Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara.
Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa. Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi. Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya. Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?} {Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi} Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu bilang aku lagi ada keperluan penting, kan?} {Iya. Aku bilang, suami kamu sakit jadi kamu harus pulang cepat, tapi, Ra, seharusnya kan, kamu yang bersama suami kamu, ini kok, perempuan itu?} Kening Clara bertaut ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Nina. {Maksud kamu apa?} Nina langsung mengirimkan foto pada Clara dan Clara terkejut ketika melihat foto yang dikirim oleh Nina padanya. Foto Bagas dengan Anisa, dan saat foto itu diambil, Bagas memapah Anisa seolah-olah perempuan itu tidak bisa berjalan padahal menurut Clara, Anisa tidak sampai harus seperti itu karena Clara sempat melihat kondisi kaki perempuan tersebut setelah sup itu mengenai kakinya. Ada perasaan panas menyelimuti hati Clara yang sudah panas sejak tadi. Namun, Clara berusaha untuk menguasai diri khawatir sahabatnya itu tahu, ia sekarang terpuruk karena Anisa pula. {Dia emang lagi nganter Anisa berobat, itu gara-gara aku, aku enggak sengaja nyenggol panci berisi sup, dan sup itu jatuh kena kakinya} Clara menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya, membuat Clara bisa merasakan, Nina menarik napas berat di seberang sana. {Tapi enggak gitu juga kali caranya, dia memapah seolah kaki Anisa itu cacat, lho, aku pengen labrak dia jadinya!} Suara Nina terdengar diliputi perasaan emosi, dan ini membuat perasaan Clara semakin bercampur aduk. {Terus, apa kata Pak Johan, Nin?} Clara sengaja mengalihkan percakapan, tidak mau mereka membahas Bagas, karena rasa sakit itu akan semakin menjadi jika sekarang mereka membicarakan suaminya tersebut. {Kamu harus terima tawaran dari designer yang tadi ikut hadir saat rapat, kalau enggak, Pak Johan mecat kamu!} Tubuh Clara mendadak kaku mendengar informasi yang disampaikan oleh Clara. {Kamu tau tawaran itu gimana, enggak?} Sebuah pertanyaan diajukan oleh Clara, dengan nada suara terbata, khawatir tawaran itu mengandung sesuatu yang sudah ia tegaskan tidak mau ia lakukan untuk membuat suaminya tidak lagi uring-uringan. {Aku belum melihat konsepnya secara menyeluruh, sih, tapi mending kamu jangan nolak, kalau enggak mau karir kamu abis} Sebuah saran diucapkan oleh Nina, dan Clara menarik napas mendengarnya. {Baiklah. Kamu tolong kasih tau aku kalau sudah tahu semua konsepnya ya, aku tutup dulu telponnya} {Tunggu, Ra!} Clara mengurungkan niatnya untuk mengakhiri percakapan ketika Nina mengatakan hal itu padanya. {Apa?} {Suami kamu lagi sakit, kan? Tapi sekarang dia ke rumah sakit nganterin perempuan lain, kayak janggal dilihat gitu, kenapa bukan kamu aja yang nganter Anisa?} Nina ternyata kembali membahas sesuatu yang sangat dihindari Clara untuk dibahas dengan orang lain, terutama untuk sekarang ini. Namun, tentu saja Clara tidak bisa untuk tidak menjawab pertanyaan dari Nina, karena jika itu dilakukannya, Nina akan terus bertanya disetiap kesempatan. {Aku, kan enggak bisa bawa motor, masa mau tumpuk tiga? Enggak bisa dong?} Alasan itu dianggap Clara tepat untuk menjawab pertanyaan Nina, tapi ternyata, Nina tetap tidak puas dengan jawaban sahabatnya tersebut. {Bisa pake taksi online, kan? Harusnya kamu yang bawa Anisa kalau memang kamu yang bertanggung jawab, bukan Bagas!} {Sesekali, enggak papa, lain kali aku enggak akan mengizinkan, ohya, kenapa kamu bisa ada di rumah sakit? Kamu sakit?} Clara menjawab tapi juga berusaha untuk mengalihkan percakapan itu kembali. {Aku ditelpon Mama, beliau sakit jadi aku mampir buat nengok, nanti balik ke agensi lagi kok, ya sudah, Ra, kamu jangan beri celah wanita lain untuk pergi-pergi sama suami kamu, lho! Berhijab bukan berarti enggak bisa khilaf, kan?} Nina mengakhiri percakapan, perempuan itu sepertinya sedang terburu-buru. Clara menarik napas mendengar nada suara Nina yang terdengar aneh di telinganya. Sebenarnya, sahabatnya itu melihat apa? Sampai bisa mempengaruhi suaranya begitu. Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, sebab, ibunya Nina yang sudah ia anggap ibunya sendiri semenjak ibunya sudah tidak ada tersebut sedang sakit, Clara jadi ingin menengok. Ia tahu rumah sakit yang biasa direkomendasikan Nina untuk berobat karena pelayanannya sangat bagus. Clara yakin, sekarang Nina dan ibunya ada di sana. Clara juga ingin melihat kelanjutan Bagas dan Anisa yang sedang berobat di sana. Semoga saja, kekhawatirannya tidak terbukti, karena sejujurnya ia tidak mau terus menerus bertengkar dengan suaminya. Bergegas, Clara merapikan belanjaannya dahulu di kulkas, dan membersihkan kuah sup yang mengotori lantai dapur, setelah itu terburu-buru ia memesan ojek online, dan keluar. Saat di ruang tamu, ia berpapasan dengan ibu mertuanya yang tadi sempat mengantar Bagas juga Anisa berangkat ke rumah sakit. Melihat Clara yang ingin pergi lagi, sang ibu mertua mencegah Clara untuk melewatinya meskipun Clara sudah pamit untuk sesuatu yang penting. "Kamu mau membuntuti Bagas dan Anisa?" tanya ibu mertuanya, setelah mendengar perkataan pamit Clara. "Enggak, Ma. Nina tadi nelpon, dia butuh bantuan, soal pekerjaan. Aku pergi sebentar, ya, Ma!" Setengah mati, Clara berusaha untuk tidak dicegah. Tamparan ibu mertuanya tadi memang tidak terlalu keras, tapi cukup menghancurkan seluruh hatinya, rasanya sekarang, Clara sedikit sulit untuk bersikap biasa di hadapan wanita tersebut. "Kamu itu, baru datang pergi lagi, bosan Mama melihat kamu! Kamu kasih uang tidak sama Bagas? Kamu yang harus tanggung jawab sama Anisa, jadi harus pakai uang kamu!" Nada suara ibu mertuanya terdengar meninggi saat mengucapkan kalimat itu pada Clara. "Iya. Aku sudah ngasih uang sama Bagas, kok. Aku pergi, Ma!" Berlina menjauhkan telapak tangannya ketika Clara berniat untuk mencium telapak tangannya sebelum pergi pertanda pamit. Hati Clara sesak, tapi Clara mencoba untuk bersabar, dan ia segera melangkah melewati ibu mertuanya tanpa peduli omelan yang dilontarkan sang ibu mertua padanya ketika melihat ia tetap pergi. Apa Bagas minta uang padanya itu perintah dari mertuanya? Ada pertanyaan seperti itu berkelebat di benak Clara, tapi Clara mengabaikan dan memilih untuk segera berangkat ke rumah sakit, dan tidak lupa ia mengirim pesan pada Nina agar sahabatnya itu memberi tahu padanya ruangan ibu Nina dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Clara yang sebenarnya tidak mau berpikir yang tidak-tidak tentang Bagas dan Anisa dikejutkan oleh pemandangan yang disuguhkan oleh Bagas serta Anisa kembali. Kedua orang itu sedang menebus resep. Dari arah belakang, Clara melihat Bagas seperti sedang mengantar istri yang sedang berobat. Jarak keduanya sangat dekat, dan ia juga melihat sikap Anisa pada suaminya juga sangat manja seolah-olah Bagas adalah suami perempuan tersebut. Clara naik pitam. Kali ini kemarahannya lebih besar dibandingkan saat ia melihat keduanya berada di dapur yang ada di rumahnya. Ketika Clara sudah sampai di belakang kedua orang itu untuk menegur sikap Anisa yang menurutnya berlebihan pada suaminya, tiba-tiba saja, seorang suster mendekati Bagas dan mengajak suaminya bicara hingga Clara mengurungkan niatnya sejenak. "Pak, bisa beritahu informasi hubungan Bapak dengan pasien? Karena nanti ada anjuran dari dokter terkait kondisi kaki pasien?" Suster itu melontarkan pertanyaan tersebut pada Bagas dan Bagas dengan cepat menjawab pertanyaan itu tanpa ragu, karena tidak menyadari ada istrinya tepat di belakangnya. "Oh, pasien istri saya Suster, saya-" "Bagas!! Siapa yang kamu bilang istri kamu?! Perempuan ini bukan istri kamu, Bagas! Aku istri kamu!"Semua mata langsung tertuju pada Clara, dan Bagas sangat terkejut melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. "Maaf, jadi, siapa istrinya, Pak?" tanya suster itu yang jadi bingung karena pengakuan Clara. Ia memandang Clara dan Anisa bergantian untuk memastikan siapa sebenarnya istri pria yang diajaknya bicara. Untuk sesaat, Bagas jadi gugup. Gugup karena kebohongannya diketahui oleh Clara, tapi Bagas tipe pria yang tidak mau merubah keputusannya hingga ia meminta izin pada sang suster untuk memberinya waktu bicara pada Clara sejenak.Setelah suster memberinya izin, Bagas langsung menarik tangan Clara ke tempat yang sedikit jauh dari posisi Anisa yang dibimbingnya tadi untuk duduk saja di kursi tunggu.Sementara itu, sang suster terpaksa menunggu sejenak karena keterangan Bagas sangat penting untuk disampaikan pada dokter yang memintanya melakukan hal itu."Kamu itu gimana, sih? Aku itu cuma pura-pura! Anisa akan malu kalau dia diantar oleh pria yang bukan siapa-siapanya!" kata B
Paras Bagas terlihat sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ia tidak menyangka, perempuan itu bisa memiliki ide seperti itu, hingga Bagas menatap Anisa dengan tatapan mata yang tidak berkedip sedikitpun. Ditatap demikian oleh Bagas, membuat Anisa tersipu, tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk memperjelas apa yang ia katakan pada Bagas tadi."Kenapa? Kayaknya kamu kaget banget? Enggak suka?" katanya bertubi-tubi pada Bagas.Bagas tergagap. Ia mengusap wajahnya kasar, karena mendadak ia jadi bingung apa yang akan ia katakan di hadapan Anisa."Bukannya tidak suka, tapi, aku masih kurang paham, mengapa kamu mau direpotkan sama masalah aku dan Clara?" jawab Bagas masih sambil menatap Anisa yang masih tersipu di hadapannya."Aku teman kamu, wajar aku membantu kamu, emangnya siapa lagi yang bisa dekat sama ibu kamu selain aku?""Enggak ada! Enggak ada wanita lain yang disukai ibuku kecuali kamu. Dengan Clara saja, ibuku tidak begitu akur...."Perasaan senang menyelimuti
Clara tidak paham apa yang sebenarnya di otak suaminya sekarang. Yang jelas, saat Bagas berusaha untuk membuka seluruh pakaiannya, ia mencegah karena tidak seperti biasanya, sang suami melakukan hal demikian disaat mereka sedang berdebat."Bagas! Sakit!!" teriak Clara, ketika dengan kasar, Bagas mencengkram tangannya yang berusaha untuk menghentikan aksi suaminya yang membabi buta membuka pakaian tidurnya."Sakit? Hatiku lebih sakit, Clara! Kamu tahu, aku tidak suka kamu berfoto dengan model pria, tapi kamu minta izin lagi padaku untuk masalah yang sama! Kamu sengaja bikin aku marah?!" Sambil bicara seperti itu pada Clara, Bagas naik ke atas tubuh sang istri sehingga kini, pergerakan istrinya tidak lagi sebebas saat sebelum ia melakukan hal itu. "Tapi, ini bukan kemauan aku, Gas, ini situasi yang maksa aku harus ngomong lagi sama kamu, aku juga enggak tau akhirnya jadi begini, tapi aku butuh solusi, kalau aku menolak gimana dengan denda itu?"Setengah mati, Clara menanggapi perkataa
Clara semakin dihadapkan perasaan delima. Di satu sisi, ia tidak mau disentuh Bagas jika pria itu sedang marah, tapi di sisi yang lain jika ia tidak menurut, ia khawatir Bagas akan semakin marah."Gas, terus bagaimana dengan pembicaraan kita? Kamu sudah memutuskan sesuatu?"Meskipun sedang merasa khawatir dan takut, Clara tetap ingin menuntaskan pembicaraan, ia ingin tahu keputusan Bagas, atau minimal jalan keluar dari Bagas agar ia tidak dianggap membuat keputusan sendiri."Kau mau melayani aku, tidak? Jangan mengalihkan pembicaraan!"Bagas justru bertahan dengan keinginannya tanpa peduli keinginan Clara yang ingin apa yang mereka bicarakan segera dituntaskan.Clara mencengkram erat pakaian tidurnya, seolah bingung apa yang harus ia putuskan sekarang."Kenapa kamu ingin kita berhubungan intim saat kamu sedang marah seperti itu? Kamu tahu aku tidak suka itu...."Akhirnya, daripada hanya disimpan di dalam hati, Clara mengutarakan rasa keberatannya pada Bagas tentang permintaan sang sua
Clara menarik napas mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya, ia akhirnya melakukan apa yang diinginkan suaminya meskipun ia terpaksa karena sebenarnya keadaan hatinya saja sedang tidak baik.Tubuh Clara sudah polos tanpa pakaian. Ia berusaha untuk membuat Bagas merasakan sensasi yang baru dari cara ia menyentuh laki-laki tersebut."Lebih hot, Clara! Seperti saat kamu di depan kamera! Pandangan mata kamu sensual mengundang birahi siapapun yang melihat fotomu, sekarang kau harus melakukan hal lebih untukku! Aku suamimu, berikan sentuhan lebih panas dari biasanya!" Suara Bagas terdengar lantang ketika Clara sudah memberikan servis pada bagian bawah perutnya. Keadaannya juga sama tanpa pakaian dan ia meminta Clara yang melucuti semuanya seperti raja yang sedang dilayani oleh selir. Sebenarnya, Clara kesal dengan ucapan Bagas yang mengatakan dirinya mengundang birahi saat difoto. Karena menurutnya, job yang diambilnya tidak begitu berlebihan saat berpose dan memang semua fotomodel b
"Kau ingin aku memberikan keputusan yang memuaskan untuk permasalahan kamu tidak?" tanya Bagas dengan nada suara yang ditekan, pertanda ia sekarang menahan amarahnya."Mau," sahut Clara dengan nada suara merendah. "Kalau begitu, lakukan saja tugasmu! Ingat, sekali lagi aku mendengar kamu mengeluh, jangan harap, aku peduli dengan masalah kamu itu!"Ancaman yang dikatakan oleh Bagas, mau tidak mau membuat Clara mati kutu. Ia tidak lagi mengatakan apapun untuk melancarkan aksi protesnya, karena jika Bagas tidak peduli dengan masalah yang membelitnya, ia harus bagaimana?Baiklah. Untuk sekarang, aku harus bersabar. Aku akan menuruti apa yang diinginkannya meskipun itu enggak menyenangkan buat aku, semoga, dia begini hanya satu kali saja....Perempuan itu bicara di dalam hati, dengan perasaan yang bercampur aduk."Lakukan lagi! Yang lebih liar!" perintah Bagas, pada sang istri hingga lamunan Clara buyar seketika.Clara bergerak, masih di atas tubuh suaminya, tapi saat ia mulai ingin melak
Clara mendongakkan kepalanya, menatap wajah sang suami, dan menentang sorot tajam tatapan mata suaminya tersebut seolah ia tidak takut dengan isyarat kemarahan yang diberikan oleh Bagas, lantaran ia memang tidak suka disentuh ketika ia sedang tidak senang. "Kamu sangat tahu, aku tidak pernah keberatan untuk kamu sentuh, tapi kalau kamu menyentuh aku dengan kasar, atau saat sedang marah, aku tidak suka, dan satu lagi, aku enggak suka melihat kamu ngocok kayak tadi!"Mendengar apa yang diucapkan oleh Clara, Bagas tersenyum miring. Rasa marahnya bukan mereda, tapi justru semakin membara. Satu tangannya mencengkram bokong istrinya yang padat, sangat kuat seolah ingin menyakiti. Membuat Clara meronta untuk melepaskan diri dan menjauh dari Bagas. Akan tetapi, gerakan Clara yang meronta seperti itu dianggap gerakan penolakan yang keras bagi Bagas pada sentuhannya. Tak ayal lagi, emosi pria itu semakin tersulut hingga ia mendorong kasar tubuh telanjang istrinya tersebut ke atas tempat tid
"Enggak! Aku enggak mau!" Sembari bicara seperti itu, Clara beringsut mundur, tidak mau berbaring dekat dengan posisi Bagas, khawatir suaminya akan memasukinya lagi lantaran ia melihat, milik suaminya memang kembali menegang.Dengan sisa kekuatannya, perempuan itu berusaha bangun, namun belum lagi ia berhasil melakukan hal itu, Bagas lebih dulu menyambar salah satu tangannya, dan menarik tangan itu dengan kuat hingga tubuh polos Clara kembali terbaring dan dengan cepat, kaki dan tangan Bagas digunakan untuk menghalangi pergerakan perempuan berambut panjang tersebut. "Lepaskan, Bagas! Aku mau mandi!" seru Clara sambil berusaha untuk menjauhkan tangan Bagas yang bergerak liar di atas perutnya. "Harusnya, kau senang karena aku selalu bernafsu padamu. Kau tidak perlu cemburu pada Anisa lagi karena aku hanya candu pada tubuhmu, tapi kau selalu punya cara untuk membuat aku kecewa, kau benar-benar ingin selalu bertengkar denganku!?"Perkataan berujung pertanyaan Bagas diselingi usapan jem
"Ada perlu apa, ya?" tanya Clara setelah beberapa saat ia hanya menyimak percakapan antara Nina dengan Sean. Wajah Clara tidak terlalu antusias karena sekarang pikirannya sedang ke mana-mana.Sean menghela napas mendengar pertanyaan Clara, apalagi ia melihat wajah Clara yang seperti itu, tidak bersemangat sama sekali. Clara sepertinya sedang tidak baik, aku rasa aku tunda dulu saja apa yang ingin aku sampaikan padanya....Sean bicara di dalam hati, sambil mengusap wajahnya perlahan, hingga akhirnya...."Kau sakit?" Bukan yang ingin dibicarakan, tapi itu yang dilontarkan oleh Sean, membuat mata Nina membulat, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar sekarang dari seorang Sean untuk Clara."Waaaah, tumben banget ini, Bang Sean bisa perhatian sama temanku, ada apa ini? Aku kok ketinggalan berita?" goda Nina, tapi godaan itu disambut pelototan mata Clara, tidak mau ada yang salah paham dengan apa yang diucapkan oleh Nina tadi.Nina hanya senyum-senyum ketika melihat Clara yang mem
Suara Anisa yang meninggi membuat beberapa pengguna jalan yang melintas menoleh ke arah mereka, dan Bagas menjadi tidak nyaman karena hal itu.Ia naik kembali ke atas motornya dan meminta Anisa untuk melakukan hal yang sama agar mereka bisa pergi dari tempat itu karena tidak mau mereka menjadi pusat perhatian orang-orang yang melintasi jalan tersebut.Namun, Anisa yang ingin permintaannya dipenuhi tidak mau melakukan hal yang diperintahkan oleh Bagas. Ia tetap berdiri di tempatnya sambil menatap Bagas dengan tatapan mata serius."Penuhi dulu permintaan aku, baru aku naik ke atas motor kamu!" katanya dengan wajah yang terlihat sangat menuntut."Kamu mau naik atau tidak?" tanya Bagas seraya berusaha untuk menahan diri agar ia tidak melampiaskan kemarahannya lantaran ulah Anisa."Aku akan naik kalau kamu menanggapi apa yang aku katakan tadi!"Anisa masih keras kepala di hadapan Bagas hingga Bagas semakin kesal dibuatnya. "Terserah kamu, aku harus berangkat bekerja!"Bagas membawa motorn
"Gas," panggil Clara ketika mereka sudah sampai di beranda rumah mereka. "Ya?""Kenapa Anisa pagi-pagi sudah datang?" tanya Clara dengan wajah yang terlihat sangat serius. Dan Bagas tahu, pertanyaan itu pasti akan dilontarkan oleh sang isteri, hingga Bagas sudah mempersiapkan jawabannya."Aku juga tidak tahu, Sayang. Mungkin ada janji sama ibu," jawab Bagas dan Clara menghela napas mendengarnya. "Iya juga, ibu kamu kelihatan senang banget melihat dia datang," ucap Clara dengan wajah yang terlihat suram. "Kamu tahu ibuku gimana, kan? Enggak perlu dipikirkan. Yang penting aku juga tidak suka dia datang ke sini, nanti aku minta ibu untuk membuat dia segera pulang."Bagas berusaha membuat sang istri tidak berpikir macam-macam, hingga lagi-lagi, Clara membuang napasnya."Terus, apa benar Anisa yang bantuin kamu buat bisa kerja sama dengan Pak Christ?" Pertanyaan Clara selanjutnya membuat Bagas sedikit sulit untuk menjawab. Ia menarik napas berat, dan meraih kedua tangan istrinya lalu
Bagas yang terkejut karena Anisa menamparnya melotot pada perempuan tersebut sambil memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu.Emosinya meledak, padahal setengah mati ia berusaha menahannya tapi ternyata Anisa justru memancing emosinya hingga ia jadi tersulut kembali.Ketika Bagas ingin melancarkan aksi protesnya pada Anisa, tiba-tiba saja...."Eh, Anisa, ya ampun! Mimpi apa ini, kamu ke sini pagi-pagi? Senang banget, Tante. Sini masuk, sudah sarapan, belum?"Berlina muncul membuat niat Bagas yang ingin membentak Anisa karena perempuan itu menamparnya terhenti seketika. Anisa tersenyum puas melihat kemarahan yang terpancar di mata Bagas ketika ia melewati laki-laki itu saat tangannya ditarik oleh ibunya Bagas. Bagas mengepalkan telapak tangannya, pertanda laki-laki itu sangat kesal karena ia belum sempat mengusir Anisa, perempuan itu sudah ditemukan oleh ibunya yang memang belum tahu, Anisa itu seperti apa orangnya.Terpaksa, Bagas ikut masuk agar ia bisa mencegah Anis
Meskipun tidak sepenuhnya tersadar setelah terjaga, Clara masih bisa mencium aroma yang seharusnya tercium jika ia dan Bagas usai berhubungan intim saja.Apakah suaminya itu lagi-lagi memuaskan dirinya sendiri seperti yang sudah-sudah?Clara bertanya demikian di dalam hati dan tentu saja ia sekarang khawatir. Karena ia tidak suka Bagas yang keranjingan memuaskan diri sendiri seperti itu.Aduh, padahal aku dan Anisa tidak berhubungan intim, aku hanya menyentuh dan memuaskan dia, Clara bisa mencium aroma tidak biasa yang dimiliki Anisa, sial!Hati Bagas bicara menanggapi apa yang dipertanyakan oleh Clara padanya.Tidak ada alasan lain yang bisa Bagas katakan selain ia yang usai memuaskan dirinya sendiri. Daripada membuat Clara tahu ia dan Anisa bermain belakang? Itu tidak akan pernah dibiarkan oleh Bagas. "Kenapa kamu selalu melakukan hal kayak gitu, Gas? Kan ada aku? Kamu melakukan hal seperti itu, seolah-olah kamu enggak puas sama aku...."Dengan perasaan gamang, Clara menanggapi pen
"Brengsek!!"Fauzi sampai terkejut ketika mendengar umpatan yang keluar dari mulut Bagas. Bagas sendiri langsung menutup panggilan dari Anisa lalu bergegas memakai jaketnya yang ia letakkan di punggung kursi. Beberapa saat kemudian, pesan masuk di ponsel Bagas hingga Bagas kembali memeriksa ponselnya. [Aku tunggu setengah jam mulai sekarang. Kalau sampai setengah jam kamu enggak datang juga, aku benar-benar akan mengirimkan foto-foto itu ke ponsel Clara, Bagas!]Pesan itu datang dari Anisa. Dan Bagas menggenggam erat ponselnya pertanda ia benar-benar marah tapi ia tidak bisa berbuat banyak selain melakukan apa yang diinginkan oleh Anisa. Namun, ketika ia hendak beranjak. Fauzi mencegah."Kamu mau ke mana?" tanyanya seraya mencekal pergelangan tangan Bagas dengan kuat. "Aku harus pergi!""Pulang?""Tidak.""Ke mana?""Wanita itu, Fauzi! Wanita itu benar-benar setan! Aku benar-benar kesal sama dia sekarang!" Bagas hilang kendali. Ia sampai menyebut nama Anisa dengan sebutan setan.
