Malam itu, angin musim gugur berembus lembut di sepanjang jalanan ibu kota. Cahaya lentera berpendar keemasan, menerangi trotoar batu yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pengunjung kedai. Li Feng berdiri di depan Kedai Tianxiang, sebuah bangunan dua lantai yang cukup besar, dengan aroma harum masakan yang menguar dari dapurnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.
Di dalam, suasana penuh riuh rendah. Para pelanggan menikmati makanan mereka sambil bercakap-cakap, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh mangkuk dan teko arak. Seorang pria bertubuh kekar, dengan lengan tergulung dan celemek yang tampak kotor karena percikan minyak, menatap Li Feng dengan mata tajam. "Kau siapa?" suara pria itu berat dan berwibawa. Li Feng membungkuk dengan hormat. "Nama saya Li Feng. Saya datang untuk mencari pekerjaan." Pria itu menyipitkan mata, mengamati pakaian Li Feng yang lusuh dan wajahnya yang terlihat lelah setelah perjalanan panjang. "Hah! Apa kau bisa bekerja keras? Kedai ini bukan tempat bagi orang yang malas." "Saya bisa bekerja keras, Tuan. Berikan saya kesempatan," jawab Li Feng tanpa ragu. Pria itu, yang ternyata adalah Bos Sun, pemilik Kedai Tianxiang, mendengus sebelum melambai pada seorang gadis yang berdiri tak jauh dari mereka. "Xiao Lan, bawa dia ke dapur. Ajari dia cara mencuci piring." Xiao Lan, seorang gadis muda dengan rambut panjang diikat sederhana, melirik Li Feng dengan rasa ingin tahu sebelum mengangguk. "Baik, Bos." Ia memberi isyarat agar Li Feng mengikutinya. Dapur kedai dipenuhi panas uap dan aroma bumbu yang tajam. Di satu sisi, seorang koki tengah mengaduk wajan besar, sementara pelayan lain sibuk memotong sayuran dan mengatur piring. "Kau bisa mulai dari sini," kata Xiao Lan, menunjuk tumpukan piring kotor yang menggunung. Li Feng menggulung lengan bajunya dan langsung bekerja. Tangannya bergerak cepat, mencuci dan membilas piring dengan cekatan. Meski airnya dingin dan sabun menusuk kulit, ia tidak mengeluh. Setelah beberapa saat, Xiao Lan menyandarkan punggungnya ke meja dan memperhatikan pemuda itu. "Dari mana asalmu?" "Desa Ping An," jawab Li Feng tanpa menoleh. Xiao Lan mengerutkan kening. "Itu cukup jauh. Apa yang membawamu ke ibu kota?" Li Feng berhenti sejenak, lalu melanjutkan pekerjaannya. "Aku ingin mengubah nasibku." Mata Xiao Lan berbinar. Ia tersenyum samar. "Banyak orang datang ke ibu kota dengan harapan yang sama. Tapi kota ini keras, dan tidak semua orang berhasil." Li Feng menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Aku tidak punya pilihan selain berhasil." Xiao Lan terdiam, memandang pemuda desa itu dengan perasaan campur aduk. Ia mengenali semangat yang sama dalam dirinya sendiri bertahun-tahun lalu. Hari berlalu dengan cepat. Li Feng segera terbiasa dengan ritme kerja di kedai. Meski hanya seorang tukang cuci piring, ia tidak keberatan bekerja keras. Namun, suatu malam, suasana kedai berubah drastis. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar masuk ke dalam kedai dengan langkah berat. Wajahnya penuh luka, dan pakaiannya tampak berdebu. Semua orang menoleh saat ia melempar sekantong koin ke meja. "Beri aku arak terbaik!" katanya dengan suara lantang. Pelayan dengan cepat membawakan arak. Pria itu menuang isinya ke dalam mangkuk besar dan meneguknya dalam sekali teguk. Bos Sun yang berdiri di sudut kedai menyipitkan mata. Ia mengenali pria itu—Hu Lang, seorang pendekar bayaran yang terkenal suka membuat keributan. Hu Lang menyeringai, lalu menatap sekeliling. "Kedai ini terlalu sepi! Bagaimana kalau kita buat sedikit hiburan?" Ia tiba-tiba menarik pelayan yang lewat dan mencengkeram lengannya. "Kenapa kau tidak menemaniku minum?" Pelayan itu, seorang gadis muda, ketakutan dan berusaha menarik lengannya. "Tuan, saya hanya pelayan, saya—" "Jangan menolak!" Hu Lang menariknya lebih keras. Para pelanggan mulai berbisik-bisik, tetapi tidak ada yang berani menantang Hu Lang. Li Feng yang sedang membersihkan meja melihat kejadian itu dan mengepalkan tangan. Ia maju beberapa langkah, berdiri di antara Hu Lang dan gadis itu. "Lepaskan dia," ucapnya dengan tenang. Hu Lang menatap Li Feng, lalu tertawa keras. "Kau ini siapa? Berani-beraninya menggangguku?" Li Feng tetap teguh. "Kedai ini bukan tempat untuk membuat masalah." Mata Hu Lang menyipit. Ia melepaskan lengan pelayan itu, tetapi kemudian meninju ke arah Li Feng. Tanpa berpikir panjang, Li Feng mengangkat tangannya dan menangkis pukulan itu. Ia tidak tahu dari mana refleksnya berasal, tetapi dalam sekejap, ia merasakan tubuhnya bergerak dengan kelincahan yang mengejutkan. Sebuah dorongan kuat keluar dari tangannya, dan sebelum Hu Lang menyadarinya, tubuhnya terhempas ke belakang, menabrak meja dan membuat pecahan mangkuk berjatuhan ke lantai. Kedai terdiam. Semua orang menatap Li Feng dengan takjub. Bos Sun mendekat, matanya menyipit penuh perhatian. "Nak... dari mana kau belajar bela diri?" Li Feng sendiri terkejut. Ia tidak pernah secara resmi belajar bela diri, tetapi tubuhnya bereaksi begitu alami. Hu Lang bangkit dengan wajah merah padam. "Bocah sialan! Berani-beraninya kau mempermalukanku?" Ia menghunus pedangnya. Li Feng merasakan bahaya yang nyata. Tetapi sebelum Hu Lang bisa menyerangnya, suara berat terdengar dari pintu. "Cukup." Seorang pria berpakaian baja masuk. Di dadanya tersemat lambang kekaisaran. Prajurit Kekaisaran. Semua orang langsung menundukkan kepala. Prajurit itu berjalan mendekati Hu Lang dengan ekspresi dingin. "Hu Lang, kau dicari karena kejahatanmu. Ikutlah dengan kami, atau kami akan menangkapmu dengan paksa." Hu Lang mendecak kesal. Ia tahu tidak ada gunanya melawan. Dengan tatapan penuh kebencian, ia menatap Li Feng sebelum meludah ke lantai. "Kita akan bertemu lagi, bocah." Para prajurit menyeretnya keluar dari kedai. Begitu mereka pergi, suasana kedai kembali berangsur normal. Tetapi mata semua orang kini tertuju pada Li Feng. Bos Sun menatapnya lama, lalu tiba-tiba tertawa. "Aku tidak tahu kalau kau bisa bertarung, Nak!" Li Feng tersenyum canggung. Tetapi di sudut ruangan, seseorang diam-diam memperhatikan. Seorang pria berpakaian sederhana, tetapi dengan mata tajam seperti elang. Ia menyesap tehnya perlahan, lalu meletakkan cangkirnya. "Menarik..." bisiknya. Tanpa diketahui Li Feng, malam itu bukan hanya awal dari pekerjaannya di Kedai Tianxiang—tetapi juga awal dari sesuatu yang lebih besar. Malam itu, ketika Li Feng kembali ke dapur untuk menyelesaikan pekerjaannya, Xiao Lan mendekatinya dengan ekspresi serius. "Kau tahu siapa pria yang tadi memperhatikanmu?" Li Feng menggeleng. Xiao Lan menelan ludah, suaranya lirih. "Dia adalah utusan dari istana. Dan aku pikir... dia tertarik padamu."Suasana Kedai Tianxiang yang biasanya riuh dengan suara pelanggan malam ini terasa lebih gaduh dari biasanya. Para pengunjung menikmati makanan mereka, ditemani arak hangat yang mengalir deras ke dalam cangkir-cangkir porselen. Di sudut kedai, Li Feng sibuk mencuci piring dengan cekatan. Tangannya bergerak lincah, meskipun tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, di balik lelahnya, ada ketenangan yang ia rasakan. Setidaknya, di tempat ini ia memiliki atap untuk berteduh dan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Tapi malam itu, takdir tampaknya punya rencana lain. Seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka panjang di pipinya masuk ke dalam kedai. Wajahnya penuh kesombongan, langkahnya berat seolah menantang siapa saja yang berani melawan. Semua orang langsung menundukkan kepala. Mereka mengenalnya—Zhang Bao, seorang pendekar bayaran yang terkenal kejam dan tak segan membunuh hanya karena alasan sepele. Xiao Lan, gadis pelayan yang selama ini baik pada Li Feng, m
