Tidak perlu menunggu waktu lama bagi Angel untuk sampai di salah satu pusat perbelanjaan.
Seperti biasa, ada banyak pasang mata yang menatapnya kagum ketika dia melenggang dengan anggun. Sebagian besar berasal dari para kaum Adam yang menatapnya dengan lapar, tapi Angel sama sekali tidak peduli. Perempuan itu tetap asyik berbelanja.
Apa pun barang yang disukainya, Angel tidak berpikir dua kali untuk membelinya. Dia sama sekali tidak mempedulikan harga barang yang dibelinya.
Parfum, tas, pakaian, sandal, sepatu, bahkan sampai pakaian dalam. Tidak ketinggalan pula kacamata, jam tangan, dan berbagai aksesoris bermerk lainnya.
Belum ada satu jam berlalu dan barang belanjaan Angel sudah begitu menumpuk, sampai-sampai dia harus dibantu oleh dua orang petugas porter mall.
"Terima kasih, tapi tidak dulu."
"Apakah tidak sayang, Bu? Kalungnya sangat cantik dan begitu cocok untuk Ibu pakai, lho."
"Tapi ... bagaimana, ya? Harganya semahal itu."
Angel seketika menghentikan langkahnya. Tadinya dia hanya sekedar melihat-lihat etalase di toko perhiasan du Franc yang memang sudah sangat terkenal atas desain unik dan high class-nya, ketika tidak sengaja mendengarkan percakapan tersebut.
Alisnya sedikit menaik dan ada sebuah senyuman yang bermain di bibir seksinya. Tanpa ragu dia melangkah mendekat. Angel juga tidak merasa bersalah saat menabrak bahu seorang perempuan dengan rambut sepanjang bahu. Dia lantas menunjuk ke arah sebuah kotak perhiasan yang berisi kalung berliontin safir Ceylon, yang tengah perempuan itu lihat.
"Aku ingin membeli kalung ini," ujarnya dengan nada angkuh. "Tolong proses saja pembayarannya. Sekarang."
Perempuan yang tadi masih ragu hendak membeli kalung itu atau tidak, kini memandang Angel dengan sepasang alis yang mencuram.
"Kenapa Anda tiba-tiba datang dan langsung menerobos begitu saja? Saya masih melihat-lihat kalung itu."
"Bukankah tadi Anda sudah tidak jadi membelinya?"
"Saya masih memikirkannya lagi, bukan berarti benar-benar tidak jadi membelinya."
Angel mengibaskan rambutnya sedikit, sebelum kemudian memutar tubuh dan menghadapi perempuan itu. Tanpa berusaha sedikit pun untuk berpura-pura, dia memberi pandangan yang meremehkan.
"Anda mungkin yang lebih dulu melihatnya, tapi sayalah yang lebih cepat mengambil sebuah keputusan untuk membelinya."
"Tapi tetap saja, Anda tidak bisa seenaknya begit—"
"Anggap saja ini pelajaran bagi Anda, Nyonya. Lain kali, buatlah keputusan yang tepat sehingga Anda tidak perlu kehilangan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di tangan."
Sedikit mendekat, dia lantas menambahkan dengan suara yang setengah berbisik. "Kalau kamu memang tidak ingin menyerahkannya padaku, maka jaga baik-baik milikmu atau semuanya akan berbalik menjadi ... milikku."
Menoleh, dengan sikap tegas dan nada bicara yang tidak ingin dibantah, Angel pun berkata kepada pramuniaga. "Segera proses transaksi untuk kalung itu, lalu segera berikan kepadaku. Aku sudah tidak sabar ingin memakainya."
Perempuan yang menjadi lawan bicaranya terlihat masih belum terima. Dia mungkin masih akan mengajaknya berdebat. Namun dengan santai Angel segera melenggang pergi, diikuti oleh pramuniaga yang membawakan kalung pilihannya.
Yah, sebenarnya Angel tidak terlalu tertarik dengan kalung itu, sih. Namun, dia tetap harus memilikinya. Meski harus merebut pun, tidak masalah.
"Sedikit demi sedikit, aku akan mengambil semua yang menjadi milikmu," gumamnya, melirik ke arah perempuan yang masih memandangnya marah. "Ternyata lumayan menyenangkan juga melihat ekspresi kecewamu. Oh, andai saja kamu tahu bahwa bukan hanya kalung ini yang aku rebut, tapi juga suami tampanmu ... Lidia."
Angel sama sekali tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Lidia Mihru, perempuan yang sampai detik ini masih sah menjadi istri Raka Sandira, lelaki yang selama beberapa bulan terakhir ini diam-diam menjalin hubungan dengannya.
Tersenyum simpul, Angel merasa ringan saja ketika melihat harga kalung yang berhasil dia rebut. Senyumannya pun semakin lebar ketika menggunakan kartu kredit pemberian Raka sebagai pembayaran.
"Raka." Angel mendesah. "Kira-kira, bagaimana reaksinya, ya, kalau dia tahu bahwa aku baru saja bertemu dengan istrinya? Oh, aku benar-benar penasaran."
