Mbah Janti kembali masuk kamar membawakan makanan dan secawan ramuan herbal yang mengepul panas. "Minumlah ramuan ini supaya perutmu tetap hangat. Ini akan menjaga agar energi Kundalini tidak bergerak liar dan membuatmu sakit." Rangga segera meminum ramuan herbalnya setelah itu perutnya terasa hangat dan tubuhnya terasa lebih baik. "Mbah, kepalaku sudah tidak pusing lagi dan punggungku sudah mulai mendingin." "Rangga, jika kamu kepanasan lagi, bersandarlah di batang pohon atau berbaring di tanah. Itu akan menetralkan panas akibat energi Kundalini." "Jadi tanah dan kayu dapat menetralkan energi Kundalini?"tanya Rangga. "Ya, itu cara yang termudah, dan jangan lupa jaga supaya perutmu tetap hangat." ****** Semenjak berita tentang keberadaan Kitab Sang Hyang Agni tersebar si dunia persilatan, para pendekar berbondong-bondong menuju Lembah Hantu. Hari itu ada sekitar 50 orang pendekar dari berbagai tempat datang ke Lembah Hantu. Siang hari, rombongan pendekar sudah tiba di tep
Para pendekar telah tiba di seberang sungai, tapi mereka hanya menemukan komplek makam tua dan hutan bambu Ori yang rapat di sekeliling mereka. Barisan bambu Ori itu bagaikan dinding berduri berlapis-lapis yang sulit ditembus. "Bagaimana kita bisa menembus dinding bambu ini?"tanya salah satu pendekar. "Ah, itu sih gampang, kita gunakan pedang dan parang untuk membabatnya,"ujar pendekar gempal. "Tapi kita sebaiknya istirahat dulu sebentar setelah itu kita tebangi bambu-bambu ini!"ujar pendekar yang lain. Rombongan pendekar itu mulai mencari tempat yang teduh untuk beristirahat lalu mereka mulai menyantap bekal masing-masing. Setelah istirahatnya dirasa cukup, para pendekar itu mulai mengeluarkan parang dan membabati bambu Ori. Namun bambu Ori itu begitu sulit ditebas. Batangnya lentur dan liat belum lagi duri-durinya yang melukai tangan, kaki dan tubuh para pendekar itu. "Ahh...sial tanganku kena durinya!"seru salah satu pendekar. Pendekar gempal tampak gusar melihat tem
Kabut semakin tebal, sosok para pendekar yang memasuki area perkampungan kini sudah tak tampak lagi karena tertutup kabut tebal. Saat matahari semakin tinggi, kabut sudah mulai menipis, perkampungan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah hutan lebat yang gelap. Keesokan harinya saat subuh tiba, Rangga sudah bangun dan langsung pergi ke komplek kuburan. Tanaman bambu yang tadinya membentuk dinding rapat, kini sudah kembali jadi lorong bambu. Rangga mencari-cari para pendekar yang kemarin datang, tapi para pendekar itu sudah tidak ada lagi di tempat. Yang tersisa hanyalah jasad para pendekar yang meninggal karena racun duri bambu. Kemana rombongan para pendekar yang kemarin? Seharusnya mereka baru bisa pulang pagi ini karena kemarin kabutnya tebal. Lalu jasad-jasad ini , kenapa mereka tidak memakamkannya sekalian. Benar-benar keterlaluan, pikir Rangga. Rangga mengambil cangkul lalu mulai menggali lubang untuk kuburan massal. Saat sedang sibuk mencangkul, Rangga mendengar
Sontak semua orang yang ada di situ terkejut. "Sabar, jangan asal menuduh orang. Kita harus cari buktinya,"salah satu tetua menyarankan. Benowo tersenyum lalu berkata "Aku punya ide, kalian mendekatlah." **** Pagi itu Benowo dan beberapa murid padepokan mulai melakukan pencarian sobekan Kitab Sang Hyang Agni di pondok Mpu Waringin. Beberapa murid membawa sapu, ember dan sapu lidi untuk membersihkan pondok Mpu Warigin yang sudah lama ditinggalkan pemiiknya. Dari kejauhan Hasta, Gembong dan Tunggul duduk di bawah pohon beringin, mengawasi diam-diam kegiatan yang berlangsung di pondok Mpu Waringin. "Apa kangmas Hasta yakin mereka akan menemukan bagian kitab yang lain di situ?"tanya Gembong. "Kitab itu disimpan di padepokan ini. Pasti hilangnya juga di sini, memangnya mau dimana lagi?"ujar Hasta. "Kalau kitab itu ketemu apa Kangmas akan mencurinya?" Hasta tersenyum licik dan berkata "Tentu saja seperti yang dilakukan Jalu dulu. Jika perlu aku akan membunuh Benowo dan
Benowo memeriksa keadaan para murid dan tetua. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan hari itu.Namun Hasta yang marah karena sempat tertipu oleh Benowo menyimpan dendam kesumat terhadap Benowo dan orang-orang di Padepokan Sekar Jagad. Setibanya di Kasatriyan Araraman, Hasta langsung menghadap Ra Kembar pemimpin Kesatuan Araraman yang juga pamannya sendiri. "Rahayu Paman Kembar!"Hasta memberi salam. Ra Kembar yang sedang mengawasi anak buahnya berlatih perang menoleh. "Hasta kenapa kamu sudah pulang? Bukankah kamu masih harus memata-matai orang-orang Sadeng itu?"tanya Ra Kembar. "Saya telah mengamati orang-orang Sadeng itu Paman. Dan saya mendapatkan sebuah bukti bahwa Padepokan Sekar Jagad ikut terlibat. Mereka ternyata melatih rakyat Sadeng menjadi prajurit sebagai upaya persiapan menghadapi Majapahit. Sadeng adalah kerajaan bawahan yang tidak memiliki pasukan sebanyak kita. Sehingga mereka melatih dan mempersenjatai rakyat secara diam-diam untuk menambah jumlah pas
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
Mbah Janti menarik tangan Rangga melompat ke jurang setelah itu tubuh Rangga meluncur cepat ke dasar jurang. Ada sebuah dahan semak tumbuh di dinding jurang, kaki Mbah Janti menutul dahan kecil itu sehingga laju tubuh mereka sedikit terhambat., lalu mereka kembali meluncur ke bawah jurang. Di bawah mereka tumbuh pohon Cempaka, kaki Rangga dan Mbah Janti sudah menyentuh pucuk pohon cempaka. "Sraaak...buk!" Rangga jatuh ke tanah sementara Mbah Janti mendarat dengan mulus di tanah. Ternyata mereka mendarat si sebuah hutan, tak ada rumah penduduk atau manusia yang ada di situ. Suasana di tempat itu sangat gelap, mbah Janti mengambil sebatang ranting dahan pohon lalu membakar ujungnya. Ujung ranting terbakar menerangi lingkungan di sekitar mereka. "Kita menginap di sini, besok kita cari petirtaan itu." ***** Para prajurit Majapahit di atas jurang terbengong-bengong melihat Rangga dan Mbah Janti melompat ke jurang. Hasta berseru marah "Sial, dia lolos lagi!" Jabung Tarawes me
"Lalu bagaimana nasib teman-temannya yang lain?"tanya seseorang."Mereka sama-sama terbakar tapi masih bisa selamat,"seseorang menjawab.Terdengar suara ramai warga kampung yang menanggapi berita itu. Lalu seseorang berkata"Sebaiknya kita urus jenazah Randu dulu sajaTak lama kemudian Jiwan muncul di depan pintu kamar mereka berpamitan."Ki Sanak, saya tinggal pergi dulu ya. Ada warga yang meninggal, saya mau mengurus jenazahnya dulu.""Silahkan saja Ki Sanak,"jawab Awehpati.Jiwan keluar rumah menyusul rombongan teman-temannya. Setelah itu suasana kembali sepi. Saat itu juga perasaan Rangga mulai tak enak. Dia menjawil Awehpati yang duduk di dekatnya."Ki Sanak, perasaanku kok tidak enak ya?""Iya, aku juga kita pergi saja dari sini,"jawab Awehpati."Kita pergi sekarang,"Rangga langsung bangun mengemasi barang-barangnya.Usai berkemas Rangga berkata lagi"Kita pamitan dulu dengan Nyai Jiwan, tapi kalau orangnya sudah tidur kita langsung pergi saja."Berdua mereka mencari Nyai Jiwan
Rangga dan Awehpati berhenti melangkah lalu menoleh. Seorang kakek tua berjalan menghampiri mereka. Warga yang sedang berbincang di pendopo rumah berhenti berbincang memperhatikan mereka."Ki Sanak, hari sudah malam,apalagi kalian datang dari jauh pasti kalian sudah lelah. Silahkan menginap di rumah saya ,"orang tua itu menawarkan jasanya.Rangga dan Awehpati berpandangan."Gimana, kita jadi nginep di sini?"tanya Rangga.Sekilas Rangga melihat keraguan dalam mata Awehpati, namun teman seperjalanannya itu hanya mengangguk setuju."Kalau anda tidak keberatan, kami mau menginap semalam saja di sini,"kata Rangga.Orang tua itu tertawa menepuk bahu Rangga."Tidak saya tidak keberatan sama sekali. Saya senang bisa menolong orang dari jauh. Siapa nama Ki Sanak sekalian?""Saya Rangga dan dia teman saya Ki Awehpati.""Saya Jiwan, mari silahkan masuk,"Jiwan mempersilahkan mereka masuk ke rumahnya.Rumah Jiwan rumah gubuk sederhana berlantai tanah. Rangga dan Awehpati samar-samar mencium bau am
