Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya.
Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun namun sedetik kemudian dia terkekeh. "He he he he tentu saja aku orang. Lihat kakiku masih menapak tanah." Suara tawanya terdengar menyeramkan di telinga Rangga seperti suara kuntilanak. Nenek itu meletakan nampan di meja batu di dekat Rangga lalu duduk di tepi tempat tidur batu. "Aku memang lebih mirip hantu daripada orang. Tak heran orang-orang memanggilku dengan panggilan Wanita Iblis Gunung. Tapi jangan kuatir, aku tidak akan mencabut nyawamu heh heh heh." "Terimakasih Mbah, sudah menyelamatkan saya." Usai berbicara dada Rangga terasa sesak. "Uhuuk...uhuuk." Darah kental berwarna merah kehitaman keluar dari mulutnya. Nenek itu mengambil kain lalu mengelap darah yang tersisa di mulutnya. "Heeh keterlaluan sekali, mereka memukulimu sampai luka dalam parah. Ada pendarahan di paru-paru dan limpamu. Untung badanmu kuat menahannya, tapi kamu sudah lima hari tidak sadar. Rangga terkejut menyadari dirinya ternyata sudah tidak sadarkan diri selama lima hari. "Jadi saya pingsan selama lima hari?" Si Nenek mengangguk "Iya, tapi sudahlah tenangkan saja dirimu. Yang penting sekarang kamu selamat. Siapa namamu dan darimana asalmu Ngger?" "Saya Rangga, murid Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin. Lalu siapa nama Nenek." Tiba-tiba wajah nenek tampak tidak suka mendengar nama Mpu Waringin. "Kamu bisa memanggilku Mbah Janti. Ternyata kamu murid Kancil Tua licik itu ya." Rangga tak menyangka tanggapan Mbah Janti yang tampak tidak suka mendengar nama gurunya disebut. "Tapi saya baru dua hari di tempat itu, setelah itu mereka mengusir saya karena saya dituduh membantu Kangmas Gondo, Kakak seperguruan saya membunuh Mpu Waringin." "Hah, Kancil Tua itu sudah mati rupanya?" Mbah Janti menghela nafas lalu berkata lagi "Yaah dia memang pantas mati tapi mengapa muridnya membunuh gurunya sendiri?"tanya si Nenek. "Mungkin mereka mengincar kitab Sang Hyang Agni milik Mpu Waringin,"jawab Rangga. "Apa...kitab itu dicuri muridnya sendiri? Huuh benar-benar keterlaluan mereka. Tapi walaupun kitab itu sudah mereka kuasai, belum tentu mereka bisa mempelajari isi kitab itu,"Mbah Janti berbicara dengan nada mengejek. Rangga yang tadinya masa bodoh dengan Kitab Sang Hyang Agni mendadak tertarik setelah mendengar penjelasan Mbah Janti. "Apa isi kitab itu? Sepertinya Simbah mengetahui segala hal tentang kitab itu." Mbah Janti mulai bercerita "Kitab itu sudah ada dimasa Kerajaan Medang dan menjadi incaran para pendekar di Jawa. Awalnya para Resi di kuil Sywagrha yang menyimpannya. Setelah itu entah bagaimana kitab itu bisa berpindah tangan ke orang lain." "Jadi kitab itu sempat lama menghilang?" tanya Rangga. "Ya, setelah keruntuhan Kerajaan Medang, kitab itu tidak terdengar lagi kabarnya. Sempat muncul kembali di masa kerajaan Kadiri saat Gusti Prabu Jayabaya memerintah, setelah itu menghilang lagi. Mbah Janti mengambil bahan herbal dari guci-guci kecil, mencampurnya di cawan. Sambil bekerja Mbah Janti melanjutkan ceritanya. "Tapi duapuluh tahun yang lalu, setelah lama menghilang, kabar tentang kitab ini muncul kembali. Para pendekar mulai mencari keberadaannya dan memperebutkan kitab itu,"ungkap Mbah Janti. "Lalu siapa yang memegang kitab Sang Hyang Agni saat itu? Seharusnya kitab itu dikembalikan ke pemiliknya para Resi di kuil Sywagrha,"ujar Rangga. Mbah Janti tak menjawab dia memeriksa luka lebam di tubuh Rangga, lalu mengolesinya dengan ramuan dari sebuah guci kecil dengan hati-hati. Rangga meringis kesakitan ketika tangan Mbah Janti menyentuh luka lebam hitam di sekitar perutnya. "Yang di sini sakitkah?"tangan Mbah Janti menyentuh bagian ulu hati. "Aaarrgh!" Rangga menjerit kesakitan. "Masih sakit ya?"Mbah Janti menatap Rangga dengan pandangan iba. Rangga mengangguk sambil meringis menahan sakit. "Iya Mbah, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum." Nenek menghela nafas lalu melanjutkan cerita tentang Kitab Sang Hyang Agni untuk mengalihkan perhatian Rangga dari rasa sakitnya. "Duapuluh tahun yang lalu terjadi pertarungan antar pendekar di Lembah Hantu ini memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni." "Tapi bagaimana para pendekar bisa tahu soal kitab ini? Bukankah kitab itu sudah lama menghilang?"tanya Rangga. Baginya cerita ini menarik sehingga dia sejenak bisa melupakan rasa sakit di tubuhnya. Mbah Janti melanjutkan ceritanya. "Kitab itu terakhir dikuasai oleh sekte Bhairawa pemuja Durga. Pemimpin sekte itu adalah Dewi Sekar. Dengan ilmu hitamnya, Sekar berhasil mengalahkan para pendekar yang memperebutkan kitab itu. Kamu tahu siapa Dewi Sekar?" "Dewi Sekar? Tentu saja saya tidak mengenalnya,"jawab Rangga dengan raut wajah bingung. "Huh keterlaluan kamu, itu kan isteri Mpu Waringin gurumu. Tapi dasar Waringin laki-laki licik, dia merayu Dewi Sekar agar bisa menguasai kitab itu dan sialnya Dewi Sekar mau saja diperdaya. Dasar perempuan bodoh,maki Mbah Janti. Rangga kebingungan, di matanya sepertinya Mpu Waringin adalah seorang pendekar yang baik dari golongan putih. Tapi Mbah Janti sama sekali tak menganggap Mpu Waringin adalah orang yang layak dihormati. "Pertarungan perebutan kitab Sang Hyang Agni itu benar-benar mengerikan. Tak peduli pendekar golongan hitam atau putih semua sama-sama berebut saling bunuh." "Lalu bagaimana Dewi Sekar bisa mengalahkan para pendekar itu?"tanya Rangga. "Saat malam tiba, Sekar menggunakan ilmu hitamnya membunuhi semua pendekar yang berkumpul di Lembah Hantu. Dia berhasil mempengaruhi pikiran para pendekar itu sehingga mereka kesurupan dan melakukan bunuh diri massal." Bergidik Rangga mendengar cerita Mbah Janti. Membayangkan satu orang bunuh diri saja sudah seram apalagi jika yang bunuh diri banyak orang di saat yang sama secara serentak. "Bagaimana Mbah Janti bisa tahu sejarah Kitab Sang Hyang Agni dari awal sampai akhir?" Mbah Janti menatap tajam mata Rangga membuat Rangga sedikit takut. Sedetik kemudian nenek aneh itu terkekeh "Heh heh heh heh rupanya kamu tertarik dengan dongeng ini ya?" Rangga tersenyum malu dan kembali menatap wajah Mbah Janti berharap dia kembali melanjutkan ceritanya. "Nanti kalau kamu sudah sembuh aku tunjukan sesuatu. Apa yang ingin kamu ketahui tentang sejarah kitab itu ada di suatu tempat." "Saat terjadi pertarungan duapuluh tahun yang lalu apakah Mbah Janti berada di sini?" Mbah Janti tertegun sejenak, dia menghentikan kegiatannya tapi tak menjawab pertanyaan Rangga. Setelah itu dia kembali menuangkan air panas ke cawan dan mengaduknya. "Mbah...." Rangga masih ingin bertanya lagi namun Mbah Janti keburu menukasnya. " Ah sudahlah tidak usah dibahas lagi, sekarang minum jamu dulu, biar kamu lekas sembuh." Mbah Janti menyorongkan cawan ke bibir Rangga. Pemuda itu menatap Mbah Janti dengan pandangan ragu. Mbah Janti tampaknya memahami pikiran Rangga. "Jangan takut, ini bukan racun." Rangga akhirnya meminum isi cawan sampai habis. Dia merasakan ramuan herbal itu sangat pahit. Setelah cawan pertama habis, nenek memberikan cawan kedua "Sekarang minum ini supaya lukamu tidak bernanah di dalam." Rangga mengambil cawan kedua dan segera meminumnya. Ternyata ramuan di cawan kedua ini manis rasanya.. Setelah meminum 2 ramuan itu, Rangga mulai merasakan tubuhnya sudah mulai sedikit ringan. "Madu ini enak sekali," Rangga berkomentar. "Tentu saja madu ini berasal dari aneka bunga yang berkhasiat mencegah kuman berkembang biak di lukamu. Ada sari bunga Sambung Jiwa, Wijaya Kusuma, Mawar Hutan, Cendana dan banyak lagi. Madu ini ku ambil sendiri dari hutan." Mbah Janti membereskan obat-obatan dan menatanya kembali di atas nampan. "Kamu mau makan Ngger?"Mbah Janti menawarkan makanan. Rangga tersadar,perutnya sudah lapar setelah lima hari tidak terisi makanan. "Ya Mbah, saya lapar." "Ya sudah, aku ambil makanan dulu ya,"Mbah Janti berlalu keluar kamar. Rangga sebenarnya masih ingin bertanya lagi, tapi Mbah Janti sepertinya sibuk dengan kegiatannya sehingga Rangga tidak jadi bertanya. ***** Sementara itu di Padepokan Sekar Jagad, para murid sedang mempersiapkan upacara pengangkatan Jalu sebagai Ketua Perguruan Sekar Jagad. Di Ruang tengah kediaman Mpu Waringin Jalu mengeluarkan kitab Sang Hyang Agni dan mulai membuka lembarannya. Kitab Sang Hyang Agni terbuat dari lembaran kulit kerbau yang ditulis dengan tinta hitam. Saat melihat isinya, Jalu mengerutkan keningnya. Huruf-huruf yang tertulis di dalamnya bukanlah tulisan huruf Jawa Kuno yang dikenalnya melainkan tulisan aneh yang dia tidak tahu darimana asalnya. Dia melanjutkan membuka kitab itu ternyata ada kerusakan di lembar halaman paling belakang seolah ada orang yang sudah menyobeknya. Jalu baru sadar, ternyata kitab itu sudah tidak lengkap lagi halamannya. "Bangsat, ternyata aku cuma dapat separo dan hurufnyapun asing bagiku. Aku harus mencari orang yang bisa menerjemahkan tulisan ini,"gumamnya.Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu