Mendengar apa yang dikatakan oleh Anisa, telapak tangan Clara mengepal, tapi lagi-lagi, Clara berusaha untuk menahan diri untuk tidak marah meskipun sekarang ucapan Anisa benar-benar membuat emosinya terpancing.
"Bagaimana bisa kamu mengatakan aku tidak becus menjadi istri Bagas? Tidak becus darimana?" katanya dengan nada suara yang datar tapi dengan sorot mata yang tegas. "Suami kamu sakit, kamu enggak urus dia, mertua kamu lapar kamu enggak berusaha untuk membuatkan beliau makanan yang dia sukai, apa aku harus membeberkan satu persatu agar Mbak Clara paham dengan kesalahan sendiri?" "Siapa yang bicara seperti itu pada kamu? Mertuaku?" "Enggak perlu bertanya aku tahu darimana, tapi itu benar, kan? Mbak, aku itu enggak salah, kalau Mbak Clara merasa keberatan dengan apa yang aku lakukan, Mbak ngomong sama mertua Mbak, jangan sama aku!" Anisa benar-benar pergi setelah bicara seperti itu pada Clara. Meninggalkan Clara yang hanya bisa terduduk lemas di salah satu bangku taman, merasa shock dan tidak percaya dengan apa yang ia dengar dari seorang Anisa. Mengapa Anisa bisa bersikap di luar perkiraannya seperti itu? Tidak hanya bisa membantah, dan melancarkan aksi protes, Anisa yang anggun ternyata bisa mengatakan kata-kata sepedas itu padanya. *** "Darimana saja kamu?" Saat Clara baru masuk ke dalam kamar suara Bagas terdengar. Ternyata suaminya sudah berdiri di dekat pintu seolah ingin memergokinya yang lagi-lagi pulang terlambat. Bukan sengaja pulang terlambat, Clara terpaksa lembur karena lokasi pemotretan cukup jauh dari studio hingga perlu waktu untuk pulang ketika pemotretan sudah selesai. "Aku sudah bilang sama kamu lewat pesan, kalau hari ini akan pulang terlambat, kan?" "Bukan itu yang aku maksud. Hari ini kamu dari mana? Kamu ke tempat kerja Anisa?" Clara tergugu di tempatnya ketika Bagas mengucapkan kalimat itu dengan nada suara meninggi pertanda suaminya itu marah. Perempuan itu merasa tidak mengatakan ia menemui Anisa, tapi kenapa Bagas tahu ia menemui Anisa? "Aku cuma bicara sedikit sama Anisa-" PLAKK!! Clara terkejut ketika tiba-tiba saja telapak tangan Bagas sudah mendarat di salah satu pipinya. Meskipun tidak dilakukan dengan sekuat tenaga, tapi Clara merasa pipinya berdenyut, namun, bukan pipinya yang terasa sakit karena perbuatan sang suami, hati Clara jauh lebih sakit lantaran suaminya justru menamparnya hanya karena wanita lain. "Kamu nampar aku hanya karena Anisa?" protes Clara sambil memegangi pipinya. "Aku bisa melakukan lebih dari itu kalau kamu menyakiti perasaan dia! Dia itu enggak salah apa-apa, Clara! Jangan lampiaskan kecemburuan kamu itu padanya!" "Oooh, jadi kamu lebih peduli perasaan dia daripada perasaan istri kamu sendiri? Aku jadi semakin curiga, pertemanan kamu dengan dia itu benar-benar sehat atau jangan-jangan -" "Jangan-jangan apa? Sok tahu kamu! Kalau kamu salah, ya mengaku salah, jangan lemparkan kesalahan kamu pada orang lain, paham tidak?!" "Memangnya aku salah apa, Bagas? Aku kerja bantuin kamu buat memenuhi kebutuhan kita, kamu anggap salah, aku salah apa sampai kamu melakukan hal seperti ini sama aku?!" Clara berusaha untuk mengatakan apa yang selama ini sulit untuk ia katakan karena selalu berusaha untuk menjaga perasaan Bagas, suaranya sampai bergetar. Namun, Bagas sama sekali tidak merasa