Langit masih gelap saat Li Feng meninggalkan Desa Ping An. Udara pagi menusuk tulang, embun menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur dengan harum kayu bakar yang masih menyala dari rumah-rumah warga. Ia melangkah mantap, meski hatinya masih berat meninggalkan ibunya yang sakit.
"Ibu, aku berjanji akan kembali dengan membawa kehormatan," bisiknya dalam hati. Langkah kakinya terdengar di jalan berbatu yang mulai menjauh dari desa. Ia hanya membawa sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga, selembar kain yang membungkus beberapa potong roti kering, dan kantong kecil berisi koin perak yang ia kumpulkan dari bekerja di ladang. Itu saja bekalnya untuk perjalanan yang entah akan berakhir di mana. Di Tepi Hutan Guangming Setelah berjalan hampir seharian, Li Feng tiba di tepi Hutan Guangming. Hutan ini terkenal dengan jalurnya yang berliku dan rumor tentang bandit yang sering merampok para pelancong. Namun, tak ada jalan lain menuju ibu kota tanpa melewati tempat ini. "Dalam tiga hari, aku bisa mencapai kota jika berjalan cepat," pikirnya. Ia mengeratkan genggaman pada pisau kecilnya dan melangkah masuk. Hutan itu gelap meski matahari masih bersinar. Pepohonan tinggi menciptakan bayangan menyeramkan, dan suara burung hantu terdengar sayup di kejauhan. Li Feng tetap waspada, matanya menyapu setiap sudut jalur setapak yang ia lalui. Namun, firasatnya tak salah. Baru beberapa ratus langkah, ia menangkap bayangan yang bergerak di antara pepohonan. Langkahnya terhenti. "Dari mana bocah ini?" suara kasar terdengar dari arah kanan. Dua pria bertubuh besar muncul dari balik semak-semak. Wajah mereka penuh bekas luka, pakaian mereka lusuh, dan masing-masing membawa belati panjang di tangan. "Sepertinya dia punya sedikit uang. Bagaimana kalau kita buat perjalanannya lebih singkat?" pria pertama menyeringai. Li Feng menghela napas dalam. Ia belum pernah menghadapi perampok sebelumnya, tapi satu hal yang ia pelajari sejak kecil—jangan pernah menunjukkan rasa takut. "Aku tak punya banyak uang," jawabnya, mencoba tetap tenang. "Biarkan aku pergi, dan aku tak akan membuat masalah." Pria kedua tertawa kasar. "Dengar itu? Anak ini pikir bisa menawar keselamatannya." Salah satu dari mereka melangkah maju, mencoba merampas kantong koin di pinggang Li Feng. Tapi sebelum tangannya menyentuhnya, tubuh Li Feng bergerak cepat. Dengan refleks yang ia asah saat bertarung melawan anak-anak desa, ia menangkis tangan pria itu dan mundur beberapa langkah. "Hei, anak ini lumayan gesit," pria pertama meludah ke tanah. "Tapi kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan." Li Feng tahu, bicara tak akan menyelesaikan ini. Jika ia ingin keluar hidup-hidup, ia harus bertarung. Pertarungan di Hutan Pria kedua melesat ke arahnya dengan belati terhunus. Li Feng menunggu hingga detik terakhir sebelum bergerak ke samping, menghindari serangan itu dengan gesit. Ia memanfaatkan momen itu untuk menyerang balik, menyodorkan lututnya ke perut pria itu. "Ugh!" pria itu terhuyung ke belakang, tapi belum jatuh. Pria pertama ikut menyerang. Kali ini ia mengayunkan belatinya dengan liar. Li Feng menunduk, merasa angin dingin dari senjata yang nyaris menyayat kulitnya. Ia melompat mundur, tapi pria kedua sudah pulih dan menyerangnya dari belakang. Li Feng berputar cepat dan menendang ke arah lutut pria itu. Bunyi tulang berbenturan terdengar, dan pria itu jatuh tersungkur. "Kurang ajar!" pria pertama menggeram dan melesat dengan belati terangkat tinggi. Li Feng tak punya pilihan. Ia meraih sebatang kayu di tanah dan menggunakannya untuk menangkis serangan itu. Kayu itu patah, tapi cukup untuk menghentikan momentum lawannya. Melihat celah, Li Feng menghantam kepala pria itu dengan sisa batang kayu yang masih