Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya.
Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatasnya terdapat nyiru yang digunakan untuk menjemur daun-daun bahan jamu. Gudang bahan jamu perlahan mulai terbakar. Gembong terkejut ketika menyadari api dari lampu sentir telah membakar beberapa daun kering. Api juga mulai menyambar daun Kayu Putih kering yang teronggok di sudut gudang. Daun Kayu Putih langsung terbakar menyambar akar kering yang teronggok di sebelahnya. "Celaka gudang obat terbakar!" Dia bergegas mencari Hasta yang sedang berbaring di ranjangnya. "Kangmas Hasta...cepat pergi! Gudang obat terbakar!" Hasta terkejut dan spontan membentak Gembong "Bodoh, aku tidak pernah menyuruhmu membakar gudang obat kenapa gudangnya bisa terbakar?!" Gembong seketika salah tingkah, dia malu mengakui dirinya yang phobia terhadap tikus. Maka diapun berusaha mencari alasan. "Eeehm...maksudku tadi seekor kucing menabrakku. Aku terkejut dan tanpa sengaja lampu sentir yang kubawa jatuh." "Ah, kamu itu sudah mengacaukan rencanaku. Kita ke pondok Mpu Waringin mengambil kitab Sang Hyang Agni." "Tapi bagaimana dengan ruang obat itu?"tanya Gembong. "Sudah biar murid-murid lain yang memadamkannya!"tukas Hasta. Gembong keluar kamar sambil memapah Hasta, sementara api dari tempat penyimpanan bahan obat sudah merembet ke kamar tempat Hasta dirawat. Tanpa diketahui Hasta dan Gembong, di ruang obat Badra terjebak dalam kobaran api. Ternyata Badra bersembunyi di belakang lemari. Lampu sentir yang dibawa Gembong jatuh di depan lemari tempat Badra bersembunyi. Badra tak berani keluar dari tempat persembunyiannya, dia menunggu Hasta dan Gembong keluar dari ruangan. Namun hal itu justru membuatnya berada dalam bahaya. Api mulai membesar, setelah yakin Hasta dan Gembong pergi, Badhra segera keluar ruangan. Saat mencoba keluar, api yang semula besarannya tidak seberapa menyambar guci tempat menyimpan alkohol. Api mendadak membesar membumbung tinggi. "Wwuuush!" Badra berusaha melompati api yang mulai membesar. Tapi naas bagi Badra, api yang membumbung tinggi menyambar kayu penyangga genteng . "Kraaaak...bruuuk!" Kayu yang menyala-nyala menimpa Badra. "Aaarrrgh!" Badra kesakitan ketika api menyambar kulit wajah dan sebagian tubuhnya. Akhirnya dengan susah payah Badra bisa mencapai pintu keluar lalu lari keluar. "Kebakaran...kebakaran...kebakaran!"seru Badra. Dia berlari ke sumur, menimba air,lalu memasukannya ke ember yang biasa dipakai untuk latihan dan memikulnya ke ruang obat. Tanpa takut Badra mendekati ruangan dan mulai memadamkan api. Mendengar teriakan Badra, para murid padepokan berdatangan menuju ruang obat. Mereka membawa ember-ember berisi air untuk memadamkan api yang berkobar. Beruntung api tidak sempat merambat ke ruangan lain. Akhirnya apipun dapat segera dipadamkan. Badra menghela nafas lega, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas, Badra jatuh pingsan. "Badra...Badra!"para murid berteriak berusaha menyadarkan Badra. "Lihat wajahnya terkena luka bakar yang parah!" Setelah api padam orang-orang baru menyadari bahwa Badra mengalami luka bakar di wajah dan beberapa bagian tubuhnya yang cukup parah. Orang-orang di padepokan menganggap Badra sebagai pahlawan. Tapi tidak bagi Hasta dan Gembong. Di malam hari Hasta dan Gembong mulai membicarakan kejadian tadi siang. "Badra orang pertama yang mengetahui kebakaran itu. Tubuhnya terkena luka bakar yang lumayan parah. Aku curiga dia bersembunyi di ruang obat menguping pembicaraan kita. Ketika kamu menjatuhkan lampu sentir, Badra terperangkap di dalamnya,"Hasta membuka pembicaraan. "Aku juga menduga begitu, berarti dia tahu semua rahasia kita. Kangmas Hasta, kita terpaksa membunuhnya agar dia tidak membocorkan rahasia kita." "Dimana dia sekarang?"tanya Hasta "Karena ruang obat terbakar, dia dirawat di pondok Paman Mudra." Hasta mendengus kesal "Berarti dia dibawah