prihatin dengan apa yang terjadi pada istrinya tersebut. "Salah kamu apa? Masih bertanya di mana salah kamu? Apa aku harus bicara ribuan kali baru kamu paham kesalahan kamu itu di mana?" "Aku pikir ini semua sudah jelas saat kita belum menikah. Aku seorang model, aku berusaha untuk menghargai kamu, enggak nerima tawaran berpose sama pria lain, kurang apa lagi?!" "Aku mau kamu seperti Anisa. Biar ibuku senang." "Aku bukan Anisa!" "Memang kamu bukan Anisa, tapi aku mau kamu bisa membuat ibuku bangga sudah punya menantu kamu, Clara!" "Dengan cara apa? Aku sudah berusaha untuk membuat beliau bahagia sebisa aku, tapi ibu kamu selalu merasa aku itu enggak bisa apa-apa!" "Faktanya seperti itu, kan? Kamu emang enggak bisa apa-apa, ibuku itu mau kamu se-religius Anisa, Clara! Supaya nanti kalau kita punya anak, kamu bisa mendidik anak kita menjadi anak yang soleh!" "Aku bilang bukan aku enggak mau berubah menjadi lebih baik lagi, Bagas. Aku cuma perlu waktu, tolong berikan aku waktu." "Sampai kapan? Yang ada dari hari ke hari, kamu itu semakin seksi di mata orang!" "Aku seksi apa, sih? Aku cuma memakai pakaian seperti itu di depan kamera, enggak di luar kamera!" Bagas berbalik dan melangkah ke arah nakas, lalu pria itu meraih sebuah majalah yang ada di sana lalu melemparkannya ke arah Clara dengan kasar hingga beberapa halamannya terbuka tepat di hadapan Clara. "Hanya seksi di depan kamera? Kalau foto kamu dipajang di majalah, semua mata melihat, mau alasan apa lagi kamu?!" Clara terduduk di lantai kamar mendengar apa yang diucapkan oleh Bagas padanya, sementara itu, Bagas terburu-buru mengganti pakaian seperti ingin pergi hingga beberapa saat kemudian, pria itu melangkah menuju pintu kamar di mana istrinya terduduk begitu saja di lantai. "Kamu mau ke mana, Bagas? Ini sudah malam!" cegah Clara sambil berusaha berdiri meskipun ia merasa tidak sanggup berdiri dengan kokoh karena terlalu terpukul dengan apa yang dilakukan oleh suaminya padanya. "Keluar, aku sumpek melihat muka kamu!" jawab Bagas dengan nada yang ketus. "Jangan keluar malam-malam begini, apa kata ibu kamu? Kamu mau beliau tahu kita bertengkar?" "Aku tidak peduli! Kalau kamu khawatir dia tahu kita bertengkar, kamu harusnya berusaha agar kita jangan sampai bertengkar!" "Bagas! Tolong dengarkan aku dulu, kita belum selesai bicara!" Nekat, Clara mencekal salah satu pergelangan tangan suaminya agar suaminya itu tidak jadi meraih handle pintu kamar untuk bergegas keluar. Dan itu membuat Bagas semakin kesal hingga menyentakkan tangan Clara dengan kasar dan itu membuat Clara terhuyung ke belakang. "Bicara apa lagi? Semua sudah jelas, kamu mempermalukan aku di depan Anisa, aku benar-benar marah sama kamu, Clara!" "Kamu malu karena aku menemuinya? Aku enggak mempermalukan dia seperti seorang istri sah melabrak pelakor, kenapa kamu harus malu!?" "Jaga mulut kamu! Anisa itu religius! Dia tidak mungkin menjadi seorang pelakor! Kalau kamu khawatir aku tertarik padanya, intropeksi diri makanya!" Bagas masih saja menyudutkan Clara bahwa Clara yang bersalah dalam pertengkaran mereka, bukan dirinya. "Baik! Aku turuti semua kemauan kamu! Aku bisa pake jilbab seperti dia, berpakaian tertutup seperti dia, tapi mungkin aku enggak bisa lagi bantuin kamu cari uang, gimana? Kamu mau?" "Memangnya model pakaian muslim tidak ada? Kamu bisa menutup aurat sambil terus mencari uang, kan?""Perusahaan kamu perlu dana yang banyak untuk bisa stabil lagi, kan? Aku enggak bilang berpakaian tertutup enggak bisa cari uang, tapi untuk job pakaian muslim itu enggak pernah aku dapatkan, Bagas!" "Itu karena sikap kamu yang tidak mencerminkan perempuan muslimah, jadi job seperti itu tidak pernah kamu dapatkan! Banyak model pakaian muslim, mereka dapat uang banyak, tapi tidak menjual tubuh seperti kamu!!" Suara Bagas benar-benar meninggi ketika ia mengucapkan kalimat tersebut di hadapan Clara. Setelah bicara demikian, ia langsung keluar kamar dan membanting pintunya dengan keras hingga Clara hanya menutup telinganya mendengar suara pintu yang dibanting seperti itu. Clara terduduk lemas di lantai kamarnya. Air mata yang sedari tadi hanya menggenang kini perlahan turun ke pipinya dan tidak bisa dikendalikan lagi olehnya. Clara menangis.... *** Setelah pertengkaran yang terjadi malam itu, sikap Bagas pada Clara jadi dingin. Ini membuat sang ibu mertua jadi tahu, bahwa an
Anisa berteriak, karena kuah sup jagung yang ia masak mengenai kakinya dan itu membuat Bagas langsung mendekati perempuan tersebut lalu berjongkok untuk memeriksa kaki Anisa. Awalnya, Clara mengira Anisa akan menolak apa yang akan dilakukan oleh Bagas pada kakinya, sebab, bukankah seorang wanita yang menutup aurat seperti Anisa tidak akan membiarkan pria yang bukan mahram menyentuhnya?Namun, dugaan Clara meleset. Anisa membiarkan saja Bagas yang menyentuh kakinya yang tersiram kuah sup jagung tersebut, seolah-olah sengaja memperlihatkan pada Clara bahwa suami Clara peduli padanya. "Jangan sentuh!" seru Clara ketika Bagas semakin intens menyentuh kaki Anisa yang tersiram.Clara buru-buru mendekati posisi Anisa berdiri, dan ia berjongkok sambil menepis tangan suaminya yang memegang kaki Anisa. Akan tetapi, ketika telapak tangan Clara ingin menyentuh kaki Anisa yang tersiram sup jagung yang ia masak, Anisa membuat pergerakan hingga tangan Clara menangkap angin.Keributan di dapur mem
Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara. Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa.Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi.Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya.Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?}{Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi}Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu
Semua mata langsung tertuju pada Clara, dan Bagas sangat terkejut melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. "Maaf, jadi, siapa istrinya, Pak?" tanya suster itu yang jadi bingung karena pengakuan Clara. Ia memandang Clara dan Anisa bergantian untuk memastikan siapa sebenarnya istri pria yang diajaknya bicara. Untuk sesaat, Bagas jadi gugup. Gugup karena kebohongannya diketahui oleh Clara, tapi Bagas tipe pria yang tidak mau merubah keputusannya hingga ia meminta izin pada sang suster untuk memberinya waktu bicara pada Clara sejenak.Setelah suster memberinya izin, Bagas langsung menarik tangan Clara ke tempat yang sedikit jauh dari posisi Anisa yang dibimbingnya tadi untuk duduk saja di kursi tunggu.Sementara itu, sang suster terpaksa menunggu sejenak karena keterangan Bagas sangat penting untuk disampaikan pada dokter yang memintanya melakukan hal itu."Kamu itu gimana, sih? Aku itu cuma pura-pura! Anisa akan malu kalau dia diantar oleh pria yang bukan siapa-siapanya!" kata B
Paras Bagas terlihat sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ia tidak menyangka, perempuan itu bisa memiliki ide seperti itu, hingga Bagas menatap Anisa dengan tatapan mata yang tidak berkedip sedikitpun. Ditatap demikian oleh Bagas, membuat Anisa tersipu, tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk memperjelas apa yang ia katakan pada Bagas tadi."Kenapa? Kayaknya kamu kaget banget? Enggak suka?" katanya bertubi-tubi pada Bagas.Bagas tergagap. Ia mengusap wajahnya kasar, karena mendadak ia jadi bingung apa yang akan ia katakan di hadapan Anisa."Bukannya tidak suka, tapi, aku masih kurang paham, mengapa kamu mau direpotkan sama masalah aku dan Clara?" jawab Bagas masih sambil menatap Anisa yang masih tersipu di hadapannya."Aku teman kamu, wajar aku membantu kamu, emangnya siapa lagi yang bisa dekat sama ibu kamu selain aku?""Enggak ada! Enggak ada wanita lain yang disukai ibuku kecuali kamu. Dengan Clara saja, ibuku tidak begitu akur...."Perasaan senang menyelimuti
Clara tidak paham apa yang sebenarnya di otak suaminya sekarang. Yang jelas, saat Bagas berusaha untuk membuka seluruh pakaiannya, ia mencegah karena tidak seperti biasanya, sang suami melakukan hal demikian disaat mereka sedang berdebat."Bagas! Sakit!!" teriak Clara, ketika dengan kasar, Bagas mencengkram tangannya yang berusaha untuk menghentikan aksi suaminya yang membabi buta membuka pakaian tidurnya."Sakit? Hatiku lebih sakit, Clara! Kamu tahu, aku tidak suka kamu berfoto dengan model pria, tapi kamu minta izin lagi padaku untuk masalah yang sama! Kamu sengaja bikin aku marah?!" Sambil bicara seperti itu pada Clara, Bagas naik ke atas tubuh sang istri sehingga kini, pergerakan istrinya tidak lagi sebebas saat sebelum ia melakukan hal itu. "Tapi, ini bukan kemauan aku, Gas, ini situasi yang maksa aku harus ngomong lagi sama kamu, aku juga enggak tau akhirnya jadi begini, tapi aku butuh solusi, kalau aku menolak gimana dengan denda itu?"Setengah mati, Clara menanggapi perkataa
Clara semakin dihadapkan perasaan delima. Di satu sisi, ia tidak mau disentuh Bagas jika pria itu sedang marah, tapi di sisi yang lain jika ia tidak menurut, ia khawatir Bagas akan semakin marah."Gas, terus bagaimana dengan pembicaraan kita? Kamu sudah memutuskan sesuatu?"Meskipun sedang merasa khawatir dan takut, Clara tetap ingin menuntaskan pembicaraan, ia ingin tahu keputusan Bagas, atau minimal jalan keluar dari Bagas agar ia tidak dianggap membuat keputusan sendiri."Kau mau melayani aku, tidak? Jangan mengalihkan pembicaraan!"Bagas justru bertahan dengan keinginannya tanpa peduli keinginan Clara yang ingin apa yang mereka bicarakan segera dituntaskan.Clara mencengkram erat pakaian tidurnya, seolah bingung apa yang harus ia putuskan sekarang."Kenapa kamu ingin kita berhubungan intim saat kamu sedang marah seperti itu? Kamu tahu aku tidak suka itu...."Akhirnya, daripada hanya disimpan di dalam hati, Clara mengutarakan rasa keberatannya pada Bagas tentang permintaan sang sua