ia pegang. Pukulan itu cukup keras hingga pria itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah. Pria kedua, yang masih berusaha bangkit, menatap Li Feng dengan ketakutan. Tanpa pikir panjang, ia menyeret rekannya dan berlari menjauh ke dalam hutan. Napas Li Feng terengah. Tangannya gemetar karena adrenalin. Ini pertama kalinya ia bertarung serius, dan ia menang. Namun, ia tahu ini baru permulaan. Tiba di Kota Setelah kejadian itu, Li Feng melanjutkan perjalanan tanpa gangguan. Dua hari kemudian, di pagi buta, ia akhirnya melihat gerbang besar yang menandakan ia telah sampai di ibu kota. Kota itu jauh lebih megah dari yang ia bayangkan. Bangunan-bangunan tinggi berjajar rapi, atap-atapnya berhiaskan ukiran naga dan burung phoenix. Jalanan dipenuhi pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka, dari kain sutra hingga rempah-rempah eksotis. Namun, bagi seorang pendatang miskin seperti Li Feng, kehidupan di sini tak semudah kelihatannya. Perutnya berbunyi. Ia sudah kehabisan bekal sejak kemarin, dan satu-satunya koin peraknya hanya cukup untuk satu kali makan. Ia harus segera mencari pekerjaan. Saat matanya menyapu sekeliling, ia melihat sebuah kedai dengan papan kayu bertuliskan "Kedai Tianxiang". Aroma daging panggang yang lezat menggoda hidungnya, dan suara tawa pelanggan terdengar riuh dari dalam. "Jika aku bisa bekerja di sini, setidaknya aku tidak akan kelaparan," pikirnya. Dengan langkah mantap, Li Feng berjalan menuju kedai, tak menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya. Apa yang menanti Li Feng di Kedai Tianxiang? Akankah ia diterima bekerja? Ataukah takdir lain yang menunggunya di ibu kota?Malam itu, angin musim gugur berembus lembut di sepanjang jalanan ibu kota. Cahaya lentera berpendar keemasan, menerangi trotoar batu yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pengunjung kedai. Li Feng berdiri di depan Kedai Tianxiang, sebuah bangunan dua lantai yang cukup besar, dengan aroma harum masakan yang menguar dari dapurnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Di dalam, suasana penuh riuh rendah. Para pelanggan menikmati makanan mereka sambil bercakap-cakap, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh mangkuk dan teko arak. Seorang pria bertubuh kekar, dengan lengan tergulung dan celemek yang tampak kotor karena percikan minyak, menatap Li Feng dengan mata tajam. "Kau siapa?" suara pria itu berat dan berwibawa. Li Feng membungkuk dengan hormat. "Nama saya Li Feng. Saya datang untuk mencari pekerjaan." Pria itu menyipitkan mata, mengamati pakaian Li Feng yang lusuh dan wajahnya yang terlihat lelah setelah perjalanan panjang. "Hah! Apa kau bisa bek
Suasana Kedai Tianxiang yang biasanya riuh dengan suara pelanggan malam ini terasa lebih gaduh dari biasanya. Para pengunjung menikmati makanan mereka, ditemani arak hangat yang mengalir deras ke dalam cangkir-cangkir porselen. Di sudut kedai, Li Feng sibuk mencuci piring dengan cekatan. Tangannya bergerak lincah, meskipun tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, di balik lelahnya, ada ketenangan yang ia rasakan. Setidaknya, di tempat ini ia memiliki atap untuk berteduh dan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Tapi malam itu, takdir tampaknya punya rencana lain. Seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka panjang di pipinya masuk ke dalam kedai. Wajahnya penuh kesombongan, langkahnya berat seolah menantang siapa saja yang berani melawan. Semua orang langsung menundukkan kepala. Mereka mengenalnya—Zhang Bao, seorang pendekar bayaran yang terkenal kejam dan tak segan membunuh hanya karena alasan sepele. Xiao Lan, gadis pelayan yang selama ini baik pada Li Feng, m
