Share

PENDEKAR LEMBAH HANTU
PENDEKAR LEMBAH HANTU
Penulis: Freya

Bab 1 Pembullyan

Penulis: Freya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-08 22:50:35

Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya.

Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan.

"Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong."

"Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga.

Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar.

"Permisi, permisi numpang lewat."

Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang.

"Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya.

"Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawakan Rangga.

Rangga segera bangun, wajahnya tampak marah. Dia berjalan menghampiri Hasta lalu menegurnya

"Aku tidak punya salah sama kalian, kenapa kalian mencari gara-gara denganku?!"

Wajah Hasta berubah, selama ini belum pernah ada satu muridpun yang berani kepadanya.

Tapi kali ini ada seorang murid baru yang dimatanya tampak klemar-klemer berani menantangnya.

"Kamu berani sama aku? Baiklah, kita akan berkelahi, yang menang akan menjadi pemimpin para murid di sini, jika kalah dia harus bersedia menjadi pelayan kami dan memberi upeti lima kepeng setiap bulan," tantang Hasta.

Mendidih darah Rangga mendengar ejekan Hasta.

"Siapa takut? Ayo, majulah aku akan melawanmu!" tantang Rangga.

"Kurang ajar kamu anak baru, baru saja datang sudah berani sama Kakak seperguruan!"

Hasta langsung menerjang Rangga, tangannya bergerak memukul hidung Rangga. Rangga terkejut diserang tiba-tiba, tangannya berusaha menangkis, tapi dia justru kesakitan ketika tinju Hasta mengenai tangannya. Tangan Hasta bergerak lebih cepat meninju lagi wajah Rangga.

"Buuk."

Dahi Rangga terkena tinju Hasta, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang.

Samar-samar dia mendengar suara seseorang membentak Hasta dan terdengar perdebatan sengit yang sudah tidak jelas terdengar di telinganya, setelah itu dia pingsan.

Ketika sadar, Rangga mendapati dirinya sudah terbaring di tikar. Di tikar sebelah kanannya nya duduk seorang pemuda yang usianya lebih tua darinya. Pemuda itu memandang Rangga dengan pandangan acuh tak acuh

“Sudah tidurlah, siapkan tenagamu, besok kamu akan menghadapi cobaan yang lebih parah dari mereka.”

“Apa seperti itu adat di sini kalau ada murid baru masuk? Apa mereka tidak takut jika Mpu Waringin tahu” Tanya Rangga.

Pemuda itu hanya tersenyum getir

“Mereka pandai menutupinya, jika ketahuan mereka akan memberikan seribu satu alasan seolah mereka yang teraniaya. Entah ilmu pelet atau pengasihan apa yang dimiliki Hasta sehingga Mpu Waringin bahkan begitu percaya kepadanya.”

“Sudahlah Kangmas Gondo, kamu jangan membuatnya semakin takut di sini. Yang penting kalau kita bisa menghindari Hasta dan teman-temannya selamatlah kita,” sela salah seorang murid yang duduk di sebelah kiri Rangga.

Hmmm…ternyata namanya Gondo, tampaknya dia tidak takut dengan Hasta, pikir Rangga.

“Tak ada salahnya dia tahu Badra, aku bisa melihat tubuhnya lemah, sudah pasti dia bakal jadi sasaran empuk Hasta dan teman-temannya. Tapi meskipun badannya lemah, nyalinya nyali macan,” tukas Gondo.

Tampaknya Gondo dan Badra ini orang baik, aku yakin tidak semua murid di sini seperti Hasta, pikir Rangga.

Tiba-tiba Rangga merasa pusing dan kembali rubuh.

“Ah, kepalaku pusing,” keluh Rangga.

Gondo mengambil sesuatu dari buntelannya lalu memberikan pada Rangga, namun masih dengan sikap acuh tak acuh.

“Ini minumlah, besok pagi kamu sudah sembuh.”

Rangga menerimanya dengan ragu-ragu,

“Obat apa ini?”

Gondo menoleh menatap tajam mata Rangga.

