama Jolodhong." Rangga terkejut mendengarnya "Jolodhong? Apa dia memiliki ilmu meringankan tubuh Bayu Sumilir?" Wajah Bima seketika berubah "Darimana kamu tahu? Hanya pendekar-pendekar lama saja yang mengetahui tentang Bapakku,"ujar Bima.