Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan.
Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin Ternyata dia punya tujuan lain. Jalu menatap Hasta penuh harap "Jalu, bapakmu adalah pejabat istana, kuharap bapakmu bersedia membantuku masuk ke lingkungan istana." Hasta tersenyum dan menganggukan kepala tanda bersedia "Jangan kuatir Kangmas Jalu, setelah pengangkatanmu sebagai Ketua Perguruan Sekar Jagat, aku akan mengajakmu menemui Romoku. Nanti Romo akan mengajakmu menghadap Gusti Ratu Tribuana." Wajah Hasta tampak sumringah, ternyata Hasta tidak hanya sekedar menemui pejabat biasa, tapi justru menjanjikannya bertemu langsung dengan Gusti Ratu Tribuana. Suatu hal yang melebihi ekspetasi Jalu. "Terimakasih Hasta, kamu memang sahabatku yang terbaik,"ujar Jalu. Hasta menuangkan tuak ke cawan yang dibawanya, lalu memberikan satu cawan kepada Jalu. "Sekarang mari kita minum tuak dulu untuk merayakan keberhasilanmu mendapatkan kitab Sang Hyang Agni dan sebagai calon pejabat Majapahit." Jalu tersenyum bangga mendengar pujian Jalu yang setinggi langit. Terbayang sudah kemegahan, kekayaan dan kehormatan yang bakal dia terima jika jadi pejabat. Aroma tuak yang harum menggugah selera Jalu untuk segera meminumnya. Jalu meminum isi cawan menenggaknya sampai habis. "Aaah...tuak ini enak sekali, darimana kamu mendapatkannya? Berikan aku secawan lagi!"perintah Jalu. "Tentu saja, tuak ini buatan Gondo. Ternyata selama ini dia sering membuat tuak sendiri. Tidak hanya dari Nira tapi dia juga membuatnya dari aneka buah-buahan." Hasta menuang tuak ke cawan lalu Jalu kembali meminumnya. Dia langsung menenggak tuak dengan hanya satu tenggakan saja. Tiba-tiba mata Jalu terbelalak, tenggorokannya terasa terbakar, napasnya sesak, pandangannya mulai kabur. Cawan yang sedang dipegangnya jatuh kelantai pecah berkeping-keping. Tangannya menunjuk Hasta, menatapnya dengan pandangan penuh dendam. "Hasta...biadab kamu! Teganya kamu menipuku!" Hasta tertawa licik, rupanya dia tidak meminum tuaknya, hanya pura-pura menenggaknya. "Ha ha ha ha Kangmas Jalu, apa bedanya dengan kamu yang tega membunuh guru sekaligus bapak angkatmu sendiri? Padahal dia sudah memungutmu ketika bayi dari pinggir hutan dan memeliharamu sampai dewasa." Jalu masih melotot memandangi Hasta. Dadanya makin sesak pandangannnya mulai gelap. "Kamu...kamu...awas ya, kelak...kamu... juga akan dikhianati temanmu. Celakalah kamu!" Setelah itu Jalu roboh ke lantai dan tak bergerak lagi. Hasta tersenyum puas melihat Jalu sudah tewas karena racun yang dibawanya. "Huh...dasar bodoh, manusia gila pujian dan harta. Memangnya siapa yang mau menjadikanmu pejabat Majapahit." Hasta mengambil kitab Sang Hyang Agni yang tergeletak di samping Jalu, lalu menyembunyikannya di belakang lemari di ruangan itu. Setelah itu dia mengeluarkan bungkusan yang digembolnya lalu membukanya. Ada sebilah keris di dalamnya, Hasta mencabut keris lalu menusukan keris ke tubuh Jalu beberapa kali. Setelag itu dia menusuk pinggangnya sendiri. "Aaarrrgh!" Jalu berseru tertahan bagian pinggangnya sudah mengeluarkan banyak darah. Lalu dia meminum tuaknya sedikit. Saat itu juga Hasta merasakan tenggorokannya mulai terbakar dan dadanya sesak. "Aaaaghh...agghhh...nafasku...sesak." Sambil menahan sakit dan sesak nafas, dia berteriak panik. "Tolong...tolong...Rangga datang lagi balas dendam dan menyerang kita! Tolong...tolong!" Sontak beberapa orang di padepokan masuk ke pondok Mpu Waringin. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan beberapa orang di luar. "Lihat itu Rangga...kejar dia!" Beberapa murid padepokan menghunus keris dan pedang lalu berlari ke arah sungai. Sementara itu beberapa orang yang sudah masuk ke pondok terkejut melihat Jalu tergeletak di lantai bersimbah darah bersama Hasta yang berada di sudut yang lain. "Mpu Jalu...Hasta!" Salah satu murid senior memeriksa Jalu. Dia menggelengkan kepala prihatin. "Mpu Jalu sudah meninggal." "Bagaimana dia bisa meninggal?"tanya salah satu murid padepokan. "Dia terkena racun dan luka tusukan yang parah,"jawab seorang murid senior. Seorang murid yang lain tiba-tiba berteriak ketika melihat tangan Hasta bergerak sedikit "Kangmas Hasta masih hidup!" Orang-orang merubung Hasta yang terkapar lemah dengan pinggang berdarah tertusuk keris. Dengan suara serak dan lemah Hasta berkata "Tolong...Rangga telah membunuh Kangmas Jalu." Setelah itu Hasta pingsan. "Bawa dia ke ruang pengobatan!" ****** Ketika malam tiba, Hasta tersadar dari pingsannya, luka tusukan di pinggangnya sudah diobati dan kini terasa perih dikulitnya. Tangan Hasta bergerak mengambil bumbung bambu kecil di kantongnya. Perlahan dia membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya. Hasta mengambil 3 butir pil lalu menelannya. Seketika itu juga nafasnya mulai terasa lega. Tak lama kemudian, Gembong salah satu anggota gengnya masuk ke kamar. "Kangmas Hasta, bagaimana keadaanmu?" "Tenang saja Mbong, aku sudah minum penawarnya. Setelah Gondo mati, aku mencari tuak buah kecubung yang dulu dipakainya untuk membuat kita ambruk. Tuak itu kucampur lagi dengan bisa ular kobra. Untung saja Gondo juga membuat penawar bisa ular." Gembong tersenyum lega, ternyata racun di tuak masih bisa dilawan. "Ooh, syukurlah kalau ada penawarnya." "Bagaimana sandiwaramu saat pura-pura mengejar Rangga? Apakah pemeran Rangga berhasil meloloskan diri?"Hasta memastikan rencananya. "Tenang saja Kangmas Hasta, Tunggul yang memerankan Rangga selamat dan berhasil lolos ke seberang sungai." "Ha ha ha ha kerja yang bagus. Setelah ini Rangga pasti dicari para pendekar di dunia persilatan yang akan memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni. Mereka tidak tahu kalau kitab ini sudah aku kuasai." "Kangmas Hasta memang pintar merancang tipu daya. Kurasa Kangmas Hastalah yang lebih pantas jadi Ketua Perguruan Sekar Jagad,"puji Gembong. Namun Hasta menukasnya "Ooh, tidak Gembong, itu bukan tujuanku. Aku punya tujuan yang lebih besar lagi. Setelah sembuh, aku mau secepatnya keluar dari sini. Terlalu berbahaya bagiku jika berlama-lama di sini." Gembong terkejut tak menyangka Hasta punya tujuan lain. "Jadi Kangmas Hasta mau pergi dari sini? Lalu bagaimana nasib saya dan teman-teman yang lain?" Hasta tersenyum dan menepuk pundak Gembong. "Jangan kuatir, semua orang yang sudah membantuku akan kujadikan ajudanku. Kalian semua akan masuk Kasatrian sebagai prajurit Majapahit. Disana kalian akan mendapatkan upah, makanan, pakaian dan tempat tinggal." Gembong terperangah mendengar janji Hasta. Dia menatap Hasta dengan pandangan tak percaya. "Benarkah itu Kangmas Hasta?" Hasta mengangguk meyakinkan Gembong. "Tentu saja, jika kalian berprestasi, kalian bisa jadi Senopati bahkan bisa menjadi Rakaryan Tumenggung." Wajah Gembong langsung sumringah "Terimakasih Kangmas Hasta, aku pasti akan menjadi abdimu yang paling setia." Tiba-tiba dari ruangan sebelah terdengar suara keras. "Glodak glodak glodak!" Seketika Hasta dan Gembong terdiam, wajah mereka berubah waspada. "Apa itu? Apa ada yang menguping pembicaraan kita? Gembong, periksa ruangan sebelah dan laporkan padaku apa yang kamu temukan di sana!"perintah Hasta. Gembong berdiri dan langsung berjalan cepat menuju ruangan sebelah.Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
"Jadi Dewi Sekar sebenarnya masih hidup tetapi hanya berubah wujud? Tapi bukankah beliau sudah insyaf dan tidak lagi menganut aliran Bhairawa setelah menikah dengan Mpu Waringin?" Rangga serasa tak percaya, isteri Mpu Waringin menjadi budak iblis yang bisa menjelma sebagai siluman ikan. "Benar, memang dia sudah insyaf. Tapi sebelum dia mengenal Waringin, dia telah menggadaikan hidupnya pada Wastya, Raja Siluman Ikan yang menghuni sungai itu. Wastya menjanjikan kecantikan dan kehidupan abadi asal Sekar bersedia menjadi isterinya,"ungkap Mbah Janti. Mbah Janti menyorongkan cawannya yang sudah kosong pada Rangga "Ngger, tolong tuangkan wedhang jahenya." Rangga meraih poci lalu menuangkan wedhang jahe untuk Mbah Janti dan dirinya. Setelah menyeruput minumannya, Rangga bertanya, "Jadi Dewi Sekar akhirnya menikah dengan Wastya? Tapi bagaimana mungkin demit menikahi manusia? Bukankah Sang Hyang Widi melarang pernikahan antara manusia dengan demit?" Rangga hampir tak percaya ada man
"Ngger, apa yang kamu lakukan di sungai tadi sampai Sekar dan Wastya harus turun tangan sendiri membereskan semuanya?"tanya Mbah Janti. Rangga berusaha mengingat semua peristiwa yang dialaminya saat berendam di sungai. Rangga mencoba mengingat kembali apa saja yang dia lakukan saat itu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Mbah, tadi waktu berendam di sungai aku...aku pipis," ucap Rangga lirih. "Haaah...kamu pipis di tengah sungai?" "Iya Mbah, aku pipis di tengah sungai," Rangga menundukan kepalanya. Dia merasa malu pada Mbah Janti. Mbah Janti menepuk jidatnya, "Astaga, kamu seharusnya tidak boleh pipis di tengah sungai krena di situlah kerajaan gaib Wastya berada. Aku lupa memberitahumu tadi, maafkan aku Ngger." Hadeeh Mbah...Mbah, Simbah yang lupa kasih tahu aku jadi kena masalah,pikir Rangga dengan hati kesal. "Lain kali kalau kebelet pipis, kamu pipis di tepi sungai, jangan di tengah. Ya sudah nggak apa-apa, besok akan kutemui Sekar untuk minta maaf dan membawakan se
Rangga melirik Awehpati yang masih saja mengikutinya selama dalam perjalanan. Orang tua itu katanya ingin merantau ke wilayah Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari pasukan Majapahit yang memburunya. Tapi bukannya memikirkan cara untuk segera sampai ke wilayah Sunda Galuh, orang tua itu malah mengikutinya mencari Pasar Dieng di gunung Lawu."Ki Sanak, mungkin sebaiknya anda meneruskan perjalanan ke Sunda Galuh saja. Biar saya sendirian saja mencari Pasar Dieng,"Rangga menyarankan.Awehpati hanya tersenyum lalu menepuk bahunya dan berkata"Ngger, kamu adalah anak dari sahabat sekaligus guruku. Dia sudah kuanggap seperti Saudara sendiri. Setelah dia tiada, akulah yang bertanggungjawab terhadapmu. Lagipula untuk menuju ke arah barat aku tetap harus melewati gunung ini."Rangga diam-diam merasa terharu dengan kebaikan Awehpati. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Di satu sisi dia gembira karena akhirnya dia mengetahui jati dirinya dan orangtua kandungnya. Namun dia juga sekalig
"Kedua isteri dan anak-anaknya masih tinggal di sana tapi para gundiknya sudah pergi meninggaklan tempat itu begitu mendengar Prawara bangkrut. Rumah yang mereka tempati sekarangpun hanya gubug sederhana,"ujar Ki Yasa.Rangga menghela nafas lalu berkata"Kasihan mereka, pastinya berat rasanya sudah terbiasa hidup mewah kini harus hidup miskin seperti leluhurnya dulu."Nyai Yasa masuk kamar dan mengabarkan."Ki Awehpati masih belum sadar sampai saat ini."Rangga mulai mencemaskan kondisi Awehpati."Kenapa dia masih belum sadar juga?""Tidak apa-apa, besok dia sudah bisa sadar. Energi buruk yang didapatnya dari Laut Kidul membuat tubuhnya lemah. Kita bisa minta tolong Pandhita Kasyiwan di pura desa untuk mendoakannya supaya energi buruknya bisa hilang,"Ki Yasa menenangkan Rangga.Ki Yasa lalu memanggil anaknya untuk memanggilkan Pandhita Kasyiwan di pura desa.Setelah anaknya pergi, terdengar pintu rumah diketuk dan suara seorang wanita memberi salam."Kulonuwun!"Nyai Yasa keluar kama
Rangga terkejut, dia mengira Prawara akan kembali bersama-sama. Tapi ternyata dia justru mengorbankan dirinya demi membebaskan keluarganya dari korban tumbal Nyi Blorong. Namun Ranggabtetapmingin membawa Prawara pergi."Ki Prawara, anda tetap ikut dengan kami pulang ke rumah."Ratu Kidul dan Nyi Blorong menatap Rangga dengan pandangan mengejek"Semua sudah ada di perjanjian antara kami dengan dia!"tangan Nyi Blorong menunjuk orang tua tadi.Orang tua itu hanya menunduk dan menangis menyesali keputusannya yang membuat anak keturunannya menderita."Maafkan aku sudah membuat kalian menderita. Ya, aku memang sudah memberikan stempel darah untuk kontrak perjanjian dengan Nyi Blorong bahwa aku bersedia mengorbankan anak cucuku sebagai tumbal dengan imbalan kekayaan tanpa batas,"orang tua itu berbicara sambil terisak.Nyi Blorong tersenyum sinis lalu berkata"Nah, kalian sudah dengar sendiri kan? Kami selalu menepati janji memberi kekayaan. Tapi kalian manusia yang selalu ingkar janji. Bahka
Tapi para penagih itu tidak peduli, mereka tetap memukuli bapak itu hingga luka-luka. Lalu salah satu anak buahnya mengambil tiga anak gadis bapak itu, memperkosa mereka lalu membawanya pergi. Tayangan di cermin kemudian berganti, anak kecil yang sakit itu meninggal. Sedangkan tiga anak gadis yang diambil itu terlihat berada di sebuah rumah plesir, berdandan menor melayani berbagai laki-laki yang datang di sana. Prawara dan Pawana menangis melihat penderitaan leluhurnya. "Pawana, kamu lihat sendiri penderitaan leluhur kita. Betapa menyakitkan dan menderita menjadi orang miskin. Entahlah apa keluargaku nanti mampu menghadapi keadaan ketika aku meninggalkan ilmu pesugihan ini,"kata Prawara sambil terisak. "Sudahlah Kangmas Prawara, semuanya sudah terjadi. Semoga saja Sang Hyang Widi masih mengasihani kita dan memberikan kita kesempatan untuk terlahir kembali dengan keadaan yang lebih baik,"Pawana menghibur saudaranya. "Pantas saja dengan penderitaan karena kemiskinan yang sep
"Aku sudah sering berinteraksi dengan hantu, tapi yang ini benar-benar menjijikan, mana baunya amis dan busuk,"gerutu Rangga."Ssshh...jangan keras-keras, nanti dia ngamuk,"Awehpati memperingatkan.Namun Rangga tak peduli, sambil menutup hidung, Rangga mundur beberapa langkah"Hei...hantu busuk, menjauhlah dariku. Aku tidak takut denganmu tapi aku tidak tahan dengan baumu yang busuk."Penjaga Laut Kidul itu marah lalu kembali menyabetkan cambuknya ke arah Rangga. Dengan sigap spontan Rangga menghindar. Tangannya bergerak mengerahkan energi Sang Hyang Agni ke tangannya. Sejurus kemudian api sudah berkobar di telapak tangannya membentuk selendang api. Lalu dia melemparkan selendang api ke arah si penjaga."Wuuush!"Api berkobar menyambar penjaga itu. Teriakan memilukan keluar dari bibirnya yang sudah tinggal separuh karena busuk."Aaarrrgh!"Rangga terus menyerang, selendang api sudah membelit tubuh penjaga berwajah busuk itu. Tak lama kemudian tubuh penjaga itu musnah jadi abu. Para
"Kangmas Prawara!"Pawana berlari gembira menyambut kakaknya. Pawana tidak menderita penyakit kulit seperti Prawara. Mungkin karena dia memang sudah dipilih jadi tumbal yang tentunya harus bersih dari penyakit. Tetapi tubuhnya tampak lebih kurus, dia hanya mengenakan celana gringsing yang sudah kumal, tangan dan kakinya dirantai.Kedua saudara kembar itu kemudian berbincang sementara Rangga dan Awehpati mengamati dari jauh."Kasihan Pawana, sukmanya terjebak di dunia demit dijadikan budak mereka sampai akhir jaman,"ujar Awehpati dengan suara lirih."Bisakah kita membebaskan sukmanya agar kematiannya bisa sempurna dan dia bisa terlahir kembali?""tanya Rangga."Entahlah, jika selama ini tidak ada yang mendoakan dia, mungkin sulit bagi sukmanya untuk kembali. Apalagi keluarganya adalah pemuja setan. Siapa lagi yang seharusnya mendoakannya kalau bukan dari keluarga sendiri,"ujar AwehpatiTak lama kemudian Pawana dan Prawara datang menghampiri Rangga lalu berkata"Ki Sanak sekalian, kita a
"Bunuh pelaku pesugihan itu!"Para penduduk desa mulai maju masuk lebih jauh ke halaman rumah keluarga Prawara. Para pengawal Prawara tak tinggal diam. Mereka sudah melolos pedang berbaris menghadang warga yang mencoba masuk lebih dalam.Ki Yasa buru-buru maju menenangkan warganya"Sabar...tenangkan diri kalian, jangan emosi dulu, Rangga dan Ki Awehpati ternyata masih hidup. Jadi kita tidak perlu sampai harus saling berbunuhan.""Tapi keluarga mereka telah tega menumbalkan warga desa Dadapan sebagai tumbal. Ini tak bisa dibiarkan!"kata salah seorang warga.Rangga maju mendekati Ki Yasa lalu berseru pada para penduduk desa yang sudah dikuasai emosi."Kami kemari tidak hanya mengobati penyakit keluarga mereka, tapi kami juga membantu Ki Prawara memutus ilmu pesugihan yang sudah berlangsung secara turun temurun! Coba lihat dia, penyakit kulit tanda pelaku pesugihan itu sudah kami obati walaupun masih belum tuntas,"Rangga menunjuk Prawara.Para penduduk desa itu baru menyadari, benjolan-b
Prawara tak menanggapi tawaran Rangga, dia menoleh ke arah gua dan berkata"Mungkin sudah saatnya aku sendiri yang harus mengakhirinya,"ujar Prawara lirih."Ya, anda harus segera mengakhirinya, karena anda juga sudah menumbalkan para penduduk desa pada Nyi Blorong,"ujar Rangga.Prawara menundukan kepala, matanya tampak berkaca-kaca"Bapakku bahkan pernah menumbalkan saudara kembarku Pawana, padahal dia begitu sayang padaku. Tapi bapakku tak berdaya menolak perintah Nyi Blorong,"Prawara menangis tersedu-sedu untuk beberapa saat.Rangga menanti dengan sabar sampai Prawara mulai tenang. Setelah menghapus air mata yang menitik di sudut matanya dan emosinya mulai stabil, Rangga memberanikan diri untuk bertanya"Jadi Bapak anda bahkan menumbalkan anaknya sendiri?"tanya Rangga.Prawara hanya menatap Rangga dengan pandangan kosong."Saat berusia sepuluh tahun, Pawana tiba-tiba menderita penyakit misterius dan tak sadarkan diri selama seminggu. Anehnya orangtuaku sama sekali tidak tampak sedih
Mpu Sengkala tampak berpikir, sejurus kemudian, dia berkata "Bisa tapi berat untuk dilakoni." "Itu tidak masalah bagiku, yang penting ilmu pesugihan ini harus diputus agar tidak menyusahkan generasi berikutnya,"ujar Rangga. Mpu Sengkala menghela nafas "Kalau tidak bisa menyediakan tumbal pengganti, kalian harus bisa mengalahkan Nyi Blorong." "Bagiku itu tidak berat, asal ada kemauan pasti ada jalan. Tidak ada satupun makhluk di bumi ini yang sempurna dan sakti mandraguna. Karena hanya Sang Hyang Widi yang memiliki segala kesempurnaan itu." Mpu Sengkala tersenyum lalu berkata "Kamu betul Ngger dan aku yakin kamu bisa mengalahkannya." Suara deru air menghilang, cuaca kembali cerah. Awehpati keluar rumah mengecek keadaan di luar. Setibanya di luar dia melihat pohon-pohon kecil bertumbangan. Hanya pohon-pohon besar yang masih bisa bertahan. Dilihatnya bangunan rumah tempat mereka berlindung. Rumah kecil itu masih berdiri dengan kokohnya, tidak ada kerusakan yang berarti.