Para pendekar telah tiba di seberang sungai, tapi mereka hanya menemukan komplek makam tua dan hutan bambu Ori yang rapat di sekeliling mereka. Barisan bambu Ori itu bagaikan dinding berduri berlapis-lapis yang sulit ditembus. "Bagaimana kita bisa menembus dinding bambu ini?"tanya salah satu pendekar. "Ah, itu sih gampang, kita gunakan pedang dan parang untuk membabatnya,"ujar pendekar gempal. "Tapi kita sebaiknya istirahat dulu sebentar setelah itu kita tebangi bambu-bambu ini!"ujar pendekar yang lain. Rombongan pendekar itu mulai mencari tempat yang teduh untuk beristirahat lalu mereka mulai menyantap bekal masing-masing. Setelah istirahatnya dirasa cukup, para pendekar itu mulai mengeluarkan parang dan membabati bambu Ori. Namun bambu Ori itu begitu sulit ditebas. Batangnya lentur dan liat belum lagi duri-durinya yang melukai tangan, kaki dan tubuh para pendekar itu. "Ahh...sial tanganku kena durinya!"seru salah satu pendekar. Pendekar gempal tampak gusar melihat tem
Kabut semakin tebal, sosok para pendekar yang memasuki area perkampungan kini sudah tak tampak lagi karena tertutup kabut tebal. Saat matahari semakin tinggi, kabut sudah mulai menipis, perkampungan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah hutan lebat yang gelap. Keesokan harinya saat subuh tiba, Rangga sudah bangun dan langsung pergi ke komplek kuburan. Tanaman bambu yang tadinya membentuk dinding rapat, kini sudah kembali jadi lorong bambu. Rangga mencari-cari para pendekar yang kemarin datang, tapi para pendekar itu sudah tidak ada lagi di tempat. Yang tersisa hanyalah jasad para pendekar yang meninggal karena racun duri bambu. Kemana rombongan para pendekar yang kemarin? Seharusnya mereka baru bisa pulang pagi ini karena kemarin kabutnya tebal. Lalu jasad-jasad ini , kenapa mereka tidak memakamkannya sekalian. Benar-benar keterlaluan, pikir Rangga. Rangga mengambil cangkul lalu mulai menggali lubang untuk kuburan massal. Saat sedang sibuk mencangkul, Rangga mendengar
Sontak semua orang yang ada di situ terkejut. "Sabar, jangan asal menuduh orang. Kita harus cari buktinya,"salah satu tetua menyarankan. Benowo tersenyum lalu berkata "Aku punya ide, kalian mendekatlah." **** Pagi itu Benowo dan beberapa murid padepokan mulai melakukan pencarian sobekan Kitab Sang Hyang Agni di pondok Mpu Waringin. Beberapa murid membawa sapu, ember dan sapu lidi untuk membersihkan pondok Mpu Warigin yang sudah lama ditinggalkan pemiiknya. Dari kejauhan Hasta, Gembong dan Tunggul duduk di bawah pohon beringin, mengawasi diam-diam kegiatan yang berlangsung di pondok Mpu Waringin. "Apa kangmas Hasta yakin mereka akan menemukan bagian kitab yang lain di situ?"tanya Gembong. "Kitab itu disimpan di padepokan ini. Pasti hilangnya juga di sini, memangnya mau dimana lagi?"ujar Hasta. "Kalau kitab itu ketemu apa Kangmas akan mencurinya?" Hasta tersenyum licik dan berkata "Tentu saja seperti yang dilakukan Jalu dulu. Jika perlu aku akan membunuh Benowo dan
Benowo memeriksa keadaan para murid dan tetua. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan hari itu.Namun Hasta yang marah karena sempat tertipu oleh Benowo menyimpan dendam kesumat terhadap Benowo dan orang-orang di Padepokan Sekar Jagad. Setibanya di Kasatriyan Araraman, Hasta langsung menghadap Ra Kembar pemimpin Kesatuan Araraman yang juga pamannya sendiri. "Rahayu Paman Kembar!"Hasta memberi salam. Ra Kembar yang sedang mengawasi anak buahnya berlatih perang menoleh. "Hasta kenapa kamu sudah pulang? Bukankah kamu masih harus memata-matai orang-orang Sadeng itu?"tanya Ra Kembar. "Saya telah mengamati orang-orang Sadeng itu Paman. Dan saya mendapatkan sebuah bukti bahwa Padepokan Sekar Jagad ikut terlibat. Mereka ternyata melatih rakyat Sadeng menjadi prajurit sebagai upaya persiapan menghadapi Majapahit. Sadeng adalah kerajaan bawahan yang tidak memiliki pasukan sebanyak kita. Sehingga mereka melatih dan mempersenjatai rakyat secara diam-diam untuk menambah jumlah pas
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya
Benowo memeriksa keadaan para murid dan tetua. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan hari itu.Namun Hasta yang marah karena sempat tertipu oleh Benowo menyimpan dendam kesumat terhadap Benowo dan orang-orang di Padepokan Sekar Jagad. Setibanya di Kasatriyan Araraman, Hasta langsung menghadap Ra Kembar pemimpin Kesatuan Araraman yang juga pamannya sendiri. "Rahayu Paman Kembar!"Hasta memberi salam. Ra Kembar yang sedang mengawasi anak buahnya berlatih perang menoleh. "Hasta kenapa kamu sudah pulang? Bukankah kamu masih harus memata-matai orang-orang Sadeng itu?"tanya Ra Kembar. "Saya telah mengamati orang-orang Sadeng itu Paman. Dan saya mendapatkan sebuah bukti bahwa Padepokan Sekar Jagad ikut terlibat. Mereka ternyata melatih rakyat Sadeng menjadi prajurit sebagai upaya persiapan menghadapi Majapahit. Sadeng adalah kerajaan bawahan yang tidak memiliki pasukan sebanyak kita. Sehingga mereka melatih dan mempersenjatai rakyat secara diam-diam untuk menambah jumlah pas
Sontak semua orang yang ada di situ terkejut. "Sabar, jangan asal menuduh orang. Kita harus cari buktinya,"salah satu tetua menyarankan. Benowo tersenyum lalu berkata "Aku punya ide, kalian mendekatlah." **** Pagi itu Benowo dan beberapa murid padepokan mulai melakukan pencarian sobekan Kitab Sang Hyang Agni di pondok Mpu Waringin. Beberapa murid membawa sapu, ember dan sapu lidi untuk membersihkan pondok Mpu Warigin yang sudah lama ditinggalkan pemiiknya. Dari kejauhan Hasta, Gembong dan Tunggul duduk di bawah pohon beringin, mengawasi diam-diam kegiatan yang berlangsung di pondok Mpu Waringin. "Apa kangmas Hasta yakin mereka akan menemukan bagian kitab yang lain di situ?"tanya Gembong. "Kitab itu disimpan di padepokan ini. Pasti hilangnya juga di sini, memangnya mau dimana lagi?"ujar Hasta. "Kalau kitab itu ketemu apa Kangmas akan mencurinya?" Hasta tersenyum licik dan berkata "Tentu saja seperti yang dilakukan Jalu dulu. Jika perlu aku akan membunuh Benowo dan
Kabut semakin tebal, sosok para pendekar yang memasuki area perkampungan kini sudah tak tampak lagi karena tertutup kabut tebal. Saat matahari semakin tinggi, kabut sudah mulai menipis, perkampungan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah hutan lebat yang gelap. Keesokan harinya saat subuh tiba, Rangga sudah bangun dan langsung pergi ke komplek kuburan. Tanaman bambu yang tadinya membentuk dinding rapat, kini sudah kembali jadi lorong bambu. Rangga mencari-cari para pendekar yang kemarin datang, tapi para pendekar itu sudah tidak ada lagi di tempat. Yang tersisa hanyalah jasad para pendekar yang meninggal karena racun duri bambu. Kemana rombongan para pendekar yang kemarin? Seharusnya mereka baru bisa pulang pagi ini karena kemarin kabutnya tebal. Lalu jasad-jasad ini , kenapa mereka tidak memakamkannya sekalian. Benar-benar keterlaluan, pikir Rangga. Rangga mengambil cangkul lalu mulai menggali lubang untuk kuburan massal. Saat sedang sibuk mencangkul, Rangga mendengar