Angin malam menyapu jalanan ibu kota dengan lembut, membawa sisa aroma masakan dari Kedai Tianxiang. Suasana yang biasanya ramai kini perlahan mereda, hanya tersisa beberapa pelanggan yang masih berbincang santai. Namun, di tengah ketenangan itu, langkah berat sekelompok prajurit menggema di jalan berbatu. Li Feng, yang baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci piring, mendongak ke arah pintu. Matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria berbaju zirah perak, dengan jubah merah berkibar di belakangnya. Prajurit itu tinggi, berwibawa, dan wajahnya penuh bekas luka—tanda bahwa ia bukan sembarang orang. "Siapa di antara kalian yang bernama Li Feng?" Suaranya bergema di dalam kedai, membuat semua orang yang masih tersisa menoleh. Jantung Li Feng berdegup lebih cepat. Xiao Lan, yang berdiri tak jauh darinya, tampak menegang. "Li Feng… apa yang mereka inginkan darimu?" bisiknya. Li Feng menarik napas dalam. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, sejak perkelahian sebelumnya, ia
Li Feng berdiri di tengah alun-alun akademi militer, dikelilingi oleh ratusan pemuda lain yang juga berharap bisa menjadi bagian dari pasukan kekaisaran. Cahaya matahari yang menyengat membakar tanah berpasir, membuat keringat mengalir di pelipisnya. Namun, bukan panas yang membuatnya gugup, melainkan pandangan tajam para penguji—para jenderal berpengalaman yang akan menentukan siapa yang layak melangkah lebih jauh. Di depannya, seorang pria tinggi berotot dengan bekas luka di wajah berjalan ke tengah lapangan. Itu adalah Jenderal Zhao, pria yang dikenal karena kebengisannya dalam melatih prajurit baru. "Siapa pun yang ingin menjadi prajurit kekaisaran harus melewati tiga ujian!" suara Jenderal Zhao menggema, membuat banyak calon prajurit menelan ludah. "Pertama, ujian fisik. Kedua, ujian pertarungan. Ketiga, ujian strategi. Jika kau gagal dalam satu saja, anggaplah impianmu berakhir di sini!" Sorak-sorai dan desahan terdengar dari kerumunan. Beberapa wajah berubah pucat, sementara
Mentari pagi menembus celah jendela Akademi Militer Kekaisaran, menerangi halaman luas tempat para murid baru berkumpul. Suasana terasa tegang, karena hari ini mereka akan memulai latihan pertama mereka di bawah bimbingan para jenderal kekaisaran. Li Feng berdiri di antara puluhan murid lain, sebagian besar berasal dari keluarga terpandang. Matanya menyapu kerumunan, memperhatikan wajah-wajah penuh kesombongan dan kebencian. Ia sadar, tak sedikit dari mereka yang menganggapnya hanya seorang rakyat jelata yang kebetulan beruntung bisa masuk akademi. Langkah berat terdengar mendekat. Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dengan jubah perang biru keperakan melangkah ke tengah lapangan. Jenderal Zhao, salah satu panglima yang paling ditakuti di kekaisaran, menatap para murid dengan sorot mata dingin. “Kalian semua ada di sini bukan karena keberuntungan, tetapi karena Kaisar memberi kesempatan!” Suaranya menggelegar, membuat beberapa murid menegakkan punggung mereka. “Namun, kesempata
Langit di ibu kota tampak kelabu, seakan mencerminkan suasana hati Li Feng. Sudah sebulan sejak ia masuk ke Akademi Militer Kekaisaran, dan sejauh ini ia lebih banyak menghadapi permusuhan dibandingkan sambutan hangat. Hari ini, suasana akademi terasa lebih tegang dari biasanya. Para murid berbisik-bisik di lorong, mata mereka sesekali melirik ke arah aula utama. Li Feng yang baru saja selesai berlatih dengan salah satu instruktur, mendengar gumaman mereka. "Kudengar Putri Ling’er akan datang hari ini," bisik salah satu murid. "Benarkah? Apa urusannya dengan akademi?" "Mungkin hendak memilih pengawal pribadi. Kalau beruntung, kita bisa menjadi prajurit kepercayaannya!" Li Feng tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, yang lebih penting adalah bertahan di akademi ini tanpa menjadi korban intrik politik. Namun, ia tidak menyadari bahwa hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di istana kekaisaran, Putri Ling’er duduk di sebuah ruangan dengan dinding kayu ya
Malam itu, aula Akademi Militer Kekaisaran diselimuti ketegangan. Cahaya lentera menggantung rendah, memancarkan bayangan panjang di dinding batu. Para kadet berbaris rapi di depan Jenderal Zhao, yang berdiri tegak dengan tatapan dingin. “Kalian telah menyelesaikan pelatihan dasar,” suaranya bergema, penuh wibawa. “Sekarang, saatnya kalian membuktikan diri.” Li Feng berdiri di antara rekan-rekannya, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Sejak memasuki akademi, ia telah mengalami berbagai rintangan, dari hinaan, persaingan, hingga ujian berat. Namun, ini adalah tantangan sesungguhnya—misi pertama mereka sebagai calon prajurit kekaisaran. “Misi kalian sederhana,” lanjut Jenderal Zhao. “Pergilah ke wilayah perbatasan barat dan selidiki aktivitas kelompok bandit Serigala Hitam. Jika memungkinkan, lumpuhkan pemimpin mereka.” Desas-desus tentang Serigala Hitam telah lama beredar di ibu kota. Kelompok bandit ini dikenal brutal, sering menjarah desa-desa terpencil, membantai penduduk
Hutan yang lebat dan sunyi terasa mencekam, dikelilingi oleh suara rintihan angin yang menggerakkan dedaunan, seperti bisikan yang menyampaikan pesan buruk. Li Feng berjalan di barisan depan, matanya terfokus pada jejak yang tertinggal di tanah basah, mengingatkan dia pada misi yang tengah mereka jalani. Bersama sekelompok prajurit muda dari akademi militer, ia diperintahkan untuk membersihkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak Serigala Hitam, yang diketahui telah mengganggu ketertiban kekaisaran selama beberapa bulan terakhir. Namun, meskipun wajah mereka tampak tegas dan siap bertempur, Li Feng merasakan adanya ketegangan di udara. Sesekali, pandangannya melintas pada salah satu rekan mereka, Zhang Wei, seorang prajurit muda yang selalu terlihat penuh percaya diri, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Li Feng merasa cemas. Kepercayaan diri itu lebih mirip sebuah topeng yang menutupi sesuatu yang lebih gelap. "Li Feng, jangan biarkan ketegangan ini membuatmu l
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma tanah basah yang tercampur dengan bau darah yang menyengat. Tebing itu begitu curam, memandang jurang yang dalam seolah-olah mengundang setiap langkah menjadi taruhan hidup mati. Li Feng berdiri tegak di atas permukaan yang licin, tatapannya tajam, menyelidik setiap gerakan pengkhianat di depannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti menyelimuti pertempuran yang tak hanya melibatkan tubuh, tapi juga tekad dan kehormatan yang siap dipertaruhkan. Di hadapannya, Liang Zhou, murid akademi yang selama ini dianggapnya teman, kini berdiri dengan pedang terhunus. Wajah Liang Zhou pucat pasi, matanya terbelalak, namun ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang tersirat di balik tatapan itu—keputusasaan yang tertutup oleh rasa takut. Li Feng menegakkan tubuh, merasakan betapa pedangnya kini semakin berat di tangan, terasa lebih dari sekadar logam yang dingin dan tajam. Itu adalah beban takdir yang harus ia pikul.
“Ugh—!” Tubuh Jenderal Zhao terhuyung ke belakang. Pedang Naga Langit—bergetar oleh darah dan kutukan yang menyelimuti bilahnya—menancap tepat di dada sang jenderal. Kilatan cahaya hitam menyala sekejap, lalu sirna. Wajah Jenderal Zhao menyeringai kaku, seperti belum bisa menerima kenyataan bahwa ia kalah. Li Feng, terengah-engah, lututnya bergetar hebat. Tubuhnya basah oleh peluh dan darah, sebagian miliknya, sebagian milik musuh. Matanya menatap lawannya yang jatuh perlahan ke tanah. “Haah... Haaah...” napasnya berat. Ia nyaris tak percaya ia menang. Tapi mengapa... mengapa hatinya terasa hampa? “Zhao...!” teriak salah satu prajurit setia sang jenderal, hendak berlari ke depan, namun dihentikan oleh para pengawal istana. “Hentikan...!” suara Kaisar menggema dari kejauhan. Ia menyaksikan duel itu dari balik tirai emas, wajahnya muram, seperti melihat sesuatu yang tak terelakkan. Li Feng menuru
Hujan turun deras malam itu. Petir menyambar langit yang gelap seolah menandai murka langit terhadap segala kebusukan yang telah lama berakar di istana. Di tengah pelataran istana yang penuh genangan darah dan tubuh-tubuh tak bernyawa, Li Feng berdiri tegak. Jubah perangnya koyak, tubuhnya penuh luka, namun matanya—ya, matanya—masih menyala dengan bara yang tak kunjung padam. "Zhao!" serunya, napasnya terengah, tapi tegas. "Sudah cukup! Hari ini—kau dan aku… selesai di sini!" Jenderal Zhao berdiri di seberang, rambutnya kusut, jubahnya penuh noda darah, sebagian darah dari para prajuritnya sendiri, sebagian lagi… mungkin dari pengkhianatan yang ia lakukan sendiri. Ia tertawa kecil—dingin dan meremehkan. "Hmph! Bocah desa! Kau pikir karena berhasil lolos dari jebakan dan menyerangku dari belakang, kau sudah layak mengangkat pedang padaku? Kau bukan apa-apa selain bidak kecil yang tersesat dalam permainan besar!" Li Feng menc
Darah masih menetes di ujung sepatu Li Feng saat ia berlari menuruni jalanan berbatu, napasnya terengah dan jubahnya berlumuran debu dan darah. Di belakangnya, Putri Ling'er menggigit bibir, berusaha keras menyamai langkahnya. Bayangan istana yang terbakar perlahan menghilang di balik kabut malam. "Li Feng... tunggu...!" serunya lirih. Li Feng berhenti mendadak. "Maaf... aku... aku terlalu cepat..." Napasnya tidak teratur. Matanya menatap jauh ke arah istana, di mana suara ledakan dan jeritan masih menggema samar. Ia mengepalkan tinjunya. "Jenderal Zhao... keparat itu...!" gumamnya dengan suara serak. Putri Ling'er mendekat. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan. Tapi di balik matanya yang cemas, ada api kecil yang menyala. "Kita tidak bisa kembali ke istana. Semua jalan ke sana pasti sudah dijaga. Kita harus cari tempat aman dulu." Li Feng mengangguk pelan, tapi hatinya bergemuruh. Semuanya terjadi begitu cep
“Haah… dunia ini… sungguh menyedihkan.” Li Feng berdiri di tengah aula pertemuan kecil di sisi barat istana, tubuhnya masih berlumur debu dan darah dari pertempuran yang belum lama usai. Cahaya remang dari lentera bergoyang ditiup angin malam, memantulkan bayangan samar di dinding yang penuh retakan. Di luar, jeritan dan suara pedang masih terdengar samar—perang saudara belum benar-benar berhenti. Tapi di dalam ruangan ini, yang terasa justru lebih sunyi… lebih dingin… lebih menusuk. "Li Feng…" suara itu pelan, hampir seperti bisikan angin yang menari di antara retakan dinding. Li Feng mendongak. Hatinya mencelos. Napasnya tercekat. "Mie Lin…?" gumamnya tak percaya. Ya, perempuan itu berdiri di hadapannya. Mie Lin. Sahabat kecilnya. Teman sepermainan di Desa Ping An. Orang yang ia kira… telah lama hilang. "Aku tidak menyangka… kita akan bertemu lagi seperti ini," ucapnya pelan, l
Konflik di dalam istana semakin panas, dan Li Feng terjebak di antara dua kekuatan besar. Langit di atas ibu kota mendung, seolah langit pun enggan melihat darah yang sebentar lagi akan menggenang di pelataran suci istana. Angin membawa aroma kebusukan—bukan hanya dari tubuh-tubuh yang telah gugur beberapa malam terakhir, tapi dari pengkhianatan yang menebar seperti wabah di jantung kekaisaran. Li Feng berdiri di gerbang utama istana bagian dalam, tubuhnya tegap, tetapi jantungnya berdegup tak karuan. "Bagaimana bisa begini…?" bisiknya lirih, tatapannya menerobos barisan pasukan berbaju besi yang telah membentuk formasi siaga. Mereka bukan musuh dari luar, bukan pemberontak Serigala Hitam… Mereka adalah saudara seperjuangan. Prajurit Kekaisaran. Tapi kini—oh, betapa getir!—mereka datang untuk saling menumpahkan darah. “Jenderal Li!” Suara tegas itu datang dari arah kanan. Seorang pengawal istana berlari, napasnya terengah.