“Kenapa kamu masih nanya? Kamu pikir aku mau meracunimu? Kamu mau besok bangun dalam keadaan lemas tak berdaya lalu mereka akan bertindak lebih kejam lagi mengerjaimu?”

Walaupun dia tampak galak, tapi sepertinya dia orang baik, batin Rangga.

"Baiklah aku akan meminumnya,"Rangga merasa tak enak hati pada Gondo.

Rangga teringat dia masih membawa bumbung bambu berisi air bekal perjalanannya. Dia segera menelan tablet dari Gondo, lalu merebahkan tubuhnya di tikar, mencoba memejamkan matanya.

Beberapa saat kemudian, dirasakannya obat itu mulai bekerja, rasa pusingnya mulai berkurang dan rasa sakit di tubuhnya berangsur hilang. Rangga menghembuskan nafas lega mengetahui kondisi tubuhnya mulai membaik.

“Kangmas Gondo terimakasih atas obatnya, sekarang aku sudah tidak sakit lagi,” ujar Rangga.

Tidak ada jawaban dari Gondo, yang ada hanya suara dengkuran halus. Ketika dia menoleh, Gondo ternyata sudah tertidur pulas. Rangga menghela nafas lalu kembali memejamkan matanya.

“Dia memang begitu, terlihat tidak peduli tapi sebenarnya baik,” Badra yang tidur di sebelahnya menimpali.

“Apakah dia juga sering dijadikan bulan-bulanan kelompok Hasta?” Tanya Rangga.

“Dia murid satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sepertinya Hasta juga sungkan kepadanya. Yang jelas selama aku di sini aku belum pernah meihat Hasta menghajar Kangmas Gondo,” jelas Badra.

"Oh, pantas, jika dia satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sudah pasti Hasta sungkan kepadanya,' ujar Rangga.

Malam itu Rangga tidak bisa tidur dengan nyenyak, perubahan situasi dan perlakuan yang dialaminya membuatnya takut untuk segera tidur. Dia kuatir jika sewaktu-waktu Hasta dan teman-temannya kembali mengerjainya saat masih tidur.

*****

Byuuur."

Rangga gelagepan, wajah, rambut, selimut dan bajunya basah kuyup. Seseorang telah menyiram wajahnya dengan air. Sebagian air telah masuk ke hidung dan mulutnya membuatnya terbatuk batuk dan hidungnya terasa perih.

“Hei, ini bukan di rumahmu, molor terus seperti juragan. Bangun dan segera ke lapangan latihan silat!”

Rangga menoleh, terlihat Jalu memegang siwur (gayung dari batok kelapa) yang masih meneteskan air. Sinar Matahari sudah menerobos masuk dari jendela kamar, sadarlah Rangga dia sudah bangun kesiangan.

“Maaf Kangmas Jalu, saya ketiduran terlalu lama. Tapi saya mau sarapan dulu, apakah sarapannya sudah siap?” Tanya Rangga.

“Sarapan? Kamu itu sudah terlambat sarapan, tidak ada sarapan buat kamu. Lekas bangun dan pergilah ke halaman!” perintah Jalu dengan gusar.

Rangga tertegun, baru disadarinya, setelah semalaman tidak tidur akhirnya dia bangun kesiangan. Perutnya mulai terasa lapar tapi dia tidak bisa sarapan karena waktu sarapan sudah terlewat.

Dengan langkah gontai Rangga berjalan menuju halaman. Setelah Rangga pergi Jalu bergumam sendiri

“Dasar anak manja klemar-klemer, harusnya dia tidak belajar di sini bikin repot saja anak itu.”

Rangga telah tiba di halaman, beberapa murid terutama dari geng Hasta mulai menyoraki dan mengejeknya.

“Wheeei…juragannya baru bangun!” seru Hasta ketika melihat Rangga memasuki halaman tempat berlatih. Hasta dan teman-temannya bertepuk tangan sambil menyoraki Rangga.

