Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja.
Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah Janti. Rangga terkejut mendengar penjelasan Mbah Janti. "Tapi bukankah para pendekar itu sudah mati?"tanya "Arwah mereka masih gentayangan di sini Rangga. Setiap malam Anggoro Kasih mereka akan menampakan diri seperti ini. Rangga masih akan bertanya lagi, namun tiba-tiba sebilah pedang dari salah satu pendekar yang bertarung menyambar wajahnya. "Sreeeet." Rangga dapat merasakan kesiur angin yang menerpa wajahnya. Dia ingin menghindar namun jarak pedang dan wajahnya begitu dekat sehingga dia sudah tidak bisa menghindar lagi. Rangga memejamkan mata pasrah menghadapi sambaran pedang. Sejurus kemudian Rangga membuka matanya, ternyata dia masih berada di komplek kuburan kuno. Rangga tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dipegangnya wajah dan tubuhnya lalu berseru gembira. "Aku masih hidup...aku masih hidup!" Mbah Janti tertawa melihat tingkah Rangga. "Ha ha ha ha, jangan takut pedang mereka tidak akan bisa melukaimu. Mereka hanyalah bayangan yang hanya akan muncul pada malam-malam tertentu." Rangga kembali menonton pertarungan, tiba-tiba sebilah pisau terbang melayang le arah wajahnya. "Sreeet." Sekarang Rangga tidak lagi memejamkan matanya. Dia dapat melihat pisau itu menembus kepalanya namun dia sama sekali tidak merasa sakit atau terluka. Pisau itu hanya seperti bayangan saja. "Mbah, ternyata pisau ini tidak dapat melukaiku." "Tentu saja Rangga, karena mereka hanya bayangan dari masa lalu. Bahkan jika kamu masuk di tengah mereka, kamu tidak akan tersentuh dan kamupun tidak dapat menyentuh mereka. Energi-energi mereka yang tersisa di sini masih sangat kuat. Hal itulah yang memudahkan kita untuk melihat kembali apa yang mereka alami di sini sebelum mati." "Aku mau mencoba berada di tengah mereka!" Rangga berdiri dari duduknya dan langsung berlari ke gelanggang. Saat di tengah gelanggang, para pendekar itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Rangga. Dia mencoba menyentuh salah satu pendekar, namun tangannya hanya menyentuh angin. Benar kata Mbah Janti, mereka hanya bayangan. Pantas saja tempat ini dianggap angker, batin Rangga. Tiba-tiba Rangga melihat kabut tipis mulai turun di tengah gelanggang pertempuran. "Rangga, cepat kemari!"seru Mbah Janti. "Ada apa Mbah?" Rangga berlari menghampiri Mbah Janti yang memberi tanda untuk duduk di sebelahnya. "Kamu lihat apa yang mereka lakukan setelah kabut itu turun." Rangga dan Mbah Janti dengan berdebar menunggu apa yang terjadi. Saat gelanggang sudah dipenuhi kabut yang pekat, suasana makin mencekam. Suara pertarungan dan denting senjata mendadak berhenti. Suasana yang hening dan sepi membuat komplek pemakaman di tengah hutan itu semakin mencekam. "Mbah, mengapa mereka berhenti bertarung, apa sudah selesai?" "Ini belum selesai,"tukas Mbah Janti. Tak lama kemudian dari gelanggang pertarungan yang tertutup kabut pekat, terdengar suara teriakan kesakitan bersahutan dari berbagai penjuru. Suara itu begitu memilukan seperti jeritan kematian membuat suasana malam itu semakin menyeramkan. Rangga tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di gelanggang pertarungan karena kabut yang turun begitu tebal. "Mbah, apa yang mereka lakukan di dalam kabut?"tanya Rangga ketakutan. "Nanti juga kamu tahu sendiri,"jawab Mbah Janti. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya suara teriakan itu semakin berkurang dan akhirnya lenyap. Suasana kembali hening dan kabut berangsur mulai menipis. Seiring dengan menipisnya kabut, perlahan mulai terlihat pemandangan mengerikan di depan mata. Para pendekar itu semua sudah mati, darah menggenang membanjiri gelanggang pertarungan. Rangga merasa takut sekaligus ngeri "Mbah, mereka semua mati. Apa yang terjadi pada mereka?" "Para pendekar itu bunuh diri karena kabut gaib yang dikirim oleh Dewi Sekar." "Oh, jadi kabut gaib yang mempengaruhi pikiran mereka?"tanya Rangga. Mbah Janti mengangguk "Ya, dengan ilmu hitamnya Sekar mengundang demit piaraannya untuk mempengaruhi pikiran para pendekar sehingga mereka berpikir bahwa mereka telah menghabisi lawannya tapi sebenarnya mereka bunuh diri." Sebuah bayangan putih berkelebat,seorang wanita berpakaian serba putih turun di tengah gelanggang. Dia memeriksa situasi di sekelilingnya, sesekali membungkuk memastikan apakah para pendekar itu sudah mati. Lalu dia berseru lantang dengan nada sombong. "Huuh kalian para pendekar berilmu rendah bermimpi ingin merebut Kitab Sang Hyang Agni dariku. Sekarang rasakan akibatnya jika melawanku!" "Itu Sekar,"bisik Mbah Janti. Di bawah sinar bulan Rangga dapat melihat wanita itu cantik tapi ada aura menyeramkan yang melingkupinya. Usai berujar memaki para pendekar itu, Dewi Sekar berkelebat pergi meninggalkan gelanggang. Setelah Dewi Sekar pergi, perlahan penampakan jasad-jasad yang berserakan di komplek kuburan itu semakin kabur kemudian perlahan menghilang dari pandangan. Mbah Janti memecah keheningan di antara mereka. "Ngger, kamu sudah melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu saat mereka memperebutkan kitab Sang Hyang Agni. Jauh di masa sebelumnya ketika Gusti Prabu Jayabaya berkuasa, di tempat ini juga pernah terjadi perebutan kitab Sang Hyang Agni." "Kenapa peristiwa itu selalu terjadi di tempat ini?"tanya Rangga. "Tempat ini dulunya adalah padepokan Sekte Bhairawa. Pendirinya adalah Nyi Lendi salah satu murid Calon Arang yang melarikan diri ketika Calon Arang dibunuh oleh Mpu Barada penasehat Gusti Prabu Airlangga. Nyi Lendi punya kesaktian yang mampu mengubah liur menjadi api,"tutur Mbah Janti. "Apakah Nyi Lendi menguasai ilmu Sang Hyang Agni?"tanya Rangga. Mbah Janti mengangguk "Kemungkinan begitu, setelah keruntuhan Kerajaan Medang, tidak ada lagi yang melindungi para pendeta di Sywa Grha. Bisa jadi mungkin pada akhirnya Calon Arang yang menguasai kitab itu dan diwariskan pada Nyi Lendi atau Nyi Lendi yang merebutnya dari orang lain aku tidak tahu persis. Yang aku tahu akhirnya Kitab Sang Hyang Agni dikuasai padepokan kami. "Tapi bagaimana ceritanya kitab itu bisa dikuasai guru saya Mpu Waringin?" Mbah Janti mendengus wajahnya terlihat kesal. "Adik sepupuku Dewi Sekar adalah Ketua Padepokan Sekte Bhairawa yang terakhir. Tapi dia bodoh, mau saja dia dirayu Waringin licik. Sehingga akhirnya Waringin menguasai ilmu Sang Hyang Agni dan menjadi pendekar tanpa tanding lalu mendirikan padepokan Sekar Jagad." Kali ini Rangga merasa gerah mendengar gurunya direndahkan Mbah Janti. Dia ingin marah tapi karena Mbah Janti sudah menolongnya dia tak enak hati jika harus melabrak Mbah Janti. "Mbah, ada masalah apa antara anda dan guru saya sehingga anda begitu membencinya? Setahu saya Mpu Waringin adalah pendekar golongan putih, dia orang baik,"protes Rangga Mbah Janti mendengus lalu menatap Rangga dengan pandangan mengejek "Huuh kamu pikir Waringin itu orang baik? Dia itu dimasa mudanya dikenal sebagai Durjana Pemetik Bunga. Kamu tahu apa artinya itu?" Rangga menggeleng. "Saya tidak tahu." "Itu artinya dia orang yang suka main perempuan. Asal ada yang cantik tak peduli isteri orang, pendeta atau gadis dia sikat setelah itu ditinggal." Rangga seketika terdiam tak berani protes lagi. Malam semakin larut, udara malam semakin dingin membuat Rangga sedikit menggigil. Tapi anehnya Mbah Janti yang hanya memakai kain dan kemben penutup dada sama sekali tak terlihat kedinginan. Mbah Janti tertawa melihat Rangga menggigil kedinginan. "Ha ha ha baru di luar sebentar sudah kedinginan. Sini aku buka cakramu supaya kamu bisa menghangatkan tubuhmu dengan tenaga dalam." Rangga mendekati Mbah Janti lalu duduk membelakanginya. Mbah Janti mulai menotok beberapa bagian di punggungnya. Tapi ketika menotok jalan darah di punggung bawah Mbah Janti menarik tangannya lalu berkata, "Aku tidak bisa membuka cakra tenaga dalammu. Ada sesuatu yang menyumbatnya. dan aku tidak tahu cara membukanya.""Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya. “Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gu
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m