Rangga melirik Awehpati yang masih saja mengikutinya selama dalam perjalanan. Orang tua itu katanya ingin merantau ke wilayah Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari pasukan Majapahit yang memburunya. Tapi bukannya memikirkan cara untuk segera sampai ke wilayah Sunda Galuh, orang tua itu malah mengikutinya mencari Pasar Dieng di gunung Lawu."Ki Sanak, mungkin sebaiknya anda meneruskan perjalanan ke Sunda Galuh saja. Biar saya sendirian saja mencari Pasar Dieng,"Rangga menyarankan.Awehpati hanya tersenyum lalu menepuk bahunya dan berkata"Ngger, kamu adalah anak dari sahabat sekaligus guruku. Dia sudah kuanggap seperti Saudara sendiri. Setelah dia tiada, akulah yang bertanggungjawab terhadapmu. Lagipula untuk menuju ke arah barat aku tetap harus melewati gunung ini."Rangga diam-diam merasa terharu dengan kebaikan Awehpati. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Di satu sisi dia gembira karena akhirnya dia mengetahui jati dirinya dan orangtua kandungnya. Namun dia juga sekalig
"Kedua isteri dan anak-anaknya masih tinggal di sana tapi para gundiknya sudah pergi meninggaklan tempat itu begitu mendengar Prawara bangkrut. Rumah yang mereka tempati sekarangpun hanya gubug sederhana,"ujar Ki Yasa.Rangga menghela nafas lalu berkata"Kasihan mereka, pastinya berat rasanya sudah terbiasa hidup mewah kini harus hidup miskin seperti leluhurnya dulu."Nyai Yasa masuk kamar dan mengabarkan."Ki Awehpati masih belum sadar sampai saat ini."Rangga mulai mencemaskan kondisi Awehpati."Kenapa dia masih belum sadar juga?""Tidak apa-apa, besok dia sudah bisa sadar. Energi buruk yang didapatnya dari Laut Kidul membuat tubuhnya lemah. Kita bisa minta tolong Pandhita Kasyiwan di pura desa untuk mendoakannya supaya energi buruknya bisa hilang,"Ki Yasa menenangkan Rangga.Ki Yasa lalu memanggil anaknya untuk memanggilkan Pandhita Kasyiwan di pura desa.Setelah anaknya pergi, terdengar pintu rumah diketuk dan suara seorang wanita memberi salam."Kulonuwun!"Nyai Yasa keluar kama
Rangga terkejut, dia mengira Prawara akan kembali bersama-sama. Tapi ternyata dia justru mengorbankan dirinya demi membebaskan keluarganya dari korban tumbal Nyi Blorong. Namun Ranggabtetapmingin membawa Prawara pergi."Ki Prawara, anda tetap ikut dengan kami pulang ke rumah."Ratu Kidul dan Nyi Blorong menatap Rangga dengan pandangan mengejek"Semua sudah ada di perjanjian antara kami dengan dia!"tangan Nyi Blorong menunjuk orang tua tadi.Orang tua itu hanya menunduk dan menangis menyesali keputusannya yang membuat anak keturunannya menderita."Maafkan aku sudah membuat kalian menderita. Ya, aku memang sudah memberikan stempel darah untuk kontrak perjanjian dengan Nyi Blorong bahwa aku bersedia mengorbankan anak cucuku sebagai tumbal dengan imbalan kekayaan tanpa batas,"orang tua itu berbicara sambil terisak.Nyi Blorong tersenyum sinis lalu berkata"Nah, kalian sudah dengar sendiri kan? Kami selalu menepati janji memberi kekayaan. Tapi kalian manusia yang selalu ingkar janji. Bahka