Semua mata tertuju pada dirinya, Rangga hanya bisa berjalan dengan kepala tertunduk menahan rasa malu.

Suara teriakan gerombolan Hasta terhenti ketika melihat Jalu datang.

“Semua bersiap, latihan akan segera dimulai!” Seru Jalu.

Para murid segera menyusun barisan. Rangga menelusuri wajah para murid namun dia tidak melihat keberadaan Gondo.

“Dimana Kangmas Gondo? Kenapa dia tidak ikut berlatih?” Tanya Rangga pada Badra.

“Gondo adalah murid yang belajar ilmu pengobatan, jadi dia tidak ikut di sini,” jawab Badra.

“Sebenarnya aku sudah mengatakan pada Mpu Waringin bahwa aku lebih tertarik dengan ilmu pengobatan mengingat kekuatan tubuhku tidak mendukung. Tapi kenapa mereka tetap memintaku berlatih silat,” keluh Rangga.

“Semua murid baru tetap harus menguasai dasar-dasar jurus-jurus silat khas Padepokan Sekar Jagad. Setelah tiga tahun belajar atau jika dia memang tidak berbakat menjadi pesilat, baru boleh memilih ilmu pengobatan,” jelas Badra.

"Oh ya, kenapa tadi kalian tidak membangunkanku supaya tidak kesiangan?" tanya Rangga,

"Kami sudah berusaha membangunkanmu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Mungkin kamu terlalu sakit karena pukulan Hasta dan efek obat yang kamu makan semalam,' ungkap Badra.

Tak lama kemudian Mpu Waringin datang, dia memberikan beberapa instruksi kemudian mulai meperagakan jurus-jurus silat. Setelah itu semua murid bergerak mempraktekan jurus-jurus silat tadi.

Jalu dan beberapa murid senior lainnya berkeliling mengawasi gerakan-gerakan para murid dengan sebatang rotan di tangan.

Saat semua bergerak mengikuti instruksi pelatih, Jalu mengawasi gerakan para murid di tiap barisan dengan seksama.

Saat melewati Rangga, tiba-tiba tangan Jalu bergerak memukul kaki Rangga membuat Rangga kesakitan.

“Hei, kenapa Kangmas memukul saya?” protes Rangga

“Kuda-kudamu kurang lebar dan posisi tubuhmu kurang turun. Dengan sikap tubuh sepertimu, kuda-kudamu kurang kuat dan lawan akan dengan mudah menjatuhkanmu,” ujar Jalu.

Usai berlatih di halaman selama dua jam, Jalu memerintahkan murid-murid baru memisahkan diri. Hari itu adalah saatnya latihan kekuatan fisik,

“Rangga, cepatlah kemari, kami sudah menunggumu lama!” seru Jalu.

Rangga duduk bergabung bersama teman-temannya, mendengarkan instruksi Jalu.

“Sekarang waktunya latihan ketahanan fisik! Kalian harus mengambil air dari sungai di belakang lalu diisikan ke bak penampungan air. Saat berlari tidak boleh ada air yang tumpah. Sudah jelas perintahnya?"

"Sudah jelas!"jawab para murid serempak.

Jalu tersenyum puas

"Kalau sudah jelas, sekarang segera ambil ember dan pikulan lalu kerjakan!”

Para murid segera bergerak mengambil ember kayu dan pikulan, kemudian berlari ke sungai.

Rangga melihat, jarak antara permukaan tanah dengan sungai agak jauh. Dia harus menuruni undakan batu agar dapat mengambil airnya.

Saat membawa ember yang sarat dengan air menuju tepian sungai, airnya sudah tumpah sebagian. Ketika membawa air sambil berlari, hanya sedikit air yang dapat dia bawa sampai bak penampungan.

Setelah tiga kali bolak balik membawa air, tiba-tiba pandangan mata Rangga berkunang-kunang, kepalanya pusing dan perutnya terasa melilit sakit.

Rangga baru ingat, dia belum sarapan, setelah itu tubuhnya ambruk ke tanah.

