Sementara itu, di dalam ruangan kantor Raka, hal yang sudah Nilam perkiraan memang benar-benar terjadi.
Setelah tadi mengunci pintu ruangannya, bisa dikata kalau Raka melemparkan tubuh Angel begitu saja ke atas sofa. Dengan tidak sabar dia membuka simpul ikatan dasi dan cepat-cepat membuka kancing kemejanya.
"Baby," ujarnya, menatap bernafsu ke arah Angel yang justru hanya berbaring seolah sedang menunggunya. "Aku lapar dan aku membutuhkan tubuhmu sebagai makananku. Aku ingin memakanmu."
"Apa aku terlihat seperti hidangan yang menggiurkan, sampai-sampai kamu begitu menggila, Raka?"
"Kamu memang sudah membuatku gila, Baby. Jadi, jangan harap kalau aku akan melepaskanmu. Kamu milikku."
Angel sudah melepaskan sepatunya. Dia kini mengangkat sebelah kakinya, lalu mengarahkannya ke atas kepala Raka. Lelaki itu sama sekali tidak keberatan dan justru terlihat semakin bernafsu, saat kaki Angel yang berbalut stocking tipis sekarang sedang menelusuri wajahnya.
Meraih kaki Angel, Raka lantas menciuminya. Mulai dari telapak kaki Angel, pergelangan, betis, lalu semakin merayap naik. Dia meninggalkan bekas ciuman basah di sepanjang stocking yang membalut kaki jenjang perempuan itu.
"Raka, akh!" Angel menengadah ketika ciuman Raka telah sampai di pahanya. Lelaki itu kini tidak hanya sekedar menciuminya, tapi juga menjilat serta menggigitnya ringan, sehingga membuat suara desahan Angel semakin sering terdengar. "Raka, hentikan."
Raka tersenyum. Dia merasa senang karena sudah berhasil memainkan gairah kekasihnya. Wajah Angel yang merah padam terlihat begitu menggemaskan baginya.
"Baby," bisiknya, menyusupkan tangan ke dalam rok Angel. "Kamu sudah basah ternyata," sambungnya, meraba kain tipis dengan pinggiran berenda yang kini sudah begitu lembab.
Angel melenguh ketika Raka kemudian bergerak menaiki tubuhnya. Lelaki itu membuka lebar kaki Angel dan memposisikan diri tepat di tengah-tengahnya.
"Aku mencintaimu." Raka menyibakkan rambut Angel dan mengusap keringat di dahi perempuan itu. "Aku sangat mencintaimu, Baby."
Sekilas ada ekspresi aneh yang melintasi wajah Angel, tapi Raka sama sekali tidak menyadarinya.
Lelaki itu lalu menatap ke arah kalung yang kini melingkar di leher Angel. Raka mengelus-elus liontin safir Ceylon itu dan tersenyum.
"Cantik," bisiknya. "Segala sesuatu yang cantik, memang cocok untukmu, Baby."
Raka sudah semakin menunduk dan akan kembali mencium Angel, ketika telepon di atas meja kerjanya berbunyi. Dia berusaha untuk tidak mengacuhkan suara dering yang mengganggu itu, tapi dengan lembut Angel justru mendorong dadanya.
"Angkat saja dulu, Raka."
"Tapi, Baby. Aku sudah tidak sabar ingin segera menikmati tubuh—"
"Sebentar saja. Angkat teleponnya dulu, hm."
Lelaki tampan itu memasang ekspresi wajah tidak suka, tapi dia juga tidak lagi membantah ucapan Angel. Apa pun permintaan kekasihnya, sebisa mungkin Raka ingin mengabulkan semuanya.
"Ada apa, Nilam?" tanyanya dengan nada kesal. "Bukankah tadi sudah kukatakan agar tidak menggangguku sedikit pun? Lalu sekarang, kenapa kamu malah berani-berani menelepon, ha?"
"Maafkan saya, Pak, tapi ada kabar penting yang perlu untuk segera saya sampaikan."
"Apa? Katakan cepat!"
"Istri Anda, Pak."
"Memangnya, kenapa dengan istriku? Bicara yang jelas, Nilam!"
"Petugas lobi tadi baru saja memberi tahu, Pak, bahwa bu Lidia baru saja datang. Istri Anda ada di sini dan sekarang sedang menuju ke ruang kantor Anda."
Raka seketika membeku mendengar kabar yang disampaikan oleh Nilam tersebut.
Mungkinkah kalau dia hanya salah dengar? Apa tadi katanya? Lidia ada di sini?
"Gawat!" desis Raka. "Ini benar-benar gawat!"
***
"Raka, ada apa?" Suara Angel yang mendesah, berhasil menarik kembali perhatian Raka. Lelaki itu lantas dengan cepat menguasai dirinya dan mengambil keputusan. "Tahan Lidia sebisanya, Nilam," perintahnya. "Kalau memungkinkan, bawa dia ke ruang tunggu di sebelah. Pokoknya, jauhkan dia dari sini. Paham?" Suara Nilam yang menjawabnya terdengar bagai suara cicitan tikus. Rupanya sekretarisnya itu juga ikut-ikutan merasa tegang. Sementara itu, Raka tidak ingin membuang-buang waktu. Dia bergegas menghampiri Angel, yang kini malah sedang berbaring tertelungkup menunggunya. Ah, sial! Dalam hati, Raka memaki habis-habisan. Melihat pose Angel saat ini justru membuatnya semakin bernafsu. Lihat saja. Raka sudah membayangkan saat mencengkeram pinggul yang seksi itu, lalu menariknya ke posisi yang sedikit tinggi, sehingga dia bisa menikmati tubuh Angel dari belakang. Sampai saat ini Raka masih belum pernah berhasil memasuki Angel, dan itu membuatnya malah semakin tertantang. Namun sekaran
Apakah Raka sedang memandang istrinya atau dia justru sedang berhadapan dengan dewi kematian? Selama sesaat dia berdiri mematung, menatap Lidia dalam diam. "Kenapa pintunya dikunci segala, Mas?" tanya Lidia dengan nada yang jelas menuduh. "Ada apa? Apakah kamu sedang bersama dengan seseorang?" Kenapa istrinya ini terlihat begitu mengerikan, sih? Segala kecantikan yang Lidia miliki seakan menghilang begitu saja di mata Raka. Yah, coba lihat saja. Wajah Lidia yang terlihat berang, ditambah lagi dengan pandangan melotot marah kepadanya. Benar-benar jauh berbeda dengan Angel. Kekasihnya itu selalu bisa terlihat cantik di mata Raka. Bahkan meski sedang marah sekalipun, Angel masih tampak begitu imut dan menggemaskan. "Mas Raka!" Lidia membentak, berhasil membuat Raka terkejut sehingga bayangan lelaki itu soal Angel pun buyar dengan seketika. "Kenapa Mas Raka malah melamun?" "Itu—" Raka mencoba memikirkan sebuah jawaban, tapi percuma. Saat ini pikirannya hanya dipenuhi oleh Angel
Sementara Lidia membersihkan diri, Raka segera meraih ponselnya. Lelaki itu lantas mengetikkan sebuah pesan dan cepat-cepat mengirimkannya. Tujuannya siapa lagi, kalau bukan kepada Angel. "Baby, di mana dirimu?" Tidak ada jawaban. Hal tersebut membuat Raka kembali mengetik dan mengirimkan pesan yang lain. "Baby, apakah kamu baik-baik saja? Kumohon, agar kamu tidak terlalu bersedih. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk mengusirmu tadi." Tetap tidak ada jawaban. Bahkan Angel pun masih belum membaca pesannya dan membuat Raka semakin hilang kesabaran. "Baby, kumohon. Jawab pesanku." Masih juga tidak respon. Merasa tidak sabar lagi, Raka kemudian nekat menghubungi kekasihnya itu. Dia benar-benar merasa mencemaskan Angel. Sebab, bukankah kekasihnya tadi sempat menangis sewaktu Raka tiba-tiba saja memintanya pergi? "Baby, ayolah. Jawab teleponnya," gumamnya, meremas rambut dengan gelisah. "Ah, sial! Padahal kami baru saja berbaikan kembali, sekarang malah jadi seperti ini." Baga
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Lidia akan percaya begitu saja? Jawabannya, jelas tidak. Dia tidak sebodoh itu untuk mempercayai mentah-mentah ucapan Angel begitu saja. "Siapa kamu sebenarnya?" Lidia bertanya dengan nada menggeram. "Jangan berbohong dengan mengatakan bahwa kamu datang menemui suamiku hanya untuk urusan pekerjaan!" Ya, ampun. Adakah sesuatu yang lebih lucu dari ini? Melihat wajah marah Lidia, justru membuat Angel merasa geli. Lihat saja wajahnya yang sekarang tampak merah padam karena marah. Mengerikan sekali, apalagi ditambah dengan kerutan-kerutan halus yang mulai muncul. Diam-diam Angel merasa bahwa semua perawatan wajah yang sudah Lidia lakukan selama ini, merupakan hal yang sia-sia belaka. Sekedar buang-buang uang saja. "Ck! Sayang sekali," gumamnya, terdengar jelas baik oleh Raka maupun Lidia. "Apa maksudmu dengan berkata seperti itu?" Sedikit lagi Lidia mungkin akan histeris. Dia menyadari tatapan Angel yang seolah menilainya dari atas sampai ke
Angel tertawa setelah mendengar lelucon yang baru saja Aldi ceritakan. Secara tanpa sengaja, Yasmin dan Aldi datang bersamaan ke departemen tempatnya bekerja. Yasmin hendak mengantarkan dokumen yang sudah ditandatangani oleh Head Finance, sedangkan Aldi akan mengambil dokumen kerja sama dengan Sandira Enterprise yang seharusnya sudah rampung Angel bawa siang ini. Meski sayangnya, belum. "Bukankah sesudah makan siang tadi kamu langsung pergi ke Sandira Enterprise? Lalu, ada masalah apa, sampai kamu belum mendapatkan tanda tangan di dokumen kerja sama itu?" tanya Aldi dengan nada sedikit kesal. Seharusnya kalau dokumen tersebut sudah beres, maka dia bisa pulang tepat waktu hari ini. "Jangan memasang wajah menyebalkan seperti itu." Yasmin melemparkan setumpuk sticky note ke arah Aldi. "Lagi pula, Angel juga sudah meminta agar supervisor-nya mengirimkan personil lain sebagai ganti dirinya. Makanya, tunggu saja dengan sabar." "Iya, tapi kenapa? Maksudku, tidak biasanya kan, Angel mel
Suara notifikasi ponsel Angel tidak berhenti berbunyi, sampai akhirnya perempuan itu pun mengaktifkan mode hening. Tanpa perlu untuk memeriksa ponselnya pun, dia sudah tahu siapa yang terus menerus mengiriminya pesan. Raka bahkan menelepon ratusan kali, selama tiga hari berturut-turut. Rasanya terlalu melelahkan kalau Angel harus menanggapi semuanya satu persatu. "Kabar baiknya adalah Raka bersedia menurut, sewaktu aku katakan agar jangan pernah datang ke apartemen sebelum aku ijinkan," gumamnya, dengan terampil memilih dan memilah beberapa data. "Awas saja kalau dia sampai nekat datang." Dia baru saja mengirimkan hasil pekerjaannya tersebut melalui email, sewaktu melihat Yasmin melintas dengan begitu terburu. Dahi Angel pun mengernyit. Tumben sekali Yasmin sampai berlari-lari seperti itu. Berpikir sejenak, dia lantas mengangkat bahu. Angel lalu memasukkan kembali ponselnya ke saku dan memutuskan pergi ke kantin untuk makan siang. Namun sesampainya di sana, lagi-lagi perempuan
Lidia berjalan keluar dari sebuah toko perhiasan dengan langkah bahagia. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya dengan Raka yang ketiga. Dia sudah membelikan pin dasi yang terbuat dari emas dan berhiaskan berlian sebagai hadiah untuk suaminya. Selain itu, nanti Lidia juga akan memasak sendiri semua menu untuk makan malam istimewa mereka nanti. "Mas Raka pasti akan senang kalau aku masakkan makanan kesukaannya." Lidia merasa begitu bahagia dan bersemangat. "Sudah lama rasanya kami tidak makan malam romantis." Cap jay, gurami asam manis dan juga kepiting telur asin. Lidia sudah menyiapkan semua bahannya. "Mas Raka juga sudah tidak lagi tidur di ruang kerjanya dan bahkan semalam kami pun berhubungan intim," gumamnya, merasa benar-benar bahagia karena mengingat bahwa semalam suaminya sendirilah yang datang dan meminta jatah kepadanya. "Dia masih mencintaiku. Suamiku masih menginginkanku. Oh, ya ampun. Berarti memang benar, kalau semua ini gara-gara perempuan rendahan itu. Nyat
Bahkan tanpa berganti baju atau sekedar mencuci tangan dan kaki, Angel langsung melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dengan posisi telungkup, perempuan cantik itu mengerang. Tidak hanya tubuhnya, tapi pikirannya pun lelah. "Ini gara-gara kedatangan orang itu," gerutunya, kembali merasa kesal apabila mengingat betapa gilanya dua hari ini. Kemarin, sewaktu Angel berjalan hendak kembali ke meja kerjanya seusai istirahat makan siang, dia berpapasan dengan Yasmin yang segera saja histeris menghampirinya. Teman kerjanya itu mengeluh dengan banyaknya file dan data, serta laporan keuangan yang perlu diperiksa ulang dan dirapikan. Tidak lama setelah itu, entah apakah semesta memang sudah mengatur demikian, Aldi datang dengan wajah seperti mayat hidup. Lelaki itu terpaksa mondar-mandir antara kantornya dengan basemen tempat penyimpanan dokumen-dokumen lama, hanya untuk mensortir surat-surat kerja sama dengan para klien sejak lima tahun ke belakang. "Dan semua itu harus sudah beres b