Sembari bicara demikian pada Clara, salah satu tangan Bagas terangkat seperti ingin menampar pipi Clara.
Membuat Clara terdiam seketika karena terkejut sang suami belakangan ini sering main tangan jika bertengkar dengannya apalagi jika sudah berkaitan dengan Anisa. Akhirnya, Clara pasrah membiarkan suaminya untuk mengantarkan Anisa ke rumah sakit, setelah dengan sangat terpaksa, ia memberikan uang pada Bagas sebagai bentuk pertanggungjawaban lantaran ia membuat Anisa celaka seperti tadi. Ketika Clara larut dalam perasaan hancurnya, ponselnya berdering. Dengan gerakan lambat karena seolah tidak punya daya, Clara mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya. Nina memanggil. Clara langsung menerima panggilan itu dengan perasaan bertanya-tanya. {Ra, kamu di mana?} Nina langsung melontarkan pertanyaan setelah panggilannya diterima oleh Clara. {Aku di rumah, kenapa?} {Pak Johan marah sama kamu, karena kamu enggak ikut rapat tadi} Nina segera mengatakan kenapa ia menelpon Clara. {Tapi kamu bilang aku lagi ada keperluan penting, kan?} {Iya. Aku bilang, suami kamu sakit jadi kamu harus pulang cepat, tapi, Ra, seharusnya kan, kamu yang bersama suami kamu, ini kok, perempuan itu?} Kening Clara bertaut ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Nina. {Maksud kamu apa?} Nina langsung mengirimkan foto pada Clara dan Clara terkejut ketika melihat foto yang dikirim oleh Nina padanya. Foto Bagas dengan Anisa, dan saat foto itu diambil, Bagas memapah Anisa seolah-olah perempuan itu tidak bisa berjalan padahal menurut Clara, Anisa tidak sampai harus seperti itu karena Clara sempat melihat kondisi kaki perempuan tersebut setelah sup itu mengenai kakinya. Ada perasaan panas menyelimuti hati Clara yang sudah panas sejak tadi. Namun, Clara berusaha untuk menguasai diri khawatir sahabatnya itu tahu, ia sekarang terpuruk karena Anisa pula. {Dia emang lagi nganter Anisa berobat, itu gara-gara aku, aku enggak sengaja nyenggol panci berisi sup, dan sup itu jatuh kena kakinya} Clara menerangkan kejadian yang baru saja dialaminya, membuat Clara bisa merasakan, Nina menarik napas berat di seberang sana. {Tapi enggak gitu juga kali caranya, dia memapah seolah kaki Anisa itu cacat, lho, aku pengen labrak dia jadinya!} Suara Nina terdengar diliputi perasaan emosi, dan ini membuat perasaan Clara semakin bercampur aduk. {Terus, apa kata Pak Johan, Nin?} Clara sengaja mengalihkan percakapan, tidak mau mereka membahas Bagas, karena rasa sakit itu akan semakin menjadi jika sekarang mereka membicarakan suaminya tersebut. {Kamu harus terima tawaran dari designer yang tadi ikut hadir saat rapat, kalau enggak, Pak Johan mecat kamu!} Tubuh Clara mendadak kaku mendengar informasi yang disampaikan oleh Clara. {Kamu tau tawaran itu gimana, enggak?} Sebuah pertanyaan diajukan oleh Clara, dengan nada suara terbata, khawatir tawaran itu mengandung sesuatu yang sudah ia tegaskan tidak mau ia lakukan untuk membuat suaminya tidak lagi uring-uringan. {Aku belum melihat konsepnya secara menyeluruh, sih, tapi mending kamu jangan nolak, kalau enggak mau karir kamu abis} Sebuah saran diucapkan oleh Nina, dan Clara menarik napas mendengarnya. {Baiklah. Kamu tolong kasih tau aku kalau sudah tahu semua konsepnya ya, aku tutup dulu telponnya} {Tunggu, Ra!} Clara mengurungkan niatnya untuk mengakhiri percakapan ketika Nina mengatakan hal itu padanya. {Apa?} {Suami kamu lagi sakit, kan? Tapi sekarang dia ke rumah sakit nganterin perempuan lain, kayak janggal dilihat gitu, kenapa bukan kamu aja yang nganter Anisa?} Nina ternyata kembali membahas sesuatu yang sangat dihindari Clara untuk dibahas dengan orang lain, terutama untuk sekarang ini. Namun, tentu saja Clara tidak bisa untuk tidak menjawab pertanyaan dari Nina, karena jika itu dilakukannya, Nina akan terus bertanya disetiap kesempatan. {Aku, kan enggak bisa bawa motor, masa mau tumpuk tiga? Enggak bisa dong?} Alasan itu dianggap Clara tepat untuk menjawab pertanyaan Nina, tapi ternyata, Nina tetap tidak puas dengan jawaban sahabatnya tersebut. {Bisa pake taksi online, kan? Harusnya kamu yang bawa Anisa kalau memang kamu yang bertanggung jawab, bukan Bagas!} {Sesekali, enggak papa, lain kali aku enggak akan mengizinkan, ohya, kenapa kamu bisa ada di rumah sakit? Kamu sakit?} Clara menjawab tapi juga berusaha untuk mengalihkan percakapan itu kembali. {Aku ditelpon Mama, beliau sakit jadi aku mampir buat nengok, nanti balik ke agensi lagi kok, ya sudah, Ra, kamu jangan beri celah wanita lain untuk pergi-pergi sama suami kamu, lho! Berhijab bukan berarti enggak bisa khilaf, kan?} Nina mengakhiri percakapan, perempuan itu sepertinya sedang terburu-buru. Clara menarik napas mendengar nada suara Nina yang terdengar aneh di telinganya. Sebenarnya, sahabatnya itu melihat apa? Sampai bisa mempengaruhi suaranya begitu. Karena penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi, sebab, ibunya Nina yang sudah ia anggap ibunya sendiri semenjak ibunya sudah tidak ada tersebut sedang sakit, Clara jadi ingin menengok. Ia tahu rumah sakit yang biasa direkomendasikan Nina untuk berobat karena pelayanannya sangat bagus. Clara yakin, sekarang Nina dan ibunya ada di sana. Clara juga ingin melihat kelanjutan Bagas dan Anisa yang sedang berobat di sana. Semoga saja, kekhawatirannya tidak terbukti, karena sejujurnya ia tidak mau terus menerus bertengkar dengan suaminya. Bergegas, Clara merapikan belanjaannya dahulu di kulkas, dan membersihkan kuah sup yang mengotori lantai dapur, setelah itu terburu-buru ia memesan ojek online, dan keluar. Saat di ruang tamu, ia berpapasan dengan ibu mertuanya yang tadi sempat mengantar Bagas juga Anisa berangkat ke rumah sakit. Melihat Clara yang ingin pergi lagi, sang ibu mertua mencegah Clara untuk melewatinya meskipun Clara sudah pamit untuk sesuatu yang penting. "Kamu mau membuntuti Bagas dan Anisa?" tanya ibu mertuanya, setelah mendengar perkataan pamit Clara. "Enggak, Ma. Nina tadi nelpon, dia butuh bantuan, soal pekerjaan. Aku pergi sebentar, ya, Ma!" Setengah mati, Clara berusaha untuk tidak dicegah. Tamparan ibu mertuanya tadi memang tidak terlalu keras, tapi cukup menghancurkan seluruh hatinya, rasanya sekarang, Clara sedikit sulit untuk bersikap biasa di hadapan wanita tersebut. "Kamu itu, baru datang pergi lagi, bosan Mama melihat kamu! Kamu kasih uang tidak sama Bagas? Kamu yang harus tanggung jawab sama Anisa, jadi harus pakai uang kamu!" Nada suara ibu mertuanya terdengar meninggi saat mengucapkan kalimat itu pada Clara. "Iya. Aku sudah ngasih uang sama Bagas, kok. Aku pergi, Ma!" Berlina menjauhkan telapak tangannya ketika Clara berniat untuk mencium telapak tangannya sebelum pergi pertanda pamit. Hati Clara sesak, tapi Clara mencoba untuk bersabar, dan ia segera melangkah melewati ibu mertuanya tanpa peduli omelan yang dilontarkan sang ibu mertua padanya ketika melihat ia tetap pergi. Apa Bagas minta uang padanya itu perintah dari mertuanya? Ada pertanyaan seperti itu berkelebat di benak Clara, tapi Clara mengabaikan dan memilih untuk segera berangkat ke rumah sakit, dan tidak lupa ia mengirim pesan pada Nina agar sahabatnya itu memberi tahu padanya ruangan ibu Nina dirawat. Sesampainya di rumah sakit, Clara yang sebenarnya tidak mau berpikir yang tidak-tidak tentang