Para pendekar telah tiba di seberang sungai, tapi mereka hanya menemukan komplek makam tua dan hutan bambu Ori yang rapat di sekeliling mereka. Barisan bambu Ori itu bagaikan dinding berduri berlapis-lapis yang sulit ditembus. "Bagaimana kita bisa menembus dinding bambu ini?"tanya salah satu pendekar. "Ah, itu sih gampang, kita gunakan pedang dan parang untuk membabatnya,"ujar pendekar gempal. "Tapi kita sebaiknya istirahat dulu sebentar setelah itu kita tebangi bambu-bambu ini!"ujar pendekar yang lain. Rombongan pendekar itu mulai mencari tempat yang teduh untuk beristirahat lalu mereka mulai menyantap bekal masing-masing. Setelah istirahatnya dirasa cukup, para pendekar itu mulai mengeluarkan parang dan membabati bambu Ori. Namun bambu Ori itu begitu sulit ditebas. Batangnya lentur dan liat belum lagi duri-durinya yang melukai tangan, kaki dan tubuh para pendekar itu. "Ahh...sial tanganku kena durinya!"seru salah satu pendekar. Pendekar gempal tampak gusar melihat tem
Mbah Janti kembali masuk kamar membawakan makanan dan secawan ramuan herbal yang mengepul panas. "Minumlah ramuan ini supaya perutmu tetap hangat. Ini akan menjaga agar energi Kundalini tidak bergerak liar dan membuatmu sakit." Rangga segera meminum ramuan herbalnya setelah itu perutnya terasa hangat dan tubuhnya terasa lebih baik. "Mbah, kepalaku sudah tidak pusing lagi dan punggungku sudah mulai mendingin." "Rangga, jika kamu kepanasan lagi, bersandarlah di batang pohon atau berbaring di tanah. Itu akan menetralkan panas akibat energi Kundalini." "Jadi tanah dan kayu dapat menetralkan energi Kundalini?"tanya Rangga. "Ya, itu cara yang termudah, dan jangan lupa jaga supaya perutmu tetap hangat." ****** Semenjak berita tentang keberadaan Kitab Sang Hyang Agni tersebar si dunia persilatan, para pendekar berbondong-bondong menuju Lembah Hantu. Hari itu ada sekitar 50 orang pendekar dari berbagai tempat datang ke Lembah Hantu. Siang hari, rombongan pendekar sudah tiba di tep
Pagi itu matahari bersinar cerah namun udaranya sejuk segar dan tidak terasa panas.. Di bawah pohon bambu Rangga duduk di tikar bersama Mbah Janti. Dia mendengarkan dengan seksama Mbah Janti yang sedang membacakan isi kitab Sang Hyang Agni di lembar terakhir yang kini dikuasai Hasta. Sesekali Mbah Janti berhenti lalu Rangga mengulang lagi kata-kata Mbah Janti. Sampai menjelang siang, Rangga dan Mbah Janti mengakhiri aktivitasnya. "Bagaimana Rangga, kamu sudah hafal isi kitab di halaman terakhir?" "Saya masih belum lancar, tapi sebagian saya sudah hafal. Sebagian isi dari kitab itu sudah saya catat di lontar. Beri saya waktu untuk menghafalndan mencatatnya,"ujar Rangga. Mbah Janti mengangguk puas, bibirnya tersenyum. "Bagus besok kita mulai latihan tahap akhir. Pada tahap ini kamu harus berhati-hati. Salah mempelajarinya bisa fatal akibatnya," Mbah Janti mengingatkan. Rangga tertegun sejenak kemudian bertanya dengan hati-hati "Memangnya kenapa Mbah?" "Kalau kamu salah
"Ngger, apa yang kamu lakukan di sungai tadi sampai Sekar dan Wastya harus turun tangan sendiri membereskan semuanya?"tanya Mbah Janti. Rangga berusaha mengingat semua peristiwa yang dialaminya saat berendam di sungai. Rangga mencoba mengingat kembali apa saja yang dia lakukan saat itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Mbah, tadi waktu berendam di sungai aku...aku pipis," ucap Rangga lirih. "Haaah...kamu pipis di tengah sungai?" "Iya Mbah, aku pipis di tengah sungai," Rangga menundukan kepalanya. Dia merasa malu pada Mbah Janti. Mbah Janti menepuk jidatnya, "Astaga, kamu seharusnya tidak boleh pipis di tengah sungai krena di situlah kerajaan gaib Wastya berada. Aku lupa memberitahumu tadi, maafkan aku Ngger." Hadeeh Mbah...Mbah, Simbah yang lupa kasih tahu aku jadi kena masalah,pikir Rangga dengan hati kesal. "Lain kali kalau kebelet pipis, kamu pipis di tepi sungai, jangan di tengah. Ya sudah nggak apa-apa, besok akan kutemui Sekar untuk minta maaf dan membawakan se