Angel pun kembali tersenyum. Ah, sepertinya dia mempunyai ide yang cukup bagus.
Menoleh ke arah pramuniaga yang sudah membantunya, seorang perempuan muda yang mungkin seumuran dengannya, Angel lantas bertopang dagu dengan satu tangan.
Menyuguhkan senyumannya yang menawan, dia kemudian berkata, "Apa kamu ingin mendapatkan tambahan uang tip dariku?"
***
Raka meremas rambutnya dengan frustrasi. Sejak tadi dia pusing memikirkan soal permintaan Angel. Lelaki itu sama sekali tidak mengerti, kenapa kekasihnya tiba-tiba saja meminta sebuah rumah? "Kalau sekedar rumah mewah, tidak masalah bagiku. Aku sanggup memberikan Angel rumah semewah apa pun yang dia minta." Mengusap wajahnya dengan kasar, Raka memandang muram ke arah tumpukan pekerjaan di atas meja kerja. "Namun masalahnya, Angel meminta rumah yang berada tepat di sebelah rumahku. Bagaimana kalau sampai gara-gara itu, Lidia akhirnya tahu soal hubunganku dengan Angel?" Hubungan Raka dengan Angel memang belum berjalan terlalu lama. Mereka bahkan baru saling mengenal sembilan bulan lalu. Namun meski begitu, Raka benar-benar sudah jatuh hati terhadap perempuan itu. "Bagaimana kalau gara-gara aku tidak mengabulkan permintaannya ini lantas membuat Angel akan benar-benar marah, lalu memutuskan hubungan kami?" Untuk ke sekian kalinya, Raka mondar-mandir dengan gelisah di dalam ruang
Sebenarnya, video semacam apa yang dilihat oleh Raka? Dalam rekaman video tersebut, terlihat bagian dada seorang perempuan. Dada tersebut tampak begitu montok serta mulus, dengan kulit yang berwarna putih bersih. Mulanya, rekaman video fokus ke seuntai kalung dengan liontin safir Ceylon, yang kini melingkari sebuah leher jenjang. Di dalam video, terlihat ujung jari yang lentik bergerak menyusuri untaian kalung. Sejalan dengan gerakan jari tersebut, maka rekaman video pun semakin turun, turun, dan terus turun. Adegan berikutnya malah membuat Raka sampai harus mengertakkan rahang kuat-kuat. Satu. Dua. Tiga. Total ada tiga kancing kemeja yang dilepas dengan gerakan perlahan dan sensual. Raka bisa melihat permukaan dada yang terlihat begitu montok dan menggiurkan. Milik Raka di bawah pun semakin sesak saja rasanya. Apalagi sewaktu terdengar sebuah suara yang mendesah memanggilnya. "Honey, bagaimana menurutmu? Apakah kamu suka?" Itu adalah suara Angel. Raka jelas tidak mungkin
Angel mengakhiri panggilan teleponnya dengan wajah puas. Dia lantas menoleh ke pramuniaga toko perhiasan du Franc yang kini bersamanya, di sebuah ruangan khusus pelanggan VIP. "Terima kasih karena sudah bersedia membantuku," ucapnya dengan ketulusan, mengamati pramuniaga yang sekarang sedang membersihkan kalung miliknya. "Tidak perlu dimasukkan ke kotak. Biar langsung aku pakai saja," imbuhnya. "Baik, Nona." Dengan cekatan pramuniaga itu lantas membantu memasangkan kalung ke leher Angel, sementara perempuan cantik itu menyibakkan rambutnya. "Saya juga berterima kasih atas uang tip yang sudah Anda berikan," ucap pramuniaga itu lagi, tersenyum senang saat mengingat tambahan dana yang lumayan banyak di rekeningnya. "Lupakan saja. Toh, itu karena kamu sudah bersedia membantuku untuk memakai kalungnya dan aku videokan seperti tadi. Jangan lupa." Angel memajukan tubuhnya dan menatap lekat-lekat ke mata pramuniaga tersebut. "Ini rahasia. Lagi pula, semisal terbongkar pun tidak akan me
"Honey ... aku lapar. Aku ingin memakanmu." Raka seketika menegang. Sekujur tubuhnya pun kini meremang sewaktu merasakan hembusan napas Angel di lehernya. "Baby," bisiknya dengan suara yang sudah terdengar parau. "Kamu benar-benar nakal." Untung saja Angel masih sempat meraih sling bag-nya, sebab tidak lama kemudian Raka sudah langsung menariknya. Langkah lelaki itu begitu terburu-buru dan sama sekali tidak memedulikan pandangan heran para karyawannya. Tersenyum, Angel sudah bisa merasa wajar dengan reaksi orang-orang tersebut yang terus saja memandanginya. Tentu saja mereka heran dan bertanya-tanya, siapa perempuan yang sedang atasannya gandeng ini? Senyumannya semakin lebar ketika memikirkan bahwa kabar mengenai kedatangannya ini akan bisa mencapai telinga Lidia. Rasanya dia tidak sabar menantikan hal tersebut. "Raka," panggilnya dengan suara manja, bertumpu di bahu kiri Raka dan berpura-pura handak jatuh sehingga lelaki itu segera menyambar pinggang Angel dan memeluknya. N