Sean melontarkan pertanyaan tersebut pada sang resepsionis tepat saat Bagas berdiri menyamping hingga wajahnya terlihat sebagian oleh sang resepsionis.Sang resepsionis memperhatikan orang yang ditunjukkan oleh anak atasannya itu sesaat, lalu...."Ya, Pak. Ada seorang perempuan yang check in atas nama Anisa Mutiara, sepertinya pria itu adalah orang yang diundang masuk ke dalam kamarnya sampai besok.""Memangnya di sini ayahku tidak memberlakukan aturan bahwa pasangan yang tidak jelas hubungannya bisa check in?"Sean melontarkan pertanyaan tersebut, karena seingatnya, hotel-hotel milik ayahnya itu memiliki aturan yang tidak biasa meskipun hotel ayahnya kerap menerima tamu dari luar negeri. Pak Steven meminta identitas pasangan yang check in entah itu saudara atau pasangan, yang dibuktikan dari surat-surat keluarga yang dimiliki."Perempuan itu berpakaian syar'i, Tuan. Dan dia bilang pria itu suaminya.""Kalian kecolongan!""Apa?""Ya! Lain kali jangan biarkan hal seperti ini terjadi l
"Bagas! Sakit!!!" teriak Anisa dan....BUKKK!!Satu kakinya menendang Bagas hingga Bagas terdorong ke belakang dan nyaris jatuh ke lantai!Setelah melakukan itu pada Bagas, Anisa bangkit lalu melotot ke arah Bagas sambil mengernyit menahan sakit pada kewanitaannya. Salah satu tangannya bahkan menekan miliknya itu, pertanda Anisa benar-benar serius sudah merasakan sakit yang tidak terhingga.Sementara itu, Bagas yang tidak menyangka akan ditendang seperti tadi oleh Anisa benar-benar murka. Tidak pernah seorang wanita melakukan hal demikian padanya hingga ia sangat marah dan segera bangkit dari posisinya yang tadi terjungkal ke belakang akibat tendangan yang dilakukan oleh Anisa tadi. Ia membalas tatapan mata Anisa yang melotot ke arahnya, seolah-olah ia tidak mau disalahkan dan tidak peduli dengan ekspresi menahan sakit yang diperlihatkan oleh Anisa di wajahnya."Kurang ajar! Kamu berani menendang aku?" bentak Bagas, dan ia beringsut ke arah Anisa, lalu....PLAKK!Telapak tangannya
Setelah mengucapkan kalimat tersebut pada Bagas, Anisa langsung turun dari atas tubuh Bagas dan beralih ke bagian tubuh Bagas di bagian bawah. Tangannya bergerak cepat membuka celana yang dipakai oleh Bagas hingga Bagas kalang kabut menerima apa yang dilakukan oleh Anisa padanya."Nisa! Tunggu! Tunggu dulu!"Lagi-lagi, Bagas mencegah Anisa yang sudah membuka resleting celananya dengan cara menggulingkan tubuhnya ke samping hingga ia terlepas dari serangan tangan yang dilakukan oleh Anisa pada tubuhnya.Bagas cepat duduk dan memperbaiki celananya yang sempat dibuka oleh Anisa lalu mengacungkan tangannya agar Anisa tidak bergerak mendekatinya. "Tunggu dulu!!" ulangnya dengan tegas, dan itu membuat Anisa terpaksa menghentikan gerakannya lalu menatap Bagas dengan tatapan mata tidak sabar."Apa sih? Aku enggak mau menunggu lagi, lho! Aku udah enggak sabar, Bagas!" kata Anisa dengan nada suara yang meninggi dan mata yang mendelik pertanda sisi keras kepalanya kembali mencuat dan Bagas ben