Sebenarnya, video semacam apa yang dilihat oleh Raka?
Dalam rekaman video tersebut, terlihat bagian dada seorang perempuan. Dada tersebut tampak begitu montok serta mulus, dengan kulit yang berwarna putih bersih.
Mulanya, rekaman video fokus ke seuntai kalung dengan liontin safir Ceylon, yang kini melingkari sebuah leher jenjang.
Di dalam video, terlihat ujung jari yang lentik bergerak menyusuri untaian kalung. Sejalan dengan gerakan jari tersebut, maka rekaman video pun semakin turun, turun, dan terus turun.
Adegan berikutnya malah membuat Raka sampai harus mengertakkan rahang kuat-kuat.
Satu. Dua. Tiga. Total ada tiga kancing kemeja yang dilepas dengan gerakan perlahan dan sensual.
Raka bisa melihat permukaan dada yang terlihat begitu montok dan menggiurkan. Milik Raka di bawah pun semakin sesak saja rasanya. Apalagi sewaktu terdengar sebuah suara yang mendesah memanggilnya.
"Honey, bagaimana menurutmu? Apakah kamu suka?"
Itu adalah suara Angel. Raka jelas tidak mungkin keliru mengenali nada bicara kekasihnya yang manja.
Dia tahu, bahwa yang Angel maksudkan dalam pertanyaan tersebut adalah soal seuntai kalung seharga satu rumah yang kini melingkar di lehernya. Namun sayangnya, perhatian Raka justru mengarah ke hal yang lain.
Dada yang begitu kenyal itu, ingin sekali Raka meremas lalu mencumbunya habis-habisan.
"Ah, sial! Baby, kamu membuatku on siang-siang begini," ujarnya, sembari menyerah napas kasar. "Sial! Sial! Jam berapa ini? Aku ingin bisa segera bertemu dengan Angel."
Rupanya kali ini semesta sedang berbaik hati terhadap Raka. Sebab, tidak lama kemudian ponselnya kembali bergetar dan ada sebuah pesan lain yang masuk.
Pesan dari Angel. Kekasihnya itu kini mengiriminya sebuah foto.
"Oh, God! Baby, kamu benar-benar menyiksaku," bisik Raka, dengan nada sedikit mengeluh, tapi lebih cenderung semakin bergairah. "Kalau begini, aku bisa benar-benar gila padamu."
Mata lelaki itu lekat memandangi foto Angel yang tengah ber-selfie dengan setengah menggigit bibir. Namun bagi Raka, pandangan perempuan itu benar-benar terlihat begitu menggoda.
Semua itu, masih ditambahi lagi dengan sebuah pesan singkat yang juga turut dikirimkan.
"Honey, aku kangen ...."
"Oh, Baby. Aku juga begitu merindukanmu." Raka balas berbisik mesra, seolah-olah saat ini ada Angel bersamanya.
Lelaki itu tidak bisa lebih bahagia lagi, ketika akhirnya Angel meneleponnya. Bahkan belum mencapai dua kali deringan dan Raka sudah langsung menerima panggilan masuk tersebut dengan perasaan tidak sabar.
"Baby ...," sapanya dengan suara yang sedikit terengah. "Hei."
"Raka, apakah kamu tidak ingin menemuiku?"
"Tentu saja ingin. Baby, aku bahkan sudah menelepon berulang kali untuk mengajakmu makan siang bersama, tapi—"
"Kalau begitu, aku mempunyai kabar baik untukmu."
Dahi Raka seketika mengernyit. Namun, dia memutuskan untuk menunggu Angel menyelesaikan ucapannya.
"Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju kantormu. Sepuluh menit lagi mungkin aku akan sampai. Kuharap kamu tidak keberatan soal ini."
Keberatan? Tentu saja tidak!
Raka bahkan nyaris meloncat karena saking bahagianya. Kekasihnya akan datang. Jadi, dia harus menyambutnya dengan baik kan?
"Baby, kenapa aku harus keberatan?" sahutnya bertanya, dengan senyuman yang begitu lebar. "Aku justru merasa senang dengan kedatanganmu. Nanti kita makan siang di dalam kantorku saja. Aku akan memesankan semua makanan dan minuman favoritmu, Baby. Bagaimana?"
Angel menyatakan persetujuannya dan mengakhiri panggilan telepon tidak terlalu lama kemudian. Sementara itu, selama beberapa menit Raka masih terus senyum-senyum sendiri.
Makan siang bersama di dalam ruang kantornya, tentu merupakan alasan kosong semata. Sebab yang lelaki itu inginkan saat ini adalah bermesraan dengan Angel sepuasnya.
"Oh, Baby. Siang hari ini pasti akan menjadi semakin panas," gumamnya.
Sepuluh menit. Hanya sepuluh menit lagi dan Angel akan sampai.
Ya, ampun. Rasanya, Raka sudah tidak sabar lagi untuk menunggu kedatangan kekasihnya.
***
Sementara itu, Lidia menutup panggilan teleponnya yang tidak juga terjawab dengan sikap tidak sabar.
Hatinya terasa kesal karena sejak tadi Raka tidak juga bisa dihubungi. Bahkan suaminya itu menolak panggilan teleponnya satu kali.
"Apakah dia sangat sibuk? Mungkinkah Mas Raka sedang ada meeting, sampai-sampai tidak bisa menerima panggilan teleponku sebentar saja?"
Bergumam dan berpikir, Lidia menemukan kegelisahan dalam hatinya. Entah mengapa, tapi belakangan ini perasaannya selalu merasa tidak tenang. Seolah seperti ada sesuatu yang berbahaya yang sedang mengintai.
"Maaf, Bu Lidia, tapi kita jadi pergi ke mana?" Suara supir pribadinya terdengar, menyela Lidia dari pikirannya sendiri.
Melirik sekilas ke arah jam tangannya, Lidia menyadari bahwa sebentar lagi sudah tiba waktu untuk makan siang. Dia kembali berpikir dan mempertimbangkan.
"Tadi Mas Raka pergi begitu pagi, bahkan sampai tidak sempat sarapan," bisiknya. "Padahal semalam kami habis bertengkar lagi dan pagi tadi aku malah masih mengomelinya. Pasti Mas Raka merasa sangat kesal. Jadi, tidak ada salahnya kan, kalau sekarang aku mengajaknya makan siang bersama? Lagi pula, aku juga ingin minta maaf atas sikapku."
Lidia sudah hendak menelepon Raka untuk memberi tahu soal rencananya tersebut, tapi kemudian dia berubah pikiran.
"Ah, tidak. Lebih baik kalau aku tidak usah memberi tahu Mas Raka agar bisa menjadi kejutan," putusnya sembari tersenyum sendiri. "Mas Raka pasti akan senang menyambut kedatanganku."
Memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas tangan, Lidia lantas berkata, "Antarkan aku ke kantor Bapak, ya. Kalau bisa, tolong secepatnya."
Lelaki berusia tiga puluh tahunan yang menjadi supir pribadinya pun mengangguk. "Baik, Nyonya. Sepuluh menit lagi mungkin kita akan sampai di kantor Bapak."
Lidia mengangguk dan balas tersenyum. Perempuan itu menghela napas lega karena membayangkan bahwa sepuluh menit lagi dia akan bisa menemui suaminya dan hubungan mereka berdua pun bisa kembali mesra.
Tidak perlu waktu yang terlalu lama, sampai kemudian sedan berwarna biru itu pun melaju.
