"Tahanan 2673, silakan ke sini."Lidia berjalan dengan kepala tertunduk. Setelah berada di penjara selama nyaris tiga tahun, kini dia sudah terbiasa dengan panggilan tersebut. Namun langkahnya tiba-tiba saja terhenti, saat dia melihat siapa orang yang datang mengunjunginya."Kamu lagi. Bukankah sudah aku katakan, agar tidak mengunjungiku lagi? Tapi kenapa kamu masih juga datang terus?""Kak Lidia, ish! Jangan bersikap sekasar itu dong. Lihat, Raline jadi kaget.""Kamu juga sih, Lin. Kenapa membawa anak kecil ke penjara?""Memangnya, kenapa? Raline ini juga kan, keponakan Kakak. Lagi pula, nanti juga Kakak akan tinggal bersamanya kan?"Sejenak Lidia terdiam, lalu membuang muka. "Tidak perlu. Lupakan saja omonganmu tadi. Lagi pula, dia pasti malu karena mempunyai bibi mantan napi seperti aku ini.""Siapa bilang? Memangnya, Kakak berpikir aku akan membesarkan putriku seperti apa?""Tapi—""Tujuh tahun lagi Kakak akan bebas. Pada saat itu, aku dan Raline akan datang menjemput Kakak. Titik
Halo, Para pembaca. Kisah Adam dan Angel berakhir sampai di sini. Terima kasih atas kesediannya untuk mengikuti kisah ini dan mohon maaf karena sempat vakum cukup lama. Ada satu dan lain hal yang menjadi penyebab, termasuk masalah kesehatan. Semoga kita semua selalu sehat & bahagia, ya. Saya menyadari bahwa karya ini sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu, komentar, masukan, dan saran dari Kakak sekalian sangat saya nanti dan hargai. Sampai bertemu di kisah yang lain. Apabila berkenan, silakan mampir di igeh saya: Rae_1243. Apabila ingin berhubungan melalui wa dengan saya, silakan dm saja. Sekali lagi, terima kasih. Salam sayang, ~Rae~
Raka berusaha menahan erangannya, tapi gagal. Lelaki tampan itu mengerang ketika rambutnya diremas dengan gemas, dan menggeram sewaktu tubuhnya didorong hingga jatuh terlentang. "Baby." Suaranya terdengar serak. "Apa yang kamu lakukan?" Pada saat ini di hadapannya telah ada sesosok makhluk paling cantik dan seksi yang pernah Raka temui. Dengan gerakan begitu sensual, perempuan itu mulai merayap dan menaiki tubuh Raka. Rambut panjangnya yang tergerai sedikit berantakan dan dahi yang dihiasi keringat justru menambah kesan seksi di mata Raka, membuatnya menggeram menahan gairah. "Baby, jangan terlalu menyiksaku." "Aku menginginkan rumah." "Apa— Baby, apa yang—" "Berikan aku rumah atau aku akan berhenti menjadi kekasihmu." Raka menelan ludah dengan susah payah. Miliknya di bawah sana sudah begitu tegang dan berdenyut sakit karena harus tertahan di dalam celana bahannya. Napas Raka juga semakin menderu, ketika jemari lentik itu mulai menelusuri dada dan membuka satu persatu kancing k
Angel baru keluar dari kamar mandi setelah waktu empat puluh lima menit telah berlalu. Dari awal dia memang sengaja berlama-lama di kamar mandi, untuk memastikan agar Raka merasa bosan menunggunya dan pergi. Perempuan cantik itu bahkan masih sempat keramas dan mengeringkan rambutnya terlebih dulu. "Baguslah," gumamnya, ketika tidak mendapati seorang pun berada di apartemennya. Ini berarti kalau Raka memang sudah berangkat kerja. "Ha ... masih pagi, tapi sudah membuatku capek saja. Menyebalkan sekali." Angel duduk di pinggir tempat tidur dengan tubuh yang hanya berbalut handuk kimono. Tidak ada Raka di sini jadi, dia bisa bersikap lebih santai. Namun baru saja menyilangkan kaki jenjangnya, mata Angel kemudian menangkap sesuatu yang tadinya tidak ada di atas nakas. "Kartu kredit?" Sebelah alis Angel menaik. Dia tidak perlu repot-repot untuk mencari tahu, siapa orang yang sudah begitu baik hati meninggalkan sebuah kartu kredit untuknya. Bahkan, sebenarnya itu tidak perlu. Sebab di