Angin malam menyapu jalanan ibu kota dengan lembut, membawa sisa aroma masakan dari Kedai Tianxiang. Suasana yang biasanya ramai kini perlahan mereda, hanya tersisa beberapa pelanggan yang masih berbincang santai. Namun, di tengah ketenangan itu, langkah berat sekelompok prajurit menggema di jalan berbatu. Li Feng, yang baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci piring, mendongak ke arah pintu. Matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria berbaju zirah perak, dengan jubah merah berkibar di belakangnya. Prajurit itu tinggi, berwibawa, dan wajahnya penuh bekas luka—tanda bahwa ia bukan sembarang orang. "Siapa di antara kalian yang bernama Li Feng?" Suaranya bergema di dalam kedai, membuat semua orang yang masih tersisa menoleh. Jantung Li Feng berdegup lebih cepat. Xiao Lan, yang berdiri tak jauh darinya, tampak menegang. "Li Feng… apa yang mereka inginkan darimu?" bisiknya. Li Feng menarik napas dalam. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, sejak perkelahian sebelumnya, ia
Li Feng berdiri di tengah alun-alun akademi militer, dikelilingi oleh ratusan pemuda lain yang juga berharap bisa menjadi bagian dari pasukan kekaisaran. Cahaya matahari yang menyengat membakar tanah berpasir, membuat keringat mengalir di pelipisnya. Namun, bukan panas yang membuatnya gugup, melainkan pandangan tajam para penguji—para jenderal berpengalaman yang akan menentukan siapa yang layak melangkah lebih jauh. Di depannya, seorang pria tinggi berotot dengan bekas luka di wajah berjalan ke tengah lapangan. Itu adalah Jenderal Zhao, pria yang dikenal karena kebengisannya dalam melatih prajurit baru. "Siapa pun yang ingin menjadi prajurit kekaisaran harus melewati tiga ujian!" suara Jenderal Zhao menggema, membuat banyak calon prajurit menelan ludah. "Pertama, ujian fisik. Kedua, ujian pertarungan. Ketiga, ujian strategi. Jika kau gagal dalam satu saja, anggaplah impianmu berakhir di sini!" Sorak-sorai dan desahan terdengar dari kerumunan. Beberapa wajah berubah pucat, sementara
Mentari pagi menembus celah jendela Akademi Militer Kekaisaran, menerangi halaman luas tempat para murid baru berkumpul. Suasana terasa tegang, karena hari ini mereka akan memulai latihan pertama mereka di bawah bimbingan para jenderal kekaisaran. Li Feng berdiri di antara puluhan murid lain, sebagian besar berasal dari keluarga terpandang. Matanya menyapu kerumunan, memperhatikan wajah-wajah penuh kesombongan dan kebencian. Ia sadar, tak sedikit dari mereka yang menganggapnya hanya seorang rakyat jelata yang kebetulan beruntung bisa masuk akademi. Langkah berat terdengar mendekat. Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dengan jubah perang biru keperakan melangkah ke tengah lapangan. Jenderal Zhao, salah satu panglima yang paling ditakuti di kekaisaran, menatap para murid dengan sorot mata dingin. “Kalian semua ada di sini bukan karena keberuntungan, tetapi karena Kaisar memberi kesempatan!” Suaranya menggelegar, membuat beberapa murid menegakkan punggung mereka. “Namun, kesempata
Langit di ibu kota tampak kelabu, seakan mencerminkan suasana hati Li Feng. Sudah sebulan sejak ia masuk ke Akademi Militer Kekaisaran, dan sejauh ini ia lebih banyak menghadapi permusuhan dibandingkan sambutan hangat. Hari ini, suasana akademi terasa lebih tegang dari biasanya. Para murid berbisik-bisik di lorong, mata mereka sesekali melirik ke arah aula utama. Li Feng yang baru saja selesai berlatih dengan salah satu instruktur, mendengar gumaman mereka. "Kudengar Putri Ling’er akan datang hari ini," bisik salah satu murid. "Benarkah? Apa urusannya dengan akademi?" "Mungkin hendak memilih pengawal pribadi. Kalau beruntung, kita bisa menjadi prajurit kepercayaannya!" Li Feng tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, yang lebih penting adalah bertahan di akademi ini tanpa menjadi korban intrik politik. Namun, ia tidak menyadari bahwa hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di istana kekaisaran, Putri Ling’er duduk di sebuah ruangan dengan dinding kayu ya
