Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara.
Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa. Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi. Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya. Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?} {Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi} Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu bilang aku lagi ada keperluan penting, kan?} {Iya. Aku bilang, suami kamu sakit jadi kamu harus pulang cepat, tapi, Ra, seharusnya kan, kamu yang bersama suami kamu, ini kok, perempuan itu?} Kening Clara bertaut ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Nina. {Maksud kamu apa?} Nina langsung mengirimkan foto pada Clara dan Clara terkejut ketika melihat foto yang dikirim oleh Nina padanya. Foto Bagas dengan Anisa, dan saat foto itu diambil, Bagas memapah Anisa seolah-olah perempuan itu tidak bisa berjalan padahal menurut Clara, Anisa tidak sampai harus seperti itu karena Clara sempat melihat kondisi kaki perempuan tersebut setelah sup itu mengenai kakinya. Ada perasaan panas menyelimuti hati Clara yang sudah panas sejak tadi. Namun, Clara berusaha untuk menguasai diri khawatir sahabatnya itu tahu, ia sekarang terpuruk karena Anisa pula. {Dia emang lagi nganter Anisa berobat, itu gara-gara aku, aku enggak sengaja nyenggol panci berisi sup, dan sup itu jatuh kena kakinya} Clara menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya, membuat Clara bisa merasakan, Nina menarik napas berat di seberang sana. {Tapi enggak gitu juga kali caranya, dia memapah seolah kaki Anisa itu cacat, lho, aku pengen labrak dia jadinya!} Suara Nina terdengar diliputi perasaan emosi, dan ini membuat perasaan Clara semakin bercampur aduk. {Terus, apa kata Pak Johan, Nin?} Clara sengaja mengalihkan percakapan, tidak mau mereka membahas Bagas, karena rasa sakit itu akan semakin menjadi jika sekarang mereka membicarakan suaminya tersebut. {Kamu harus terima tawaran dari designer yang tadi ikut hadir saat rapat, kalau enggak, Pak Johan mecat kamu!} Tubuh Clara mendadak kaku mendengar informasi yang disampaikan oleh Clara. {Kamu tau tawaran itu gimana, enggak?} Sebuah pertanyaan diajukan oleh Clara, dengan nada suara terbata, khawatir tawaran itu mengandung sesuatu yang sudah ia tegaskan tidak mau ia lakukan untuk membuat suaminya tidak lagi uring-uringan. {Aku belum melihat konsepnya secara menyeluruh, sih, tapi mending kamu jangan nolak, kalau enggak mau karir kamu abis} Sebuah saran diucapkan oleh Nina, dan Clara menarik napas mendengarnya. {Baiklah. Kamu tolong kasih tau aku kalau sudah tahu semua konsepnya ya, aku tutup dulu telponnya} {Tunggu, Ra!} Clara mengurungkan niatnya untuk mengakhiri percakapan ketika Nina mengatakan hal itu padanya. {Apa?} {Suami kamu lagi sakit, kan? Tapi sekarang dia ke rumah sakit nganterin perempuan lain, kayak janggal dilihat gitu, kenapa bukan kamu aja yang nganter Anisa?} Nina ternyata kembali membahas sesuatu yang sangat dihindari Clara untuk dibahas dengan orang lain, terutama untuk sekarang ini. Namun, tentu saja Clara tidak bisa untuk tidak menjawab pertanyaan dari Nina, karena jika itu dilakukannya, Nina akan terus bertanya disetiap kesempatan. {Aku, kan enggak bisa bawa motor, masa mau tumpuk tiga? Enggak bisa dong?} Alasan itu dianggap Clara tepat untuk menjawab pertanyaan Nina, tapi ternyata, Nina tetap tidak puas dengan jawaban sahabatnya tersebut. {Bisa pake taksi online, kan? Harusnya kamu yang bawa Anisa kalau memang kamu yang bertanggung jawab, bukan Bagas!