Lift berdenting dan pintunya pun terbuka. Angel yang tadi sempat sibuk kembali dengan pikirannya, sudah setengah berjalan masuk ke lift. Namun kemudian, langkahnya mendadak berhenti. Lift yang dia tunggu, rupanya tidak kosong. Ada seorang lelaki yang tengah berdiri sambil bersandar ke dinding lift, dengan kepala yang sedikit menunduk. Sikapnya memang terkesan cuek, tapi ada sesuatu pada lelaki itu yang entah mengapa membuat Angel merasa tidak nyaman. Apakah lebih baik kalau dia menunggu lift yang lain saja, ya? "Apa kamu berencana menjadi hantu gepeng?" "Apa?" Lelaki itu perlahan mendongak dan memandangnya, membuat Angel tanpa sadar terpukau. Kedua mata lelaki itu memiliki warna yang berlainan. Mata kanannya berwarna hijau seperti batu emerald, sementara yang satunya lagi berwarna amber. "Halo? Nona? Apakah kamu akan masuk atau tidak?" Bahkan sekedar mengalihkan pandangan pun terasa sulit. Memandangi sepasang mata yang berlainan warna itu membuat Angel seolah menemukan sebua
Beberapa pegawai lelaki memutuskan untuk berdiri bengong, ketika Angel melangkah memasuki gedung tempatnya bekerja sambil menyibakkan rambut. Gerakan yang semacam itu, sebenarnya merupakan hal yang lumrah. Namun terlihat begitu seksi dan menggoda, apabila Angel yang melakukannya. Sempat terjadi keributan kecil sewaktu satu atau dua orang kemudian saling bertabrakan. Itu karena perhatian mereka teralih sepenuhnya kepada Angel, sementara mereka terus berjalan tanpa melihat ke depan. Oh, ya, ampun. Ada-ada saja. "Morning, Gorgeous." Baru satu detik meletakkan tasnya di atas meja kerja, Angel masih belum sempat duduk ketika Yasmin Natasha melangkah masuk dan menyapa. Menoleh dan tersenyum, dia lantas menyambut gembira teman kerja satu angkatannya yang kini berjalan mendekat. "Hai, Yas." "Bagaimana? Apakah sudah siap untuk berperang?" Yasmin melontarkan pertanyaan yang berbalut kelakar satir, berjawab putaran mata oleh Angel. "Oh, ayolah. Jangan khawatir, Cantik. Presentasimu si
Tidak perlu menunggu waktu lama bagi Angel untuk sampai di salah satu pusat perbelanjaan. Seperti biasa, ada banyak pasang mata yang menatapnya kagum ketika dia melenggang dengan anggun. Sebagian besar berasal dari para kaum Adam yang menatapnya dengan lapar, tapi Angel sama sekali tidak peduli. Perempuan itu tetap asyik berbelanja. Apa pun barang yang disukainya, Angel tidak berpikir dua kali untuk membelinya. Dia sama sekali tidak mempedulikan harga barang yang dibelinya. Parfum, tas, pakaian, sandal, sepatu, bahkan sampai pakaian dalam. Tidak ketinggalan pula kacamata, jam tangan, dan berbagai aksesoris bermerk lainnya. Belum ada satu jam berlalu dan barang belanjaan Angel sudah begitu menumpuk, sampai-sampai dia harus dibantu oleh dua orang petugas porter mall. "Terima kasih, tapi tidak dulu." "Apakah tidak sayang, Bu? Kalungnya sangat cantik dan begitu cocok untuk Ibu pakai, lho." "Tapi ... bagaimana, ya? Harganya semahal itu." Angel seketika menghentikan langkahnya. Tadi
Raka meremas rambutnya dengan frustrasi. Sejak tadi dia pusing memikirkan soal permintaan Angel. Lelaki itu sama sekali tidak mengerti, kenapa kekasihnya tiba-tiba saja meminta sebuah rumah? "Kalau sekedar rumah mewah, tidak masalah bagiku. Aku sanggup memberikan Angel rumah semewah apa pun yang dia minta." Mengusap wajahnya dengan kasar, Raka memandang muram ke arah tumpukan pekerjaan di atas meja kerja. "Namun masalahnya, Angel meminta rumah yang berada tepat di sebelah rumahku. Bagaimana kalau sampai gara-gara itu, Lidia akhirnya tahu soal hubunganku dengan Angel?" Hubungan Raka dengan Angel memang belum berjalan terlalu lama. Mereka bahkan baru saling mengenal sembilan bulan lalu. Namun meski begitu, Raka benar-benar sudah jatuh hati terhadap perempuan itu. "Bagaimana kalau gara-gara aku tidak mengabulkan permintaannya ini lantas membuat Angel akan benar-benar marah, lalu memutuskan hubungan kami?" Untuk ke sekian kalinya, Raka mondar-mandir dengan gelisah di dalam ruang