Bab terkait

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 2 Pembunuhan

    Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-08
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 3 Lembah Hantu

    Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-09
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 4 Nenek Tua yang Aneh

    Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   bab 5 Pengkhianat

    Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-12
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Rahasia Makam Kuno 1

    Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-16
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 7 Rahasia Makam Kuno2

    Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-17
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 8 Cakra Tenaga Dalam

    "Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-18
  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 9 Kalung Tujuh Batu Cakra

    "Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-19

Bab terbaru

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 89 Penguntit

    Rangga sesekali melirik ke arah dua orang tadi. Keduanya masih ada di sana sibuk dengan hidangan di depannya. "Kamu dan aku sama-sama pendatang baru di dunia persilatan. Tapi kalau ada kejadian seperti ini, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi? Apakah dia mengincarku atau mengincarmu terkait dengan Bapakmu di masa lalu,"ucap Rangga."Entahlah, Bapak tidak pernah terbuka dengan masa lalunya.""Kami tidak pernah bertemu atau berseteru dengan sekte Bulan Sabit Emas. Aku curiga, setelah kejadian Nyai Wijil, bisa jadi mereka sedang mengincar pusaka yang kalian miliki. Pedang Inti Air dan Kapak Setan,"tambah Blandhong."Ya tapi kami kan bukan pendekar terkenal. Masa berita tentang pusaka ini sudah tersebar?"tanya Rangga.Blandhong terbahak mendengar pertanyaan Rangga.kalian"Ha ha ha ha kaliang ini lugu sekali. Rangga, berapa kali pedangmu kamu gunakan di depan banyak orang? Ketua, Kapak Setan dalam gembolanmu itu juga menarik perhatian para pemburu pusaka. Apalagi saat berada di pengina

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 88 Sekte Bulan Sabit Emas

    Hasta sedang minum tuak di kapalnya berdama Tunggul dan Gembong saat Rama datang melapor."Kangmas Hasta, sepertinya kali ini lawanmu berat. Rangga ternyata bersahabat dengan Gerombolan Kapak Setan, gerombolan perampok yang paling ditakuti di Pajang.Hasta mengerutkan keningnya, dia baru saja mendengar nama gerombolan Kapak Setan."Ah, masa sih aku belum pernah mendengar kehebatan mereka di Timur,"ucap Hasta dengan nada meremehkan.Rama tersenyum melihat sikap Hasta yang memang suka merendahkan orang."Tapi kalau kamu tahu ilmu andalan mereka, pasti kamu juga menginginkan pusaka Kapak Setan itu. Dulu Liman adalah pemimpin mereka dengan senjata andalannya kapak setan. Di tangan Liman, kapak itu menjadi sebuah kapak yang bahkan mampu membelah bumi,"ungkap Rama."Ah, itu pasti cuma dongeng saja. Memangnya kamu pernah melihat sendiri kehebatan kapak itu?"tanya Hasta sambil menenggak tuaknya.Rama menggeleng"Belum pernah, aku mendengarnya dari Bapakku. Saat itu Liman ketua mereka masih ma

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 87 Perjalanan ke Sywagrha

    Sebuah kapal besar dan mewah tampak bersandar di dermaga. Pemilik kapal itu pastilah seorang bangsawan atau pedagang kaya. Terlihat Hasta yang berdiri di geladak kapal, sedang melihat kesibukan di pelabuhan Pajang. Di sebelahnya kirinya berdiri Tunggul sahabat sekaligus pengikutnya. Sedangkan di sebelah Tunggul seseorang yang berpakaian seperti pendekar ikut berbincang bersama Hasta. Saat mereka sedang asyik berbincang, Gembong naik ke kapal dengan tergesa-gesa, sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan."Gembong, kamu ini kenapa?"tanya Hasta heran."Huuh, aku melihat bocah itu berada di sini juga. Kukira dia sudah mati, tapi ternyata dia masih hidup."Hasta mengerutkan keningnya dan bertanya"Siapa bocah yang kamu maksud?""Rangga, dia ada di sini!""Lho, mau apa dia kemari?"tanya Hasta terkejut."Sudahlah Kangmas Hasta, kedatangan kita ke Pajang ini kan untuk menemui Bhre Pajang lalu menyampaikan surat perintah dari Gusti Ratu Tribuana agar Bhre Pajang mewakili Gusti Ratu T

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 86 Penawar Racun

    Rangga belum melihat sosok Nyai Wijil namun suaranya seolah-olah begitu dekat dengan mereka. Beberapa saat kemudian, terdengar lagi suara berkelebat di udara. Dari arah belakang perahu muncul Nyai Wijil. Kali ini Rangga terkagum-kagum dengan ilmu meringankan tubuhnya. Nyai Wijil melompat ke sungai. Saat akan mendarat di air, kakinya menutul air sungai laku melompat lagi, bagai berjalan di atas air.Setelah dengan perahu, wanita itu langsung melompat ke dalam perahu."Wijil, kenapa kamu tidak pernah berhenti mengganggu hidupku?"Nyai Wijil melihat ke arah Dhesta yang sedang terbaring di perahu dengan tatapan penuh kebencian."Itu anakmu dengan penari murahan itu kan?"Tapi Liman pura-pura tak mendengar, dia menghadang Nyai Wijil."Dia terkena racun Lali Jiwo milikmu, berikan obat penawarnya!""Aku mau memberikan penawarnya tapi dengan satu syarat!"Liman tertegun, matanya menatap curiga pada Nyai Wijil."Apa yang kamu inginkan dariku?""Tinggalkan penari murahan itu dan ikutlah dengank

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   bab 85 Senandung Nyai Wijil

    "Dhesta!"seru Rangga cemas."Rangga, Dhesta keracunan, aku sudah berusaha mengeluarkan racunnya dari paru-parunya.Tapi hanya sedikit yang berhasil keluarkan."Mendengar suara yang yang sangat dikenalnya, Rangga segera menghampiri orang itu menyapanya."Ki Liman, anda di sini?"Liman tersenyum dan mengangguk, lalu dengan nada cemas dia berkata."Anakku satu-satunya yang selama bertahun-tahun tidak pernah keluar kampung. Tiba-tiba saja meninggalkan rumah pergi merantau. Tentu saja aku sangat mencemaskannya. Jadi aku memutuskan untuk menyusulnya kemari. Ternyata firasatku benar, pantas saja hatiku tidak tenang. Racun ini hanya orang-orang dari sekte ular hijau yang punya obatnya.""Ya, biar saya coba mengobatinya semoga saja berhasil. Tadi dia terkena asap beracun yang ditiupkan dari lubang di jendela itu. Saya tidak tahu racun jenis apa itu."Rangga segera mengeluarkan peralatannya dan mulai memeriksa Dhesta. Pemuda itu masih pingsan, wajahnya sudah mulai membiru.Celaka, racun itu tel

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 84 Daging Manusia

    Para pengeroyoknya terperangah melihat Rangga yang dengan santainya berdiri di atas dahan pohon Hujan yang lemah. Rangga tampak anteng dan tenang di atas dahan pohon. Tak sekalipun dia terlihat kerepotan menjaga keseimbangan. Sesekali tubuhnya bergerak mengikuti gerakan dahan yang terkena angin. Orang-orang itu tersadar, kali ini lawan yang mereka hadapi bukanlah lawan sembarangan. Kini mereka semakin waspada terhadap lawannya. "Hei, jangan cari aman sendiri di atas pohon. Kalau kamu memang pemberani, turunlah lawan kami di bawah!" Rangga berkelebat turun dari pohon lalu berseru. "Ayo majulah, lawan aku!" Para pengeroyoknya langsung menyerang Rangga. Pedang Inti Air berkelebat menangkis serangan mereka. Tenaga dalam sudah dikerahkan ke tangan Rangga, lalu pedangnya membuat gerakan memotong. "Traang traang traang!" "Klontrang klontraang!" Terdengar bunyi besi jatuh disusul bunyi teriakan kematian. "Aaaarrrrghh....aaarrgh....aaargh!" "Bruuuk...bruuuk...bruuuk!" Tubuh para p

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 83 Asap Beracun di Nagagini

    Dhesta tampak kecewa, hidangan itu lezat tapi dia tidak bisa memakannya karena beracun. Dia meihat ke sekelilingnya, para tamu sedang makan dengan lahapnya, namun tidak terlihat tanda-tanda keracunan. Dhesta akhirnya duduk memeluk lutut sambil bersandar di tembok mencoba meredakan rasa laparnya.Rangga mengalihkan pandangan ke arah lain. Terlihat Nyai Wijil sudah kembali lagi menghampiri laki-laki lain, lalu duduk dipangkuannya. Sedangkan pria brewok yang tadi bersamanya sudah tak tampak lagi."Melihat tamunya hanya melihat situasi di sekitarnya dan tidak segera menyantap hidangannya, seorang pelayan mendatangi Rangga dan Dhesta lalu bertanya"Ki Sanak, kok makanannya tidak segera dimakan? Apa makanan ini tidak enak? Jika tidak berkenan kami akan menggantinya dengan yang lain.""Ooh, tidak bukan itu. Kami hanya kecapekan dan mengantuk. Bagaimana jika makanan ini kami bawa ke kamar saja."Wajah pelayan itu tampak berubah, senyum ramahnya lenyap seketika. Namun sejurus kemudian wajahnya

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 82 Penginapan Nagagini

    "Gruuudug gruudug gruudug!"bunyi tanah terbelah.Para penonton bubar ketakutan, sedangkan teman-teman si Kumis yang menonton pertarungan itu tertegun. Pria genderuwo pemimpin gerombolan itu langsung berseru"Itu jurus 'Kapak Pembelah Bumi'! Tidak salah lagi, hanya Liman yang bisa melakukannya. Bocah itu anaknya Liman!"Sementara itu si Kumis kelabakan melihat bumi merekah di bawahnya. Sontak dia menghentikan serangannya, melompat menghindar ke tempat yang aman. Rekahan tanah berhenti, pria genderuwo maju ke hadapan Dhesta sambil menunjuk"Tidak salah lagi, kamulah anaknya Liman!"Pria genderuwo memberi tanda pada anak buahnya untuk maju ke hadapan Dhesta."Kalian kemarilah, beri hormat pada ketua Kapak Setan yang baru!"Para perampok itu serta merta langsung mendatangi Dhesta lalu menundukan kepala memberi hormat di hadapannya."Terimalah hormat kami Ketua!"Dhesta hanya bisa bengong melihat para perampok itu memberi hormat kepadanya. Beberapa menit yang lalu mereka berlaku kasar kep

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 81 Tantangan Dhesta

    Mata Si Kumis terbelalak melihat kapak yang dipegang Dhesta. Namun dia mencoba menguasai diri."Baiklah, kapak itu tampaknya memang benar Kapak Setan. Tapi pesan kapak besar seperti itu di pande besi pembuat pisau dapur juga bisa. Kalau kamu memang benar-benar anaknya Liman, tunjukan jurus-jurus Kapak Setan itu!"tantang si Kumis.Dhesta tak mengiyakan atau menolaknya, dia balik bertanya."Lalu bagaimana seandainya aku bisa membuktikannya?"Si Kumis tertegun, dia menoleh pada kakaknya minta persetujuannya. Lalu pria genderuwo itulah yang menjawabnya."Kalau kamu bisa menunjukan jurus-jurus khas kapak setan, kami akan patuh kepadamu dan mengangkatmu sebagai pengganti Liman pemimpin kami!"Dhesta terkejut, orang-orang itu tidak dikenalnya tapi malah akan mengangkatnya sebagai pemimpin gerombolan perampok."Hei...apa-apaan ini? Aku tidak sudi melakukan kejahatan seperti kalian. Bapakku melarangku mengikuti jejaknya sebagai perampok. Sekarang dia sudah insyaf, mengasingkan diri dari dunia

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status