Tapi para penagih itu tidak peduli, mereka tetap memukuli bapak itu hingga luka-luka. Lalu salah satu anak buahnya mengambil tiga anak gadis bapak itu, memperkosa mereka lalu membawanya pergi. Tayangan di cermin kemudian berganti, anak kecil yang sakit itu meninggal. Sedangkan tiga anak gadis yang diambil itu terlihat berada di sebuah rumah plesir, berdandan menor melayani berbagai laki-laki yang datang di sana. Prawara dan Pawana menangis melihat penderitaan leluhurnya. "Pawana, kamu lihat sendiri penderitaan leluhur kita. Betapa menyakitkan dan menderita menjadi orang miskin. Entahlah apa keluargaku nanti mampu menghadapi keadaan ketika aku meninggalkan ilmu pesugihan ini,"kata Prawara sambil terisak. "Sudahlah Kangmas Prawara, semuanya sudah terjadi. Semoga saja Sang Hyang Widi masih mengasihani kita dan memberikan kita kesempatan untuk terlahir kembali dengan keadaan yang lebih baik,"Pawana menghibur saudaranya. "Pantas saja dengan penderitaan karena kemiskinan yang sep
"Aku sudah sering berinteraksi dengan hantu, tapi yang ini benar-benar menjijikan, mana baunya amis dan busuk,"gerutu Rangga."Ssshh...jangan keras-keras, nanti dia ngamuk,"Awehpati memperingatkan.Namun Rangga tak peduli, sambil menutup hidung, Rangga mundur beberapa langkah"Hei...hantu busuk, menjauhlah dariku. Aku tidak takut denganmu tapi aku tidak tahan dengan baumu yang busuk."Penjaga Laut Kidul itu marah lalu kembali menyabetkan cambuknya ke arah Rangga. Dengan sigap spontan Rangga menghindar. Tangannya bergerak mengerahkan energi Sang Hyang Agni ke tangannya. Sejurus kemudian api sudah berkobar di telapak tangannya membentuk selendang api. Lalu dia melemparkan selendang api ke arah si penjaga."Wuuush!"Api berkobar menyambar penjaga itu. Teriakan memilukan keluar dari bibirnya yang sudah tinggal separuh karena busuk."Aaarrrgh!"Rangga terus menyerang, selendang api sudah membelit tubuh penjaga berwajah busuk itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga itu musnah jadi abu. Para
"Kangmas Prawara!"Pawana berlari gembira menyambut kakaknya. Pawana tidak menderita penyakit kulit seperti Prawara. Mungkin karena dia memang sudah dipilih jadi tumbal yang tentunya harus bersih dari penyakit. Tetapi tubuhnya tampak lebih kurus, dia hanya mengenakan celana gringsing yang sudah kumal, tangan dan kakinya dirantai.Kedua saudara kembar itu kemudian berbincang sementara Rangga dan Awehpati mengamati dari jauh."Kasihan Pawana, sukmanya terjebak di dunia demit dijadikan budak mereka sampai akhir jaman,"ujar Awehpati dengan suara lirih."Bisakah kita membebaskan sukmanya agar kematiannya bisa sempurna dan dia bisa terlahir kembali?""tanya Rangga."Entahlah, jika selama ini tidak ada yang mendoakan dia, mungkin sulit bagi sukmanya untuk kembali. Apalagi keluarganya adalah pemuja setan. Siapa lagi yang seharusnya mendoakannya kalau bukan dari keluarga sendiri,"ujar AwehpatiTak lama kemudian Pawana dan Prawara datang menghampiri Rangga lalu berkata"Ki Sanak sekalian, kita a
"Bunuh pelaku pesugihan itu!"Para penduduk desa mulai maju masuk lebih jauh ke halaman rumah keluarga Prawara. Para pengawal Prawara tak tinggal diam. Mereka sudah melolos pedang berbaris menghadang warga yang mencoba masuk lebih dalam.Ki Yasa buru-buru maju menenangkan warganya"Sabar...tenangkan diri kalian, jangan emosi dulu, Rangga dan Ki Awehpati ternyata masih hidup. Jadi kita tidak perlu sampai harus saling berbunuhan.""Tapi keluarga mereka telah tega menumbalkan warga desa Dadapan sebagai tumbal. Ini tak bisa dibiarkan!"kata salah seorang warga.Rangga maju mendekati Ki Yasa lalu berseru pada para penduduk desa yang sudah dikuasai emosi."Kami kemari tidak hanya mengobati penyakit keluarga mereka, tapi kami juga membantu Ki Prawara memutus ilmu pesugihan yang sudah berlangsung secara turun temurun! Coba lihat dia, penyakit kulit tanda pelaku pesugihan itu sudah kami obati walaupun masih belum tuntas,"Rangga menunjuk Prawara.Para penduduk desa itu baru menyadari, benjolan-b