Langit ibu kota tampak keemasan saat mentari mulai terbenam di ufuk barat. Burung-burung camar beterbangan di atas atap istana, membawa suasana yang damai—setidaknya bagi mereka yang tak terjebak dalam intrik kekuasaan.
Di dalam aula istana yang luas, Li Feng berdiri tegap di hadapan Kaisar. Dinding-dinding ruangan dipenuhi ukiran naga yang melilit pilar-pilar emas, sementara karpet merah panjang membentang dari pintu masuk hingga ke singgasana. Kaisar mengenakan jubah ungu kebesarannya, mahkotanya berkilauan di bawah cahaya lentera. Di sisi kanan, Panglima Wei berdiri dengan wajah serius, sementara Jenderal Zhao, dengan tatapan sinis, memandang Li Feng seakan menghakimi setiap gerakannya. “Hormat hamba kepada Yang Mulia Kaisar.” Li Feng berlutut dengan satu kaki, menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan. Kaisar menggerakkan tangannya pelan. “Bangkitlah, Li Feng. Hari ini aku ingin berbicara langsung denganmu.”Langit di ibu kota masih berwarna ungu kebiruan saat Li Feng berdiri di depan gerbang utama Akademi Militer Kekaisaran. Cahaya mentari baru saja merayap di balik cakrawala, tetapi hatinya sudah dipenuhi gejolak yang tak bisa dijelaskan. Hari ini, ia akan memulai perjalanan menuju Gunung Esmeralda, tempat di mana Pedang Naga Langit tersimpan. Li Feng mengeratkan genggaman pada gulungan perintah kekaisaran di tangannya. Surat ini adalah mandat Kaisar sendiri—perintah untuk menemukan dan membawa pulang pedang legendaris yang katanya mampu menentukan nasib kekaisaran. Namun, lebih dari sekadar perintah, perjalanan ini adalah ujian. Ujian yang akan membuktikan apakah dirinya layak menjadi lebih dari sekadar prajurit biasa. Pilihannya untuk Perjalanan Mencari Pedang Naga Langit bukanlah tugas yang bisa ia lakukan seorang diri. Ia membutuhkan orang-orang yang bisa diandalkan. Setelah mempertimbangkan berbagai kemungkinan, Li Feng akhirnya memili
Angin malam bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Li Feng menatap jalanan berbatu di hadapannya, sesekali melirik ke arah langit yang diselimuti awan kelabu. Cahaya rembulan hanya tersisa sepotong, menyinari perjalanan mereka dengan samar. Ia dan rombongannya sudah melakukan perjalanan selama tiga hari sejak meninggalkan ibu kota. Tujuan mereka: Gunung Esmeralda, tempat legenda Pedang Naga Langit tersembunyi. Jalanan yang mereka lalui semakin sepi dan terjal, membuat kewaspadaan mereka meningkat. “Li Feng, kita harus beristirahat. Orang-orang kelelahan,” ujar Zhang Wei, salah satu rekannya. Li Feng menoleh, melihat wajah rekan-rekannya yang penuh debu dan kelelahan. Ada lima orang dalam kelompok ini: Zhang Wei, seorang prajurit yang sudah lama bertugas di perbatasan; Huang Tao, murid akademi yang memiliki keahlian dalam strategi; Mei Ling, seorang pendekar wanita dari klan pedang terkenal; dan dua saudara
Udara malam terasa semakin dingin. Cahaya bulan yang pucat terpantul di ujung bilah pedang yang bersimbah darah. Li Feng berdiri di tengah lingkaran musuh, napasnya berat, keringat bercampur darah mengalir di pelipisnya. Sekelompok pembunuh bayangan yang menyerangnya tak menunjukkan tanda-tanda gentar, seolah mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk mencabut nyawanya. “Apa kalian hanya akan berdiri di sana seperti bayangan tanpa wajah?” suara Li Feng bergetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena amarah yang membuncah dalam dadanya. Salah satu pembunuh bergerak cepat, seperti angin. Li Feng nyaris tak bisa mengikuti gerakannya dengan mata telanjang. Srett! Sebuah belati berkilat melesat ke arahnya. Ia berusaha menghindar, tetapi ujung senjata itu sempat menggores bahunya. "Sial!" Li Feng menggertakkan giginya, merasakan perih di bahunya. Ia tidak bisa terus bertahan seperti ini. Lawannya jelas bukan sekadar orang biasa. Mereka terlat
Angin dingin berhembus kencang, menggoyangkan pepohonan raksasa yang menjulang di sekitar kaki Gunung Esmeralda. Kabut pekat menyelimuti tanah berbatu, menciptakan suasana mistis yang membuat bulu kuduk berdiri. Li Feng menatap ke puncak gunung yang menjulang tinggi, napasnya tertahan oleh rasa kagum sekaligus kewaspadaan. “Ini dia... tempat Pedang Naga Langit berada.” Tangannya meremas gagang pedang di pinggangnya. Perjalanan ke sini telah memakan banyak waktu dan tenaga, tapi ujian sesungguhnya baru akan dimulai. "Li Feng, apakah kau yakin pedang itu benar-benar ada di sini?" tanya Wei Long, salah satu anggota timnya. Li Feng mengangguk mantap. "Ya. Aku sudah melihat catatan kuno yang menyebutkan bahwa pedang itu disegel dalam kuil di puncak Gunung Esmeralda. Tapi tentu saja... kita tidak akan mendapatkannya dengan mudah." Xiao Lan yang berdiri di sampingnya menggigil kedinginan, menarik jubahnya lebih erat
Angin malam berembus dingin di lereng Gunung Esmeralda. Langit dipenuhi kabut tipis yang mengambang seperti roh-roh gentayangan, seolah mengawasi setiap langkah Li Feng dan kelompoknya. Mereka telah melewati berbagai rintangan berat sejak memasuki wilayah ini—jebakan batu yang hampir meremukkan mereka, sungai beku yang nyaris menelan nyawa, serta kawanan serigala yang bermata merah seperti bara api. Namun, semua itu belum sebanding dengan ketegangan yang kini menyelimuti mereka. “Saudara Li, aku merasa ada sesuatu yang mengawasi kita...” bisik Zhou Ping, seorang pendekar muda yang ikut dalam ekspedisi ini. Ia menggenggam pedangnya erat-erat, matanya waspada. Li Feng menghentikan langkahnya. “Aku juga merasakannya...” Xiao Rui, seorang pendekar perempuan yang dikenal dengan kepekaannya terhadap energi, mengangguk pelan. “Ini bukan hanya perasaan. Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang bukan dari dunia kita...” BRAK
Embun tipis menyelimuti Gunung Esmeralda saat Li Feng dan timnya menapaki jalan berbatu menuju kuil kuno yang tersembunyi di puncak. Udara semakin dingin, hembusan angin membawa bisikan yang terdengar seperti suara-suara samar dari masa lalu. Li Feng menggenggam gagang pedangnya erat, nalurinya menegang. "Hati-hati. Tempat ini bukan sekadar kuil biasa." Xiao Lan yang berjalan di sampingnya menggigil, bukan hanya karena suhu yang menusuk tulang, tetapi juga karena suasana mencekam yang menggantung di udara. "Aku merasa... ada sesuatu yang mengawasi kita." Panglima Wei, yang telah mengawal mereka sejak perjalanan dari ibu kota, mengangguk setuju. "Legenda mengatakan, kuil ini dibangun sebagai tempat perlindungan bagi Pedang Naga Langit, tetapi juga sebagai jebakan bagi mereka yang serakah." Setelah perjalanan panjang dan pertempuran yang melelahkan, akhirnya mereka sampai di depan pintu batu besar yang tertutup rapat. Di perm
