Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya.
Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawakan Rangga. Rangga segera bangun, wajahnya tampak marah. Dia berjalan menghampiri Hasta lalu menegurnya "Aku tidak punya salah sama kalian, kenapa kalian mencari gara-gara denganku?!" Wajah Hasta berubah, selama ini belum pernah ada satu muridpun yang berani kepadanya. Tapi kali ini ada seorang murid baru yang dimatanya tampak klemar-klemer berani menantangnya. "Kamu berani sama aku? Baiklah, kita akan berkelahi, yang menang akan menjadi pemimpin para murid di sini, jika kalah dia harus bersedia menjadi pelayan kami dan memberi upeti lima kepeng setiap bulan," tantang Hasta. Mendidih darah Rangga mendengar ejekan Hasta. "Siapa takut? Ayo, majulah aku akan melawanmu!" tantang Rangga. "Kurang ajar kamu anak baru, baru saja datang sudah berani sama Kakak seperguruan!" Hasta langsung menerjang Rangga, tangannya bergerak memukul hidung Rangga. Rangga terkejut diserang tiba-tiba, tangannya berusaha menangkis, tapi dia justru kesakitan ketika tinju Hasta mengenai tangannya. Tangan Hasta bergerak lebih cepat meninju lagi wajah Rangga. "Buuk." Dahi Rangga terkena tinju Hasta, kepalanya mendadak pusing dan pandangannya berkunang-kunang. Samar-samar dia mendengar suara seseorang membentak Hasta dan terdengar perdebatan sengit yang sudah tidak jelas terdengar di telinganya, setelah itu dia pingsan. Ketika sadar, Rangga mendapati dirinya sudah terbaring di tikar. Di tikar sebelah kanannya nya duduk seorang pemuda yang usianya lebih tua darinya. Pemuda itu memandang Rangga dengan pandangan acuh tak acuh “Sudah tidurlah, siapkan tenagamu, besok kamu akan menghadapi cobaan yang lebih parah dari mereka.” “Apa seperti itu adat di sini kalau ada murid baru masuk? Apa mereka tidak takut jika Mpu Waringin tahu” Tanya Rangga. Pemuda itu hanya tersenyum getir “Mereka pandai menutupinya, jika ketahuan mereka akan memberikan seribu satu alasan seolah mereka yang teraniaya. Entah ilmu pelet atau pengasihan apa yang dimiliki Hasta sehingga Mpu Waringin bahkan begitu percaya kepadanya.” “Sudahlah Kangmas Gondo, kamu jangan membuatnya semakin takut di sini. Yang penting kalau kita bisa menghindari Hasta dan teman-temannya selamatlah kita,” sela salah seorang murid yang duduk di sebelah kiri Rangga. Hmmm…ternyata namanya Gondo, tampaknya dia tidak takut dengan Hasta, pikir Rangga. “Tak ada salahnya dia tahu Badra, aku bisa melihat tubuhnya lemah, sudah pasti dia bakal jadi sasaran empuk Hasta dan teman-temannya. Tapi meskipun badannya lemah, nyalinya nyali macan,” tukas Gondo. Tampaknya Gondo dan Badra ini orang baik, aku yakin tidak semua murid di sini seperti Hasta, pikir Rangga. Tiba-tiba Rangga merasa pusing dan kembali rubuh. “Ah, kepalaku pusing,” keluh Rangga. Gondo mengambil sesuatu dari buntelannya lalu memberikan pada Rangga, namun masih dengan sikap acuh tak acuh. “Ini minumlah, besok pagi kamu sudah sembuh.” Rangga menerimanya dengan ragu-ragu, “Obat apa ini?” Gondo menoleh menatap tajam mata Rangga. “Kenapa kamu masih nanya? Kamu pikir aku mau meracunimu? Kamu mau besok bangun dalam keadaan lemas tak berdaya lalu mereka akan bertindak lebih kejam lagi mengerjaimu?” Walaupun dia tampak galak, tapi sepertinya dia orang baik, batin Rangga. "Baiklah aku akan meminumnya,"Rangga merasa tak enak hati pada Gondo. Rangga teringat dia masih membawa bumbung bambu berisi air bekal perjalanannya. Dia segera menelan tablet dari Gondo, lalu merebahkan tubuhnya di tikar, mencoba memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, dirasakannya obat itu mulai bekerja, rasa pusingnya mulai berkurang dan rasa sakit di tubuhnya berangsur hilang. Rangga menghembuskan nafas lega mengetahui kondisi tubuhnya mulai membaik. “Kangmas Gondo terimakasih atas obatnya, sekarang aku sudah tidak sakit lagi,” ujar Rangga. Tidak ada jawaban dari Gondo, yang ada hanya suara dengkuran halus. Ketika dia menoleh, Gondo ternyata sudah tertidur pulas. Rangga menghela nafas lalu kembali memejamkan matanya. “Dia memang begitu, terlihat tidak peduli tapi sebenarnya baik,” Badra yang tidur di sebelahnya menimpali. “Apakah dia juga sering dijadikan bulan-bulanan kelompok Hasta?” Tanya Rangga. “Dia murid satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sepertinya Hasta juga sungkan kepadanya. Yang jelas selama aku di sini aku belum pernah meihat Hasta menghajar Kangmas Gondo,” jelas Badra. "Oh, pantas, jika dia satu angkatan dengan Kangmas Jalu, sudah pasti Hasta sungkan kepadanya,' ujar Rangga. Malam itu Rangga tidak bisa tidur dengan nyenyak, perubahan situasi dan perlakuan yang dialaminya membuatnya takut untuk segera tidur. Dia kuatir jika sewaktu-waktu Hasta dan teman-temannya kembali mengerjainya saat masih tidur. ***** Byuuur." Rangga gelagepan, wajah, rambut, selimut dan bajunya basah kuyup. Seseorang telah menyiram wajahnya dengan air. Sebagian air telah masuk ke hidung dan mulutnya membuatnya terbatuk batuk dan hidungnya terasa perih. “Hei, ini bukan di rumahmu, molor terus seperti juragan. Bangun dan segera ke lapangan latihan silat!” Rangga menoleh, terlihat Jalu memegang siwur (gayung dari batok kelapa) yang masih meneteskan air. Sinar Matahari sudah menerobos masuk dari jendela kamar, sadarlah Rangga dia sudah bangun kesiangan. “Maaf Kangmas Jalu, saya ketiduran terlalu lama. Tapi saya mau sarapan dulu, apakah sarapannya sudah siap?” Tanya Rangga. “Sarapan? Kamu itu sudah terlambat sarapan, tidak ada sarapan buat kamu. Lekas bangun dan pergilah ke halaman!” perintah Jalu dengan gusar. Rangga tertegun, baru disadarinya, setelah semalaman tidak tidur akhirnya dia bangun kesiangan. Perutnya mulai terasa lapar tapi dia tidak bisa sarapan karena waktu sarapan sudah terlewat. Dengan langkah gontai Rangga berjalan menuju halaman. Setelah Rangga pergi Jalu bergumam sendiri “Dasar anak manja klemar-klemer, harusnya dia tidak belajar di sini bikin repot saja anak itu.” Rangga telah tiba di halaman, beberapa murid terutama dari geng Hasta mulai menyoraki dan mengejeknya. “Wheeei…juragannya baru bangun!” seru Hasta ketika melihat Rangga memasuki halaman tempat berlatih. Hasta dan teman-temannya bertepuk tangan sambil menyoraki Rangga. Semua mata tertuju pada dirinya, Rangga hanya bisa berjalan dengan kepala tertunduk menahan rasa malu. Suara teriakan gerombolan Hasta terhenti ketika melihat Jalu datang. “Semua bersiap, latihan akan segera dimulai!” Seru Jalu. Para murid segera menyusun barisan. Rangga menelusuri wajah para murid namun dia tidak melihat keberadaan Gondo. “Dimana Kangmas Gondo? Kenapa dia tidak ikut berlatih?” Tanya Rangga pada Badra. “Gondo adalah murid yang belajar ilmu pengobatan, jadi dia tidak ikut di sini,” jawab Badra. “Sebenarnya aku sudah mengatakan pada Mpu Waringin bahwa aku lebih tertarik dengan ilmu pengobatan mengingat kekuatan tubuhku tidak mendukung. Tapi kenapa mereka tetap memintaku berlatih silat,” keluh Rangga. “Semua murid baru tetap harus menguasai dasar-dasar jurus-jurus silat khas Padepokan Sekar Jagad. Setelah tiga tahun belajar atau jika dia memang tidak berbakat menjadi pesilat, baru boleh memilih ilmu pengobatan,” jelas Badra. "Oh ya, kenapa tadi kalian tidak membangunkanku supaya tidak kesiangan?" tanya Rangga, "Kami sudah berusaha membangunkanmu, tapi kamu nggak bangun-bangun. Mungkin kamu terlalu sakit karena pukulan Hasta dan efek obat yang kamu makan semalam,' ungkap Badra. Tak lama kemudian Mpu Waringin datang, dia memberikan beberapa instruksi kemudian mulai meperagakan jurus-jurus silat. Setelah itu semua murid bergerak mempraktekan jurus-jurus silat tadi. Jalu dan beberapa murid senior lainnya berkeliling mengawasi gerakan-gerakan para murid dengan sebatang rotan di tangan. Saat semua bergerak mengikuti instruksi pelatih, Jalu mengawasi gerakan para murid di tiap barisan dengan seksama. Saat melewati Rangga, tiba-tiba tangan Jalu bergerak memukul kaki Rangga membuat Rangga kesakitan. “Hei, kenapa Kangmas memukul saya?” protes Rangga “Kuda-kudamu kurang lebar dan posisi tubuhmu kurang turun. Dengan sikap tubuh sepertimu, kuda-kudamu kurang kuat dan lawan akan dengan mudah menjatuhkanmu,” ujar Jalu. Usai berlatih di halaman selama dua jam, Jalu memerintahkan murid-murid baru memisahkan diri. Hari itu adalah saatnya latihan kekuatan fisik, “Rangga, cepatlah kemari, kami sudah menunggumu lama!” seru Jalu. Rangga duduk bergabung bersama teman-temannya, mendengarkan instruksi Jalu. “Sekarang waktunya latihan ketahanan fisik! Kalian harus mengambil air dari sungai di belakang lalu diisikan ke bak penampungan air. Saat berlari tidak boleh ada air yang tumpah. Sudah jelas perintahnya?" "Sudah jelas!"jawab para murid serempak. Jalu tersenyum puas "Kalau sudah jelas, sekarang segera ambil ember dan pikulan lalu kerjakan!” Para murid segera bergerak mengambil ember kayu dan pikulan, kemudian berlari ke sungai. Rangga melihat, jarak antara permukaan tanah dengan sungai agak jauh. Dia harus menuruni undakan batu agar dapat mengambil airnya. Saat membawa ember yang sarat dengan air menuju tepian sungai, airnya sudah tumpah sebagian. Ketika membawa air sambil berlari, hanya sedikit air yang dapat dia bawa sampai bak penampungan. Setelah tiga kali bolak balik membawa air, tiba-tiba pandangan mata Rangga berkunang-kunang, kepalanya pusing dan perutnya terasa melilit sakit. Rangga baru ingat, dia belum sarapan, setelah itu tubuhnya ambruk ke tanah.Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin