"Honey ... aku lapar. Aku ingin memakanmu."
Raka seketika menegang. Sekujur tubuhnya pun kini meremang sewaktu merasakan hembusan napas Angel di lehernya.
"Baby," bisiknya dengan suara yang sudah terdengar parau. "Kamu benar-benar nakal."
Untung saja Angel masih sempat meraih sling bag-nya, sebab tidak lama kemudian Raka sudah langsung menariknya. Langkah lelaki itu begitu terburu-buru dan sama sekali tidak memedulikan pandangan heran para karyawannya.
Tersenyum, Angel sudah bisa merasa wajar dengan reaksi orang-orang tersebut yang terus saja memandanginya. Tentu saja mereka heran dan bertanya-tanya, siapa perempuan yang sedang atasannya gandeng ini?
Senyumannya semakin lebar ketika memikirkan bahwa kabar mengenai kedatangannya ini akan bisa mencapai telinga Lidia. Rasanya dia tidak sabar menantikan hal tersebut.
"Raka," panggilnya dengan suara manja, bertumpu di bahu kiri Raka dan berpura-pura handak jatuh sehingga lelaki itu segera menyambar pinggang Angel dan memeluknya.
Namun tentu saja, perempuan itu berpura-pura belaka.
Dengan gerakan cepat, Angel segera memanfaatkan hal tersebut dan mendaratkan ciuman di sudut bibir Raka, tepat sebelum pintu lift menutup. Melirik sekilas, dia tersenyum sewaktu melihat wajah terkejut dari para pegawai Raka.
Sayangnya, Angel tidak bisa terlalu lama menikmati saat-saatnya merasa puas. Sebab ketika lift mulai bergerak ke atas, Raka segera menariknya. Tanpa ampun lelaki itu segera melumat bibir Angel. Napasnya semakin memburu saat merasakan tangan Angel yang juga mulai menyentuhnya.
"Aku akan memakanmu habis-habisan siang ini, Baby," bisiknya dengan suara yang sudah demikian serak. Menunduk, dia kini menghirup aroma di leher Angel dan segera menciuminya.
Namun sebelum Raka berhasil membuat tanda kepemilikan di lehernya, dengan halus Angel bergerak menjauh. Dia tidak terlalu suka memiliki tanda apa pun yang mungkin lelaki itu tinggalkan, tidak peduli di bagian tubuhnya yang mana pun.
"Ada CCTV," bisiknya dengan suara merdu, berusaha agar Raka tidak mencurigai sikap enggannya. "Bagaimana kalau tindakan kita ini akan menjadi masalah? Aku tidak peduli dengan diriku, tapi aku khawatir denganmu, Raka. Aku tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu yang bisa menjelekkan nama baikmu."
Raka memandanginya selama beberapa saat. Tenggorokan lelaki itu terasa tercekat dan dia pun segera menarik Angel kembali ke dalam pelukannya.
"Baby," bisiknya. "Ternyata kamu benar-benar mencintaiku. Bahkan sampai-sampai mencemaskanku seperti ini."
Satu. Dua. Tiga. Angel harus berhitung di dalam hati untuk beberapa detik, sebelum akhirnya sanggup menjawab.
"Tentu saja. Raka, apakah selama ini kamu masih meragukan perasaanku? Aku bahkan bersedia menjadi perempuan murahan demi bisa bersamamu."
"Baby, kamu bukan perempuan murahan. Bagiku, kamu adalah perempuan yang paling berharga."
"Bahkan bila dibandingkan dengan istrimu?"
"Tentu saja. Lidia tidak ada apa-apanya bila harus dibandingkan dengan dirimu. Dia mana pernah merasa khawatir atau memperhatikanku seperti kamu tadi."
Sebelah alis Angel menaik sewaktu mendengarnya.
Dia mungkin saja menjadi yang kedua, tapi yang jelas, perempuan yang menjadi prioritas nomor satu bagi lelaki ini adalah Angel.
Angel tersenyum manis. Dia lalu mengalungkan kedua tangannya ke belakang leher Raka, menjinjit dan berusaha membuat wajah mereka sebisa mungkin sejajar, lalu berbisik tepat di depan bibir lelaki itu.
"Kalau begitu, cium aku, Raka. Aku menginginkanmu."
"Aku milikmu, Baby."
Bahkan sewaktu pintu lift sudah terbuka pun, Raka masih belum menyudahi ciumannya. Baru ketika pintu lift nyaris menutup lagi, dengan cepat lelaki itu menekan tombol untuk menahan pintu lift dan menggandeng Angel.
"Ayo, Baby. Nanti di dalam ruang kantorku kita bisa makan siang dengan tenang."
Raka dengan begitu tidak sabaran menariknya. Saat ini mereka telah berada di lantai lima belas, lantai yang memang dikhususkan menjadi kantor Raka dan beberapa ruang pertemuan sehingga tidak ada banyak pegawai yang berada di sini.
"Batalkan semua sisa jadwalku hari ini," ucapnya dengan nada memerintah kepada sekretarisnya, sementara Raka sama sekali tidak memelankan langkahnya. "Jangan biarkan siapa pun untuk masuk ke ruanganku. Tidak, sampai aku sendiri yang memberikan ijin. Tidak peduli siapa pun itu. Mengerti?"
Tidak ada sahutan. Rupanya sekretaris itu, seorang perempuan muda dan juga cukup cantik, sangat terkejut dengan kedatangan Raka yang membawa perempuan yang jelas bukan istrinya.
Mengerling, Angel bisa membaca nama yang tercantum di emblem yang terpasang di dada kiri sekretaris tersebut. Nilam Maharani.
"Kenapa diam saja?" hardik Raka dengan nada tidak sabar. Dia merasa kesal karena Nilam tidak juga menjawab ucapannya dan malah terpaku memandangi Angel. "Jawab, Nilam!"
Ah, sial! Apa sekretarisnya itu tidak tahu, kalau dia sudah tidak tahan ingin bisa segera bermesraan bersama Angel?
Nilam mengangguk dan menjawab dengan cepat. "Mengerti, Pak."
"Dan jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya akan melakukan sesi wawancara intensif, sambil makan siang dengannya. Jangan sampai berkata sembarangan yang sampai membuat kabar aneh-aneh tersebar, Nilam. Mengerti?"
"Ii—ya, Pak. Tentu saja. Jangan khawatir."
Angel masih sempat memandangnya dengan ekspresi wajah menggoda. Ulah perempuan cantik itu justru dengan jelas menyatakan bahwa dia dan Raka tidak mungkin hanya akan makan siang biasa.
Namun tentu saja, sejak awal Nilam juga tidak sebodoh itu. Tidak mungkin dia percaya mentah-mentah atas ucapan atasannya tadi.
Seorang lelaki tampan seperti Raka, yang datang dengan membawa seorang perempuan yang secantik dan seseksi itu. Mereka kini berduaan saja di dalam ruang kantor yang terkunci dan kedap suara, bahkan tanpa ingin diganggu sedikit pun.
"Yah, kalau memang tidak terjadi apa pun di dalam sana," gumam Nilam, sembari melanjutkan lagi pekerjaannya. "Maka panggil aku ubur-ubur."
***
Sementara itu, di dalam ruangan kantor Raka, hal yang sudah Nilam perkiraan memang benar-benar terjadi. Setelah tadi mengunci pintu ruangannya, bisa dikata kalau Raka melemparkan tubuh Angel begitu saja ke atas sofa. Dengan tidak sabar dia membuka simpul ikatan dasi dan cepat-cepat membuka kancing kemejanya. "Baby," ujarnya, menatap bernafsu ke arah Angel yang justru hanya berbaring seolah sedang menunggunya. "Aku lapar dan aku membutuhkan tubuhmu sebagai makananku. Aku ingin memakanmu." "Apa aku terlihat seperti hidangan yang menggiurkan, sampai-sampai kamu begitu menggila, Raka?" "Kamu memang sudah membuatku gila, Baby. Jadi, jangan harap kalau aku akan melepaskanmu. Kamu milikku." Angel sudah melepaskan sepatunya. Dia kini mengangkat sebelah kakinya, lalu mengarahkannya ke atas kepala Raka. Lelaki itu sama sekali tidak keberatan dan justru terlihat semakin bernafsu, saat kaki Angel yang berbalut stocking tipis sekarang sedang menelusuri wajahnya. Meraih kaki Angel, Raka lant
"Raka, ada apa?" Suara Angel yang mendesah, berhasil menarik kembali perhatian Raka. Lelaki itu lantas dengan cepat menguasai dirinya dan mengambil keputusan. "Tahan Lidia sebisanya, Nilam," perintahnya. "Kalau memungkinkan, bawa dia ke ruang tunggu di sebelah. Pokoknya, jauhkan dia dari sini. Paham?" Suara Nilam yang menjawabnya terdengar bagai suara cicitan tikus. Rupanya sekretarisnya itu juga ikut-ikutan merasa tegang. Sementara itu, Raka tidak ingin membuang-buang waktu. Dia bergegas menghampiri Angel, yang kini malah sedang berbaring tertelungkup menunggunya. Ah, sial! Dalam hati, Raka memaki habis-habisan. Melihat pose Angel saat ini justru membuatnya semakin bernafsu. Lihat saja. Raka sudah membayangkan saat mencengkeram pinggul yang seksi itu, lalu menariknya ke posisi yang sedikit tinggi, sehingga dia bisa menikmati tubuh Angel dari belakang. Sampai saat ini Raka masih belum pernah berhasil memasuki Angel, dan itu membuatnya malah semakin tertantang. Namun sekaran
Apakah Raka sedang memandang istrinya atau dia justru sedang berhadapan dengan dewi kematian? Selama sesaat dia berdiri mematung, menatap Lidia dalam diam. "Kenapa pintunya dikunci segala, Mas?" tanya Lidia dengan nada yang jelas menuduh. "Ada apa? Apakah kamu sedang bersama dengan seseorang?" Kenapa istrinya ini terlihat begitu mengerikan, sih? Segala kecantikan yang Lidia miliki seakan menghilang begitu saja di mata Raka. Yah, coba lihat saja. Wajah Lidia yang terlihat berang, ditambah lagi dengan pandangan melotot marah kepadanya. Benar-benar jauh berbeda dengan Angel. Kekasihnya itu selalu bisa terlihat cantik di mata Raka. Bahkan meski sedang marah sekalipun, Angel masih tampak begitu imut dan menggemaskan. "Mas Raka!" Lidia membentak, berhasil membuat Raka terkejut sehingga bayangan lelaki itu soal Angel pun buyar dengan seketika. "Kenapa Mas Raka malah melamun?" "Itu—" Raka mencoba memikirkan sebuah jawaban, tapi percuma. Saat ini pikirannya hanya dipenuhi oleh Angel
Sementara Lidia membersihkan diri, Raka segera meraih ponselnya. Lelaki itu lantas mengetikkan sebuah pesan dan cepat-cepat mengirimkannya. Tujuannya siapa lagi, kalau bukan kepada Angel. "Baby, di mana dirimu?" Tidak ada jawaban. Hal tersebut membuat Raka kembali mengetik dan mengirimkan pesan yang lain. "Baby, apakah kamu baik-baik saja? Kumohon, agar kamu tidak terlalu bersedih. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengusirmu tadi." Tetap tidak ada jawaban. Bahkan Angel pun masih belum membaca pesannya dan membuat Raka semakin hilang kesabaran. "Baby, kumohon. Jawab pesanku." Masih juga tidak respon. Merasa tidak sabar lagi, Raka kemudian nekat menghubungi kekasihnya itu. Dia benar-benar merasa mencemaskan Angel. Sebab, bukankah kekasihnya tadi sempat menangis sewaktu Raka tiba-tiba saja memintanya pergi? "Baby, ayolah. Jawab teleponnya," gumamnya, meremas rambut dengan gelisah. "Ah, sial! Padahal kami baru saja berbaikan kembali, sekarang malah jadi seperti ini." Baga
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Lidia akan percaya begitu saja? Jawabannya, jelas tidak. Dia tidak sebodoh itu untuk mempercayai mentah-mentah ucapan Angel begitu saja. "Siapa kamu sebenarnya?" Lidia bertanya dengan nada menggeram. "Jangan berbohong dengan mengatakan bahwa kamu datang menemui suamiku hanya untuk urusan pekerjaan!" Ya, ampun. Adakah sesuatu yang lebih lucu dari ini? Melihat wajah marah Lidia, justru membuat Angel merasa geli. Lihat saja wajahnya yang sekarang tampak merah padam karena marah. Mengerikan sekali, apalagi ditambah dengan kerutan-kerutan halus yang mulai muncul. Diam-diam Angel merasa bahwa semua perawatan wajah yang sudah Lidia lakukan selama ini, merupakan hal yang sia-sia belaka. Sekedar buang-buang uang saja. "Ck! Sayang sekali," gumamnya, terdengar jelas baik oleh Raka maupun Lidia. "Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?" Sedikit lagi Lidia mungkin akan histeris. Dia menyadari tatapan Angel yang seolah menilainya dari atas sampai ke
Angel tertawa setelah mendengar lelucon yang baru saja Aldi ceritakan. Secara tanpa sengaja, Yasmin dan Aldi datang bersamaan ke departemen tempatnya bekerja. Yasmin hendak mengantarkan dokumen yang sudah ditandatangani oleh Head Finance, sedangkan Aldi akan mengambil dokumen kerja sama dengan Sandira Enterprise yang seharusnya sudah rampung Angel bawa siang ini. Meski sayangnya, belum. "Bukankah sesudah makan siang tadi kamu langsung pergi ke Sandira Enterprise? Lalu, ada masalah apa, sampai kamu belum mendapatkan tanda tangan di dokumen kerja sama itu?" tanya Aldi dengan nada sedikit kesal. Seharusnya kalau dokumen tersebut sudah beres, maka dia bisa pulang tepat waktu hari ini. "Jangan memasang wajah menyebalkan seperti itu." Yasmin melemparkan setumpuk sticky note ke arah Aldi. "Lagi pula, Angel juga sudah meminta agar supervisor-nya mengirimkan personil lain sebagai ganti dirinya. Makanya, tunggu saja dengan sabar." "Iya, tapi kenapa? Maksudku, tidak biasanya kan, Angel mel
Suara notifikasi ponsel Angel tidak berhenti berbunyi, sampai akhirnya perempuan itu pun mengaktifkan mode hening. Tanpa perlu untuk memeriksa ponselnya pun, dia sudah tahu siapa yang terus menerus mengiriminya pesan. Raka bahkan menelepon ratusan kali, selama tiga hari berturut-turut. Rasanya terlalu melelahkan kalau Angel harus menanggapi semuanya satu persatu. "Kabar baiknya adalah Raka bersedia menurut, sewaktu aku katakan agar jangan pernah datang ke apartemen sebelum aku ijinkan," gumamnya, dengan terampil memilih dan memilah beberapa data. "Awas saja kalau dia sampai nekat datang." Dia baru saja mengirimkan hasil pekerjaannya tersebut melalui email, sewaktu melihat Yasmin melintas dengan begitu terburu. Dahi Angel pun mengernyit. Tumben sekali Yasmin sampai berlari-lari seperti itu. Berpikir sejenak, dia lantas mengangkat bahu. Angel lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku dan memutuskan pergi ke kantin untuk makan siang. Namun sesampainya di sana, lagi-lagi perempuan
Lidia berjalan keluar dari sebuah toko perhiasan dengan langkah bahagia. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Raka yang ketiga. Dia sudah membelikan pin dasi yang terbuat dari emas dan berhiaskan berlian sebagai hadiah untuk suaminya. Selain itu, nanti Lidia juga akan memasak sendiri semua menu untuk makan malam istimewa mereka nanti. "Mas Raka pasti akan senang kalau aku masakkan makanan kesukaannya." Lidia merasa begitu bahagia dan bersemangat. "Sudah lama rasanya kami tidak makan malam romantis." Cap jay, gurami asam manis dan juga kepiting telur asin. Lidia sudah menyiapkan semua bahannya. "Mas Raka juga sudah tidak lagi tidur di ruang kerjanya dan bahkan semalam kami pun berhubungan intim," gumamnya, merasa benar-benar bahagia karena mengingat bahwa semalam suaminya sendirilah yang datang dan meminta jatah kepadanya. "Dia masih mencintaiku. Suamiku masih menginginkanku. Oh, ya ampun. Berarti memang benar, kalau semua ini gara-gara perempuan rendahan itu. Nyat