Bagas dan Anisa dikejutkan oleh pemandangan yang disuguhkan oleh Bagas serta Anisa kembali. Kedua orang itu sedang menebus resep. Dari arah belakang, Clara melihat Bagas seperti sedang mengantar istri yang sedang berobat. Jarak keduanya sangat dekat, dan ia juga melihat sikap Anisa pada suaminya juga sangat manja seolah-olah Bagas adalah suami perempuan tersebut. Clara naik pitam. Kali ini kemarahannya lebih besar dibandingkan saat ia melihat keduanya berada di dapur yang ada di rumahnya. Ketika Clara sudah sampai di belakang kedua orang itu untuk menegur sikap Anisa yang menurutnya berlebihan pada suaminya, tiba-tiba saja, seorang suster mendekati Bagas dan mengajak suaminya bicara hingga Clara mengurungkan niatnya sejenak. "Pak, bisa beritahu informasi hubungan Bapak dengan pasien? Karena nanti ada anjuran dari dokter terkait kondisi kaki pasien?" Suster itu melontarkan pertanyaan tersebut pada Bagas dan Bagas dengan cepat menjawab pertanyaan itu tanpa ragu, karena tidak menyadari ada istrinya tepat di belakangnya. "Oh, pasien istri saya Suster, saya-" "Bagas!! Siapa yang kamu bilang istri kamu?! Perempuan ini bukan istri kamu, Bagas! Aku istri kamu!"Semua mata langsung tertuju pada Clara, dan Bagas sangat terkejut melihat istrinya sudah berdiri di belakangnya. "Maaf, jadi, siapa istrinya, Pak?" tanya suster itu yang jadi bingung karena pengakuan Clara. Ia memandang Clara dan Anisa bergantian untuk memastikan siapa sebenarnya istri pria yang diajaknya bicara. Untuk sesaat, Bagas jadi gugup. Gugup karena kebohongannya diketahui oleh Clara, tapi Bagas tipe pria yang tidak mau merubah keputusannya hingga ia meminta izin pada sang suster untuk memberinya waktu bicara pada Clara sejenak.Setelah suster memberinya izin, Bagas langsung menarik tangan Clara ke tempat yang sedikit jauh dari posisi Anisa yang dibimbingnya tadi untuk duduk saja di kursi tunggu.Sementara itu, sang suster terpaksa menunggu sejenak karena keterangan Bagas sangat penting untuk disampaikan pada dokter yang memintanya melakukan hal itu."Kamu itu gimana, sih? Aku itu cuma pura-pura! Anisa akan malu kalau dia diantar oleh pria yang bukan siapa-siapanya!" kata B
Paras Bagas terlihat sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ia tidak menyangka, perempuan itu bisa memiliki ide seperti itu, hingga Bagas menatap Anisa dengan tatapan mata yang tidak berkedip sedikitpun. Ditatap demikian oleh Bagas, membuat Anisa tersipu, tapi ia tidak mengurungkan niatnya untuk memperjelas apa yang ia katakan pada Bagas tadi."Kenapa? Kayaknya kamu kaget banget? Enggak suka?" katanya bertubi-tubi pada Bagas.Bagas tergagap. Ia mengusap wajahnya kasar, karena mendadak ia jadi bingung apa yang akan ia katakan di hadapan Anisa."Bukannya tidak suka, tapi, aku masih kurang paham, mengapa kamu mau direpotkan sama masalah aku dan Clara?" jawab Bagas masih sambil menatap Anisa yang masih tersipu di hadapannya."Aku teman kamu, wajar aku membantu kamu, emangnya siapa lagi yang bisa dekat sama ibu kamu selain aku?""Enggak ada! Enggak ada wanita lain yang disukai ibuku kecuali kamu. Dengan Clara saja, ibuku tidak begitu akur...."Perasaan senang menyelimuti
Clara tidak paham apa yang sebenarnya di otak suaminya sekarang. Yang jelas, saat Bagas berusaha untuk membuka seluruh pakaiannya, ia mencegah karena tidak seperti biasanya, sang suami melakukan hal demikian disaat mereka sedang berdebat."Bagas! Sakit!!" teriak Clara, ketika dengan kasar, Bagas mencengkram tangannya yang berusaha untuk menghentikan aksi suaminya yang membabi buta membuka pakaian tidurnya."Sakit? Hatiku lebih sakit, Clara! Kamu tahu, aku tidak suka kamu berfoto dengan model pria, tapi kamu minta izin lagi padaku untuk masalah yang sama! Kamu sengaja bikin aku marah?!" Sambil bicara seperti itu pada Clara, Bagas naik ke atas tubuh sang istri sehingga kini, pergerakan istrinya tidak lagi sebebas saat sebelum ia melakukan hal itu. "Tapi, ini bukan kemauan aku, Gas, ini situasi yang maksa aku harus ngomong lagi sama kamu, aku juga enggak tau akhirnya jadi begini, tapi aku butuh solusi, kalau aku menolak gimana dengan denda itu?"Setengah mati, Clara menanggapi perkataa
Clara semakin dihadapkan perasaan delima. Di satu sisi, ia tidak mau disentuh Bagas jika pria itu sedang marah, tapi di sisi yang lain jika ia tidak menurut, ia khawatir Bagas akan semakin marah."Gas, terus bagaimana dengan pembicaraan kita? Kamu sudah memutuskan sesuatu?"Meskipun sedang merasa khawatir dan takut, Clara tetap ingin menuntaskan pembicaraan, ia ingin tahu keputusan Bagas, atau minimal jalan keluar dari Bagas agar ia tidak dianggap membuat keputusan sendiri."Kau mau melayani aku, tidak? Jangan mengalihkan pembicaraan!"Bagas justru bertahan dengan keinginannya tanpa peduli keinginan Clara yang ingin apa yang mereka bicarakan segera dituntaskan.Clara mencengkram erat pakaian tidurnya, seolah bingung apa yang harus ia putuskan sekarang."Kenapa kamu ingin kita berhubungan intim saat kamu sedang marah seperti itu? Kamu tahu aku tidak suka itu...."Akhirnya, daripada hanya disimpan di dalam hati, Clara mengutarakan rasa keberatannya pada Bagas tentang permintaan sang sua
Clara menarik napas mendengar apa yang diucapkan oleh suaminya, ia akhirnya melakukan apa yang diinginkan suaminya meskipun ia terpaksa karena sebenarnya keadaan hatinya saja sedang tidak baik.Tubuh Clara sudah polos tanpa pakaian. Ia berusaha untuk membuat Bagas merasakan sensasi yang baru dari cara ia menyentuh laki-laki tersebut."Lebih hot, Clara! Seperti saat kamu di depan kamera! Pandangan mata kamu sensual mengundang birahi siapapun yang melihat fotomu, sekarang kau harus melakukan hal lebih untukku! Aku suamimu, berikan sentuhan lebih panas dari biasanya!" Suara Bagas terdengar lantang ketika Clara sudah memberikan servis pada bagian bawah perutnya. Keadaannya juga sama tanpa pakaian dan ia meminta Clara yang melucuti semuanya seperti raja yang sedang dilayani oleh selir. Sebenarnya, Clara kesal dengan ucapan Bagas yang mengatakan dirinya mengundang birahi saat difoto. Karena menurutnya, job yang diambilnya tidak begitu berlebihan saat berpose dan memang semua fotomodel b
"Kau ingin aku memberikan keputusan yang memuaskan untuk permasalahan kamu tidak?" tanya Bagas dengan nada suara yang ditekan, pertanda ia sekarang menahan amarahnya."Mau," sahut Clara dengan nada suara merendah. "Kalau begitu, lakukan saja tugasmu! Ingat, sekali lagi aku mendengar kamu mengeluh, jangan harap, aku peduli dengan masalah kamu itu!"Ancaman yang dikatakan oleh Bagas, mau tidak mau membuat Clara mati kutu. Ia tidak lagi mengatakan apapun untuk melancarkan aksi protesnya, karena jika Bagas tidak peduli dengan masalah yang membelitnya, ia harus bagaimana?Baiklah. Untuk sekarang, aku harus bersabar. Aku akan menuruti apa yang diinginkannya meskipun itu enggak menyenangkan buat aku, semoga, dia begini hanya satu kali saja....Perempuan itu bicara di dalam hati, dengan perasaan yang bercampur aduk."Lakukan lagi! Yang lebih liar!" perintah Bagas, pada sang istri hingga lamunan Clara buyar seketika.Clara bergerak, masih di atas tubuh suaminya, tapi saat ia mulai ingin melak
Clara mendongakkan kepalanya, menatap wajah sang suami, dan menentang sorot tajam tatapan mata suaminya tersebut seolah ia tidak takut dengan isyarat kemarahan yang diberikan oleh Bagas, lantaran ia memang tidak suka disentuh ketika ia sedang tidak senang. "Kamu sangat tahu, aku tidak pernah keberatan untuk kamu sentuh, tapi kalau kamu menyentuh aku dengan kasar, atau saat sedang marah, aku tidak suka, dan satu lagi, aku enggak suka melihat kamu ngocok kayak tadi!"Mendengar apa yang diucapkan oleh Clara, Bagas tersenyum miring. Rasa marahnya bukan mereda, tapi justru semakin membara. Satu tangannya mencengkram bokong istrinya yang padat, sangat kuat seolah ingin menyakiti. Membuat Clara meronta untuk melepaskan diri dan menjauh dari Bagas. Akan tetapi, gerakan Clara yang meronta seperti itu dianggap gerakan penolakan yang keras bagi Bagas pada sentuhannya. Tak ayal lagi, emosi pria itu semakin tersulut hingga ia mendorong kasar tubuh telanjang istrinya tersebut ke atas tempat tid
"Enggak! Aku enggak mau!" Sembari bicara seperti itu, Clara beringsut mundur, tidak mau berbaring dekat dengan posisi Bagas, khawatir suaminya akan memasukinya lagi lantaran ia melihat, milik suaminya memang kembali menegang.Dengan sisa kekuatannya, perempuan itu berusaha bangun, namun belum lagi ia berhasil melakukan hal itu, Bagas lebih dulu menyambar salah satu tangannya, dan menarik tangan itu dengan kuat hingga tubuh polos Clara kembali terbaring dan dengan cepat, kaki dan tangan Bagas digunakan untuk menghalangi pergerakan perempuan berambut panjang tersebut. "Lepaskan, Bagas! Aku mau mandi!" seru Clara sambil berusaha untuk menjauhkan tangan Bagas yang bergerak liar di atas perutnya. "Harusnya, kau senang karena aku selalu bernafsu padamu. Kau tidak perlu cemburu pada Anisa lagi karena aku hanya candu pada tubuhmu, tapi kau selalu punya cara untuk membuat aku kecewa, kau benar-benar ingin selalu bertengkar denganku!?"Perkataan berujung pertanyaan Bagas diselingi usapan jem
Sean melakukan apa yang diminta oleh Carli, mengikuti mobil yang dimaksud oleh Carli dengan kecepatan yang tinggi. "Gue tuh curiga sama bokap gue belakangan ini, dia kayak selingkuh gitu!" Carli bicara sambil terus memperhatikan mobil yang ia minta Sean untuk mengikuti."Mobil itu mobil bokap lu?" tanya Sean sambil melirik ke arah Carli untuk sesaat sebelum kembali fokus menyetir."Iya."Sean manggut-manggut, pertanda ia sudah paham apa yang dirasakan oleh Carli sekarang. Carli kayaknya yakin kalau ayahnya selingkuh, apa jangan-jangan perempuan yang jadi selingkuhan ayahnya itu Anisa?Hati Sean bicara, menebak-nebak apa yang sebenarnya sudah terjadi dalam keluarga Carli."Apa lu punya bukti kalau bokap lu selingkuh?" tanyanya pada pria anak sulung Pak Christ tersebut sambil terus mengikuti mobil yang dikendarai oleh ayahnya."Gue belum dapat bukti yang kuat sih, tapi gue yakin ada yang aneh dilakukan bokap gue belakangan ini, dan gue yakin itu membuat nyokap gue pergi lama dari rum
"Clara bisa menuntut Bagas kalau sampai itu dilakukannya!" kata Sean tegas tapi Nina menggelengkan kepalanya perlahan seolah ucapan Sean itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan."Lalu bagaimana dengan karir Clara? Menuntut bisa, aku juga pernah mengatakan hal itu pada Clara, tapi kenyataannya, Clara tidak akan sanggup seluruh dunia tahu dia model seperti apa jika Bagas melakukan hal itu padanya!""Aku paham. Tapi, mau sampai kapan Clara bertahan dalam pernikahan yang seperti itu? Bagas akan sengaja menekan Clara dengan senjata yang ia miliki dan Clara akan semakin tersiksa.""Jadi, gimana? Apa yang harus dilakukan?""Memangnya, apa yang sudah diputuskan Clara sekarang?""Clara akan mencari video itu dan menghapusnya.""Itu sulit.""Benar, sampai sekarang pun, Clara tidak menemukannya."Sean terdiam sejenak. Wajah pria itu seperti sedang memikirkan sesuatu dengan keras hingga Nina sangat berharap, Sean mampu membantu Clara dengan cara apapun agar sahabatnya itu bisa terbebas dari bele
"Tidak. Aku tidak bisa.""Kenapa?" tanya Fauzi dengan wajah yang terlihat penasaran dengan alasan Bagas tentang ia yang tidak sanggup untuk menjadi suami yang baik untuk dua istrinya sekarang."Karena aku tidak mencintai Anisa, Zi. Aku hanya mencintai, Clara.""Faktanya, cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah kamu, kan?""Ketika Anisa melahirkan, aku akan mengakhiri semuanya.""Gas, anak kamu akan menanggung perpisahan orang tuanya, itu tidak mudah. Kasihan dia. Lebih baik, kamu berusaha untuk membuat para istri kamu rukun, itu adalah jalan keluar terbaik."Bagas menghembuskan napas tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh Fauzi. Akan tetapi, untuk sekarang ia tidak bisa mengucapkan apapun lagi selain bungkam meskipun ia ingin sekali mendebat nasihat yang diucapkan oleh Fauzi, tapi Bagas sekarang sangat kacau hingga ia diam saja bergulat dengan pikirannya sendiri.Sementara itu, Nina yang sedang membantu Clara untuk merapikan penampilannya yang akan memulai pemotr
Berlina membantah apa yang diucapkan oleh sang anak bungsu meskipun sebenarnya ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bella sebab ia juga tidak pernah melihat Anisa mendirikan shalat selama usai menikah dengan Bagas, tapi ia masih berpikir, mungkin saja Anisa shalat di kamar dan tidak mungkin shalat juga harus memberitahukan segalanya pada orang lain apalagi mereka memiliki kamar sendiri-sendiri.Hanya saja, tidak dapat dipungkiri, Berlina sedikit heran juga, apakah benar Anisa shalat di kamar atau ternyata justru tidak sama sekali?"Lagian, Kak Anisa juga enggak seasik dulu. Aku pikir, kalau sudah menikah dengan Kak Bagas, dia bakal semakin baik sama aku, semakin royal sama aku, tapi ternyata dia justru jarang ngajak aku ke mana-mana lagi,"sambung Bella dan itu membuat Berlina menghela napas panjang kembali."Sabar. Dia sedang hamil. Orang hamil itu pasti sangat sensitif, daripada kamu terlalu banyak waktu luang, kenapa kamu tidak berusaha untuk cari kerja?"Bella membuang napas,
Bagas yang sudah kesal bertambah kesal ketika mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya hingga setelah ia mengucapkan kalimat itu pada sang ibu ia segera berlalu untuk berangkat ke kantor tanpa menghiraukan teriakan sang ibu yang merasa ia belum selesai bicara pada anaknya tersebut. Berlina akhirnya masuk ke dalam kamar di mana Anisa berada dan di sana ia melihat Anisa yang masih tidak berpakaian sedang duduk di atas tempat tidur hingga Berlina terkejut dan buru-buru mengunci pintu kamar itu agar Bella tidak ikut masuk dan melihat keadaan Anisa yang demikian. Sementara itu, meskipun ibu mertuanya melihat dirinya tanpa pakaian, Anisa tidak terlihat malu sama sekali, ia dengan santainya meraih bantal untuk menutupi bagian vital tubuhnya tanpa peduli bagian lain terlihat mata sang ibu mertua.Berlina benar-benar tidak menyangka Anisa bisa bersikap sesantai itu padanya dalam keadaan tanpa pakaian seperti itu."Nisa, apa yang terjadi? Kamu dan Bagas bertengkar? Terus keadaan kamu ini apa