Malam itu, aula Akademi Militer Kekaisaran diselimuti ketegangan. Cahaya lentera menggantung rendah, memancarkan bayangan panjang di dinding batu. Para kadet berbaris rapi di depan Jenderal Zhao, yang berdiri tegak dengan tatapan dingin. “Kalian telah menyelesaikan pelatihan dasar,” suaranya bergema, penuh wibawa. “Sekarang, saatnya kalian membuktikan diri.” Li Feng berdiri di antara rekan-rekannya, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Sejak memasuki akademi, ia telah mengalami berbagai rintangan, dari hinaan, persaingan, hingga ujian berat. Namun, ini adalah tantangan sesungguhnya—misi pertama mereka sebagai calon prajurit kekaisaran. “Misi kalian sederhana,” lanjut Jenderal Zhao. “Pergilah ke wilayah perbatasan barat dan selidiki aktivitas kelompok bandit Serigala Hitam. Jika memungkinkan, lumpuhkan pemimpin mereka.” Desas-desus tentang Serigala Hitam telah lama beredar di ibu kota. Kelompok bandit ini dikenal brutal, sering menjarah desa-desa terpencil, membantai penduduk
Hutan yang lebat dan sunyi terasa mencekam, dikelilingi oleh suara rintihan angin yang menggerakkan dedaunan, seperti bisikan yang menyampaikan pesan buruk. Li Feng berjalan di barisan depan, matanya terfokus pada jejak yang tertinggal di tanah basah, mengingatkan dia pada misi yang tengah mereka jalani. Bersama sekelompok prajurit muda dari akademi militer, ia diperintahkan untuk membersihkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak Serigala Hitam, yang diketahui telah mengganggu ketertiban kekaisaran selama beberapa bulan terakhir. Namun, meskipun wajah mereka tampak tegas dan siap bertempur, Li Feng merasakan adanya ketegangan di udara. Sesekali, pandangannya melintas pada salah satu rekan mereka, Zhang Wei, seorang prajurit muda yang selalu terlihat penuh percaya diri, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Li Feng merasa cemas. Kepercayaan diri itu lebih mirip sebuah topeng yang menutupi sesuatu yang lebih gelap. "Li Feng, jangan biarkan ketegangan ini membuatmu l
Hutan yang lebat dan sunyi terasa mencekam, dikelilingi oleh suara rintihan angin yang menggerakkan dedaunan, seperti bisikan yang menyampaikan pesan buruk. Li Feng berjalan di barisan depan, matanya terfokus pada jejak yang tertinggal di tanah basah, mengingatkan dia pada misi yang tengah mereka jalani. Bersama sekelompok prajurit muda dari akademi militer, ia diperintahkan untuk membersihkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak Serigala Hitam, yang diketahui telah mengganggu ketertiban kekaisaran selama beberapa bulan terakhir. Namun, meskipun wajah mereka tampak tegas dan siap bertempur, Li Feng merasakan adanya ketegangan di udara. Sesekali, pandangannya melintas pada salah satu rekan mereka, Zhang Wei, seorang prajurit muda yang selalu terlihat penuh percaya diri, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Li Feng merasa cemas. Kepercayaan diri itu lebih mirip sebuah topeng yang menutupi sesuatu yang lebih gelap. "Li Feng, jangan biarkan ketegangan ini membuatmu l
Malam itu, aula Akademi Militer Kekaisaran diselimuti ketegangan. Cahaya lentera menggantung rendah, memancarkan bayangan panjang di dinding batu. Para kadet berbaris rapi di depan Jenderal Zhao, yang berdiri tegak dengan tatapan dingin. “Kalian telah menyelesaikan pelatihan dasar,” suaranya bergema, penuh wibawa. “Sekarang, saatnya kalian membuktikan diri.” Li Feng berdiri di antara rekan-rekannya, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Sejak memasuki akademi, ia telah mengalami berbagai rintangan, dari hinaan, persaingan, hingga ujian berat. Namun, ini adalah tantangan sesungguhnya—misi pertama mereka sebagai calon prajurit kekaisaran. “Misi kalian sederhana,” lanjut Jenderal Zhao. “Pergilah ke wilayah perbatasan barat dan selidiki aktivitas kelompok bandit Serigala Hitam. Jika memungkinkan, lumpuhkan pemimpin mereka.” Desas-desus tentang Serigala Hitam telah lama beredar di ibu kota. Kelompok bandit ini dikenal brutal, sering menjarah desa-desa terpencil, membantai penduduk
