Setibanya di luar, mereka mengikat Rangga di sebuah tonggak, memukuli dan menendangnya sampai babak belur sambil memakinya.
“Ampun…tolong hentikan...sakiit! Bukan aku yang membunuhnya!” “Bohong, buktinya sudah ada, kamu kan yang membantu Gondo membunuh Guru!” maki salah seorang murid. Mereka kembali memukuli Rangga tanpa ampun hingga pemuda itu muntah darah. Rangga menderita luka dalam yang teramat parah. “Sudah cukup, tenaga kalian masih diperlukan. Besok kita adili dia, jika terbukti dia bersalah, kalian boleh memukulinya sampai mati. Sementara biar dia di sini dulu, sekarang kita rawat jenazah Guru dan mempersiapkan upacara pemakaman,” perintah salah seorang sesepuh di padepokan. Beberapa murid yang memukuli Rangga masuk ke pondok meninggalkan Rangga sendirian dalam keadaan terikat. Mereka akan merawat jenazah Mpu Waringin dan mempersiapkan upacara pemakaman. Setelah semua orang pergi, suasana kembali sepi dan gelap. Lokasi padepokan yang terletak di hutan di lereng gunung terasa menyeramkan bagi Rangga. Suasana gelap, dingin dengan pepohonan besar di sekelilingnya bagaikan monster-monster raksasa yang siap menerkam dirinya. Sementara suara-suara burung malam yang aneh menambah seramnya suasana. Rangga mulai merasakan sakit di dalam tubuhnya dan menggigil kedinginan. Dia mulai menangis sesenggukan, tak menyangka nasibnya akan berakhir seperti ini. “Jauh-jauh aku dikirim kemari oleh Romo untuk belajar silat, tapi ternyata malah difitnah membunuh. Padahal aku tidak pernah menyakiti mereka mengapa balasannya begini?” Rangga mencoba menggerakan tubuhnya, namun hanya menggerakan satu lengannya saja dia sudah kesakitan. “Aaargh, tanganku.” Dadanya mendadak terasa sesak, “Hooeek!” Rangga kembali muntah darah, kepalanya mulai pusing, siksaan yang diterimanya membuatnya serasa di ambang kematian. Tiba-tiba terdengar suara memanggilnya lirih “Rangga…Rangga…Rangga, ini aku Badra.” Rangga menoleh terlihat Badra muncul dari balik semak-semak menghampirinya, “Rangga, aku akan membantumu lari dari sini. Ini aku bawakan obat luka dalam. Obat ini setidaknya membantumu bertahan untuk sementara sambil mencari tempat persembunyian yang aman.” Badra dengan sigap mengiris tali dadung pengikat lalu memberikan sebuah pil. “Ini minumlah, larilah cepat sebelum mereka menyadari.” Rangga langsung mengunyah pil itu, lalu duduk sejenak mengumpulkan kekuatan. “Cepat pergilah, waktunya tidak banyak.” Rangga berdiri perlahan lalu berpamitan pada Badra “Badra terimakasih sudah membantuku, aku pergi dulu.” Badra mengangguk lalu berbalik kembali ke pondok, sementara Rangga langsung menghilang di kegelapan malam. Kali ini dia merasa bingung harus lari kemana, dengan hanya dibantu sinar bulan yang bersinar temaram, Rangga terus berjalan tanpa arah. Dia berjalan melalui jalan setapak yang diketahuinya menuju ke arah sungai tempatnya berlatih kemarin. “Aku tidak kenal dengan tempat ini, pokoknya aku harus lari secepat mungkin meninggalkan padepokan. Semoga saja di jalan ada orang yang menolongku,” gumam Rangga. Karena luka yang dialaminya, Rangga tidak dapat berlari cepat. Tubuhnya terseok-seok jatuh bangun saat berjalan. Ketika melewati jalan yang menurun ke arah sungai, tubuh Rangga tidak kuat menahan laju tubuhnya sehingga dia jatuh berguling sampai ke tepian sungai. “Aaarrrgh.” Rangga kesakitan ketika tubuhnya berguling melewati bebatuan. Tiba-tiba terdengar seruan dari para pengejarnya “Bocah itu melarikan diri, kejar dia pasti dia masih belum jauh dari sini!” Sesaat kemudian, suara ramai kembali terdengar di belakangnya disertai bunyi gonggongan anjing. Sadarlah Rangga, orang-orang padepokan sudah menyadari kepergiannya dan kini mereka mengejarnya dengan bantuan anjing pemburu. Rangga menoleh ke