Clara menarik napas mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya, ia akhirnya melakukan apa yang diinginkan suaminya meskipun ia terpaksa karena sebenarnya keadaan hatinya saja sedang tidak baik.Tubuh Clara sudah polos tanpa pakaian. Ia berusaha untuk membuat Bagas merasakan sensasi yang baru dari cara ia menyentuh laki-laki tersebut."Lebih hot, Clara! Seperti saat kamu di depan kamera! Pandangan mata kamu sensual mengundang birahi siapapun yang melihat fotomu, sekarang kau harus melakukan hal lebih untukku! Aku suamimu, berikan sentuhan lebih panas dari biasanya!" Suara Bagas terdengar lantang ketika Clara sudah memberikan servis pada bagian bawah perutnya. Keadaannya juga sama tanpa pakaian dan ia meminta Clara yang melucuti semuanya seperti raja yang sedang dilayani oleh selir. Sebenarnya, Clara kesal dengan ucapan Bagas yang mengatakan dirinya mengundang birahi saat difoto. Karena menurutnya, job yang diambilnya tidak begitu berlebihan saat berpose dan memang semua fotomodel b
Sean melakukan apa yang diminta oleh Carli, mengikuti mobil yang dimaksud oleh Carli dengan kecepatan yang tinggi. "Gue tuh curiga sama bokap gue belakangan ini, dia kayak selingkuh gitu!" Carli bicara sambil terus memperhatikan mobil yang ia minta Sean untuk mengikuti."Mobil itu mobil bokap lu?" tanya Sean sambil melirik ke arah Carli untuk sesaat sebelum kembali fokus menyetir."Iya."Sean manggut-manggut, pertanda ia sudah paham apa yang dirasakan oleh Carli sekarang. Carli kayaknya yakin kalau ayahnya selingkuh, apa jangan-jangan perempuan yang jadi selingkuhan ayahnya itu Anisa?Hati Sean bicara, menebak-nebak apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam keluarga Carli."Apa lu punya bukti kalau bokap lu selingkuh?" tanyanya pada pria anak sulung Pak Christ tersebut sambil terus mengikuti mobil yang dikendarai oleh ayahnya."Gue belum dapat bukti yang kuat sih, tapi gue yakin ada yang aneh dilakukan bokap gue belakangan ini, dan gue yakin itu membuat nyokap gue pergi lama dari rum
"Clara bisa menuntut Bagas kalau sampai itu dilakukannya!" kata Sean tegas tapi Nina menggelengkan kepalanya perlahan seolah ucapan Sean itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan."Lalu bagaimana dengan karir Clara? Menuntut bisa, aku juga pernah mengatakan hal itu pada Clara, tapi kenyataannya, Clara tidak akan sanggup seluruh dunia tahu dia model seperti apa jika Bagas melakukan hal itu padanya!""Aku paham. Tapi, mau sampai kapan Clara bertahan dalam pernikahan yang seperti itu? Bagas akan sengaja menekan Clara dengan senjata yang ia miliki dan Clara akan semakin tersiksa.""Jadi, gimana? Apa yang harus dilakukan?""Memangnya, apa yang sudah diputuskan Clara sekarang?""Clara akan mencari video itu dan menghapusnya.""Itu sulit.""Benar, sampai sekarang pun, Clara tidak menemukannya."Sean terdiam sejenak. Wajah pria itu seperti sedang memikirkan sesuatu dengan keras hingga Nina sangat berharap, Sean mampu membantu Clara dengan cara apapun agar sahabatnya itu bisa terbebas dari bele