} {Sesekali, enggak papa, lain kali aku enggak akan mengizinkan, ohya, kenapa kamu bisa ada di rumah sakit? Kamu sakit?} Clara menjawab tapi juga berusaha untuk mengalihkan percakapan itu kembali. {Aku ditelpon Mama, beliau sakit jadi aku mampir buat nengok, nanti balik ke agensi lagi kok, ya sudah, Ra, kamu jangan beri celah wanita lain untuk pergi-pergi sama suami kamu, lho! Berhijab bukan berarti enggak bisa khilaf, kan?} Nina mengakhiri percakapan, perempuan itu sepertinya sedang terburu-buru. Clara menarik napas mendengar nada suara Nina yang terdengar aneh di telinganya. Sebenarnya, sahabatnya itu melihat apa? Sampai bisa mempengaruhi suaranya begitu. Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, sebab, ibunya Nina yang sudah ia anggap ibunya sendiri semenjak ibunya sudah tidak ada tersebut sedang sakit, Clara jadi ingin menengok. Ia tahu rumah sakit yang biasa direkomendasikan Nina untuk berobat karena pelayanannya sangat bagus. Clara yakin, sekarang Nina dan ibunya ada di sana. Clara juga ingin melihat kelanjutan Bagas dan Anisa yang sedang berobat di sana. Semoga saja, kekhawatirannya tidak terbukti, karena sejujurnya ia tidak mau terus menerus bertengkar dengan suaminya. Bergegas, Clara merapikan belanjaannya dahulu di kulkas, dan membersihkan kuah sup yang mengotori lantai dapur, setelah itu terburu-buru ia memesan ojek online, dan keluar. Saat di ruang tamu, ia berpapasan dengan ibu mertuanya yang tadi sempat mengantar Bagas juga Anisa berangkat ke rumah sakit. Melihat Clara yang ingin pergi lagi, sang ibu mertua mencegah Clara untuk melewatinya meskipun Clara sudah pamit untuk sesuatu yang penting. "Kamu mau membuntuti Bagas dan Anisa?" tanya ibu mertuanya, setelah mendengar perkataan pamit Clara. "Enggak, Ma. Nina tadi nelpon, dia butuh bantuan, soal pekerjaan. Aku pergi sebentar, ya, Ma!" Setengah mati, Clara berusaha untuk tidak dicegah. Tamparan ibu mertuanya tadi memang tidak terlalu keras, tapi cukup menghancurkan seluruh hatinya, rasanya sekarang, Clara sedikit sulit untuk bersikap biasa di hadapan wanita tersebut. "Kamu itu, baru datang pergi lagi, bosan Mama melihat kamu! Kamu kasih uang tidak sama Bagas? Kamu yang harus tanggung jawab sama Anisa, jadi harus pakai uang kamu!" Nada suara ibu mertuanya terdengar meninggi saat mengucapkan kalimat itu pada Clara. "Iya. Aku sudah ngasih uang sama Bagas, kok. Aku pergi, Ma!" Berlina menjauhkan telapak tangannya ketika Clara berniat untuk mencium telapak tangannya sebelum pergi pertanda pamit. Hati Clara sesak, tapi Clara mencoba untuk bersabar, dan ia segera melangkah melewati ibu mertuanya tanpa peduli omelan yang dilontarkan sang ibu mertua padanya ketika melihat ia tetap pergi. Apa Bagas minta uang padanya itu perintah dari mertuanya? Ada pertanyaan seperti itu berkelebat di benak Clara, tapi Clara mengabaikan dan memilih untuk segera berangkat ke rumah sakit, dan tidak lupa ia mengirim pesan pada Nina agar sahabatnya itu memberi tahu padanya ruangan ibu Nina dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Clara yang sebenarnya tidak mau berpikir yang tidak-tidak tentang Bagas dan Anisa dikejutkan oleh pemandangan yang disuguhkan oleh Bagas serta Anisa kembali. Kedua orang itu sedang menebus resep. Dari arah belakang, Clara melihat Bagas seperti sedang mengantar istri yang sedang berobat. Jarak keduanya sangat dekat, dan ia juga melihat sikap Anisa pada suaminya juga sangat manja seolah-olah Bagas adalah suami perempuan tersebut. Clara naik pitam. Kali ini kemarahannya lebih besar dibandingkan saat ia melihat keduanya berada di dapur yang ada di rumahnya. Ketika Clara sudah sampai di belakang kedua orang itu untuk menegur sikap Anisa yang menurutnya berlebihan pada suaminya, tiba-tiba saja, seorang suster mendekati Bagas dan mengajak suaminya bicara hingga Clara mengurungkan niatnya sejenak. "Pak, bisa beritahu informasi hubungan Bapak dengan pasien? Karena nanti ada anjuran dari dokter terkait kondisi kaki pasien?" Suster itu melontarkan pertanyaan tersebut pada Bagas dan Bagas dengan cepat menjawab pertanyaan itu tanpa ragu, karena tidak menyadari ada istrinya tepat di belakangnya. "Oh, pasien istri saya Suster, saya-" "Bagas!! Siapa yang kamu bilang istri kamu?! Perempuan ini bukan istri kamu, Bagas! Aku istri kamu!"Semua mata langsung tertuju pada Clara, dan Bagas sangat terkejut melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. "Maaf, jadi, siapa istrinya, Pak?" tanya suster itu yang jadi bingung karena pengakuan Clara. Ia memandang Clara dan Anisa bergantian untuk memastikan siapa sebenarnya istri pria yang diajaknya bicara. Untuk sesaat, Bagas jadi gugup. Gugup karena kebohongannya diketahui oleh Clara, tapi Bagas tipe pria yang tidak mau merubah keputusannya hingga ia meminta izin pada sang suster untuk memberinya waktu bicara pada Clara sejenak.Setelah suster memberinya izin, Bagas langsung menarik tangan Clara ke tempat yang sedikit jauh dari posisi Anisa yang dibimbingnya tadi untuk duduk saja di kursi tunggu.Sementara itu, sang suster terpaksa menunggu sejenak karena keterangan Bagas sangat penting untuk disampaikan pada dokter yang memintanya melakukan hal itu."Kamu itu gimana, sih? Aku itu cuma pura-pura! Anisa akan malu kalau dia diantar oleh pria yang bukan siapa-siapanya!" kata B
Paras Bagas terlihat sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ia tidak menyangka, perempuan itu bisa memiliki ide seperti itu, hingga Bagas menatap Anisa dengan tatapan mata yang tidak berkedip sedikitpun. Ditatap demikian oleh Bagas, membuat Anisa tersipu, tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk memperjelas apa yang ia katakan pada Bagas tadi."Kenapa? Kayaknya kamu kaget banget? Enggak suka?" katanya bertubi-tubi pada Bagas.Bagas tergagap. Ia mengusap wajahnya kasar, karena mendadak ia jadi bingung apa yang akan ia katakan di hadapan Anisa."Bukannya tidak suka, tapi, aku masih kurang paham, mengapa kamu mau direpotkan sama masalah aku dan Clara?" jawab Bagas masih sambil menatap Anisa yang masih tersipu di hadapannya."Aku teman kamu, wajar aku membantu kamu, emangnya siapa lagi yang bisa dekat sama ibu kamu selain aku?""Enggak ada! Enggak ada wanita lain yang disukai ibuku kecuali kamu. Dengan Clara saja, ibuku tidak begitu akur...."Perasaan senang menyelimuti
Clara tidak paham apa yang sebenarnya di otak suaminya sekarang. Yang jelas, saat Bagas berusaha untuk membuka seluruh pakaiannya, ia mencegah karena tidak seperti biasanya, sang suami melakukan hal demikian disaat mereka sedang berdebat."Bagas! Sakit!!" teriak Clara, ketika dengan kasar, Bagas mencengkram tangannya yang berusaha untuk menghentikan aksi suaminya yang membabi buta membuka pakaian tidurnya."Sakit? Hatiku lebih sakit, Clara! Kamu tahu, aku tidak suka kamu berfoto dengan model pria, tapi kamu minta izin lagi padaku untuk masalah yang sama! Kamu sengaja bikin aku marah?!" Sambil bicara seperti itu pada Clara, Bagas naik ke atas tubuh sang istri sehingga kini, pergerakan istrinya tidak lagi sebebas saat sebelum ia melakukan hal itu. "Tapi, ini bukan kemauan aku, Gas, ini situasi yang maksa aku harus ngomong lagi sama kamu, aku juga enggak tau akhirnya jadi begini, tapi aku butuh solusi, kalau aku menolak gimana dengan denda itu?"Setengah mati, Clara menanggapi perkataa
Clara semakin dihadapkan perasaan delima. Di satu sisi, ia tidak mau disentuh Bagas jika pria itu sedang marah, tapi di sisi yang lain jika ia tidak menurut, ia khawatir Bagas akan semakin marah."Gas, terus bagaimana dengan pembicaraan kita? Kamu sudah memutuskan sesuatu?"Meskipun sedang merasa khawatir dan takut, Clara tetap ingin menuntaskan pembicaraan, ia ingin tahu keputusan Bagas, atau minimal jalan keluar dari Bagas agar ia tidak dianggap membuat keputusan sendiri."Kau mau melayani aku, tidak? Jangan mengalihkan pembicaraan!"Bagas justru bertahan dengan keinginannya tanpa peduli keinginan Clara yang ingin apa yang mereka bicarakan segera dituntaskan.Clara mencengkram erat pakaian tidurnya, seolah bingung apa yang harus ia putuskan sekarang."Kenapa kamu ingin kita berhubungan intim saat kamu sedang marah seperti itu? Kamu tahu aku tidak suka itu...."Akhirnya, daripada hanya disimpan di dalam hati, Clara mengutarakan rasa keberatannya pada Bagas tentang permintaan sang sua
Clara menarik napas mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya, ia akhirnya melakukan apa yang diinginkan suaminya meskipun ia terpaksa karena sebenarnya keadaan hatinya saja sedang tidak baik.Tubuh Clara sudah polos tanpa pakaian. Ia berusaha untuk membuat Bagas merasakan sensasi yang baru dari cara ia menyentuh laki-laki tersebut."Lebih hot, Clara! Seperti saat kamu di depan kamera! Pandangan mata kamu sensual mengundang birahi siapapun yang melihat fotomu, sekarang kau harus melakukan hal lebih untukku! Aku suamimu, berikan sentuhan lebih panas dari biasanya!" Suara Bagas terdengar lantang ketika Clara sudah memberikan servis pada bagian bawah perutnya. Keadaannya juga sama tanpa pakaian dan ia meminta Clara yang melucuti semuanya seperti raja yang sedang dilayani oleh selir. Sebenarnya, Clara kesal dengan ucapan Bagas yang mengatakan dirinya mengundang birahi saat difoto. Karena menurutnya, job yang diambilnya tidak begitu berlebihan saat berpose dan memang semua fotomodel b
"Kau ingin aku memberikan keputusan yang memuaskan untuk permasalahan kamu tidak?" tanya Bagas dengan nada suara yang ditekan, pertanda ia sekarang menahan amarahnya."Mau," sahut Clara dengan nada suara merendah. "Kalau begitu, lakukan saja tugasmu! Ingat, sekali lagi aku mendengar kamu mengeluh, jangan harap, aku peduli dengan masalah kamu itu!"Ancaman yang dikatakan oleh Bagas, mau tidak mau membuat Clara mati kutu. Ia tidak lagi mengatakan apapun untuk melancarkan aksi protesnya, karena jika Bagas tidak peduli dengan masalah yang membelitnya, ia harus bagaimana?Baiklah. Untuk sekarang, aku harus bersabar. Aku akan menuruti apa yang diinginkannya meskipun itu enggak menyenangkan buat aku, semoga, dia begini hanya satu kali saja....Perempuan itu bicara di dalam hati, dengan perasaan yang bercampur aduk."Lakukan lagi! Yang lebih liar!" perintah Bagas, pada sang istri hingga lamunan Clara buyar seketika.Clara bergerak, masih di atas tubuh suaminya, tapi saat ia mulai ingin melak
Clara mendongakkan kepalanya, menatap wajah sang suami, dan menentang sorot tajam tatapan mata suaminya tersebut seolah ia tidak takut dengan isyarat kemarahan yang diberikan oleh Bagas, lantaran ia memang tidak suka disentuh ketika ia sedang tidak senang. "Kamu sangat tahu, aku tidak pernah keberatan untuk kamu sentuh, tapi kalau kamu menyentuh aku dengan kasar, atau saat sedang marah, aku tidak suka, dan satu lagi, aku enggak suka melihat kamu ngocok kayak tadi!"Mendengar apa yang diucapkan oleh Clara, Bagas tersenyum miring. Rasa marahnya bukan mereda, tapi justru semakin membara. Satu tangannya mencengkram bokong istrinya yang padat, sangat kuat seolah ingin menyakiti. Membuat Clara meronta untuk melepaskan diri dan menjauh dari Bagas. Akan tetapi, gerakan Clara yang meronta seperti itu dianggap gerakan penolakan yang keras bagi Bagas pada sentuhannya. Tak ayal lagi, emosi pria itu semakin tersulut hingga ia mendorong kasar tubuh telanjang istrinya tersebut ke atas tempat tid
"Enggak! Aku enggak mau!" Sembari bicara seperti itu, Clara beringsut mundur, tidak mau berbaring dekat dengan posisi Bagas, khawatir suaminya akan memasukinya lagi lantaran ia melihat, milik suaminya memang kembali menegang.Dengan sisa kekuatannya, perempuan itu berusaha bangun, namun belum lagi ia berhasil melakukan hal itu, Bagas lebih dulu menyambar salah satu tangannya, dan menarik tangan itu dengan kuat hingga tubuh polos Clara kembali terbaring dan dengan cepat, kaki dan tangan Bagas digunakan untuk menghalangi pergerakan perempuan berambut panjang tersebut. "Lepaskan, Bagas! Aku mau mandi!" seru Clara sambil berusaha untuk menjauhkan tangan Bagas yang bergerak liar di atas perutnya. "Harusnya, kau senang karena aku selalu bernafsu padamu. Kau tidak perlu cemburu pada Anisa lagi karena aku hanya candu pada tubuhmu, tapi kau selalu punya cara untuk membuat aku kecewa, kau benar-benar ingin selalu bertengkar denganku!?"Perkataan berujung pertanyaan Bagas diselingi usapan jem
Mendengar nada suara Bagas yang meninggi, langkah Clara terhenti seketika. Niat hati ingin bersikeras untuk mengabaikan suaminya agar ada efek jera bagi Bagas, tapi Clara mengurungkan niatnya untuk melakukan hal itu karena bagaimanapun juga ia seorang isteri.Terpaksa, Clara mengikuti perintah Bagas agar ia ikut duduk di ruang keluarga begitu juga dengan Berlina.Hening untuk sesaat, meskipun mereka bertiga sudah duduk saling berhadapan, sampai akhirnya...."Sekarang, aku dulu yang bicara, setelah itu kalian boleh bicara bergiliran untuk mengemukakan pendapat kalian masing-masing."Bagas yang membuka suara lebih dulu, dan Clara hanya diam tapi menanti juga apa yang akan diucapkan oleh suaminya tersebut."Perusahaan belum baik-baik saja, karena Clara tidak bisa membujuk Pak Christ untuk menjadi investor, aku belum bisa mengatakan bahwa finansial kita aman, jadi mungkin sekarang, pengeluaran sedikit dipangkas.""Kenapa tidak mempertimbangkan tawaran dari Pak Steven?" "Tidak akan! Tanpa
"Bagas ngomong begitu sama kamu?"Anisa mengangguk. Membuat Berlina menghela napas panjang. "Kasihan, Bagas. Sudah menikah setahun pun, Clara tidak hamil juga, tidak patuh sebagai istri untuk menutup aurat, beban Bagas sangat berat, Tante kasihan sama dia.""Kalau memang Bagas begitu tersiksa, kenapa dia tidak mau menceraikan Clara? Atau, buat Clara itu mau patuh sama Bagas dengan cara, Bagas menikah lagi.""Tante juga berpikir seperti itu, Nisa. Tapi, siapa yang mau sama anak Tante yang perusahaannya saja belum stabil?""Pasti banyak, Tante. Bagas itu ganteng, baik, bertanggung jawab, pasti banyak perempuan yang suka sama dia.""Banyak yang suka, tapi kalau Tante tidak suka, buat apa?""Jadi, Tante suka sama siapa? Biar aku bantu buat comblangin Bagas, mungkin?""Tante suka sama kamu.""Aku?""Ya!"Wajah Anisa menjadi terlihat salah tingkah mendengar pengakuan Berlina, meskipun Anisa tahu Berlina suka padanya lewat sikap perempuan tersebut, tapi jika dikatakan secara terbuka sepert