belakangnya, terlihat sinar lampu obor berkelebat di tengah kegelapan. Rangga menggertakan giginya mengumpulkan semua kekuatannya untuk berlari lagi. Suara gonggongan anjing semakin mendekat, nyala obor mulai menerangi lingkungan di sekitarnya. Rangga berlari sekuat tenaga menjauh tapi di depannya ada sungai. Rangga sejenak ragu apakah dia harus masuk sungai menuju ke seberang atau berlari ke arah lain. Namun suara teriakan dari pengejarnya membuat dia harus segera mengambil keputusan. “Lihat, dia ada di tepi sungai, anak itu mau menyebrang sungai. Cepat tangkap dia…jangan sampai lolos!” Jalu memberi aba-aba. Rangga semakin panik, dibelakangnya ada Jalu dan para murid padepokan, di depannya sungai. Didorong keinginan untuk bertahan hidup, dia langsung memutuskan untuk menceburkan dirinya ke sungai. “Byuuur!” Tanpa mempedulikan tubuhnya yang sakit dan penuh luka, Rangga berenang menyeberangi sungai. Untung saja sungai ini sedang tenang dan tidak terlalu dalam, batin Rangga. Setibanya di seberang sungai, Rangga terkejut terlihat kilatan lampu obor mulai menerangi tepian sungai di seberangnya, para pengejarnya sudah dekat. Namun anjing-anjing pemburu itu tidak berani menyeberangi sungai, mereka hanya menggonggong ribut di pinggir sungai. “Dia di sana di seberang sungai! Hei pembunuh, mau lari kemana kamu?!” Kamu tidak akan bisa lolos dari kami!” seru orang-orang itu. Sementara itu beberapa orang mulai turun ke sungai dan berenang menyeberanginya. Rangga terus berlari sekencang mungkin masuk hutan. Berkali-kali tubuhnya terjatuh terpeleset ketika berlari, ranting-ranting pohon menggores kulit tubuhnya. Dia sudah tidak menghiraukan rasa sakit di tubuhnya lagi, yang ada dalam benaknya hanyalah bertahan hidup, lari sekuatnya menyelamatkan diri. Sebuah jalan setapak terbentang didepannya, di kanan dan kirinya terdapat tanaman bambu Ori membentuk lorong dari tanaman bambu. Rangga sempat ragu karena jalan setapak itu sempit apalagi di kanan kirinya ada rumpun bambu Ori yang berduri. Suara pengejarnya semakin dekat. Rangga akhirnya berjalan melewati jalan setapak itu dengan hati-hati agar tidak tergores duri bambu. Tiba-tiba langkahnya terhenti, di depannya terdapat beberapa gundukan tanah dengan batu di atasnya. “Sial, aku terjebak masuk kuburan,” gumam Rangga, dia mulai merasa takut. Takut kalau melihat penampakan hantu, demit dan sejenisnya. Ingin rasanya dia berbalik pergi namun suara para pengejarnya kembali terdengar “Dia di sana!” Dari kejauhan kilatan lampu obor mulai terlihat. Tak ada pilihan bagi Rangga selain masuk komplek kuburan. Dikuatkannya hatinya melewati gundukan-gundukan tanah itu sambil berkata. “Permisi Eyang-eyang penghuni kuburan, saya cuma numpang lewat, tolong jangan diganggu.” Rangga berhasil melewati kuburan-kuburan itu, ternyata ada jalan setapak lagi di depannya. Rangga kembali menoleh, dilihatnya para pengejarnya sudah tiba di pinggiran komplek makam di depan lorong rumpun bambu Ori. Tapi anehnya mereka hanya berdiri tertegun tidak berani melewati jalan setapak tadi. Walaupun heran tapi dia merasa lega para pengejarnya sudah tidak memburunya lagi. “Kangmas, kenapa berhenti?” tanya seorang murid pada Jalu. “Kita sudah berada dekat dengan Lembah Hantu, tempat ini tempat kutukan, sebaiknya kita segera pergi dari sini sebelum hantu-hantu pendekar sesat itu menyerang kita!” jawab Jalu. “Jadi kita hentikan pengejaran ini?” tanya Hasta dengan nada gusar. “Biar saja dia mati di sana, paling besok kita akan menemukan mayatnya hanyut di sungai. Hantu-hantu pendekar sesat itu nantinya akan mengambil sukmanya jadi kita tidak usah bersusah payah membunuhnya,” kata Jalu. "Tapi kita sudah di sini, kenapa tidak kita bunuh saja dia? Dia berbahaya, lagipula itu cuma kuburan biasa, masa kita takut sama hantu sih?"protes Hasta. “Dasar bodoh, kita sekarang berada di pintu gerbang Lembah Hantu. Kalau kita masuk ke sana bisa-bisa kita tidak bisa kembali ke alam kita! Kalian mau seumur hidup berada di alam gaib menjadi budak para demit?!"maki Jalu. Sontak semua orang mulai bergidik, mereka semua tahu kisah Lembah Hantu. Konon kabarnya setiap orang yang masuk kesitu tak ada yang bisa kembali lagi ke dunianya. Entah mati entah dibawa demit ke alam gaib. "Ya sudah, sebaiknya kita pulang saja, bocah itu sudah masuk Lembah Hantu, dia tidak akan keluar dengan selamat dari tempat itu!”salah seorang murid ikut menimpali. Perlahan rombongan kembali bergerak meninggalkan tepian sungai. Sementara itu Rangga masih terus berlari, lalu sampailah dia di sebuah pekarangan yang luas. Di depannya ada sebuah pondok kayu dengan lampu sentir tergantung di terasnya. Rangga merasa lega akhirnya ada orang lain di tempat itu. Dengan langkah terseok-seok Rangga menghampiri pondok dan mengetuk pintunya. Rangga mengetuk pintu beberapa kali, namun belum ada tanda-tanda orang datang membukakan pintu. Dia merasa tubuhnya semakin lemah dan akhirnya jatuh terduduk di depan pintu. Terdengar langkah kaki di seret dari dalam dan suara palang pintu yang dibuka. "Kreeek!" Suara derit pintu memecah keheningan malam. Saat pintu terbuka, Rangga terkejut, seorang nenek-nenek dengan rambut putih terurai panjang dan kusut seperti rumput liar sudah berdiri di depannya. Spontan Rangga berseru “Hantu…hantu!” Setelah itu pandangannya gelap, Rangga pingsan tak sadarkan diri.Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya. Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun
Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Hari ini hari pertama Rangga datang ke Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin untuk belajar silat. Dengan diantar oleh Jalu murid senior di padepokan, tibalah mereka di sebuah ruangan besar berlantai paving terakota yang disusun rapi dengan tikar pandan tergelar di atasnya. Beberapa murid menoleh ke arah Jalu dan Rangga, sedangkan yang lainnya acuh tak acuh asyik rebahan bersantai di tikarnya setelah seharian beraktivitas. Jalu menunjuk ke sudut ruangan. "Ini ruang tidurnya, di pojok sana masih ada tempat kosong." "Baik Kangmas, terimakasih,"jawab Rangga. Rangga berjalan menuju pojok kamar sambil membawa buntelan pakaian ganti melewati beberapa murid yang sudah tiduran di atas tikar. "Permisi, permisi numpang lewat." Tiba-tiba, Rangga merasa keseimbangannya hilang. "Brruuuk," Rangga jatuh tersungkur, seseorang telah menjegal kakinya. "Ha ha ha ha....si anak manja jatuh. Aduuh kasian kamu...sakit ya," Hasta salah satu murid di padepokan dan teman-temannya menertawaka
Samar-samar Rangga mendengar suara langkah kaki menghampirinya dan suara teman-temannya memanggil namanya. Saat Rangga terbangun dia mendapati dirinya berada di kamar dan Mpu Waringin sudah duduk di sampingnya. “Tak kusangka ternyata tubuhmu begitu lemah, baiklah besok kamu tidak usah belajar silat, kamu belajar ilmu pengobatan dengan Gondo,” ujar Mpu Waringin. “Maafkan saya guru, mungkin tadi karena bangun kesiangan, saya tidak sempat sarapan dan langsung berlatih.” “Tidak apa-apa, sekarang istirahatlah dulu. Besok aku mau bertapa selama 3 bulan. Jadi aku tidak dapat mengajar kalian, semua urusan telah kuserahkan pada Jalu dan para murid senior.” Keesokan harinya, situasi bukannya membaik tapi justru semakin memburuk. Bukannya belajar ilmu pengobatan, Jalu menghukum Rangga dengan menyuruhnya bekerja di dapur menyiapkan makanan bersama para abdi yang bekerja di padepokan. Sebelum subuh, Rangga sudah memulai kegiatannya lalu menghidangkan bubur sagu untuk sarapan pada para m