“Bagaimana bisa… kau tahu semua itu, Li Feng?” Suara Kaisar bergetar, nyaris tak terdengar di balik gema ruang takhta yang megah namun kini terasa seperti gua pengakuan yang menyekap napas. Cahaya matahari sore menembus celah tirai sutra emas, memantul pada lantai batu giok, tetapi tak sanggup mengusir hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Li Feng berdiri tegap, walau hatinya berdegup kencang. “Hamba tidak bermaksud melewati batas,” ucapnya lirih, namun tegas. “Tapi kebenaran ini… harus Paduka dengar.” Kaisar memejamkan mata. Napasnya berat. “Ucapkan… dari awal.” Li Feng menghela napas. “Semuanya bermula saat hamba berada di Gunung Terlarang. Dalam pelatihan terakhir yang hampir merenggut nyawa, hamba menyaksikan sesuatu—bukan hanya mimpi atau ilusi—tapi sepotong ingatan yang entah bagaimana, terhubung dengan kutukan pedang ini.” Ia menatap gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di punggungnya, aura hitamnya be
Langkah-langkah kaki itu menggema di lorong istana yang panjang, menggema seperti dentang takdir yang tak bisa dihindari. Tap… tap… tap… Para pengawal berdiri tegak di sepanjang jalur emas menuju Balairung Naga, tempat di mana Kaisar Agung biasanya duduk di singgasananya yang megah. Namun pagi itu, tidak ada upacara penyambutan, tidak ada genderang perang, dan tidak ada pengumuman resmi dari sang juru bicara istana. Semua diam. Bisu. Menanti. Satu sosok berjalan perlahan di antara pilar-pilar tinggi yang mengkilap oleh pantulan cahaya matahari pagi. Sosok itu tidak lain adalah… Li Feng. Tapi bukan Li Feng yang dulu. Tidak—bukan pemuda desa yang tertatih-tatih naik ke dunia yang penuh intrik dan darah. Bukan pula prajurit canggung yang dulu tak tahu membedakan musuh dari sahabat. Yang datang pagi itu adalah seorang pendekar sejati—tatapannya tajam bag
Kabut pagi belum sepenuhnya sirna saat langkah-langkah berat itu menyusuri jalan berbatu menuju gerbang utara ibu kota. Suara derap langkah kuda terdengar pelan namun penuh tekad. Di atas punggung kuda itu, duduk seorang pemuda yang telah lama menghilang dari mata dunia—Li Feng. "Hah…" Li Feng menarik napas panjang. Wajahnya yang dulu polos kini penuh dengan ketegasan. Garis rahang yang lebih tajam, sorot mata yang dalam, dan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang dengan pita merah—semuanya menandakan satu hal: pemuda itu bukan lagi orang yang sama. Di punggungnya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan merasakan tujuan dari tuannya: balas dendam. "Aku kembali, Jenderal Zhao," bisiknya lirih. "Dan kali ini… aku tidak akan memaafkanmu." Gerbang utara ibu kota menjulang tinggi, dijaga oleh belasan prajurit kerajaan yang tengah bosan menjalankan tugas. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bertubuh kurus dengan tomba
Angin pagi menyapu puncak Gunung Terlarang, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan tua yang gugur. Kabut perlahan-lahan menyingkir dari celah bebatuan, seperti tirai yang dibuka perlahan, memperlihatkan seorang pemuda berdiri diam di tengah lingkaran batu suci. Li Feng. Tubuhnya tegak, meski jubahnya compang-camping dan bercak darah mengering di lengan kanan. Matanya... ya, mata itu bukan lagi mata seorang pemuda desa yang lugu. Ada kilatan api di dalamnya, seperti bara yang telah menyala terlalu lama di dalam kegelapan. "Hufff..." Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit. "Sudah cukup lama, ya?" Tidak ada jawaban, kecuali desir angin dan bisikan halus pepohonan. Tapi Li Feng tahu, di tempat ini, diam pun bisa berbicara lebih nyaring dari teriakan. Tiga bulan. Tiga bulan penuh penderitaan, pertarungan, dan latihan. Tiga bulan ia menghilang dari dunia, terkubur dalam kutukan Pedang Na