Clara menggeliat berusaha untuk melepaskan pelukan Bagas karena saat ini ia sedang emosi dan tidak ingin disentuh oleh suaminya tersebut. Meskipun memilih tidak memperpanjang perdebatan, Clara tetap belum bisa bersikap biasa pada Bagas.Namun, Bagas seolah tidak peduli dengan penolakan Clara hingga laki-laki itu terus saja mendekap tubuh ramping Clara bahkan satu tangannya masuk ke balik pakaian Clara membuat Clara makin sebal dengan apa yang dilakukan oleh Bagas. "Gas! Hentikan! Aku mau nyiapin sarapan!" katanya sambil mengeluarkan tangan Bagas yang sudah bermain di balik pakaiannya dan menyentuh dadanya. "Main dulu yuk, bentar?" ajak Bagas tidak patah semangat untuk menutupi kebohongannya didepan sang istri dengan mengajak istrinya berhubungan intim terlebih dahulu."Enggak! Aku mau nyiapin sarapan terus kerja! Kamu juga harus kerja, kan?" Clara menolak, perempuan itu benar-benar tidak mau menoleransi sikap Bagas yang dinilainya terlalu meremehkan rasa takutnya pada Pak Christ.
"Jangan pura-pura enggak tahu deh, kamu. Kamu itu punya nafsu yang tinggi, aku yakin hal seperti ini tuh buat kamu bukan hal yang sulit untuk dipahami!"Anisa merajuk di hadapan Bagas, dan Bagas menarik napas panjang mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Matanya mengarah pada dada Anisa, setelah itu beralih ke bagian bawah perut perempuan tersebut lalu lagi-lagi, Bagas menelan salivanya dengan kasar setelah memperhatikan itu semua.Ia mengulurkan tangannya, lalu dalam sekejap tangan Bagas sudah bermain di kedua dada Anisa hingga Anisa kembali meloloskan suara ketika Bagas melakukan hal itu pada dadanya. Tidak hanya sampai di situ, satu tangan Bagas meraba ke bagian bawah perut Anisa dan dengan gerakan cepat jemari tangan Bagas sudah bermain di sana membuat Anisa semakin tidak karuan karena apa yang dilakukan oleh Bagas lalu dalam sekejap ia mencapai puncaknya membuat jemari tangan Bagas penuh dengan cairan tersebut.Anisa membaringkan tubuhnya, sembari membuka kedua pahanya, matan
Bagas terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Anisa padanya. Tidak menyangka, Anisa begitu agresif, hingga ia benar-benar dibuat kelimpungan oleh tindakan perempuan tersebut pada tubuhnya terutama pada kelelakiannya.Detik berikutnya, Bagas hanya bisa pasrah kembali diajak bercinta oleh Anisa, dan malam itu mereka mengulangi perbuatan mereka sampai beberapa kali hingga keduanya terkulai lemas di atas tempat tidur dengan tubuh polos tanpa pakaian yang berkeringat.Anisa tertidur tanpa membersihkan tubuhnya terlebih dahulu, dan itu membuat Bagas kembali bertanya-tanya, mengapa lagi-lagi ada hal yang terasa aneh dan janggal yang mustahil dilakukan perempuan berpakaian syar'i seperti Anisa?Clara saja biasanya langsung mandi bersih kalau habis berhubungan intim denganku dan aku yang biasa suka menunda. Tapi, mengapa Anisa juga sama seperti aku? Menunda melakukan mandi bersih?Hati Bagas bicara sambil perlahan bangkit dan duduk sambil memandang Anisa yang tidur tanpa pakaian. Matanya men
Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh Bagas, Anisa yang tadinya berbaring terlentang karena masih menikmati perasaan melayangnya usai berhubungan intim dengan Bagas seketika bangkit.Gadis itu menatap tidak suka pada Bagas karena pertanyaan Bagas membuat ia kesal."Enggak berdarah bukan berarti enggak perawan, Bagas! Kamu masih mempercayai kepercayaan orang-orang dulu? Tanya dokter, sana! Kadang ada juga yang enggak mengeluarkan darah meskipun dia masih perawan!"Nada suara Anisa terdengar meninggi ketika ia mengucapkan kalimat tersebut pada Bagas. Membuat Bagas garuk-garuk kepala. Meskipun ia tahu, ada kemungkinan perempuan yang tidak mengeluarkan darah itu tetap perawan, tapi entah kenapa, perasaannya menentang kesimpulan itu untuk Anisa. Beberapa hal membuat Bagas ragu kalau Anisa itu perawan, karena perempuan itu sangat berpengalaman saat memuaskan dirinya. Apakah Anisa melihat film biru untuk menambah imajinasinya? Bukankah perempuan berpakaian syar'i tidak akan melakukan hal
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Bagas, membuat Anisa bangkit dan perempuan itu duduk di hadapan Bagas tanpa peduli bagian dadanya menggantung bebas di hadapan Bagas hingga Bagas menelan salivanya dengan kasar. Anisa beringsut. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher Bagas dan wajah mereka kini jadi sangat dekat satu sama lain karena hal itu."Kamu benar-benar berpikir aku pernah melakukan hubungan intim sama pria lain? Memangnya aku Clara? Seorang model yang mengekspos tubuhnya di depan kamera?" tanya Anisa sambil mempergunakan tangannya untuk membelai rahang kokoh Bagas, hingga Bagas kembali merasakan, ada gelanyar nikmat saat Anisa melakukan itu padanya. "Tapi, Clara masih perawan saat aku menyentuhnya," sahut Bagas dengan nada suara bergetar, pertanda ia menahan diri untuk tidak menyentuh dada Anisa yang begitu menantang di hadapannya."Masih perawan, emangnya kamu yakin, tubuh dia enggak pernah disentuh pria lain?""Dia tidak pernah berpacaran terlalu bebas, Nis. Hanya saja di
Jantung Bagas seolah berhenti berdenyut melihat sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat tersebut. Dengan tangan gemetar, ia membetulkan handuk yang dipakai Anisa tapi Anisa yang terus melakukan pergerakan sulit untuk diatasi oleh Bagas hingga tanpa sengaja, telapak tangan Bagas justru menyentuh paha Anisa. Merasakan tangan Bagas di pahanya, Anisa bersorak. Tidak sia-sia ia mengorbankan diri menahan sakit di kakinya seperti sekarang hingga ia bisa merasakan sentuhan Bagas di salah satu pahanya."Kakiku sakit, Gas, tolongin...."Anisa merintih lagi, sambil terus menggerakkan kakinya hingga bagian terlarangnya semakin terekspos dan Bagas semakin dibuat kalang kabut karena hal itu."Nisa. Jangan bergerak dulu, itu, aurat kamu ke mana-mana, aku akan berdosa kalau terus melihatnya, diam dulu ya, aku pindahkan kamu ke atas tempat tidur!"Sambil berusaha untuk menguasai perasaan berdebarnya, Bagas segera membenarkan handuk Anisa lagi, lalu ia mengangkat tubuh Anisa untuk ia pindahkan ke atas
"Nina!"Melihat yang datang adalah Nina, Clara langsung beranjak ke arah sahabatnya tersebut dan ia segera memeluk Nina untuk menumpahkan semua perasaannya yang tadi sulit untuk ia tahan saat bersama dengan Sean. "Aku tidak sengaja bertemu dengan Clara, jadi karena sekarang ada kamu, aku titip Clara sama kamu, ya? Mungkin lain kali, Clara jangan sendirian saat menemui seseorang, apalagi orang itu asing baginya, agar kejadian ini tidak terulang lagi."Sean bicara seperti itu sebelum akhirnya ia beranjak pergi karena ia sudah ditunggu oleh rekan yang memintanya untuk datang ke cafe tersebut.Nina sebenarnya sangat ingin banyak bicara dengan Sean. Selain sangat jarang bisa bertemu dengan Sean di luar pekerjaan, Nina juga masih ingin banyak bertanya pada laki-laki tersebut tentang Clara. Hanya saja, karena Nina tahu, Sean sangat sulit untuk mencari waktu senggang, Nina terpaksa merelakan idolanya itu untuk pergi meninggalkan mereka. Ia fokus pada Clara yang masih memeluknya erat sambil