Angin dingin dari puncak Gunung Esmeralda berembus tajam, menerpa wajah Li Feng dan timnya yang tengah beristirahat di dalam kuil kuno. Cahaya remang dari lentera minyak berkelap-kelip, menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding batu. Setelah melalui berbagai rintangan yang hampir merenggut nyawa mereka, kini mereka berdiri di ambang takdir. Pedang Naga Langit, senjata legendaris yang dikatakan memiliki kekuatan luar biasa, hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Namun, di tengah keheningan malam, bahaya lain mengintai—bahaya yang tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam kelompok mereka sendiri. Li Feng duduk bersila di pojok ruangan, matanya setengah terpejam, berusaha memulihkan tenaga setelah menghadapi jebakan di kuil ini. Tapi entah kenapa, hatinya terasa gelisah. Ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba, terdengar suara langkah pelan yang nyaris tidak terdengar. Instingnya segera terbangun. Ia membuka matanya perla
Angin malam berhembus tajam di puncak Gunung Esmeralda. Di bawah sinar bulan yang pucat, bayangan para pendekar terpantul di atas es yang membeku. Li Feng berdiri tegak dengan napas memburu, matanya tajam menatap sosok di depannya—pengkhianat di antara mereka. "Sialan!" gumam Li Feng, tangannya menggenggam gagang pedangnya erat. Di hadapannya, Guo Ren, seorang pendekar yang selama ini ia percaya, berdiri dengan senyum licik. Di tangannya, Pedang Naga Langit bergetar, seolah menolak disentuh oleh orang yang tidak layak. Cahaya biru samar memancar dari bilahnya, memberikan hawa dingin yang menusuk. "Aku tidak ingin melakukan ini, Li Feng," kata Guo Ren dengan suara datar. "Tapi aku tidak punya pilihan. Pedang ini bukan untukmu—aku lebih pantas memilikinya!" Li Feng menggeram, merasakan kemarahan membakar dadanya. "Kau mengkhianati kami semua demi ambisimu sendiri?" Guo Ren menyeringai. "Ambisi? Ini bukan hanya
Konflik di dalam istana semakin panas, dan Li Feng terjebak di antara dua kekuatan besar. Langit di atas ibu kota mendung, seolah langit pun enggan melihat darah yang sebentar lagi akan menggenang di pelataran suci istana. Angin membawa aroma kebusukan—bukan hanya dari tubuh-tubuh yang telah gugur beberapa malam terakhir, tapi dari pengkhianatan yang menebar seperti wabah di jantung kekaisaran. Li Feng berdiri di gerbang utama istana bagian dalam, tubuhnya tegap, tetapi jantungnya berdegup tak karuan. "Bagaimana bisa begini…?" bisiknya lirih, tatapannya menerobos barisan pasukan berbaju besi yang telah membentuk formasi siaga. Mereka bukan musuh dari luar, bukan pemberontak Serigala Hitam… Mereka adalah saudara seperjuangan. Prajurit Kekaisaran. Tapi kini—oh, betapa getir!—mereka datang untuk saling menumpahkan darah. “Jenderal Li!” Suara tegas itu datang dari arah kanan. Seorang pengawal istana berlari, napasnya terengah.
“Bagaimana bisa… kau tahu semua itu, Li Feng?” Suara Kaisar bergetar, nyaris tak terdengar di balik gema ruang takhta yang megah namun kini terasa seperti gua pengakuan yang menyekap napas. Cahaya matahari sore menembus celah tirai sutra emas, memantul pada lantai batu giok, tetapi tak sanggup mengusir hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Li Feng berdiri tegap, walau hatinya berdegup kencang. “Hamba tidak bermaksud melewati batas,” ucapnya lirih, namun tegas. “Tapi kebenaran ini… harus Paduka dengar.” Kaisar memejamkan mata. Napasnya berat. “Ucapkan… dari awal.” Li Feng menghela napas. “Semuanya bermula saat hamba berada di Gunung Terlarang. Dalam pelatihan terakhir yang hampir merenggut nyawa, hamba menyaksikan sesuatu—bukan hanya mimpi atau ilusi—tapi sepotong ingatan yang entah bagaimana, terhubung dengan kutukan pedang ini.” Ia menatap gagang Pedang Naga Langit yang tergantung di punggungnya, aura hitamnya be
Langkah-langkah kaki itu menggema di lorong istana yang panjang, menggema seperti dentang takdir yang tak bisa dihindari. Tap… tap… tap… Para pengawal berdiri tegak di sepanjang jalur emas menuju Balairung Naga, tempat di mana Kaisar Agung biasanya duduk di singgasananya yang megah. Namun pagi itu, tidak ada upacara penyambutan, tidak ada genderang perang, dan tidak ada pengumuman resmi dari sang juru bicara istana. Semua diam. Bisu. Menanti. Satu sosok berjalan perlahan di antara pilar-pilar tinggi yang mengkilap oleh pantulan cahaya matahari pagi. Sosok itu tidak lain adalah… Li Feng. Tapi bukan Li Feng yang dulu. Tidak—bukan pemuda desa yang tertatih-tatih naik ke dunia yang penuh intrik dan darah. Bukan pula prajurit canggung yang dulu tak tahu membedakan musuh dari sahabat. Yang datang pagi itu adalah seorang pendekar sejati—tatapannya tajam bag
Kabut pagi belum sepenuhnya sirna saat langkah-langkah berat itu menyusuri jalan berbatu menuju gerbang utara ibu kota. Suara derap langkah kuda terdengar pelan namun penuh tekad. Di atas punggung kuda itu, duduk seorang pemuda yang telah lama menghilang dari mata dunia—Li Feng. "Hah…" Li Feng menarik napas panjang. Wajahnya yang dulu polos kini penuh dengan ketegasan. Garis rahang yang lebih tajam, sorot mata yang dalam, dan rambut hitam panjang yang diikat ke belakang dengan pita merah—semuanya menandakan satu hal: pemuda itu bukan lagi orang yang sama. Di punggungnya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan merasakan tujuan dari tuannya: balas dendam. "Aku kembali, Jenderal Zhao," bisiknya lirih. "Dan kali ini… aku tidak akan memaafkanmu." Gerbang utara ibu kota menjulang tinggi, dijaga oleh belasan prajurit kerajaan yang tengah bosan menjalankan tugas. Salah satu dari mereka, seorang pemuda bertubuh kurus dengan tomba
Angin pagi menyapu puncak Gunung Terlarang, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan tua yang gugur. Kabut perlahan-lahan menyingkir dari celah bebatuan, seperti tirai yang dibuka perlahan, memperlihatkan seorang pemuda berdiri diam di tengah lingkaran batu suci. Li Feng. Tubuhnya tegak, meski jubahnya compang-camping dan bercak darah mengering di lengan kanan. Matanya... ya, mata itu bukan lagi mata seorang pemuda desa yang lugu. Ada kilatan api di dalamnya, seperti bara yang telah menyala terlalu lama di dalam kegelapan. "Hufff..." Ia menarik napas panjang, lalu menatap langit. "Sudah cukup lama, ya?" Tidak ada jawaban, kecuali desir angin dan bisikan halus pepohonan. Tapi Li Feng tahu, di tempat ini, diam pun bisa berbicara lebih nyaring dari teriakan. Tiga bulan. Tiga bulan penuh penderitaan, pertarungan, dan latihan. Tiga bulan ia menghilang dari dunia, terkubur dalam kutukan Pedang Na
"Haaah… haaah…" Nafas Li Feng tersengal. Darah menetes dari sudut bibirnya. Di tengah kehancuran aula batu itu, ia berdiri limbung, menatap sosok bercahaya merah yang kini perlahan berjalan mendekat, langkah demi langkah, seolah tak terburu-buru—seolah waktu tunduk padanya. "Zhou Ming… Nona Lan… kalian…" gumamnya lirih, tak percaya. Pengkhianatan mereka barusan seperti luka yang tak tampak di tubuh, namun terasa jauh lebih menyakitkan dari ribuan tusukan pedang. Namun, sebelum ia bisa berkata lebih, dunia mendadak runtuh. Grrrkk! Dinding-dinding gua bergetar. Cahaya merah dari sosok misterius itu tiba-tiba melonjak, menelan segalanya, dan—brengsek!—segala sesuatunya menjadi putih. “Ugh…” Li Feng terbangun dengan tubuh dingin oleh keringat. Ia tidak tahu di mana dirinya. Tempat itu putih. Tak ada dinding. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya kabut. Dan suara.
“Apa yang kau lihat belum tentu kebenaran. Dan mereka yang berdiri di sisimu... bisa jadi adalah orang pertama yang menusuk dari belakang.” Angin malam di Gunung Terlarang menggigit seperti seribu jarum dingin yang menusuk hingga tulang. Kabut tebal turun perlahan, membungkus bumi dalam selimut kelabu yang mencekam. Di tengah kabut itu, Li Feng berdiri terpaku. Matanya menatap sosok bercahaya merah yang baru saja muncul dari balik bayangan. "Apa ini...?" gumamnya, napasnya membeku di udara. Sosok itu melayang tanpa suara. Wujudnya samar, bercahaya merah seperti bara api yang tertutup debu. Tetapi ada yang aneh. Li Feng merasakan... kehangatan. "Li Feng..." suara itu serak, tetapi familiar. Deg! Jantung Li Feng berdetak lebih cepat. "Itu... suara..." “Guru Fan?” bisiknya, nyaris tak percaya. Sosok itu tersenyum samar, tapi senyumnya tak membawa kedamaian seperti dulu. "Aku bukan l
Hening. Itulah suara pertama yang menyambut Li Feng saat ia membuka matanya. Tapi bukan keheningan biasa. Ini adalah keheningan yang menelan, membungkam, membekukan—seakan seluruh dunia menahan napas. “Ngh… Di mana ini…?” gumamnya, matanya menyipit menatap sekeliling. Tak ada langit. Tak ada tanah. Hanya kabut kelabu yang tak berujung, menggulung seperti awan mati. Udara dingin menusuk tulangnya, tetapi tak ada angin. Yang ada hanyalah tekanan—tekanan yang menindih tubuh dan jiwanya. Baru saja ia melewati latihan yang hampir membunuhnya. Tubuhnya remuk, jiwa terkoyak. Tapi ia bertahan. Bertahan demi ibunya, demi tanah kelahirannya… dan demi dirinya sendiri. Tapi sekarang? “Apakah aku… mati?” tanyanya, suara bergetar. Tiba-tiba… suara langkah terdengar. Tap… tap… tap… Li Feng menoleh cepat. Jantungnya berdetak kencang. Dari balik kabut, muncul sesosok bayangan. Langkahnya mantap,
Li Feng masih terpaku di hadapan sang pertapa tua. Setelah menyelamatkannya dari amukan roh jahat di Gunung Terlarang, pertapa itu akhirnya mengungkapkan tujuan sebenarnya: mengajari Li Feng cara mengendalikan Pedang Naga Langit. Namun, sebelum itu, ada satu hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. "Dengarkan baik-baik, bocah. Pedang Naga Langit bukanlah senjata biasa. Ia memiliki kutukan yang hanya bisa dikendalikan oleh mereka yang telah menguasai seni bela diri tingkat tinggi dan mengendalikan hati mereka sepenuhnya," ujar sang pertapa dengan suara yang dalam dan misterius. Li Feng mengangguk, merasakan bulu kuduknya berdiri. "Apa yang harus aku lakukan, Guru? Aku siap menjalani latihan apa pun!" Sang pertapa tertawa pelan, lalu menunjuk ke sebuah gua besar di balik rerimbunan pohon tua. "Masuki gua itu. Kau akan menghadapi cobaan pertama. Jika kau bisa keluar dengan selamat, barulah kita bicara soal latihan sebenarnya."