pengawasan Paman Mudra. Bisa jadi saat ini Paman Mudra juga mengetahui rahasia kita." "Kalau begitu kita harus membunuh mereka berdua malam ini juga,"ujar Hasta. Tanpa membuang waktu, lewat tengah malam mereka mendatangi pondok Paman Mudra. Namun mereka hanya mendapati pondok yang gelap dan kosong. Paman Mudra dan Badra sudah pergi meninggalkan padepokan. "Kurang ajar mereka berdua kabur!"Hasta menghentakan kakinya dengan kesal. "Sudahlah Kangmas Hasta, mereka tidak terlalu penting bagi kita." "Tidak penting bagaimana? Mereka berdua mengetahui rahasia kita,"tukas Hasta dengan panik. "Jangan kuatir Kangmas, jika Badra berceritapun tidak ada yang percaya. Sebaiknya kita pergi dari sini secepatnya. Lalu kita beri para sesepuh padepokan Sekar Jagad sejumlah uang dengan alasan sumbangan perbaikan ruang obat. Dengan demikian mereka tidak akan mencurigaimu,"usul Gembong. Hasta tampak berpikir, sejurus kemudian dia tertawa "Ha ha ha ha bagus bagus. Ternyata kalau untuk urusan tipu-tipu kamu jagoannya. Besok kita segera pergi dari sini. Aku sudah tidak sabar lagi mempelajari kitab Sang Hyang Agni." Gembong tampak gembira dipuji Hasta yqng memang jarang memuji orang. ***** Sementara itu di Lembah Hantu kondisi Rangga sudah mulai membaik. Luka dalamnya sudah mulai sembuh. Pagi itu dia duduk menemani Mbah Janti di dapur memasak. Sambil menyiangi sayuran Mbah Janti bertanya "Ngger, jurus apa saja yang sudah diajarkan Kancil Tua itu?" Rangga tampak kebingungan "Saya baru dua hari di situ jadi saya belum belajar banyak. Saya tidak berbakat belajar silat Mbah. Tubuh saya terlalu lemah, kecapekan sedikit pingsan. Sebenarnya saya lebih suka belajar ilmu pengobatan." "Ah, laki-laki macam apa kamu ini. Posturmu bagus sayang kalau tidak digunakan belajar silat. Besok aku mau mengajarimu beberapa jurus biar kamu tidak dijahili orang-orang jahat." Rangga tak enak hati menolak karena Mbah Janti tampak bersemangat ingin mengajarinya silat. Tiba-tiba Rangga teringat sesuatu. "Mbah, saya ingin tahu lebih banyak tentang rahasia kitab Sang Hyang Agni. Saat saya masih sakit Simbah pernah bilang mau menunjukan rahasia kitab itu." Mbah Janti tertegun mendengar permintaan Rangga. "Kamu masih ingin tahu?" Rangga mengangguk menatap Mbah Janti penuh harap. "Nanti malam ikut aku, akan kuperlihatkan sesuatu." ***** Malam sudah semakin larut, Mbah Janti mengajak Rangga keluar rumah. "Mbah, mau kemana kita?"tanya Rangga. "Bulan Desta di hari Anggoro Kasih, pernah terjadi pertarungan antar pendekar memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Pertarungan itu terulang lagi di sini duapuluh tahun yang lalu. Ah, tempat ini memang tempat yang terkutuk,"gerutu Mbah Janti. Saat itu mereka sudah tiba di lorong bambu Ori menuju komplek kuburan. Rangga mulai diserang rasa takut. "Mbah ini kan komplek kuburan, masa kita mau kesini malam-malam? Serem Mbah." Mbah Janti tidak menjawab, dia terus berjalan melewati gundukan tanah dan batu penanda kuburan menuju sebuah bukit kecil di dekat makam. Ada tempat duduk dari batu besar di situ. "Rangga, kamu duduk di sini!"perintah Mbah Janti. Rangga duduk di atas batu dengan ragu-ragu. "Mbah, kita ini mau ngapain?" Mbah Janti tak menjawab, dia hanya berkata "Sekarang pejamkan matamu, jangan membuka mata kalau aku belum menyuruhmu!" Rangga menutup mata, kemudian terdengar Mbah Janti membaca mantera lalu mengusapkan tangannya ke mata Rangga. Sekarang buka matamu!" Samar-samar Rangga mendengar suara teriakan pertarungan dan denting senjata. Rangga segera membuka matanya dan seketika itu juga dia terkejut sehingga hampir jatuh terguling dari batu. "Mbah...apa itu?!"Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