Langit di ibu kota tampak kelabu, seakan mencerminkan suasana hati Li Feng. Sudah sebulan sejak ia masuk ke Akademi Militer Kekaisaran, dan sejauh ini ia lebih banyak menghadapi permusuhan dibandingkan sambutan hangat. Hari ini, suasana akademi terasa lebih tegang dari biasanya. Para murid berbisik-bisik di lorong, mata mereka sesekali melirik ke arah aula utama. Li Feng yang baru saja selesai berlatih dengan salah satu instruktur, mendengar gumaman mereka. "Kudengar Putri Ling’er akan datang hari ini," bisik salah satu murid. "Benarkah? Apa urusannya dengan akademi?" "Mungkin hendak memilih pengawal pribadi. Kalau beruntung, kita bisa menjadi prajurit kepercayaannya!" Li Feng tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, yang lebih penting adalah bertahan di akademi ini tanpa menjadi korban intrik politik. Namun, ia tidak menyadari bahwa hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di istana kekaisaran, Putri Ling’er duduk di sebuah ruangan dengan dinding kayu ya
Mentari pagi menembus celah jendela Akademi Militer Kekaisaran, menerangi halaman luas tempat para murid baru berkumpul. Suasana terasa tegang, karena hari ini mereka akan memulai latihan pertama mereka di bawah bimbingan para jenderal kekaisaran. Li Feng berdiri di antara puluhan murid lain, sebagian besar berasal dari keluarga terpandang. Matanya menyapu kerumunan, memperhatikan wajah-wajah penuh kesombongan dan kebencian. Ia sadar, tak sedikit dari mereka yang menganggapnya hanya seorang rakyat jelata yang kebetulan beruntung bisa masuk akademi. Langkah berat terdengar mendekat. Seorang pria paruh baya bertubuh tinggi dengan jubah perang biru keperakan melangkah ke tengah lapangan. Jenderal Zhao, salah satu panglima yang paling ditakuti di kekaisaran, menatap para murid dengan sorot mata dingin. “Kalian semua ada di sini bukan karena keberuntungan, tetapi karena Kaisar memberi kesempatan!” Suaranya menggelegar, membuat beberapa murid menegakkan punggung mereka. “Namun, kesempata
Li Feng berdiri di tengah alun-alun akademi militer, dikelilingi oleh ratusan pemuda lain yang juga berharap bisa menjadi bagian dari pasukan kekaisaran. Cahaya matahari yang menyengat membakar tanah berpasir, membuat keringat mengalir di pelipisnya. Namun, bukan panas yang membuatnya gugup, melainkan pandangan tajam para penguji—para jenderal berpengalaman yang akan menentukan siapa yang layak melangkah lebih jauh. Di depannya, seorang pria tinggi berotot dengan bekas luka di wajah berjalan ke tengah lapangan. Itu adalah Jenderal Zhao, pria yang dikenal karena kebengisannya dalam melatih prajurit baru. "Siapa pun yang ingin menjadi prajurit kekaisaran harus melewati tiga ujian!" suara Jenderal Zhao menggema, membuat banyak calon prajurit menelan ludah. "Pertama, ujian fisik. Kedua, ujian pertarungan. Ketiga, ujian strategi. Jika kau gagal dalam satu saja, anggaplah impianmu berakhir di sini!" Sorak-sorai dan desahan terdengar dari kerumunan. Beberapa wajah berubah pucat, sementara
Angin malam menyapu jalanan ibu kota dengan lembut, membawa sisa aroma masakan dari Kedai Tianxiang. Suasana yang biasanya ramai kini perlahan mereda, hanya tersisa beberapa pelanggan yang masih berbincang santai. Namun, di tengah ketenangan itu, langkah berat sekelompok prajurit menggema di jalan berbatu. Li Feng, yang baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci piring, mendongak ke arah pintu. Matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria berbaju zirah perak, dengan jubah merah berkibar di belakangnya. Prajurit itu tinggi, berwibawa, dan wajahnya penuh bekas luka—tanda bahwa ia bukan sembarang orang. "Siapa di antara kalian yang bernama Li Feng?" Suaranya bergema di dalam kedai, membuat semua orang yang masih tersisa menoleh. Jantung Li Feng berdegup lebih cepat. Xiao Lan, yang berdiri tak jauh darinya, tampak menegang. "Li Feng… apa yang mereka inginkan darimu?" bisiknya. Li Feng menarik napas dalam. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, sejak perkelahian sebelumnya, ia
Suasana Kedai Tianxiang yang biasanya riuh dengan suara pelanggan malam ini terasa lebih gaduh dari biasanya. Para pengunjung menikmati makanan mereka, ditemani arak hangat yang mengalir deras ke dalam cangkir-cangkir porselen. Di sudut kedai, Li Feng sibuk mencuci piring dengan cekatan. Tangannya bergerak lincah, meskipun tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Namun, di balik lelahnya, ada ketenangan yang ia rasakan. Setidaknya, di tempat ini ia memiliki atap untuk berteduh dan makanan yang cukup untuk bertahan hidup. Tapi malam itu, takdir tampaknya punya rencana lain. Seorang pria bertubuh kekar dengan bekas luka panjang di pipinya masuk ke dalam kedai. Wajahnya penuh kesombongan, langkahnya berat seolah menantang siapa saja yang berani melawan. Semua orang langsung menundukkan kepala. Mereka mengenalnya—Zhang Bao, seorang pendekar bayaran yang terkenal kejam dan tak segan membunuh hanya karena alasan sepele. Xiao Lan, gadis pelayan yang selama ini baik pada Li Feng, m
Malam itu, angin musim gugur berembus lembut di sepanjang jalanan ibu kota. Cahaya lentera berpendar keemasan, menerangi trotoar batu yang ramai oleh pedagang kaki lima dan pengunjung kedai. Li Feng berdiri di depan Kedai Tianxiang, sebuah bangunan dua lantai yang cukup besar, dengan aroma harum masakan yang menguar dari dapurnya. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Di dalam, suasana penuh riuh rendah. Para pelanggan menikmati makanan mereka sambil bercakap-cakap, sementara pelayan berlalu-lalang membawa nampan penuh mangkuk dan teko arak. Seorang pria bertubuh kekar, dengan lengan tergulung dan celemek yang tampak kotor karena percikan minyak, menatap Li Feng dengan mata tajam. "Kau siapa?" suara pria itu berat dan berwibawa. Li Feng membungkuk dengan hormat. "Nama saya Li Feng. Saya datang untuk mencari pekerjaan." Pria itu menyipitkan mata, mengamati pakaian Li Feng yang lusuh dan wajahnya yang terlihat lelah setelah perjalanan panjang. "Hah! Apa kau bisa bek
Langit masih gelap saat Li Feng meninggalkan Desa Ping An. Udara pagi menusuk tulang, embun menggantung di ujung dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur dengan harum kayu bakar yang masih menyala dari rumah-rumah warga. Ia melangkah mantap, meski hatinya masih berat meninggalkan ibunya yang sakit. "Ibu, aku berjanji akan kembali dengan membawa kehormatan," bisiknya dalam hati. Langkah kakinya terdengar di jalan berbatu yang mulai menjauh dari desa. Ia hanya membawa sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga, selembar kain yang membungkus beberapa potong roti kering, dan kantong kecil berisi koin perak yang ia kumpulkan dari bekerja di ladang. Itu saja bekalnya untuk perjalanan yang entah akan berakhir di mana. Di Tepi Hutan Guangming Setelah berjalan hampir seharian, Li Feng tiba di tepi Hutan Guangming. Hutan ini terkenal dengan jalurnya yang berliku dan rumor tentang bandit yang sering merampok para pelancong. Namun, tak ada jalan lain menuju ibu kota tanpa melewati tempat ini. "