"Tidak. Aku tidak bisa.""Kenapa?" tanya Fauzi dengan wajah yang terlihat penasaran dengan alasan Bagas tentang ia yang tidak sanggup untuk menjadi suami yang baik untuk dua istrinya sekarang."Karena aku tidak mencintai Anisa, Zi. Aku hanya mencintai, Clara.""Faktanya, cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah kamu, kan?""Ketika Anisa melahirkan, aku akan mengakhiri semuanya.""Gas, anak kamu akan menanggung perpisahan orang tuanya, itu tidak mudah. Kasihan dia. Lebih baik, kamu berusaha untuk membuat para istri kamu rukun, itu adalah jalan keluar terbaik."Bagas menghembuskan napas tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Fauzi. Akan tetapi, untuk sekarang ia tidak bisa mengucapkan apapun lagi selain bungkam meskipun ia ingin sekali mendebat nasihat yang diucapkan oleh Fauzi, tapi Bagas sekarang sangat kacau hingga ia diam saja bergulat dengan pikirannya sendiri.Sementara itu, Nina yang sedang membantu Clara untuk merapikan penampilannya yang akan memulai pemotr
Berlina membantah apa yang diucapkan oleh sang anak bungsu meskipun sebenarnya ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bella sebab ia juga tidak pernah melihat Anisa mendirikan shalat selama usai menikah dengan Bagas, tapi ia masih berpikir, mungkin saja Anisa shalat di kamar dan tidak mungkin shalat juga harus memberitahukan segalanya pada orang lain apalagi mereka memiliki kamar sendiri-sendiri.Hanya saja, tidak dapat dipungkiri, Berlina sedikit heran juga, apakah benar Anisa shalat di kamar atau ternyata justru tidak sama sekali?"Lagian, Kak Anisa juga enggak seasik dulu. Aku pikir, kalau sudah menikah dengan Kak Bagas, dia bakal semakin baik sama aku, semakin royal sama aku, tapi ternyata dia justru jarang ngajak aku ke mana-mana lagi,"sambung Bella dan itu membuat Berlina menghela napas panjang kembali."Sabar. Dia sedang hamil. Orang hamil itu pasti sangat sensitif, daripada kamu terlalu banyak waktu luang, kenapa kamu tidak berusaha untuk cari kerja?"Bella membuang napas,
Bagas yang sudah kesal bertambah kesal ketika mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya hingga setelah ia mengucapkan kalimat itu pada sang ibu ia segera berlalu untuk berangkat ke kantor tanpa menghiraukan teriakan sang ibu yang merasa ia belum selesai bicara pada anaknya tersebut. Berlina akhirnya masuk ke dalam kamar di mana Anisa berada dan di sana ia melihat Anisa yang masih tidak berpakaian sedang duduk di atas tempat tidur hingga Berlina terkejut dan buru-buru mengunci pintu kamar itu agar Bella tidak ikut masuk dan melihat keadaan Anisa yang demikian. Sementara itu, meskipun ibu mertuanya melihat dirinya tanpa pakaian, Anisa tidak terlihat malu sama sekali, ia dengan santainya meraih bantal untuk menutupi bagian vital tubuhnya tanpa peduli bagian lain terlihat mata sang ibu mertua.Berlina benar-benar tidak menyangka Anisa bisa bersikap sesantai itu padanya dalam keadaan tanpa pakaian seperti itu."Nisa, apa yang terjadi? Kamu dan Bagas bertengkar? Terus keadaan kamu ini apa
"Bagas!! Jaga ucapan kamu! Anisa itu religius! Dia juga sudah menjadi istri kamu, tidak mungkin melakukan hal serendah itu!" bentak sang ibu yang tidak suka mendengar Bagas bicara seperti tadi. "Sudahlah, aku mau kerja! Aku -""Antarkan dulu makanan ini buat Anisa, ingat, anak yang dikandung dia itu anak kamu, jadi kamu harus bisa menghargai itu, Bagas!"Bagas berdecak kesal karena sang ibu tetap memaksanya untuk melakukan hal yang ia sendiri tidak menyukai. Namun, karena sang ibu memaksa, terpaksa, Bagas melakukan juga apa yang diinginkan oleh ibunya meskipun setengah hati. "Jangan bikin dia sedih, ingat wanita hamil itu sangat sensitif!" pesan Berlina sebelum Bagas menghilang dari balik pintu kamar di mana Anisa berada.Bagas tidak menanggapi pesan yang diteriakkan oleh Berlina padanya. Pria itu masuk dan Anisa gembira melihat Bagas membawakan nampan yang di atasnya ada sepiring nasi goreng juga susu untuk ibu hamil.Nampan itu ia letakkan di atas meja di dekat tempat tidur. "Aku
