“Ugh—!”
Tubuh Jenderal Zhao terhuyung ke belakang. Pedang Naga Langit—bergetar oleh darah dan kutukan yang menyelimuti bilahnya—menancap tepat di dada sang jenderal. Kilatan cahaya hitam menyala sekejap, lalu sirna. Wajah Jenderal Zhao menyeringai kaku, seperti belum bisa menerima kenyataan bahwa ia kalah. Li Feng, terengah-engah, lututnya bergetar hebat. Tubuhnya basah oleh peluh dan darah, sebagian miliknya, sebagian milik musuh. Matanya menatap lawannya yang jatuh perlahan ke tanah. “Haah... Haaah...” napasnya berat. Ia nyaris tak percaya ia menang. Tapi mengapa... mengapa hatinya terasa hampa? “Zhao...!” teriak salah satu prajurit setia sang jenderal, hendak berlari ke depan, namun dihentikan oleh para pengawal istana. “Hentikan...!” suara Kaisar menggema dari kejauhan. Ia menyaksikan duel itu dari balik tirai emas, wajahnya muram, seperti melihat sesuatu yang tak terelakkan. Li Feng menuru"Li Feng... bangunlah..." Suara itu... lembut namun seperti sembilu yang menusuk ke dalam jiwanya. Li Feng perlahan membuka matanya. Aroma obat dan kayu cendana memenuhi hidungnya. Langit-langit istana kekaisaran melengkung di atasnya, dihiasi lukisan naga dan awan keemasan. Namun tak ada keindahan yang mampu menutupi luka di hatinya. Luka yang baru. Luka yang nyata. Luka karena kehilangan. "Putri Ling’er..." bisiknya, nyaris tak terdengar. Hatinya kembali dihantam gelombang kesedihan. Wajahnya yang cantik, tawa riangnya, semangatnya yang menyala saat di medan perang—semuanya kini hanya tinggal kenangan yang menggantung di benaknya seperti hantu. "Dia menyelamatkan kita semua," suara Panglima Wei terdengar dari dekat. Lelaki tua itu duduk di sisi tempat tidur, mengenakan jubah perang yang lusuh, namun matanya tetap tajam. "Kalau bukan karena dia menahan pasukan pemberontak di sisi barat... kita takkan sempat tiba untuk memb
“Apa itu…?” Langit pagi yang biasanya tenang kini ternoda oleh awan kelabu yang menggulung tebal di ufuk timur. Di atas menara pengintai gerbang timur istana, seorang prajurit muda tercekat melihat asap mengepul di kejauhan. Wajahnya pucat. Tangan gemetar saat mengangkat bendera merah tanda bahaya. Tak lama kemudian, suara lonceng darurat menggema di seluruh ibu kota. GONG—! GONG—! GONG—! Jeritan warga, derap kuda, dan teriakan komandan menggema di sepanjang jalan utama. Kekaisaran kembali diguncang. Di dalam ruang pertemuan militer, suasana tegang menyelimuti. Semua pejabat tinggi, jenderal, dan panglima berdiri mematung. Mata mereka tertuju pada satu sosok yang kini duduk di kursi kehormatan, mengenakan jubah perang perak yang baru saja dianugerahkan Kaisar. Li Feng. Namun, di balik matanya yang tajam, tersimpan badai yang belum reda. Luka di dadanya akibat pertarungan dengan Jenderal Zhao masih b
“Apa... mereka sudah menyeberangi Sungai Jing?” Suara Panglima Wei terdengar berat, menggantung di udara seperti awan gelap sebelum hujan badai. Angin pagi di halaman istana terasa dingin menusuk, seolah menyesap ketegangan dari seluruh penjuru kekaisaran. Li Feng berdiri di sampingnya, mengenakan zirah perang yang baru saja diserahkan oleh istana. “Benar, Panglima. Utusan dari Benteng Liang membawa kabar bahwa pasukan Negeri Barat sudah membakar dua desa perbatasan.” “Celaka! Mereka datang lebih cepat dari yang kita perkirakan!” Deg. Hati Li Feng mencelos. Ia baru saja menyelesaikan pertarungan hidup-mati dengan Jenderal Zhao, luka di dada belum benar-benar sembuh, dan kini... perang lain menanti. Kaisar memandang ke kejauhan dari balkon utama istana. “Li Feng,” ucapnya pelan, tapi penuh tekanan. “Sebagai Jenderal Muda Kekaisaran, aku tugaskan engkau memimpin lima ribu pasukan utama menuju perbatasan barat. Negeri ini tak
“Langit memerah. Bukan karena senja, tapi darah yang tumpah.” “Hyaaaahh!” Li Feng menerjang ke depan, Pedang Naga Langit menari di tangannya. Debu beterbangan, jeritan prajurit terdengar bersahutan. Di sisi timur dataran terbuka dekat perbatasan, pasukan Kekaisaran bentrok hebat dengan pasukan negeri seberang—Negeri Xirong. “Li Feng! Mereka memukul dari arah kiri!” teriak Letnan Hu dengan napas tersengal. “Bertahan! Jangan biarkan mereka menembus garis pertama!” balas Li Feng sambil menangkis satu tombak yang nyaris menusuk lehernya. Duar! Ledakan dari panah api menghantam kereta suplai. Api menjilat tinggi, membakar tubuh-tubuh tak bernyawa yang belum sempat diangkat. Bau daging terbakar menyusup ke hidung, membuat perut para prajurit mual. “Arghh!” Seorang serdadu muda tumbang tepat di depan Li Feng. “Jenderal... aku... aku ingin pulang...” Li Feng menggertakkan gigin
“Haahh… haahh…!” Napas Li Feng memburu. Bajunya robek, kulitnya hangus di beberapa tempat, dan darah menetes dari sudut bibirnya. Langit di atasnya hitam pekat, bukan karena malam, tapi karena asap yang membumbung tinggi dari benteng kayu yang terbakar hebat. Benteng Pingyuan. Api berkobar ke segala arah. "Gila... ini neraka," desisnya. “Li Feng! Ke kiri!” teriak Putri Ling’er dari balik reruntuhan. Brak! Sebuah balok terbakar jatuh hanya beberapa jengkal dari tempat Li Feng berdiri. Panasnya menyengat kulit, membuat keringatnya mendidih di atas luka-luka terbuka. Dan di tengah kobaran api itu… berdiri sosok tinggi besar, tubuhnya dilapisi baju perang kehitaman, dan tatapannya tajam bagaikan pisau. Jenderal Raksasa dari Negeri Timur: Wei Long. Musuh baru yang bahkan lebih mengerikan dari Jenderal Zhao. "Aku sudah dengar tentangmu, Li F
"Apa ini… neraka?" gumam Li Feng, suara seraknya tenggelam di antara asap hitam dan nyala api yang masih berkobar.Udara masih berbau daging terbakar. Tanah di bawahnya retak-retak, basah oleh darah dan air hujan yang baru saja reda. Sisa-sisa benteng kayu yang terbakar menjadi puing-puing hitam yang berserakan. Pasukan dari negeri seberang telah dipukul mundur. Tapi harga yang dibayar… ah, terlalu mahal.Li Feng berdiri tertatih di atas reruntuhan menara pengawas, tubuhnya penuh luka. Bajunya robek di banyak tempat, dan di baliknya, kulitnya memar, berdarah, dan kotor. Pedang Naga Langit di tangannya… nyaris tidak bercahaya. Tenaganya hampir habis. Tapi lebih dari itu—jiwanya terkuras."Jenderal Li! Anda tak apa-apa?" seruan seorang prajurit membuatnya menoleh. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia belum sendirian. Masih ada yang selamat. Masih ada yang menggantungkan harapan padanya."Ang… angkat yang terluka! Jangan biarkan
Hening. Itulah yang pertama kali dirasakan Li Feng saat menatap hamparan tanah luas di perbatasan selatan Kekaisaran. Tapi di balik keheningan itu… ah, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena angin musim semi yang mengalir dari pegunungan, tapi karena ia tahu—ini hanya ketenangan sebelum badai. “Li Feng,” suara berat itu datang dari sosok bertopeng yang berdiri di sampingnya, pendekar misterius dari negeri seberang yang kemarin malam menyatakan diri sebagai sekutu. “Ya?” Li Feng tak menoleh, tatapannya masih terpaku ke garis cakrawala. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tanah yang akan segera dipenuhi darah. “Pasukan utama dari Kerajaan Timur Laut telah bergerak. Mereka tidak hanya datang untuk mengambil perbatasan. Mereka ingin menaklukkan seluruh kekaisaranmu.” Hah! Li Feng menghela napas. “Kuharap kau bergurau.” “Sayangnya tidak.” Diam. Tak ada suara lagi selain deru a
“Li Feng! Tunggu—!” Suara teriakan itu tertinggal jauh di belakang, tersapu angin malam yang menggigit. Langkah-langkah kuda memacu deras di jalanan berbatu, membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan selatan kekaisaran. Di bawah cahaya bulan separuh, wajah Li Feng terlihat letih, mata penuh bayang-bayang kenangan. Tangannya menggenggam erat tali kekang, seolah jika ia melepaskannya, maka seluruh ingatan tentang siapa dirinya akan ikut tercerai-berai. “Haah… haah…” napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kasatmata. Perang telah meledak ke segala penjuru, dan meski kemenangannya di beberapa medan telah menjadi buah bibir para jenderal, hatinya justru makin terasa hampa. "Aku… harus kembali," gumamnya lirih, seperti mengingatkan diri sendiri. "Kembali ke tempat semuanya dimulai…" Tiga hari perjalanan, dan akhirnya ia tiba di gerbang kota tua itu. Tianxiang.
“Tidak…” Li Feng menatap pedang di tangannya. Ia menggigil—bukan karena hawa dingin Pegunungan Salju, tapi karena aura mengerikan yang perlahan merayap dari permukaan pedang menuju pembuluh nadinya. “Ahh!” Seketika tubuhnya menegang. Suara jeritan keluar dari tenggorokannya seperti lolongan binatang yang kesakitan. Darahnya seolah mendidih. Matanya melebar, menyiratkan antara keterkejutan dan ketakutan. Pedang itu... bukan pedang biasa. Tidak hanya tajam, tidak hanya memancarkan cahaya biru keperakan yang misterius, tapi ada sesuatu yang bersemayam di dalamnya—sesuatu yang hidup... dan lapar. “Li Feng!” Teriakan Putri Ling’er menggema. Ia berlari dari balik salju, menghambur ke arah Li Feng yang kini bersimpuh, tubuhnya bergetar hebat. “Jangan sentuh—!” Terlambat. Tangan Ling’er menyentuh pundaknya. “UGH!” Keduanya terlempar seketika!
Hawa dingin menusuk tulang. Salju berjatuhan seperti abu kematian dari langit kelabu. Di hadapan Li Feng terbentang altar batu kuno dengan pahatan naga yang seakan bernapas. Di atasnya, tergeletak sebuah peti kayu gelap, ditutup segel emas yang berkilau samar. Namun, di antara Li Feng dan peti itu, berdiri seorang pemuda berjubah ungu, rambutnya diikat tinggi, dan matanya menyorot tajam bak pedang yang terhunus. "Kau tak berhak menyentuh senjata suci klan kami," suara pemuda itu dingin, nyaris tanpa emosi, tapi justru itulah yang membuatnya terasa berbahaya. Li Feng menggenggam gagang pedangnya. Hatinya masih diguncang peristiwa sebelumnya—bentrokan dengan para tetua klan yang mencoba menghalangi langkahnya. Banyak darah tertumpah. Tapi bukan itu yang mengusik pikirannya, melainkan kenyataan bahwa orang-orang ini bersumpah menjaga senjata itu demi melindungi dunia... dan sekarang ia akan merebutnya. "Aku tidak datang untuk merampas," ujar
Salju masih turun deras, menutupi jejak kaki yang memanjang di antara tebing-tebing tajam Pegunungan Salju Utara. Nafas Li Feng mengepul di udara dingin, matanya menyipit menatap gerbang batu raksasa yang berdiri sunyi di tengah kabut. "Huh... jadi ini tempatnya," gumamnya pelan, menggenggam erat peta lusuh di tangannya. Garis-garis kasar di peta itu mengarah tepat ke gerbang batu yang tertutup ukiran naga bersisik perak. Tak salah lagi—di balik gerbang itu tersembunyi senjata legendaris yang selama ini dicarinya. Tapi... ada yang aneh. "Kenapa... terasa seperti sedang diawasi?" bisiknya, tengkuknya meremang. Tiba-tiba— "WUSHH!" Anak panah melesat, nyaris menghantam pundaknya! Li Feng berguling ke samping, lalu mencabut pedangnya. "Siapa di sana?! Tunjukkan dirimu!" Tak ada jawaban. Tapi dari balik kabut, siluet-siluet muncul perlahan—tubuh-tubuh berjubah hitam dengan simbol naga
Angin menggigit menusuk kulit, mencambuk wajah seperti cambuk tak kasat mata yang kejam. Salju turun tiada henti, memburamkan pandangan dan menutupi jejak langkah siapa pun yang berani melintasi Pegunungan Salju Beiwan. Di sinilah Li Feng berlari. Napasnya membeku, tubuhnya dilumuri darah beku dan keringat dingin. Di tangan kirinya tergenggam erat peta kuno yang kini basah oleh salju, dan di tangan kanannya... ya, Pedang Naga Langit yang tak pernah benar-benar diam. "Hah... hah... Astaga... apakah mereka tidak akan berhenti memburuku?!" desah Li Feng, matanya memelototi lereng putih di belakangnya. Dari kejauhan, suara kaki kuda menginjak salju bergema seperti genderang perang. Pasukan negeri seberang, berjumlah puluhan, mengejar tanpa henti. Mereka telah mengetahui bahwa Li Feng memegang peta menuju salah satu senjata legendaris Kekaisaran — Tombak Awan Emas. Senjata yang, jika digabungkan dengan Pedang Naga Langit, akan membentuk kekuatan yang cukup u
Angin malam meniupkan udara dingin ke sela-sela jubah Li Feng. Ia berdiri di balkon belakang istana, memandangi langit malam yang diselimuti awan tipis. Di tangannya, selembar perkamen kuno tergenggam erat—peta yang baru saja diserahkan oleh Kaisar sendiri. Peta Harta Karun Kekaisaran. “Ini… sungguh tak masuk akal,” gumam Li Feng sambil menatap lekuk-lekuk gambar yang sudah nyaris pudar. Di dalam ruang rahasia istana, Kaisar telah memanggilnya secara pribadi. Tak ada saksi. Tak ada pengawal. Hanya suara pelan Kaisar dan tatapan matanya yang seakan penuh beban bertahun-tahun. “Li Feng… ini bukan sekadar misi. Ini adalah takdir yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di ujung utara kekaisaran, tersembunyi senjata yang bahkan Pedang Naga Langit tak mampu menandingi. Tapi untuk menemukannya… kau harus membaca peta ini dengan hati, bukan hanya mata.” Dan kini, ia memegang warisan itu. Tapi—hah—apa benar ia siap menanggung beb
Angin malam menyapu lembut daun-daun plum di halaman belakang Kedai Tianxiang. Aroma wangi dari sup rebusan khas musim gugur perlahan menguar dari dapur, bercampur dengan bayang-bayang nostalgia yang belum usai. Li Feng berdiri diam di bawah pohon tua itu—tempat ia dulu sering duduk diam sambil mencuci piring dan mendengarkan nyanyian kecil Xiao Lan. “Ah…” napasnya mengembus lirih. “Sudah sejauh ini aku melangkah.” Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Xiao Lan datang membawa secangkir teh panas, matanya lembut seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya, meski tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran yang dalam. “Kau kembali untuk tinggal?” tanyanya pelan. Li Feng menatap teh itu sejenak, lalu menggeleng. “Tidak. Hanya... ingin mengingat.” Ia menatap meja kayu tempat pertama kali ia duduk sebagai pelayan. “Tempat ini… seperti akar. Aku tak bisa mencabutnya dari hatiku.” Sebelum Xiao La
“Li Feng! Tunggu—!” Suara teriakan itu tertinggal jauh di belakang, tersapu angin malam yang menggigit. Langkah-langkah kuda memacu deras di jalanan berbatu, membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan selatan kekaisaran. Di bawah cahaya bulan separuh, wajah Li Feng terlihat letih, mata penuh bayang-bayang kenangan. Tangannya menggenggam erat tali kekang, seolah jika ia melepaskannya, maka seluruh ingatan tentang siapa dirinya akan ikut tercerai-berai. “Haah… haah…” napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kasatmata. Perang telah meledak ke segala penjuru, dan meski kemenangannya di beberapa medan telah menjadi buah bibir para jenderal, hatinya justru makin terasa hampa. "Aku… harus kembali," gumamnya lirih, seperti mengingatkan diri sendiri. "Kembali ke tempat semuanya dimulai…" Tiga hari perjalanan, dan akhirnya ia tiba di gerbang kota tua itu. Tianxiang.
Hening. Itulah yang pertama kali dirasakan Li Feng saat menatap hamparan tanah luas di perbatasan selatan Kekaisaran. Tapi di balik keheningan itu… ah, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena angin musim semi yang mengalir dari pegunungan, tapi karena ia tahu—ini hanya ketenangan sebelum badai. “Li Feng,” suara berat itu datang dari sosok bertopeng yang berdiri di sampingnya, pendekar misterius dari negeri seberang yang kemarin malam menyatakan diri sebagai sekutu. “Ya?” Li Feng tak menoleh, tatapannya masih terpaku ke garis cakrawala. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tanah yang akan segera dipenuhi darah. “Pasukan utama dari Kerajaan Timur Laut telah bergerak. Mereka tidak hanya datang untuk mengambil perbatasan. Mereka ingin menaklukkan seluruh kekaisaranmu.” Hah! Li Feng menghela napas. “Kuharap kau bergurau.” “Sayangnya tidak.” Diam. Tak ada suara lagi selain deru a
"Apa ini… neraka?" gumam Li Feng, suara seraknya tenggelam di antara asap hitam dan nyala api yang masih berkobar.Udara masih berbau daging terbakar. Tanah di bawahnya retak-retak, basah oleh darah dan air hujan yang baru saja reda. Sisa-sisa benteng kayu yang terbakar menjadi puing-puing hitam yang berserakan. Pasukan dari negeri seberang telah dipukul mundur. Tapi harga yang dibayar… ah, terlalu mahal.Li Feng berdiri tertatih di atas reruntuhan menara pengawas, tubuhnya penuh luka. Bajunya robek di banyak tempat, dan di baliknya, kulitnya memar, berdarah, dan kotor. Pedang Naga Langit di tangannya… nyaris tidak bercahaya. Tenaganya hampir habis. Tapi lebih dari itu—jiwanya terkuras."Jenderal Li! Anda tak apa-apa?" seruan seorang prajurit membuatnya menoleh. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia belum sendirian. Masih ada yang selamat. Masih ada yang menggantungkan harapan padanya."Ang… angkat yang terluka! Jangan biarkan