***
Angel mengakhiri panggilan teleponnya dengan wajah puas. Dia lantas menoleh ke pramuniaga toko perhiasan du Franc yang kini bersamanya, di sebuah ruangan khusus pelanggan VIP. "Terima kasih karena sudah bersedia membantuku," ucapnya dengan ketulusan, mengamati pramuniaga yang sekarang sedang membersihkan kalung miliknya. "Tidak perlu dimasukkan ke kotak. Biar langsung aku pakai saja," imbuhnya. "Baik, Nona." Dengan cekatan pramuniaga itu lantas membantu memasangkan kalung ke leher Angel, sementara perempuan cantik itu menyibakkan rambutnya. "Saya juga berterima kasih atas uang tip yang sudah Anda berikan," ucap pramuniaga itu lagi, tersenyum senang saat mengingat tambahan dana yang lumayan banyak di rekeningnya. "Lupakan saja. Toh, itu karena kamu sudah bersedia membantuku untuk memakai kalungnya dan aku videokan seperti tadi. Jangan lupa." Angel memajukan tubuhnya dan menatap lekat-lekat ke mata pramuniaga tersebut. "Ini rahasia. Lagi pula, semisal terbongkar pun tidak akan me
"Honey ... aku lapar. Aku ingin memakanmu." Raka seketika menegang. Sekujur tubuhnya pun kini meremang sewaktu merasakan hembusan napas Angel di lehernya. "Baby," bisiknya dengan suara yang sudah terdengar parau. "Kamu benar-benar nakal." Untung saja Angel masih sempat meraih sling bag-nya, sebab tidak lama kemudian Raka sudah langsung menariknya. Langkah lelaki itu begitu terburu-buru dan sama sekali tidak memedulikan pandangan heran para karyawannya. Tersenyum, Angel sudah bisa merasa wajar dengan reaksi orang-orang tersebut yang terus saja memandanginya. Tentu saja mereka heran dan bertanya-tanya, siapa perempuan yang sedang atasannya gandeng ini? Senyumannya semakin lebar ketika memikirkan bahwa kabar mengenai kedatangannya ini akan bisa mencapai telinga Lidia. Rasanya dia tidak sabar menantikan hal tersebut. "Raka," panggilnya dengan suara manja, bertumpu di bahu kiri Raka dan berpura-pura handak jatuh sehingga lelaki itu segera menyambar pinggang Angel dan memeluknya. N
Sementara itu, di dalam ruangan kantor Raka, hal yang sudah Nilam perkiraan memang benar-benar terjadi. Setelah tadi mengunci pintu ruangannya, bisa dikata kalau Raka melemparkan tubuh Angel begitu saja ke atas sofa. Dengan tidak sabar dia membuka simpul ikatan dasi dan cepat-cepat membuka kancing kemejanya. "Baby," ujarnya, menatap bernafsu ke arah Angel yang justru hanya berbaring seolah sedang menunggunya. "Aku lapar dan aku membutuhkan tubuhmu sebagai makananku. Aku ingin memakanmu." "Apa aku terlihat seperti hidangan yang menggiurkan, sampai-sampai kamu begitu menggila, Raka?" "Kamu memang sudah membuatku gila, Baby. Jadi, jangan harap kalau aku akan melepaskanmu. Kamu milikku." Angel sudah melepaskan sepatunya. Dia kini mengangkat sebelah kakinya, lalu mengarahkannya ke atas kepala Raka. Lelaki itu sama sekali tidak keberatan dan justru terlihat semakin bernafsu, saat kaki Angel yang berbalut stocking tipis sekarang sedang menelusuri wajahnya. Meraih kaki Angel, Raka lant
"Raka, ada apa?" Suara Angel yang mendesah, berhasil menarik kembali perhatian Raka. Lelaki itu lantas dengan cepat menguasai dirinya dan mengambil keputusan. "Tahan Lidia sebisanya, Nilam," perintahnya. "Kalau memungkinkan, bawa dia ke ruang tunggu di sebelah. Pokoknya, jauhkan dia dari sini. Paham?" Suara Nilam yang menjawabnya terdengar bagai suara cicitan tikus. Rupanya sekretarisnya itu juga ikut-ikutan merasa tegang. Sementara itu, Raka tidak ingin membuang-buang waktu. Dia bergegas menghampiri Angel, yang kini malah sedang berbaring tertelungkup menunggunya. Ah, sial! Dalam hati, Raka memaki habis-habisan. Melihat pose Angel saat ini justru membuatnya semakin bernafsu. Lihat saja. Raka sudah membayangkan saat mencengkeram pinggul yang seksi itu, lalu menariknya ke posisi yang sedikit tinggi, sehingga dia bisa menikmati tubuh Angel dari belakang. Sampai saat ini Raka masih belum pernah berhasil memasuki Angel, dan itu membuatnya malah semakin tertantang. Namun sekaran