"Jadi Dewi Sekar sebenarnya masih hidup tetapi hanya berubah wujud? Tapi bukankah beliau sudah insyaf dan tidak lagi menganut aliran Bhairawa setelah menikah dengan Mpu Waringin?" Rangga serasa tak percaya, isteri Mpu Waringin menjadi budak iblis yang bisa menjelma sebagai siluman ikan. "Benar, memang dia sudah insyaf. Tapi sebelum dia mengenal Waringin, dia telah menggadaikan hidupnya pada Wastya, Raja Siluman Ikan yang menghuni sungai itu. Wastya menjanjikan kecantikan dan kehidupan abadi asal Sekar bersedia menjadi isterinya,"ungkap Mbah Janti. Mbah Janti menyorongkan cawannya yang sudah kosong pada Rangga "Ngger, tolong tuangkan wedhang jahenya." Rangga meraih poci lalu menuangkan wedhang jahe untuk Mbah Janti dan dirinya. Setelah menyeruput minumannya, Rangga bertanya, "Jadi Dewi Sekar akhirnya menikah dengan Wastya? Tapi bagaimana mungkin demit menikahi manusia? Bukankah Sang Hyang Widi melarang pernikahan antara manusia dengan demit?" Rangga hampir tak percaya ada man
"Ngger, apa yang kamu lakukan di sungai tadi sampai Sekar dan Wastya harus turun tangan sendiri membereskan semuanya?"tanya Mbah Janti. Rangga berusaha mengingat semua peristiwa yang dialaminya saat berendam di sungai. Rangga mencoba mengingat kembali apa saja yang dia lakukan saat itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Mbah, tadi waktu berendam di sungai aku...aku pipis," ucap Rangga lirih. "Haaah...kamu pipis di tengah sungai?" "Iya Mbah, aku pipis di tengah sungai," Rangga menundukan kepalanya. Dia merasa malu pada Mbah Janti. Mbah Janti menepuk jidatnya, "Astaga, kamu seharusnya tidak boleh pipis di tengah sungai krena di situlah kerajaan gaib Wastya berada. Aku lupa memberitahumu tadi, maafkan aku Ngger." Hadeeh Mbah...Mbah, Simbah yang lupa kasih tahu aku jadi kena masalah,pikir Rangga dengan hati kesal. "Lain kali kalau kebelet pipis, kamu pipis di tepi sungai, jangan di tengah. Ya sudah nggak apa-apa, besok akan kutemui Sekar untuk minta maaf dan membawakan se
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
"Ngger, apa yang kamu lakukan di sungai tadi sampai Sekar dan Wastya harus turun tangan sendiri membereskan semuanya?"tanya Mbah Janti. Rangga berusaha mengingat semua peristiwa yang dialaminya saat berendam di sungai. Rangga mencoba mengingat kembali apa saja yang dia lakukan saat itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Mbah, tadi waktu berendam di sungai aku...aku pipis," ucap Rangga lirih. "Haaah...kamu pipis di tengah sungai?" "Iya Mbah, aku pipis di tengah sungai," Rangga menundukan kepalanya. Dia merasa malu pada Mbah Janti. Mbah Janti menepuk jidatnya, "Astaga, kamu seharusnya tidak boleh pipis di tengah sungai krena di situlah kerajaan gaib Wastya berada. Aku lupa memberitahumu tadi, maafkan aku Ngger." Hadeeh Mbah...Mbah, Simbah yang lupa kasih tahu aku jadi kena masalah,pikir Rangga dengan hati kesal. "Lain kali kalau kebelet pipis, kamu pipis di tepi sungai, jangan di tengah. Ya sudah nggak apa-apa, besok akan kutemui Sekar untuk minta maaf dan membawakan se
"Jadi Dewi Sekar sebenarnya masih hidup tetapi hanya berubah wujud? Tapi bukankah beliau sudah insyaf dan tidak lagi menganut aliran Bhairawa setelah menikah dengan Mpu Waringin?" Rangga serasa tak percaya, isteri Mpu Waringin menjadi budak iblis yang bisa menjelma sebagai siluman ikan. "Benar, memang dia sudah insyaf. Tapi sebelum dia mengenal Waringin, dia telah menggadaikan hidupnya pada Wastya, Raja Siluman Ikan yang menghuni sungai itu. Wastya menjanjikan kecantikan dan kehidupan abadi asal Sekar bersedia menjadi isterinya,"ungkap Mbah Janti. Mbah Janti menyorongkan cawannya yang sudah kosong pada Rangga "Ngger, tolong tuangkan wedhang jahenya." Rangga meraih poci lalu menuangkan wedhang jahe untuk Mbah Janti dan dirinya. Setelah menyeruput minumannya, Rangga bertanya, "Jadi Dewi Sekar akhirnya menikah dengan Wastya? Tapi bagaimana mungkin demit menikahi manusia? Bukankah Sang Hyang Widi melarang pernikahan antara manusia dengan demit?" Rangga hampir tak percaya ada man
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin