"Bagas, kamu bilang kamu sakit, jadi enggak bisa jemput aku pulang kerja, tapi kenapa kamu pergi dengan Anisa?"
Clara dibuat sangat terkejut, ketika ia memergoki suaminya bersama dengan Anisa, sedang di sebuah pusat perbelanjaan. Apalagi, Anisa adalah seorang perempuan berpakaian syar'i, tentu harusnya segan bepergian dengan suami orang meskipun Clara tahu suaminya dengan perempuan itu berteman. Akan tetapi, bukankah aturan agama tidak mengenal teman atau sebagainya? Apapun alasannya, tetap saja mereka bukan mahram. Namun, mengapa Anisa terlihat begitu menikmati ketika bersama suaminya? Mungkin, mereka bertemu enggak sengaja, jadi berbincang karena mereka teman, bukan pergi secara sengaja.... Hati Clara bicara, berusaha untuk menghibur diri karena entah kenapa pemandangan itu membuat perasaannya jadi bercampur aduk. Dan Clara tidak bisa membantah jika sekarang ia cemburu.... Sementara itu, dipergoki sang istri tengah bersama dengan Anisa membuat Bagas terlihat sedikit gugup. Bagas berusaha untuk menguasai diri dan perasaannya, agar Clara tidak curiga macam-macam setelah melihat dirinya bersama dengan Anisa. "Iya. Aku lagi cari buah untuk mama, kebetulan ketemu dengan Anisa di sini jadi kami mengobrol terus kamu dateng!" katanya pada Clara, sambil menatap ke arah Anisa dengan tatapan mata mengandung isyarat. Melihat arti tatapan mata Bagas, Anisa menatap ke arah Clara seolah menikmati raut wajah Clara yang diselimuti aura cemburu. "Bagas itu sakit, Mbak. Terus, aku lagi di rumah kalian, karena ibu lagi pengen sesuatu, aku yang belanja, enggak mungkin Bagas, dong, yang belanja, aku cuma bantu." Anisa angkat bicara, dan Bagas mendelik ke arah perempuan itu karena tidak patuh dengan isyarat mata yang ia berikan padanya tadi. "Kamu tadi di rumah kami?" tanya Clara pada Anisa. "Iya. Cuma berkunjung, aku mau tahu kabar kalian, aku enggak tahu kalau kamu kerja." Mendengar jawaban yang diberikan oleh Anisa, Clara langsung menarik tangan suaminya untuk bergegas mengikutinya sedikit menjauh dari posisi Anisa berdiri. "Kamu kenapa bohong sama aku? Kamu bilang, kamu dan dia ketemu di sini, tapi ternyata sengaja pergi dari rumah, kenapa kamu bohong, Yank!" cecar Clara. "Clara, santai. Kamu itu kenapa? Aku dan Anisa temenan, lho. Kamu tahu itu, enggak masalah dong pergi bersama, kami juga cuma belanja, itu juga mama yang mau sesuatu." Bagas berusaha untuk menormalisasikan situasi kondisi, dan Clara tidak suka mendengar ucapan itu dilontarkan oleh Bagas. "Tapi kamu enggak mau jemput aku, Bagas. Kamu bilang enggak bisa bawa motor, karena sakit, kenapa sekarang kamu malah pergi sama Anisa? Kalian satu motor berdua, kan?" "Aku enggak tahu kalau mama pengen sesuatu, aku sebenarnya malas keluar, gemetaran aku bawa motor, tapi masa aku minta Anisa buat belanja? Enggak enak, lah aku!" "Kan, kamu bisa pesen sama aku? Aku yang beliin, aku juga mau pulang, kan?" "Sayang, sudahlah. Ini hal sepele, Anisa itu religius, enggak wajar kamu kalau cemburu sama dia!" Bagas memegang kedua pundak istrinya sambil mengucapkan kalimat tersebut pada sang istri. Sementara itu, Anisa memperhatikan mereka dari tempatnya seolah tidak suka melihat Bagas memegang pundak Clara seperti itu. "Hal sepele tapi bikin aku enggak suka, Bagas. Kamu tadi itu bohong, lho, kalau Anisa enggak ngomong, mungkin selamanya kamu akan bilang ketemu secara kebetulan, iya, kan?" "Aku bohong karena aku tahu kamu capek, kamu pasti enggak mau mendengar sesuatu yang mungkin kamu itu enggak suka, padahal itu wajar." "Jangan suka mewajarkan sesuatu yang kelihatannya wajar, Gas, itu akan jadi bom waktu yang bisa memicu pertengkaran!" "Lho, wajar, kan? Aku dan Anisa itu teman, wajar kami pergi bersama, aku juga enggak gandeng dia, kan? Kamu harusnya enggak perlu cemburu!" Setelah bicara seperti itu pada Clara, Bagas langsung meninggalkan Clara dan melangkah menghampiri Anisa, khawatir perempuan itu terlalu lama menunggu lantaran ia dan Clara berdebat. "Istri kamu cemburu?" tanyanya pada Bagas sambil menatap Clara sesaat yang juga melakukan hal yang sama dari tempatnya berdiri. "Enggak, dia cuma kecapekan jadi mikir macam-macam, kita mau lanjut belanja?" "Heeem, aku jadi enggak enak sama dia." "Enggak papa, aku sudah menjelaskan sama dia, ini karena ibuku yang lagi kangen sama kamu." "Bener, enggak papa?" "Enggak papa." Anisa tersenyum penuh arti, lalu meminta Bagas untuk mendekati rak beberapa bumbu, hingga Clara mau tidak mau menyusul, tidak mau melihat Bagas seolah mendampingi istri yang sedang belanja. Pengetahuan agamaku memang enggak terlalu banyak, tapi bukankah perempuan yang menutup aurat kayak Anisa ini anti bepergian dengan suami orang, meskipun dia dan Bagas teman, tetap aja enggak boleh, kan? Hati Clara bicara, sambil memperhatikan Anisa dan Bagas yang ada di hadapannya, meskipun keberadaannya seolah tersingkir karena Anisa terus bicara banyak tentang perbumbuan yang akan dibeli. Anisa benar-benar banyak belanja barang dan Clara berpikir mungkin perempuan itu sekalian lantaran sedang berada di pusat perbelanjaan hingga Clara tidak mempermasalahkan hal itu. Sesekali, ia berdehem karena merasa kedekatan mereka sangat mengganggunya, sebab, kesannya terlalu akrab dan dekat padahal sekali lagi Clara menegaskan, bukankah atas dasar alasan apapun, seorang perempuan yang menutup aurat lebih paham bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan? Sampai kemudian, Clara yang sepanjang waktu belanja berusaha untuk menahan diri untuk tidak banyak bertanya, meskipun beberapa kali ia memergoki Anisa mencuri pandang suaminya tersebut. "Sayang, kamu enggak papa, kan, pulang pake ojol aja?" Ketika mereka sudah keluar dari pusat perbelanjaan, Bagas bicara seperti itu pada Clara dan tentu saja Clara terkejut. Ia mengira, saat pulang, Bagas akan menganjurkan dirinya ikut dengan sang suami, dan Anisa yang diminta memakai angkot atau semacamnya, tapi dugaan Clara justru meleset. "Kamu enggak salah? Aku kamu minta pulang pake ojol? Kan, ada kamu, kamu bawa motor, kan?" protes Clara, merasa was-was jika ternyata, Bagas justru memilih untuk bersama Anisa sementara ia diminta pulang memakai ojek online. Meskipun tadinya ia memang memakai jasa ojek online, tapi karena ia memergoki Bagas dan Anisa sedang bersama, Clara akhirnya memutuskan untuk pulang dengan suaminya saja tidak perlu memesan ojek online lagi setelah tadi diantar dari studio pemotretan sampai ke pusat perbelanjaan. Mendengar aksi protes yang dilakukan oleh Clara, Bagas yang sudah menebak itu akan dilakukan oleh sang istri, lekas memegang kedua tangan istrinya dan menggenggam telapak tangan itu dengan erat. Lagi-lagi, apa yang dilakukan oleh Bagas diperhatikan oleh Anisa, dan perempuan itu lekas memalingkan wajahnya seolah tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh Bagas pada istrinya tersebut. "Anisa itu berpakaian tertutup, tidak memakai celana seperti kamu, gerakannya tidak bisa sergap, kalau ada apa-apa, aku yang enggak enak, sedangkan kamu, kamu sudah terbiasa pake angkutan umum." Clara mengangkat wajahnya dan menatap wajah suaminya pertanda ia tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Bagas tadi padanya. "Terus, kalau aku pake celana, aku dijamin enggak akan kenapa-kenapa? Kamu enggak merasa khawatir sama keselamatan aku, istri kamu sendiri?"Mendengar apa yang dikatakan oleh Clara, Bagas jadi kesal. Menurutnya, istrinya tersebut meributkan sesuatu yang tidak seharusnya diributkan karena baginya itu adalah hal yang wajar. Karena itulah, Bagas langsung melepaskan pegangan tangannya seketika. Wajahnya terlihat sekali bahwa ia kesal. Kesal karena Clara membantah apa yang dikatakannya. "Aku, kan sudah bilang, kamu dan Anisa itu berbeda, Anisa tidak pernah keluar rumah sendirian, dia selalu ditemani, jadi cara dia menjaga diri itu tidak sama seperti cara kamu menjaga diri kamu, dia lebih rentan diganggu, Clara!" "Lebih rentan diganggu? Kenapa? Pakaian dia tertutup, siapa yang mau ganggu perempuan dengan pakaian tertutup seperti itu? Yang ada mereka bakal segan!" "Nah, itu masalahnya!" "Apa?" Bagas berbalik dan menatap istrinya setelah tadi sempat memalingkan tubuhnya tidak mau memandang sang istri lantaran terlanjur kesal. "Itu masalahnya aku bilang, kamu sudah tahu dengan memakai pakaian tertutup, kamu tidak ak
Clara semakin tersudut mendengar apa yang diucapkan oleh sang ibu mertua. Jemari tangannya sampai bertaut tiada henti, gelisah menyelimuti hatinya. Andai yang bicara bukan ibu mertuanya, tentu saja Clara membalas ucapan sinis itu dengan perkataan yang sinis pula. Namun, karena yang bicara adalah ibunya Bagas, Clara tidak bisa melakukan hal itu seenaknya. Meskipun tidak se-religus Anisa, Clara masih paham sikap sebagai istri dan menantu yang baik, yang berbeda antara ia dan Anisa hanya satu, penampilannya saja yang belum bisa syar'i seperti Anisa. "Biasanya, kalau aku pulang, aku menyetrika baju Bagas yang akan dipake besok untuk kerja, dan-" "Apa tugas seorang istri itu hanya menyeterika pakaian? Bagaimana dengan yang lainnya? Bagas kelelahan pulang kerja, kamu pijitin tidak?" "Aku-" "Clara, Mama itu sudah bersabar lama melihat situasi pernikahan kalian yang seperti ini, harus ada perubahan, sudah penampilan kamu tidak tertutup, masih juga kamu lalai dengan tugas kamu sebagai i
"Aku istri kamu, Bagas. Harusnya, kamu izin aku dulu saat ingin mengantarkan dia!" Mendengar apa yang diucapkan oleh Clara, Bagas tersenyum miring. Ia melangkahkan kakinya mendekati sang istri dan ia melipat kedua tangannya di dada. "Izin? Jadi, sekarang kamu mempermasalahkan soal izin?" tanyanya dengan nada suara yang datar. "Apa aku salah? Bukankah suami istri itu harus seperti itu?" "Lalu, apakah kamu juga minta izin saat berpose dengan model pria teman kamu itu?" "Astaghfirullah, Bagas, sudah aku katakan berulang kali, aku enggak pernah berpose kelewatan sama model pria, kami hanya berdiri bersisian, enggak mesra sama sekali!" "Bagiku itu mesra! Bagi kamu yang tidak ada batasan, memang itu hal biasa, tapi aku tidak! Aku tidak suka!" "Tapi ini sudah pernah kita bahas sebelumnya, kan, aku kembali jadi model juga untuk kamu, buat bantu kamu menopang kebutuhan kita!" "Kamu bisa kan, terima job tanpa model pria? Bisa, kan berfoto sendirian atau sama model perempuan? Gitu aja
Mendengar apa yang dikatakan oleh Anisa, telapak tangan Clara mengepal, tapi lagi-lagi, Clara berusaha untuk menahan diri untuk tidak marah meskipun sekarang ucapan Anisa benar-benar membuat emosinya terpancing. "Bagaimana bisa kamu mengatakan aku tidak becus menjadi istri Bagas? Tidak becus darimana?" katanya dengan nada suara yang datar tapi dengan sorot mata yang tegas. "Suami kamu sakit, kamu enggak urus dia, mertua kamu lapar kamu enggak berusaha untuk membuatkan beliau makanan yang dia sukai, apa aku harus membeberkan satu persatu agar Mbak Clara paham dengan kesalahan sendiri?" "Siapa yang bicara seperti itu pada kamu? Mertuaku?" "Enggak perlu bertanya aku tahu darimana, tapi itu benar, kan? Mbak, aku itu enggak salah, kalau Mbak Clara merasa keberatan dengan apa yang aku lakukan, Mbak ngomong sama mertua Mbak, jangan sama aku!" Anisa benar-benar pergi setelah bicara seperti itu pada Clara. Meninggalkan Clara yang hanya bisa terduduk lemas di salah satu bangku taman, mera
"Perusahaan kamu perlu dana yang banyak untuk bisa stabil lagi, kan? Aku enggak bilang berpakaian tertutup enggak bisa cari uang, tapi untuk job pakaian muslim itu enggak pernah aku dapatkan, Bagas!" "Itu karena sikap kamu yang tidak mencerminkan perempuan muslimah, jadi job seperti itu tidak pernah kamu dapatkan! Banyak model pakaian muslim, mereka dapat uang banyak, tapi tidak menjual tubuh seperti kamu!!" Suara Bagas benar-benar meninggi ketika ia mengucapkan kalimat tersebut di hadapan Clara. Setelah bicara demikian, ia langsung keluar kamar dan membanting pintunya dengan keras hingga Clara hanya menutup telinganya mendengar suara pintu yang dibanting seperti itu. Clara terduduk lemas di lantai kamarnya. Air mata yang sedari tadi hanya menggenang kini perlahan turun ke pipinya dan tidak bisa dikendalikan lagi olehnya. Clara menangis.... *** Setelah pertengkaran yang terjadi malam itu, sikap Bagas pada Clara jadi dingin. Ini membuat sang ibu mertua jadi tahu, bahwa an
Anisa berteriak, karena kuah sup jagung yang ia masak mengenai kakinya dan itu membuat Bagas langsung mendekati perempuan tersebut lalu berjongkok untuk memeriksa kaki Anisa. Awalnya, Clara mengira Anisa akan menolak apa yang akan dilakukan oleh Bagas pada kakinya, sebab, bukankah seorang wanita yang menutup aurat seperti Anisa tidak akan membiarkan pria yang bukan mahram menyentuhnya?Namun, dugaan Clara meleset. Anisa membiarkan saja Bagas yang menyentuh kakinya yang tersiram kuah sup jagung tersebut, seolah-olah sengaja memperlihatkan pada Clara bahwa suami Clara peduli padanya. "Jangan sentuh!" seru Clara ketika Bagas semakin intens menyentuh kaki Anisa yang tersiram.Clara buru-buru mendekati posisi Anisa berdiri, dan ia berjongkok sambil menepis tangan suaminya yang memegang kaki Anisa. Akan tetapi, ketika telapak tangan Clara ingin menyentuh kaki Anisa yang tersiram sup jagung yang ia masak, Anisa membuat pergerakan hingga tangan Clara menangkap angin.Keributan di dapur mem
Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara. Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa.Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi.Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya.Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?}{Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi}Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu
Semua mata langsung tertuju pada Clara, dan Bagas sangat terkejut melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. "Maaf, jadi, siapa istrinya, Pak?" tanya suster itu yang jadi bingung karena pengakuan Clara. Ia memandang Clara dan Anisa bergantian untuk memastikan siapa sebenarnya istri pria yang diajaknya bicara. Untuk sesaat, Bagas jadi gugup. Gugup karena kebohongannya diketahui oleh Clara, tapi Bagas tipe pria yang tidak mau merubah keputusannya hingga ia meminta izin pada sang suster untuk memberinya waktu bicara pada Clara sejenak.Setelah suster memberinya izin, Bagas langsung menarik tangan Clara ke tempat yang sedikit jauh dari posisi Anisa yang dibimbingnya tadi untuk duduk saja di kursi tunggu.Sementara itu, sang suster terpaksa menunggu sejenak karena keterangan Bagas sangat penting untuk disampaikan pada dokter yang memintanya melakukan hal itu."Kamu itu gimana, sih? Aku itu cuma pura-pura! Anisa akan malu kalau dia diantar oleh pria yang bukan siapa-siapanya!" kata B
Sean melakukan apa yang diminta oleh Carli, mengikuti mobil yang dimaksud oleh Carli dengan kecepatan yang tinggi. "Gue tuh curiga sama bokap gue belakangan ini, dia kayak selingkuh gitu!" Carli bicara sambil terus memperhatikan mobil yang ia minta Sean untuk mengikuti."Mobil itu mobil bokap lu?" tanya Sean sambil melirik ke arah Carli untuk sesaat sebelum kembali fokus menyetir."Iya."Sean manggut-manggut, pertanda ia sudah paham apa yang dirasakan oleh Carli sekarang. Carli kayaknya yakin kalau ayahnya selingkuh, apa jangan-jangan perempuan yang jadi selingkuhan ayahnya itu Anisa?Hati Sean bicara, menebak-nebak apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam keluarga Carli."Apa lu punya bukti kalau bokap lu selingkuh?" tanyanya pada pria anak sulung Pak Christ tersebut sambil terus mengikuti mobil yang dikendarai oleh ayahnya."Gue belum dapat bukti yang kuat sih, tapi gue yakin ada yang aneh dilakukan bokap gue belakangan ini, dan gue yakin itu membuat nyokap gue pergi lama dari rum
"Clara bisa menuntut Bagas kalau sampai itu dilakukannya!" kata Sean tegas tapi Nina menggelengkan kepalanya perlahan seolah ucapan Sean itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan."Lalu bagaimana dengan karir Clara? Menuntut bisa, aku juga pernah mengatakan hal itu pada Clara, tapi kenyataannya, Clara tidak akan sanggup seluruh dunia tahu dia model seperti apa jika Bagas melakukan hal itu padanya!""Aku paham. Tapi, mau sampai kapan Clara bertahan dalam pernikahan yang seperti itu? Bagas akan sengaja menekan Clara dengan senjata yang ia miliki dan Clara akan semakin tersiksa.""Jadi, gimana? Apa yang harus dilakukan?""Memangnya, apa yang sudah diputuskan Clara sekarang?""Clara akan mencari video itu dan menghapusnya.""Itu sulit.""Benar, sampai sekarang pun, Clara tidak menemukannya."Sean terdiam sejenak. Wajah pria itu seperti sedang memikirkan sesuatu dengan keras hingga Nina sangat berharap, Sean mampu membantu Clara dengan cara apapun agar sahabatnya itu bisa terbebas dari bele
"Tidak. Aku tidak bisa.""Kenapa?" tanya Fauzi dengan wajah yang terlihat penasaran dengan alasan Bagas tentang ia yang tidak sanggup untuk menjadi suami yang baik untuk dua istrinya sekarang."Karena aku tidak mencintai Anisa, Zi. Aku hanya mencintai, Clara.""Faktanya, cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah kamu, kan?""Ketika Anisa melahirkan, aku akan mengakhiri semuanya.""Gas, anak kamu akan menanggung perpisahan orang tuanya, itu tidak mudah. Kasihan dia. Lebih baik, kamu berusaha untuk membuat para istri kamu rukun, itu adalah jalan keluar terbaik."Bagas menghembuskan napas tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Fauzi. Akan tetapi, untuk sekarang ia tidak bisa mengucapkan apapun lagi selain bungkam meskipun ia ingin sekali mendebat nasihat yang diucapkan oleh Fauzi, tapi Bagas sekarang sangat kacau hingga ia diam saja bergulat dengan pikirannya sendiri.Sementara itu, Nina yang sedang membantu Clara untuk merapikan penampilannya yang akan memulai pemotr
Berlina membantah apa yang diucapkan oleh sang anak bungsu meskipun sebenarnya ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bella sebab ia juga tidak pernah melihat Anisa mendirikan shalat selama usai menikah dengan Bagas, tapi ia masih berpikir, mungkin saja Anisa shalat di kamar dan tidak mungkin shalat juga harus memberitahukan segalanya pada orang lain apalagi mereka memiliki kamar sendiri-sendiri.Hanya saja, tidak dapat dipungkiri, Berlina sedikit heran juga, apakah benar Anisa shalat di kamar atau ternyata justru tidak sama sekali?"Lagian, Kak Anisa juga enggak seasik dulu. Aku pikir, kalau sudah menikah dengan Kak Bagas, dia bakal semakin baik sama aku, semakin royal sama aku, tapi ternyata dia justru jarang ngajak aku ke mana-mana lagi,"sambung Bella dan itu membuat Berlina menghela napas panjang kembali."Sabar. Dia sedang hamil. Orang hamil itu pasti sangat sensitif, daripada kamu terlalu banyak waktu luang, kenapa kamu tidak berusaha untuk cari kerja?"Bella membuang napas,
Bagas yang sudah kesal bertambah kesal ketika mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya hingga setelah ia mengucapkan kalimat itu pada sang ibu ia segera berlalu untuk berangkat ke kantor tanpa menghiraukan teriakan sang ibu yang merasa ia belum selesai bicara pada anaknya tersebut. Berlina akhirnya masuk ke dalam kamar di mana Anisa berada dan di sana ia melihat Anisa yang masih tidak berpakaian sedang duduk di atas tempat tidur hingga Berlina terkejut dan buru-buru mengunci pintu kamar itu agar Bella tidak ikut masuk dan melihat keadaan Anisa yang demikian. Sementara itu, meskipun ibu mertuanya melihat dirinya tanpa pakaian, Anisa tidak terlihat malu sama sekali, ia dengan santainya meraih bantal untuk menutupi bagian vital tubuhnya tanpa peduli bagian lain terlihat mata sang ibu mertua.Berlina benar-benar tidak menyangka Anisa bisa bersikap sesantai itu padanya dalam keadaan tanpa pakaian seperti itu."Nisa, apa yang terjadi? Kamu dan Bagas bertengkar? Terus keadaan kamu ini apa
"Bagas!! Jaga ucapan kamu! Anisa itu religius! Dia juga sudah menjadi istri kamu, tidak mungkin melakukan hal serendah itu!" bentak sang ibu yang tidak suka mendengar Bagas bicara seperti tadi. "Sudahlah, aku mau kerja! Aku -""Antarkan dulu makanan ini buat Anisa, ingat, anak yang dikandung dia itu anak kamu, jadi kamu harus bisa menghargai itu, Bagas!"Bagas berdecak kesal karena sang ibu tetap memaksanya untuk melakukan hal yang ia sendiri tidak menyukai. Namun, karena sang ibu memaksa, terpaksa, Bagas melakukan juga apa yang diinginkan oleh ibunya meskipun setengah hati. "Jangan bikin dia sedih, ingat wanita hamil itu sangat sensitif!" pesan Berlina sebelum Bagas menghilang dari balik pintu kamar di mana Anisa berada.Bagas tidak menanggapi pesan yang diteriakkan oleh Berlina padanya. Pria itu masuk dan Anisa gembira melihat Bagas membawakan nampan yang di atasnya ada sepiring nasi goreng juga susu untuk ibu hamil.Nampan itu ia letakkan di atas meja di dekat tempat tidur. "Aku
Untuk sesaat, Anisa terdiam mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu mertua. Ia tidak berani mengarahkan pandangannya pada ibu mertuanya khawatir wanita itu tahu apa yang dilakukannya dengan Pak Christ tadi malam."Aku sama Hasnah, Ma. Dia lagi banyak masalah jadi aku harus menemaninya."Akhirnya sebuah kebohongan diucapkan oleh Anisa, dan itu makin membuat Berlina menatap menantunya tanpa berkedip seolah ingin memastikan ucapan itu sebuah kebenaran atau bukan."Kalian di rumah ibumu?" tanyanya dengan nada yang datar. "Ya.""Aku pikir kalian kemana, sampai kamu sakit seperti ini, ternyata begitu. Kamu itu hamil, tidak boleh tidur larut."Suara Berlina jadi menurun pertanda perempuan itu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Anisa. Membuat Anisa jadi ingin mengadu pada perempuan tersebut jadinya."Ma. Bagas enggak pernah tidur sama aku."Gerakan Berlina yang ingin membuka gorden jendela kamar di mana Anisa berada terhenti saat mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ani
Namun jika ia mengamuk dan mengatakan bahwa ia marah dan murka, apakah itu akan membuat Pak Christ berhenti melakukan hal seenaknya itu padanya? Percuma. Anisa merasa percuma. Yang bisa dilakukannya hanya satu berusaha untuk kuat meskipun rasanya bagian bokongnya sangat perih dan ia benci dengan itu semua."Jawab, Nisa! Kau suka lewat depan atau belakang!"Suara memuakkan Pak Christ kembali terdengar dan satu pukulan mendarat di bokong Anisa yang masih polos karena perempuan itu belum memakai pakaiannya satu helai pun lantaran kepayahan setelah melayani nafsu liar Pak Christ.Anisa meringis. Hatinya kembali memaki, rasa sakit di bokongnya bercampur dengan rasa sakit akibat pukulan serampangan yang diberikan oleh Pak Christ tadi padanya. Membuat perempuan itu semakin sulit untuk bangkit."Aku tidak suka lewat belakang, Mas. Bukan karena itu dosa besar, tapi karena aku memang tidak suka!" jawab Anisa sebelum Pak Christ lagi-lagi memukulnya di bagian belakangnya seperti tadi. "Hemh! K
Setelah bicara seperti itu pada Anisa, Pak Christ kembali membenamkan wajahnya di antara kedua paha Anisa. Anisa memejamkan mata. Awalnya perasaan muak dan jijik itu masih mendominasi hatinya ketika Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Hal yang tidak pernah dilakukan laki-laki itu selama mereka melakukan aktivitas terlarang tersebut, lantaran biasanya Pak Christ langsung memasukinya saja tanpa melakukan pemanasan sama sekali. Dan Anisa juga tidak berharap ia diberi foreplay segala oleh Pak Christ. Ia justru ingin aktivitas terlarang itu cepat berakhir karena dari wajah dan tubuhnya Pak Christ tidak menarik sama sekali bagi Anisa. Namun sekarang, perasaan muak dan jijik itu berubah menjadi perasaan menikmati. Anisa juga tidak habis pikir mengapa itu bisa terjadi, yang jelas sekarang ruangan itu ditingkahi dengan desahan kuat Anisa yang merasa nikmat karena Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Jemari tangan Anisa mencengkram erat perm