Untuk sesaat, Anisa terdiam mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu mertua. Ia tidak berani mengarahkan pandangannya pada ibu mertuanya khawatir wanita itu tahu apa yang dilakukannya dengan Pak Christ tadi malam."Aku sama Hasnah, Ma. Dia lagi banyak masalah jadi aku harus menemaninya."Akhirnya sebuah kebohongan diucapkan oleh Anisa, dan itu makin membuat Berlina menatap menantunya tanpa berkedip seolah ingin memastikan ucapan itu sebuah kebenaran atau bukan."Kalian di rumah ibumu?" tanyanya dengan nada yang datar. "Ya.""Aku pikir kalian kemana, sampai kamu sakit seperti ini, ternyata begitu. Kamu itu hamil, tidak boleh tidur larut."Suara Berlina jadi menurun pertanda perempuan itu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Anisa. Membuat Anisa jadi ingin mengadu pada perempuan tersebut jadinya."Ma. Bagas enggak pernah tidur sama aku."Gerakan Berlina yang ingin membuka gorden jendela kamar di mana Anisa berada terhenti saat mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ani
Namun jika ia mengamuk dan mengatakan bahwa ia marah dan murka, apakah itu akan membuat Pak Christ berhenti melakukan hal seenaknya itu padanya? Percuma. Anisa merasa percuma. Yang bisa dilakukannya hanya satu berusaha untuk kuat meskipun rasanya bagian bokongnya sangat perih dan ia benci dengan itu semua."Jawab, Nisa! Kau suka lewat depan atau belakang!"Suara memuakkan Pak Christ kembali terdengar dan satu pukulan mendarat di bokong Anisa yang masih polos karena perempuan itu belum memakai pakaiannya satu helai pun lantaran kepayahan setelah melayani nafsu liar Pak Christ.Anisa meringis. Hatinya kembali memaki, rasa sakit di bokongnya bercampur dengan rasa sakit akibat pukulan serampangan yang diberikan oleh Pak Christ tadi padanya. Membuat perempuan itu semakin sulit untuk bangkit."Aku tidak suka lewat belakang, Mas. Bukan karena itu dosa besar, tapi karena aku memang tidak suka!" jawab Anisa sebelum Pak Christ lagi-lagi memukulnya di bagian belakangnya seperti tadi. "Hemh! K
Setelah bicara seperti itu pada Anisa, Pak Christ kembali membenamkan wajahnya di antara kedua paha Anisa. Anisa memejamkan mata. Awalnya perasaan muak dan jijik itu masih mendominasi hatinya ketika Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Hal yang tidak pernah dilakukan laki-laki itu selama mereka melakukan aktivitas terlarang tersebut, lantaran biasanya Pak Christ langsung memasukinya saja tanpa melakukan pemanasan sama sekali. Dan Anisa juga tidak berharap ia diberi foreplay segala oleh Pak Christ. Ia justru ingin aktivitas terlarang itu cepat berakhir karena dari wajah dan tubuhnya Pak Christ tidak menarik sama sekali bagi Anisa. Namun sekarang, perasaan muak dan jijik itu berubah menjadi perasaan menikmati. Anisa juga tidak habis pikir mengapa itu bisa terjadi, yang jelas sekarang ruangan itu ditingkahi dengan desahan kuat Anisa yang merasa nikmat karena Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Jemari tangan Anisa mencengkram erat perm