Sementara itu, di dalam ruangan kantor Raka, hal yang sudah Nilam perkiraan memang benar-benar terjadi. Setelah tadi mengunci pintu ruangannya, bisa dikata kalau Raka melemparkan tubuh Angel begitu saja ke atas sofa. Dengan tidak sabar dia membuka simpul ikatan dasi dan cepat-cepat membuka kancing kemejanya. "Baby," ujarnya, menatap bernafsu ke arah Angel yang justru hanya berbaring seolah sedang menunggunya. "Aku lapar dan aku membutuhkan tubuhmu sebagai makananku. Aku ingin memakanmu." "Apa aku terlihat seperti hidangan yang menggiurkan, sampai-sampai kamu begitu menggila, Raka?" "Kamu memang sudah membuatku gila, Baby. Jadi, jangan harap kalau aku akan melepaskanmu. Kamu milikku." Angel sudah melepaskan sepatunya. Dia kini mengangkat sebelah kakinya, lalu mengarahkannya ke atas kepala Raka. Lelaki itu sama sekali tidak keberatan dan justru terlihat semakin bernafsu, saat kaki Angel yang berbalut stocking tipis sekarang sedang menelusuri wajahnya. Meraih kaki Angel, Raka lant
"Raka, ada apa?" Suara Angel yang mendesah, berhasil menarik kembali perhatian Raka. Lelaki itu lantas dengan cepat menguasai dirinya dan mengambil keputusan. "Tahan Lidia sebisanya, Nilam," perintahnya. "Kalau memungkinkan, bawa dia ke ruang tunggu di sebelah. Pokoknya, jauhkan dia dari sini. Paham?" Suara Nilam yang menjawabnya terdengar bagai suara cicitan tikus. Rupanya sekretarisnya itu juga ikut-ikutan merasa tegang. Sementara itu, Raka tidak ingin membuang-buang waktu. Dia bergegas menghampiri Angel, yang kini malah sedang berbaring tertelungkup menunggunya. Ah, sial! Dalam hati, Raka memaki habis-habisan. Melihat pose Angel saat ini justru membuatnya semakin bernafsu. Lihat saja. Raka sudah membayangkan saat mencengkeram pinggul yang seksi itu, lalu menariknya ke posisi yang sedikit tinggi, sehingga dia bisa menikmati tubuh Angel dari belakang. Sampai saat ini Raka masih belum pernah berhasil memasuki Angel, dan itu membuatnya malah semakin tertantang. Namun sekaran
Apakah Raka sedang memandang istrinya atau dia justru sedang berhadapan dengan dewi kematian? Selama sesaat dia berdiri mematung, menatap Lidia dalam diam. "Kenapa pintunya dikunci segala, Mas?" tanya Lidia dengan nada yang jelas menuduh. "Ada apa? Apakah kamu sedang bersama dengan seseorang?" Kenapa istrinya ini terlihat begitu mengerikan, sih? Segala kecantikan yang Lidia miliki seakan menghilang begitu saja di mata Raka. Yah, coba lihat saja. Wajah Lidia yang terlihat berang, ditambah lagi dengan pandangan melotot marah kepadanya. Benar-benar jauh berbeda dengan Angel. Kekasihnya itu selalu bisa terlihat cantik di mata Raka. Bahkan meski sedang marah sekalipun, Angel masih tampak begitu imut dan menggemaskan. "Mas Raka!" Lidia membentak, berhasil membuat Raka terkejut sehingga bayangan lelaki itu soal Angel pun buyar dengan seketika. "Kenapa Mas Raka malah melamun?" "Itu—" Raka mencoba memikirkan sebuah jawaban, tapi percuma. Saat ini pikirannya hanya dipenuhi oleh Angel
Sementara Lidia membersihkan diri, Raka segera meraih ponselnya. Lelaki itu lantas mengetikkan sebuah pesan dan cepat-cepat mengirimkannya. Tujuannya siapa lagi, kalau bukan kepada Angel. "Baby, di mana dirimu?" Tidak ada jawaban. Hal tersebut membuat Raka kembali mengetik dan mengirimkan pesan yang lain. "Baby, apakah kamu baik-baik saja? Kumohon, agar kamu tidak terlalu bersedih. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengusirmu tadi." Tetap tidak ada jawaban. Bahkan Angel pun masih belum membaca pesannya dan membuat Raka semakin hilang kesabaran. "Baby, kumohon. Jawab pesanku." Masih juga tidak respon. Merasa tidak sabar lagi, Raka kemudian nekat menghubungi kekasihnya itu. Dia benar-benar merasa mencemaskan Angel. Sebab, bukankah kekasihnya tadi sempat menangis sewaktu Raka tiba-tiba saja memintanya pergi? "Baby, ayolah. Jawab teleponnya," gumamnya, meremas rambut dengan gelisah. "Ah, sial! Padahal kami baru saja berbaikan kembali, sekarang malah jadi seperti ini." Baga