"Bagas!! Jaga ucapan kamu! Anisa itu religius! Dia juga sudah menjadi istri kamu, tidak mungkin melakukan hal serendah itu!" bentak sang ibu yang tidak suka mendengar Bagas bicara seperti tadi. "Sudahlah, aku mau kerja! Aku -""Antarkan dulu makanan ini buat Anisa, ingat, anak yang dikandung dia itu anak kamu, jadi kamu harus bisa menghargai itu, Bagas!"Bagas berdecak kesal karena sang ibu tetap memaksanya untuk melakukan hal yang ia sendiri tidak menyukai. Namun, karena sang ibu memaksa, terpaksa, Bagas melakukan juga apa yang diinginkan oleh ibunya meskipun setengah hati. "Jangan bikin dia sedih, ingat wanita hamil itu sangat sensitif!" pesan Berlina sebelum Bagas menghilang dari balik pintu kamar di mana Anisa berada.Bagas tidak menanggapi pesan yang diteriakkan oleh Berlina padanya. Pria itu masuk dan Anisa gembira melihat Bagas membawakan nampan yang di atasnya ada sepiring nasi goreng juga susu untuk ibu hamil.Nampan itu ia letakkan di atas meja di dekat tempat tidur. "Aku
Untuk sesaat, Anisa terdiam mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu mertua. Ia tidak berani mengarahkan pandangannya pada ibu mertuanya khawatir wanita itu tahu apa yang dilakukannya dengan Pak Christ tadi malam."Aku sama Hasnah, Ma. Dia lagi banyak masalah jadi aku harus menemaninya."Akhirnya sebuah kebohongan diucapkan oleh Anisa, dan itu makin membuat Berlina menatap menantunya tanpa berkedip seolah ingin memastikan ucapan itu sebuah kebenaran atau bukan."Kalian di rumah ibumu?" tanyanya dengan nada yang datar. "Ya.""Aku pikir kalian kemana, sampai kamu sakit seperti ini, ternyata begitu. Kamu itu hamil, tidak boleh tidur larut."Suara Berlina jadi menurun pertanda perempuan itu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Anisa. Membuat Anisa jadi ingin mengadu pada perempuan tersebut jadinya."Ma. Bagas enggak pernah tidur sama aku."Gerakan Berlina yang ingin membuka gorden jendela kamar di mana Anisa berada terhenti saat mendengar apa yang diucapkan oleh Anisa. Ani
Namun jika ia mengamuk dan mengatakan bahwa ia marah dan murka, apakah itu akan membuat Pak Christ berhenti melakukan hal seenaknya itu padanya? Percuma. Anisa merasa percuma. Yang bisa dilakukannya hanya satu berusaha untuk kuat meskipun rasanya bagian bokongnya sangat perih dan ia benci dengan itu semua."Jawab, Nisa! Kau suka lewat depan atau belakang!"Suara memuakkan Pak Christ kembali terdengar dan satu pukulan mendarat di bokong Anisa yang masih polos karena perempuan itu belum memakai pakaiannya satu helai pun lantaran kepayahan setelah melayani nafsu liar Pak Christ.Anisa meringis. Hatinya kembali memaki, rasa sakit di bokongnya bercampur dengan rasa sakit akibat pukulan serampangan yang diberikan oleh Pak Christ tadi padanya. Membuat perempuan itu semakin sulit untuk bangkit."Aku tidak suka lewat belakang, Mas. Bukan karena itu dosa besar, tapi karena aku memang tidak suka!" jawab Anisa sebelum Pak Christ lagi-lagi memukulnya di bagian belakangnya seperti tadi. "Hemh! K
Setelah bicara seperti itu pada Anisa, Pak Christ kembali membenamkan wajahnya di antara kedua paha Anisa. Anisa memejamkan mata. Awalnya perasaan muak dan jijik itu masih mendominasi hatinya ketika Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Hal yang tidak pernah dilakukan laki-laki itu selama mereka melakukan aktivitas terlarang tersebut, lantaran biasanya Pak Christ langsung memasukinya saja tanpa melakukan pemanasan sama sekali. Dan Anisa juga tidak berharap ia diberi foreplay segala oleh Pak Christ. Ia justru ingin aktivitas terlarang itu cepat berakhir karena dari wajah dan tubuhnya Pak Christ tidak menarik sama sekali bagi Anisa. Namun sekarang, perasaan muak dan jijik itu berubah menjadi perasaan menikmati. Anisa juga tidak habis pikir mengapa itu bisa terjadi, yang jelas sekarang ruangan itu ditingkahi dengan desahan kuat Anisa yang merasa nikmat karena Pak Christ menyentuh miliknya di bawah sana dengan lidahnya. Jemari tangan Anisa mencengkram erat perm