Apakah Raka sedang memandang istrinya atau dia justru sedang berhadapan dengan dewi kematian? Selama sesaat dia berdiri mematung, menatap Lidia dalam diam. "Kenapa pintunya dikunci segala, Mas?" tanya Lidia dengan nada yang jelas menuduh. "Ada apa? Apakah kamu sedang bersama dengan seseorang?" Kenapa istrinya ini terlihat begitu mengerikan, sih? Segala kecantikan yang Lidia miliki seakan menghilang begitu saja di mata Raka. Yah, coba lihat saja. Wajah Lidia yang terlihat berang, ditambah lagi dengan pandangan melotot marah kepadanya. Benar-benar jauh berbeda dengan Angel. Kekasihnya itu selalu bisa terlihat cantik di mata Raka. Bahkan meski sedang marah sekalipun, Angel masih tampak begitu imut dan menggemaskan. "Mas Raka!" Lidia membentak, berhasil membuat Raka terkejut sehingga bayangan lelaki itu soal Angel pun buyar dengan seketika. "Kenapa Mas Raka malah melamun?" "Itu—" Raka mencoba memikirkan sebuah jawaban, tapi percuma. Saat ini pikirannya hanya dipenuhi oleh Angel
Sementara Lidia membersihkan diri, Raka segera meraih ponselnya. Lelaki itu lantas mengetikkan sebuah pesan dan cepat-cepat mengirimkannya. Tujuannya siapa lagi, kalau bukan kepada Angel. "Baby, di mana dirimu?" Tidak ada jawaban. Hal tersebut membuat Raka kembali mengetik dan mengirimkan pesan yang lain. "Baby, apakah kamu baik-baik saja? Kumohon, agar kamu tidak terlalu bersedih. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengusirmu tadi." Tetap tidak ada jawaban. Bahkan Angel pun masih belum membaca pesannya dan membuat Raka semakin hilang kesabaran. "Baby, kumohon. Jawab pesanku." Masih juga tidak respon. Merasa tidak sabar lagi, Raka kemudian nekat menghubungi kekasihnya itu. Dia benar-benar merasa mencemaskan Angel. Sebab, bukankah kekasihnya tadi sempat menangis sewaktu Raka tiba-tiba saja memintanya pergi? "Baby, ayolah. Jawab teleponnya," gumamnya, meremas rambut dengan gelisah. "Ah, sial! Padahal kami baru saja berbaikan kembali, sekarang malah jadi seperti ini." Baga
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Lidia akan percaya begitu saja? Jawabannya, jelas tidak. Dia tidak sebodoh itu untuk mempercayai mentah-mentah ucapan Angel begitu saja. "Siapa kamu sebenarnya?" Lidia bertanya dengan nada menggeram. "Jangan berbohong dengan mengatakan bahwa kamu datang menemui suamiku hanya untuk urusan pekerjaan!" Ya, ampun. Adakah sesuatu yang lebih lucu dari ini? Melihat wajah marah Lidia, justru membuat Angel merasa geli. Lihat saja wajahnya yang sekarang tampak merah padam karena marah. Mengerikan sekali, apalagi ditambah dengan kerutan-kerutan halus yang mulai muncul. Diam-diam Angel merasa bahwa semua perawatan wajah yang sudah Lidia lakukan selama ini, merupakan hal yang sia-sia belaka. Sekedar buang-buang uang saja. "Ck! Sayang sekali," gumamnya, terdengar jelas baik oleh Raka maupun Lidia. "Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?" Sedikit lagi Lidia mungkin akan histeris. Dia menyadari tatapan Angel yang seolah menilainya dari atas sampai ke
Angel tertawa setelah mendengar lelucon yang baru saja Aldi ceritakan. Secara tanpa sengaja, Yasmin dan Aldi datang bersamaan ke departemen tempatnya bekerja. Yasmin hendak mengantarkan dokumen yang sudah ditandatangani oleh Head Finance, sedangkan Aldi akan mengambil dokumen kerja sama dengan Sandira Enterprise yang seharusnya sudah rampung Angel bawa siang ini. Meski sayangnya, belum. "Bukankah sesudah makan siang tadi kamu langsung pergi ke Sandira Enterprise? Lalu, ada masalah apa, sampai kamu belum mendapatkan tanda tangan di dokumen kerja sama itu?" tanya Aldi dengan nada sedikit kesal. Seharusnya kalau dokumen tersebut sudah beres, maka dia bisa pulang tepat waktu hari ini. "Jangan memasang wajah menyebalkan seperti itu." Yasmin melemparkan setumpuk sticky note ke arah Aldi. "Lagi pula, Angel juga sudah meminta agar supervisor-nya mengirimkan personil lain sebagai ganti dirinya. Makanya, tunggu saja dengan sabar." "Iya, tapi kenapa? Maksudku, tidak biasanya kan, Angel mel