Angin malam berhembus kencang, membawa aroma tanah basah yang tercampur dengan bau darah yang menyengat. Tebing itu begitu curam, memandang jurang yang dalam seolah-olah mengundang setiap langkah menjadi taruhan hidup mati. Li Feng berdiri tegak di atas permukaan yang licin, tatapannya tajam, menyelidik setiap gerakan pengkhianat di depannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti menyelimuti pertempuran yang tak hanya melibatkan tubuh, tapi juga tekad dan kehormatan yang siap dipertaruhkan.
Di hadapannya, Liang Zhou, murid akademi yang selama ini dianggapnya teman, kini berdiri dengan pedang terhunus. Wajah Liang Zhou pucat pasi, matanya terbelalak, namun ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang tersirat di balik tatapan itu—keputusasaan yang tertutup oleh rasa takut. Li Feng menegakkan tubuh, merasakan betapa pedangnya kini semakin berat di tangan, terasa lebih dari sekadar logam yang dingin dan tajam. Itu adalah beban takdir yang harus ia pikul.Li Feng terbaring tak sadarkan diri, terluka parah akibat jatuh ke dalam jurang yang dalam setelah duel sengit dengan pengkhianat. Ia mendengar suara gemuruh air yang mengalir deras di bawahnya, tubuhnya terhantam batu tajam, dan dunia terasa gelap seketika. Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu yang menariknya, suara yang begitu lembut, hampir seperti bisikan angin malam. "Bangun, pemuda... bangunlah..." Suara itu datang entah dari mana, namun terasa begitu dekat, seolah mengalir melalui setiap serat tubuhnya. Dengan susah payah, Li Feng membuka matanya yang berat. Kepalanya pusing, seolah ada sesuatu yang memengaruhinya dari dalam. Di atasnya, langit malam berkerlap-kerlip dengan bintang, dan di sekelilingnya, hanya ada pepohonan rimbun yang melindungi dari sinar bulan. Sosok seorang wanita tampak berdiri di hadapannya, mengenakan pakaian berwarna biru muda yang tampak menyatu dengan kegelapan malam. Wajahnya terselubung sebagian
Li Feng berbaring terkulai di tanah, tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang dan pertempuran yang melelahkan. Nona Lan, yang misterius dan penuh rahasia, menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah ada sesuatu yang ia coba ungkapkan namun ragu untuk diucapkan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hutan yang lebat. "Nona Lan," suara Li Feng terengah-engah, "Apa yang sebenarnya kamu ketahui tentang Pedang Naga Langit?" Nona Lan diam sejenak, seolah mengukur kata-katanya. Ia duduk di sampingnya, matanya tetap tertuju pada pedang yang masih terselip di punggung Li Feng. Pedang itu kini terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada kekuatan yang menunggu untuk dibangunkan. "Pedang itu bukan hanya senjata biasa," katanya pelan, "Itu adalah simbol takdir, kekuatan yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan. Namun, ada kutukan yang mengikutinya. Setiap pemegangnya akan merasakan dampak dari kekuatannya, dan tidak semu
Li Feng terengah-engah, darahnya mengalir deras dari luka yang terbuka di sepanjang lengan kanan. Dia baru saja berjuang melawan gelombang pengkhianatan yang melanda dirinya. Pukulannya masih terasa berat, otot-ototnya terasa kaku akibat luka yang dideritanya. Namun, rasa sakit yang merayap di seluruh tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beban yang ada di dalam hati. Perjalanan pulang ke akademi terasa panjang. Langkahnya terseok-seok, namun tekadnya tak goyah. Pikirannya terfokus pada satu hal: membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Pengkhianatan yang menimpanya tidak hanya menghancurkan tubuhnya, tetapi juga harga dirinya sebagai prajurit kekaisaran. Namun, di dalam hatinya, Li Feng tahu—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar luka fisik. Ada sebuah takdir yang tak dapat dihindari. Sebuah takdir yang melibatkan Pedang Naga Langit dan keberaniannya untuk menanggung beban dunia. Setibanya di akademi, Li Feng langsung dibawa ke ruang pemeri
Langit pagi masih diselimuti kabut ketika Li Feng kembali ke akademi dalam keadaan babak belur. Tubuhnya penuh luka akibat pertarungan di hutan dan jatuh dari tebing. Namun, bukan hanya rasa sakit fisik yang ia rasakan, melainkan juga tekanan batin yang menyesakkan. Sejak ia kembali, bisikan-bisikan penuh kecurigaan menyebar di antara para murid dan pengajar akademi. "Pengkhianat," seseorang berbisik di sudut aula. "Bagaimana mungkin dia selamat sendirian? Apakah dia bekerja sama dengan musuh?" Li Feng menahan amarahnya. Ia tahu, tanpa bukti, membela diri hanya akan sia-sia. Dan tepat seperti yang ia duga, pagi itu, ia dipanggil menghadap Jenderal Zhao. Pengadilan di Aula Akademi Aula akademi penuh sesak. Semua murid dan pengajar berkumpul, wajah mereka mencerminkan berbagai ekspresi—penasaran, cemas, dan ada juga yang tampak puas melihat Li Feng dalam posisi terjepit. Di tengah aula, Jenderal
Langit ibu kota tampak keemasan saat mentari mulai terbenam di ufuk barat. Burung-burung camar beterbangan di atas atap istana, membawa suasana yang damai—setidaknya bagi mereka yang tak terjebak dalam intrik kekuasaan. Di dalam aula istana yang luas, Li Feng berdiri tegap di hadapan Kaisar. Dinding-dinding ruangan dipenuhi ukiran naga yang melilit pilar-pilar emas, sementara karpet merah panjang membentang dari pintu masuk hingga ke singgasana. Kaisar mengenakan jubah ungu kebesarannya, mahkotanya berkilauan di bawah cahaya lentera. Di sisi kanan, Panglima Wei berdiri dengan wajah serius, sementara Jenderal Zhao, dengan tatapan sinis, memandang Li Feng seakan menghakimi setiap gerakannya. “Hormat hamba kepada Yang Mulia Kaisar.” Li Feng berlutut dengan satu kaki, menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Kaisar menggerakkan tangannya pelan. “Bangkitlah, Li Feng. Hari ini aku ingin berbicara langsung denganmu.”
Langit di ibu kota masih berwarna ungu kebiruan saat Li Feng berdiri di depan gerbang utama Akademi Militer Kekaisaran. Cahaya mentari baru saja merayap di balik cakrawala, tetapi hatinya sudah dipenuhi gejolak yang tak bisa dijelaskan. Hari ini, ia akan memulai perjalanan menuju Gunung Esmeralda, tempat di mana Pedang Naga Langit tersimpan. Li Feng mengeratkan genggaman pada gulungan perintah kekaisaran di tangannya. Surat ini adalah mandat Kaisar sendiri—perintah untuk menemukan dan membawa pulang pedang legendaris yang katanya mampu menentukan nasib kekaisaran. Namun, lebih dari sekadar perintah, perjalanan ini adalah ujian. Ujian yang akan membuktikan apakah dirinya layak menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa. Pilihannya untuk Perjalanan Mencari Pedang Naga Langit bukanlah tugas yang bisa ia lakukan seorang diri. Ia membutuhkan orang-orang yang bisa diandalkan. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, Li Feng akhirnya memili
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Li Feng menatap jalanan berbatu di hadapannya, sesekali melirik ke arah langit yang diselimuti awan kelabu. Cahaya rembulan hanya tersisa sepotong, menyinari perjalanan mereka dengan samar. Ia dan rombongannya sudah melakukan perjalanan selama tiga hari sejak meninggalkan ibu kota. Tujuan mereka: Gunung Esmeralda, tempat legenda Pedang Naga Langit tersembunyi. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi dan terjal, membuat kewaspadaan mereka meningkat. “Li Feng, kita harus beristirahat. Orang-orang kelelahan,” ujar Zhang Wei, salah satu rekannya. Li Feng menoleh, melihat wajah rekan-rekannya yang penuh debu dan kelelahan. Ada lima orang dalam kelompok ini: Zhang Wei, seorang prajurit yang sudah lama bertugas di perbatasan; Huang Tao, murid akademi yang memiliki keahlian dalam strategi; Mei Ling, seorang pendekar wanita dari klan pedang terkenal; dan dua saudara
Udara malam terasa semakin dingin. Cahaya bulan yang pucat terpantul di ujung bilah pedang yang bersimbah darah. Li Feng berdiri di tengah lingkaran musuh, napasnya berat, keringat bercampur darah mengalir di pelipisnya. Sekelompok pembunuh bayangan yang menyerangnya tak menunjukkan tanda-tanda gentar, seolah mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencabut nyawanya. “Apa kalian hanya akan berdiri di sana seperti bayangan tanpa wajah?” suara Li Feng bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena amarah yang membuncah dalam dadanya. Salah satu pembunuh bergerak cepat, seperti angin. Li Feng nyaris tak bisa mengikuti gerakannya dengan mata telanjang. Srett! Sebuah belati berkilat melesat ke arahnya. Ia berusaha menghindar, tetapi ujung senjata itu sempat menggores bahunya. "Sial!" Li Feng menggertakkan giginya, merasakan perih di bahunya. Ia tidak bisa terus bertahan seperti ini. Lawannya jelas bukan sekadar orang biasa. Mereka terlat
Angin malam meniupkan udara dingin ke sela-sela jubah Li Feng. Ia berdiri di balkon belakang istana, memandangi langit malam yang diselimuti awan tipis. Di tangannya, selembar perkamen kuno tergenggam erat—peta yang baru saja diserahkan oleh Kaisar sendiri. Peta Harta Karun Kekaisaran. “Ini… sungguh tak masuk akal,” gumam Li Feng sambil menatap lekuk-lekuk gambar yang sudah nyaris pudar. Di dalam ruang rahasia istana, Kaisar telah memanggilnya secara pribadi. Tak ada saksi. Tak ada pengawal. Hanya suara pelan Kaisar dan tatapan matanya yang seakan penuh beban bertahun-tahun. “Li Feng… ini bukan sekadar misi. Ini adalah takdir yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di ujung utara kekaisaran, tersembunyi senjata yang bahkan Pedang Naga Langit tak mampu menandingi. Tapi untuk menemukannya… kau harus membaca peta ini dengan hati, bukan hanya mata.” Dan kini, ia memegang warisan itu. Tapi—hah—apa benar ia siap menanggung beb
Angin malam menyapu lembut daun-daun plum di halaman belakang Kedai Tianxiang. Aroma wangi dari sup rebusan khas musim gugur perlahan menguar dari dapur, bercampur dengan bayang-bayang nostalgia yang belum usai. Li Feng berdiri diam di bawah pohon tua itu—tempat ia dulu sering duduk diam sambil mencuci piring dan mendengarkan nyanyian kecil Xiao Lan. “Ah…” napasnya mengembus lirih. “Sudah sejauh ini aku melangkah.” Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Xiao Lan datang membawa secangkir teh panas, matanya lembut seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya, meski tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran yang dalam. “Kau kembali untuk tinggal?” tanyanya pelan. Li Feng menatap teh itu sejenak, lalu menggeleng. “Tidak. Hanya... ingin mengingat.” Ia menatap meja kayu tempat pertama kali ia duduk sebagai pelayan. “Tempat ini… seperti akar. Aku tak bisa mencabutnya dari hatiku.” Sebelum Xiao La
“Li Feng! Tunggu—!” Suara teriakan itu tertinggal jauh di belakang, tersapu angin malam yang menggigit. Langkah-langkah kuda memacu deras di jalanan berbatu, membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan selatan kekaisaran. Di bawah cahaya bulan separuh, wajah Li Feng terlihat letih, mata penuh bayang-bayang kenangan. Tangannya menggenggam erat tali kekang, seolah jika ia melepaskannya, maka seluruh ingatan tentang siapa dirinya akan ikut tercerai-berai. “Haah… haah…” napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kasatmata. Perang telah meledak ke segala penjuru, dan meski kemenangannya di beberapa medan telah menjadi buah bibir para jenderal, hatinya justru makin terasa hampa. "Aku… harus kembali," gumamnya lirih, seperti mengingatkan diri sendiri. "Kembali ke tempat semuanya dimulai…" Tiga hari perjalanan, dan akhirnya ia tiba di gerbang kota tua itu. Tianxiang.
Hening. Itulah yang pertama kali dirasakan Li Feng saat menatap hamparan tanah luas di perbatasan selatan Kekaisaran. Tapi di balik keheningan itu… ah, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena angin musim semi yang mengalir dari pegunungan, tapi karena ia tahu—ini hanya ketenangan sebelum badai. “Li Feng,” suara berat itu datang dari sosok bertopeng yang berdiri di sampingnya, pendekar misterius dari negeri seberang yang kemarin malam menyatakan diri sebagai sekutu. “Ya?” Li Feng tak menoleh, tatapannya masih terpaku ke garis cakrawala. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tanah yang akan segera dipenuhi darah. “Pasukan utama dari Kerajaan Timur Laut telah bergerak. Mereka tidak hanya datang untuk mengambil perbatasan. Mereka ingin menaklukkan seluruh kekaisaranmu.” Hah! Li Feng menghela napas. “Kuharap kau bergurau.” “Sayangnya tidak.” Diam. Tak ada suara lagi selain deru a
"Apa ini… neraka?" gumam Li Feng, suara seraknya tenggelam di antara asap hitam dan nyala api yang masih berkobar.Udara masih berbau daging terbakar. Tanah di bawahnya retak-retak, basah oleh darah dan air hujan yang baru saja reda. Sisa-sisa benteng kayu yang terbakar menjadi puing-puing hitam yang berserakan. Pasukan dari negeri seberang telah dipukul mundur. Tapi harga yang dibayar… ah, terlalu mahal.Li Feng berdiri tertatih di atas reruntuhan menara pengawas, tubuhnya penuh luka. Bajunya robek di banyak tempat, dan di baliknya, kulitnya memar, berdarah, dan kotor. Pedang Naga Langit di tangannya… nyaris tidak bercahaya. Tenaganya hampir habis. Tapi lebih dari itu—jiwanya terkuras."Jenderal Li! Anda tak apa-apa?" seruan seorang prajurit membuatnya menoleh. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia belum sendirian. Masih ada yang selamat. Masih ada yang menggantungkan harapan padanya."Ang… angkat yang terluka! Jangan biarkan
“Haahh… haahh…!” Napas Li Feng memburu. Bajunya robek, kulitnya hangus di beberapa tempat, dan darah menetes dari sudut bibirnya. Langit di atasnya hitam pekat, bukan karena malam, tapi karena asap yang membumbung tinggi dari benteng kayu yang terbakar hebat. Benteng Pingyuan. Api berkobar ke segala arah. "Gila... ini neraka," desisnya. “Li Feng! Ke kiri!” teriak Putri Ling’er dari balik reruntuhan. Brak! Sebuah balok terbakar jatuh hanya beberapa jengkal dari tempat Li Feng berdiri. Panasnya menyengat kulit, membuat keringatnya mendidih di atas luka-luka terbuka. Dan di tengah kobaran api itu… berdiri sosok tinggi besar, tubuhnya dilapisi baju perang kehitaman, dan tatapannya tajam bagaikan pisau. Jenderal Raksasa dari Negeri Timur: Wei Long. Musuh baru yang bahkan lebih mengerikan dari Jenderal Zhao. "Aku sudah dengar tentangmu, Li F
“Langit memerah. Bukan karena senja, tapi darah yang tumpah.” “Hyaaaahh!” Li Feng menerjang ke depan, Pedang Naga Langit menari di tangannya. Debu beterbangan, jeritan prajurit terdengar bersahutan. Di sisi timur dataran terbuka dekat perbatasan, pasukan Kekaisaran bentrok hebat dengan pasukan negeri seberang—Negeri Xirong. “Li Feng! Mereka memukul dari arah kiri!” teriak Letnan Hu dengan napas tersengal. “Bertahan! Jangan biarkan mereka menembus garis pertama!” balas Li Feng sambil menangkis satu tombak yang nyaris menusuk lehernya. Duar! Ledakan dari panah api menghantam kereta suplai. Api menjilat tinggi, membakar tubuh-tubuh tak bernyawa yang belum sempat diangkat. Bau daging terbakar menyusup ke hidung, membuat perut para prajurit mual. “Arghh!” Seorang serdadu muda tumbang tepat di depan Li Feng. “Jenderal... aku... aku ingin pulang...” Li Feng menggertakkan gigin
“Apa... mereka sudah menyeberangi Sungai Jing?” Suara Panglima Wei terdengar berat, menggantung di udara seperti awan gelap sebelum hujan badai. Angin pagi di halaman istana terasa dingin menusuk, seolah menyesap ketegangan dari seluruh penjuru kekaisaran. Li Feng berdiri di sampingnya, mengenakan zirah perang yang baru saja diserahkan oleh istana. “Benar, Panglima. Utusan dari Benteng Liang membawa kabar bahwa pasukan Negeri Barat sudah membakar dua desa perbatasan.” “Celaka! Mereka datang lebih cepat dari yang kita perkirakan!” Deg. Hati Li Feng mencelos. Ia baru saja menyelesaikan pertarungan hidup-mati dengan Jenderal Zhao, luka di dada belum benar-benar sembuh, dan kini... perang lain menanti. Kaisar memandang ke kejauhan dari balkon utama istana. “Li Feng,” ucapnya pelan, tapi penuh tekanan. “Sebagai Jenderal Muda Kekaisaran, aku tugaskan engkau memimpin lima ribu pasukan utama menuju perbatasan barat. Negeri ini tak
“Apa itu…?” Langit pagi yang biasanya tenang kini ternoda oleh awan kelabu yang menggulung tebal di ufuk timur. Di atas menara pengintai gerbang timur istana, seorang prajurit muda tercekat melihat asap mengepul di kejauhan. Wajahnya pucat. Tangan gemetar saat mengangkat bendera merah tanda bahaya. Tak lama kemudian, suara lonceng darurat menggema di seluruh ibu kota. GONG—! GONG—! GONG—! Jeritan warga, derap kuda, dan teriakan komandan menggema di sepanjang jalan utama. Kekaisaran kembali diguncang. Di dalam ruang pertemuan militer, suasana tegang menyelimuti. Semua pejabat tinggi, jenderal, dan panglima berdiri mematung. Mata mereka tertuju pada satu sosok yang kini duduk di kursi kehormatan, mengenakan jubah perang perak yang baru saja dianugerahkan Kaisar. Li Feng. Namun, di balik matanya yang tajam, tersimpan badai yang belum reda. Luka di dadanya akibat pertarungan dengan Jenderal Zhao masih b