Kabut semakin tebal, sosok para pendekar yang memasuki area perkampungan kini sudah tak tampak lagi karena tertutup kabut tebal. Saat matahari semakin tinggi, kabut sudah mulai menipis, perkampungan itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah hutan lebat yang gelap. Keesokan harinya saat subuh tiba, Rangga sudah bangun dan langsung pergi ke komplek kuburan. Tanaman bambu yang tadinya membentuk dinding rapat, kini sudah kembali jadi lorong bambu. Rangga mencari-cari para pendekar yang kemarin datang, tapi para pendekar itu sudah tidak ada lagi di tempat. Yang tersisa hanyalah jasad para pendekar yang meninggal karena racun duri bambu. Kemana rombongan para pendekar yang kemarin? Seharusnya mereka baru bisa pulang pagi ini karena kemarin kabutnya tebal. Lalu jasad-jasad ini , kenapa mereka tidak memakamkannya sekalian. Benar-benar keterlaluan, pikir Rangga. Rangga mengambil cangkul lalu mulai menggali lubang untuk kuburan massal. Saat sedang sibuk mencangkul, Rangga mendengar
Sontak semua orang yang ada di situ terkejut. "Sabar, jangan asal menuduh orang. Kita harus cari buktinya,"salah satu tetua menyarankan. Benowo tersenyum lalu berkata "Aku punya ide, kalian mendekatlah." **** Pagi itu Benowo dan beberapa murid padepokan mulai melakukan pencarian sobekan Kitab Sang Hyang Agni di pondok Mpu Waringin. Beberapa murid membawa sapu, ember dan sapu lidi untuk membersihkan pondok Mpu Warigin yang sudah lama ditinggalkan pemiiknya. Dari kejauhan Hasta, Gembong dan Tunggul duduk di bawah pohon beringin, mengawasi diam-diam kegiatan yang berlangsung di pondok Mpu Waringin. "Apa kangmas Hasta yakin mereka akan menemukan bagian kitab yang lain di situ?"tanya Gembong. "Kitab itu disimpan di padepokan ini. Pasti hilangnya juga di sini, memangnya mau dimana lagi?"ujar Hasta. "Kalau kitab itu ketemu apa Kangmas akan mencurinya?" Hasta tersenyum licik dan berkata "Tentu saja seperti yang dilakukan Jalu dulu. Jika perlu aku akan membunuh Benowo dan
Benowo memeriksa keadaan para murid dan tetua. Beruntung tidak ada korban jiwa dalam serangan hari itu.Namun Hasta yang marah karena sempat tertipu oleh Benowo menyimpan dendam kesumat terhadap Benowo dan orang-orang di Padepokan Sekar Jagad. Setibanya di Kasatriyan Araraman, Hasta langsung menghadap Ra Kembar pemimpin Kesatuan Araraman yang juga pamannya sendiri. "Rahayu Paman Kembar!"Hasta memberi salam. Ra Kembar yang sedang mengawasi anak buahnya berlatih perang menoleh. "Hasta kenapa kamu sudah pulang? Bukankah kamu masih harus memata-matai orang-orang Sadeng itu?"tanya Ra Kembar. "Saya telah mengamati orang-orang Sadeng itu Paman. Dan saya mendapatkan sebuah bukti bahwa Padepokan Sekar Jagad ikut terlibat. Mereka ternyata melatih rakyat Sadeng menjadi prajurit sebagai upaya persiapan menghadapi Majapahit. Sadeng adalah kerajaan bawahan yang tidak memiliki pasukan sebanyak kita. Sehingga mereka melatih dan mempersenjatai rakyat secara diam-diam untuk menambah jumlah pas
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
Mbah Janti menarik tangan Rangga melompat ke jurang setelah itu tubuh Rangga meluncur cepat ke dasar jurang. Ada sebuah dahan semak tumbuh di dinding jurang, kaki Mbah Janti menutul dahan kecil itu sehingga laju tubuh mereka sedikit terhambat., lalu mereka kembali meluncur ke bawah jurang. Di bawah mereka tumbuh pohon Cempaka, kaki Rangga dan Mbah Janti sudah menyentuh pucuk pohon cempaka. "Sraaak...buk!" Rangga jatuh ke tanah sementara Mbah Janti mendarat dengan mulus di tanah. Ternyata mereka mendarat si sebuah hutan, tak ada rumah penduduk atau manusia yang ada di situ. Suasana di tempat itu sangat gelap, mbah Janti mengambil sebatang ranting dahan pohon lalu membakar ujungnya. Ujung ranting terbakar menerangi lingkungan di sekitar mereka. "Kita menginap di sini, besok kita cari petirtaan itu." ***** Para prajurit Majapahit di atas jurang terbengong-bengong melihat Rangga dan Mbah Janti melompat ke jurang. Hasta berseru marah "Sial, dia lolos lagi!" Jabung Tarawes me
Rangga dan Mbah Janti kembali melanjutkan perjalanan menuju kediaman Nyai Kecik. Saat itu mereka telah tiba di sebuah candi tua dengan sumber air yang jernih dan mengalir deras. Rangga yang kegirangan melihat air yang mengalir bergemericik langsung menceburkan diri ke dalamnya. "Byuuuur!", "Mbah, airnya segar!" Mbah Janti hanya tersenyum melihat Rangga yang bersukaria berenang di kolam. Namun dia tetap waspada, matanya memandang berkeliling. Dia merasa harus meningkatkan kewaspadaannya demi keselamatan mereka berdua. Tiba-tiba senyuman di bibirnya lenyap. Dari balik patung-patung candi, dia melihat ada beberapa bayangan soaok-sosok manusia sedang mengamati mereka. "Rangga cepat naik, ada orang yang mengawasi kita,"perintah Mbah Janti. Rangga yang masih ingin bersantai menolak keluar. "Mbah, badanku lengket dan bau masa tidak boleh mandi?" "Dasar ngeyel, keluar cepat jika tidak aku akan mematahkan kamimu!" Rangga terkejut, belum pernah dia melihat Mbah Janti semarah itu.
Rangga menghunus pedang lalu menangkis serangan Hasta dan Jabung Tarawes. Api memercik dari besi pedang setiap kali pedang mereka beradu. Melihat Rangga yang mengalami kemajuan sangat pesat dalam ilmu silatnya, Hasta mulai berpikir Dari kemarin aku perhatikan, Rangga yang semula tidak menguasai satu juruspun sekarang sudah mampu menguasai jurus-jurus yang gerakannya sulit, pikir Hasta. "Traang...traang!" Kembali pedang mereka beradu, Hasta terkejut, dia merasa tangannya kesemutan sehingga pedangnya hampir terlepas. Namun Jabung Tarawes berhasil memanfaatkan celah kosong pertahanan Rangga sehingga pedangnya berhasil membacok lengan Rangga meskipun dia sudah berusaha menghindarinya. "Aaarrrgh!"Rangga berseru kesakitan, kulit lengannya sobek mengucurkan darah. Sementara itu Mbah Janti dan Nyai Kecik sedang mengadu ilmu Kanuragan masing-masing. Melihat Rangga yang terluka. Perhatiannya langsung terpecah. Mbah Janti langsung berteriak cemas "Rangga!" Kesempatan itu digunakan
Rangga mendadak merinding, seorang pendekar misterius telah memberinya sebuah petunjuk. Karena hari sudah larut malam, Rangga memutuskan untuk menggalinya besok. Udara malam semakin dingin, kabut yang turun semakin pekat. Samar-samar Rangga melihat bayangan sosok-sosok yang sedang bertarung di tengah pekatnya kabut dan mendengar riuhnya suara pertarungan."Ah, aku baru ingat, malam ini malam Anggoro Kasih,"gumam Rangga.Rangga memilih untuk tidak mempedulikan suara-suara itu dan memilih tidur. Dia mulai mengantuk dan mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja memejamkan mata, seseorang memanggil namanya."Rangga...Rangga bangunlah!"Rangga mulai ketakutan, dia tak berani membuka matanya. Takut melihat sosok-sosok seram seperti saat melihat Dewi Sekar yang telah menjelma jadi siluman ikan. Tak lama kemudian suara itu memanggil lagi"Rangga bangunlah!"Tiba-tiba terdengar suara ramai di sekitarnya, tapi suara itu bukanlah suara pertempuran. Merasa penasaran, Rangga perlahan membuka matany
Paman Mudra menatap Rangga dengan tajam"Kamu benar-benar serius mau mencari Pasar Dieng?"Tanpa ragu Rangga mengangguk"Tentu saja Paman, namanya pasar tempat yang ramai pasti mudah mencarinya kan."Paman Mudra tertegun namun sejurus kemudian dia terkekeh dan berkata"Pasar Dieng bukan pasar biasa yang sering kamu temui. Tidak semua orang bisa melihat pasar itu kecuali orang-orang yang dikehendaki.""Maksud Paman Pasar Dieng adalah pasar gaib?"Paman Mudra mengangguk"Benar, lebih tepatnya Pasar Setan, untuk menuju ke sana medannya sangat berat dan sulit. Kamu yakin tetap mau ke sana?"Rangga terdiam membayangkan medan yang akan ditempuhnya dalam pencarian Bunga Ungu seperti yang dilihatnya dalam mimpi. Tapi jika melihat kondisi Mbah Janti, semangat untuk mencari bunga itu muncul kembali."Saya akan tetap ke sana Paman, saya harus melakukannya demi Mbah Janti.""Pasar Dieng ada di puncak gunung Lawu. Jika memang sudah niatmu ke sana, kamu harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,"Pama
"Siapa kamu makhluk menyeramkan?" "Aku Mahesasura, aku adalah Tuhan dari manusia yang yang menjadi budakku!" Hasta yang sudah gelap mata ingin menguasai ilmu Lipyakara, tanpa ragu mengangguk. "Ya, saya setuju, mencari tumbal manusia itu gampang. Setiap hari aku akan menyajikan manusia, untukmu!"ujar Hasta. Makhluk itu tampak gembira mendapatkan pengikut baru "Hua ha ha ha ha bagus, bagus kamu memang cerdas, baiklah aku terima kamu sebagai muridku!" ****** Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Rangga mulai membaik. Pagi itu, Rangga merasa rasa sakit yang selama ini dideritanya, mulai berkurang. Dia segera bangun dari tidurnya lalu langsung keluar kamar mencari Mbah Janti. Saat keluar kamar dia bertemu Badhra yang sedang membawa cawan obat. "Rangga, kamu sudah sembuh?" "Ya Badhra, aku sudah sembuh, sekarang dimana Mbah Janti? Aku mau bertemu dia." "Aku antarkan kamu menemuinya di ruang obat, tapi minum obat ini dulu," Badhra menyorongkan cawan pada Rangga. Rangga l
"Hasta dan komplotannya tidak hanya membunuh Mpu Waringin dan Kangmas Gondo, tetapi mereka juga membunuh Kangmas Jalu," tutur Badhra. "Lalu bagaimana kamu bisa sampai di tempat ini?" Pandangan Badhra menerawang mengingat kembali peristiwa yang telah dialaminya. Setelah terdiam beberapa lama, dia melanjutkan ceritanya. "Aku harus pergi dari padepokan, berbahaya bagiku jika aku terus berada di tempat itu. Perasaanku tak enak, aku merasa saat itu Hasta dan komplotannya sudah mulai mencurigaiku. Karena Kangmas Gondo sudah meninggal, aku dirawat oleh Paman Mudra di pondoknya. Aku menceritakan semua yang kualami kepadanya. Tengah Malam, Paman Mudra membawaku pergi ke desa ini." "Siapa itu Paman Mudra? Saat belajar ilmu pengobatan, aku tidak pernah melihatnya,"tanya Rangga. "Oh, kamu belum tahu ya, Paman Mudra itu bapaknya Gondo. Yaah, dia memang tidak pernah mengajarkan ilmu pengobatan maupun ilmu silat. Sehari-harinya dia hanya membuat obat, tak kusangka ternyata Paman Mudra juga
Rangga menghunus pedang lalu menangkis serangan Hasta dan Jabung Tarawes. Api memercik dari besi pedang setiap kali pedang mereka beradu. Melihat Rangga yang mengalami kemajuan sangat pesat dalam ilmu silatnya, Hasta mulai berpikir Dari kemarin aku perhatikan, Rangga yang semula tidak menguasai satu juruspun sekarang sudah mampu menguasai jurus-jurus yang gerakannya sulit, pikir Hasta. "Traang...traang!" Kembali pedang mereka beradu, Hasta terkejut, dia merasa tangannya kesemutan sehingga pedangnya hampir terlepas. Namun Jabung Tarawes berhasil memanfaatkan celah kosong pertahanan Rangga sehingga pedangnya berhasil membacok lengan Rangga meskipun dia sudah berusaha menghindarinya. "Aaarrrgh!"Rangga berseru kesakitan, kulit lengannya sobek mengucurkan darah. Sementara itu Mbah Janti dan Nyai Kecik sedang mengadu ilmu Kanuragan masing-masing. Melihat Rangga yang terluka. Perhatiannya langsung terpecah. Mbah Janti langsung berteriak cemas "Rangga!" Kesempatan itu digunakan
Rangga dan Mbah Janti kembali melanjutkan perjalanan menuju kediaman Nyai Kecik. Saat itu mereka telah tiba di sebuah candi tua dengan sumber air yang jernih dan mengalir deras. Rangga yang kegirangan melihat air yang mengalir bergemericik langsung menceburkan diri ke dalamnya. "Byuuuur!", "Mbah, airnya segar!" Mbah Janti hanya tersenyum melihat Rangga yang bersukaria berenang di kolam. Namun dia tetap waspada, matanya memandang berkeliling. Dia merasa harus meningkatkan kewaspadaannya demi keselamatan mereka berdua. Tiba-tiba senyuman di bibirnya lenyap. Dari balik patung-patung candi, dia melihat ada beberapa bayangan soaok-sosok manusia sedang mengamati mereka. "Rangga cepat naik, ada orang yang mengawasi kita,"perintah Mbah Janti. Rangga yang masih ingin bersantai menolak keluar. "Mbah, badanku lengket dan bau masa tidak boleh mandi?" "Dasar ngeyel, keluar cepat jika tidak aku akan mematahkan kamimu!" Rangga terkejut, belum pernah dia melihat Mbah Janti semarah itu.
Mbah Janti menarik tangan Rangga melompat ke jurang setelah itu tubuh Rangga meluncur cepat ke dasar jurang. Ada sebuah dahan semak tumbuh di dinding jurang, kaki Mbah Janti menutul dahan kecil itu sehingga laju tubuh mereka sedikit terhambat., lalu mereka kembali meluncur ke bawah jurang. Di bawah mereka tumbuh pohon Cempaka, kaki Rangga dan Mbah Janti sudah menyentuh pucuk pohon cempaka. "Sraaak...buk!" Rangga jatuh ke tanah sementara Mbah Janti mendarat dengan mulus di tanah. Ternyata mereka mendarat si sebuah hutan, tak ada rumah penduduk atau manusia yang ada di situ. Suasana di tempat itu sangat gelap, mbah Janti mengambil sebatang ranting dahan pohon lalu membakar ujungnya. Ujung ranting terbakar menerangi lingkungan di sekitar mereka. "Kita menginap di sini, besok kita cari petirtaan itu." ***** Para prajurit Majapahit di atas jurang terbengong-bengong melihat Rangga dan Mbah Janti melompat ke jurang. Hasta berseru marah "Sial, dia lolos lagi!" Jabung Tarawes me
Api membakar dinding tanaman bambu itu dengan cepat, Mbah Janti segera membereskan beberapa barang yang bisa dibawa. "Rangga, bawa barang-barangmu dan parang, kita memerlukan itu nanti!" Dari jauh terdengar suara-suara para prajurit menuju pondok Mbah Janti. Setelah membereskan barang-barangnya, Mbah Janti dan Rangga lari ke puncak gunung. Saat mendaki gunung menyelamatkan diri, Rangga sempat menoleh ke bawah, api sudah menjalar membakar tanaman dan semak belukar di halaman rumah mereka. "Itu dia...mereka lari ke puncak gunung!"seru salah seorang prajurit. "Kejar mereka, jangan sampai lolos!"seru Hasta. Saat api sudah melalap habis tanaman bambu, Hasta memasuki pondok Mbah Janti namun dia tidak menemukan siapapun di situ. Hasta yang masih mendendam terhadap Rangga, semakin geram. "Sial, kita sudah keduluan mereka sudah pergi!" "Cari mereka sampai dapat!"perintah Jabung Tarawes pada anak buahnya. Beberapa prajurit segera bergerak menyusul ke atas gunung. Sementara itu
"Pamanmu menyuruhku mengawalmu kemari,"ujar Jabung Tarawes.Jabung Tarawes adalah salah satu perwira menengah kesatuan Araraman anak buah Ra Kembar, yang juga dulu ikut membela Prabu Wijaya di masa pemberontakan Jayakatwang. Gembong dan Tunggul yang mencemaskan keselamatan Hasta langsung lari menghampiri Hasta."Kangmas Hasta, kamu tidak apa-apa?"tanya Tunggul.Melihat kedua mantan murid Sekar Jagad itu Benowo llangsung murka melihatnya."Kalian berdua pengkhianat yang tak tahu balas budi. Apa kalian tidak ingat kebaikan Mpu Waringin yang telah mengajarkan ilmu kanuragan pada kalian?!"Gembong maju ke hadapan Benowo lalu berkata dengan sinis"Aku belajar kemari juga membayar sejumlah uang untuk Mpu Waringin, jadi semua sudah impas. Apa salah jika aku kemudian memilih mengikuti Hasta yang bisa memberiku uang dan kedudukan sebagai prajurit Majapahit?"Benowo menatap Gembong dan Tunggul dengan pandangan penuh dendam."Ternyata kalian berdua pemuja harta, jika ada orang yang bisa membaya