"Li Feng... bangunlah..."
Suara itu... lembut namun seperti sembilu yang menusuk ke dalam jiwanya. Li Feng perlahan membuka matanya. Aroma obat dan kayu cendana memenuhi hidungnya. Langit-langit istana kekaisaran melengkung di atasnya, dihiasi lukisan naga dan awan keemasan. Namun tak ada keindahan yang mampu menutupi luka di hatinya. Luka yang baru. Luka yang nyata. Luka karena kehilangan. "Putri Ling’er..." bisiknya, nyaris tak terdengar. Hatinya kembali dihantam gelombang kesedihan. Wajahnya yang cantik, tawa riangnya, semangatnya yang menyala saat di medan perang—semuanya kini hanya tinggal kenangan yang menggantung di benaknya seperti hantu. "Dia menyelamatkan kita semua," suara Panglima Wei terdengar dari dekat. Lelaki tua itu duduk di sisi tempat tidur, mengenakan jubah perang yang lusuh, namun matanya tetap tajam. "Kalau bukan karena dia menahan pasukan pemberontak di sisi barat... kita takkan sempat tiba untuk memb“Apa itu…?” Langit pagi yang biasanya tenang kini ternoda oleh awan kelabu yang menggulung tebal di ufuk timur. Di atas menara pengintai gerbang timur istana, seorang prajurit muda tercekat melihat asap mengepul di kejauhan. Wajahnya pucat. Tangan gemetar saat mengangkat bendera merah tanda bahaya. Tak lama kemudian, suara lonceng darurat menggema di seluruh ibu kota. GONG—! GONG—! GONG—! Jeritan warga, derap kuda, dan teriakan komandan menggema di sepanjang jalan utama. Kekaisaran kembali diguncang. Di dalam ruang pertemuan militer, suasana tegang menyelimuti. Semua pejabat tinggi, jenderal, dan panglima berdiri mematung. Mata mereka tertuju pada satu sosok yang kini duduk di kursi kehormatan, mengenakan jubah perang perak yang baru saja dianugerahkan Kaisar. Li Feng. Namun, di balik matanya yang tajam, tersimpan badai yang belum reda. Luka di dadanya akibat pertarungan dengan Jenderal Zhao masih b
“Apa... mereka sudah menyeberangi Sungai Jing?” Suara Panglima Wei terdengar berat, menggantung di udara seperti awan gelap sebelum hujan badai. Angin pagi di halaman istana terasa dingin menusuk, seolah menyesap ketegangan dari seluruh penjuru kekaisaran. Li Feng berdiri di sampingnya, mengenakan zirah perang yang baru saja diserahkan oleh istana. “Benar, Panglima. Utusan dari Benteng Liang membawa kabar bahwa pasukan Negeri Barat sudah membakar dua desa perbatasan.” “Celaka! Mereka datang lebih cepat dari yang kita perkirakan!” Deg. Hati Li Feng mencelos. Ia baru saja menyelesaikan pertarungan hidup-mati dengan Jenderal Zhao, luka di dada belum benar-benar sembuh, dan kini... perang lain menanti. Kaisar memandang ke kejauhan dari balkon utama istana. “Li Feng,” ucapnya pelan, tapi penuh tekanan. “Sebagai Jenderal Muda Kekaisaran, aku tugaskan engkau memimpin lima ribu pasukan utama menuju perbatasan barat. Negeri ini tak
“Langit memerah. Bukan karena senja, tapi darah yang tumpah.” “Hyaaaahh!” Li Feng menerjang ke depan, Pedang Naga Langit menari di tangannya. Debu beterbangan, jeritan prajurit terdengar bersahutan. Di sisi timur dataran terbuka dekat perbatasan, pasukan Kekaisaran bentrok hebat dengan pasukan negeri seberang—Negeri Xirong. “Li Feng! Mereka memukul dari arah kiri!” teriak Letnan Hu dengan napas tersengal. “Bertahan! Jangan biarkan mereka menembus garis pertama!” balas Li Feng sambil menangkis satu tombak yang nyaris menusuk lehernya. Duar! Ledakan dari panah api menghantam kereta suplai. Api menjilat tinggi, membakar tubuh-tubuh tak bernyawa yang belum sempat diangkat. Bau daging terbakar menyusup ke hidung, membuat perut para prajurit mual. “Arghh!” Seorang serdadu muda tumbang tepat di depan Li Feng. “Jenderal... aku... aku ingin pulang...” Li Feng menggertakkan gigin
“Haahh… haahh…!” Napas Li Feng memburu. Bajunya robek, kulitnya hangus di beberapa tempat, dan darah menetes dari sudut bibirnya. Langit di atasnya hitam pekat, bukan karena malam, tapi karena asap yang membumbung tinggi dari benteng kayu yang terbakar hebat. Benteng Pingyuan. Api berkobar ke segala arah. "Gila... ini neraka," desisnya. “Li Feng! Ke kiri!” teriak Putri Ling’er dari balik reruntuhan. Brak! Sebuah balok terbakar jatuh hanya beberapa jengkal dari tempat Li Feng berdiri. Panasnya menyengat kulit, membuat keringatnya mendidih di atas luka-luka terbuka. Dan di tengah kobaran api itu… berdiri sosok tinggi besar, tubuhnya dilapisi baju perang kehitaman, dan tatapannya tajam bagaikan pisau. Jenderal Raksasa dari Negeri Timur: Wei Long. Musuh baru yang bahkan lebih mengerikan dari Jenderal Zhao. "Aku sudah dengar tentangmu, Li F
"Apa ini… neraka?" gumam Li Feng, suara seraknya tenggelam di antara asap hitam dan nyala api yang masih berkobar.Udara masih berbau daging terbakar. Tanah di bawahnya retak-retak, basah oleh darah dan air hujan yang baru saja reda. Sisa-sisa benteng kayu yang terbakar menjadi puing-puing hitam yang berserakan. Pasukan dari negeri seberang telah dipukul mundur. Tapi harga yang dibayar… ah, terlalu mahal.Li Feng berdiri tertatih di atas reruntuhan menara pengawas, tubuhnya penuh luka. Bajunya robek di banyak tempat, dan di baliknya, kulitnya memar, berdarah, dan kotor. Pedang Naga Langit di tangannya… nyaris tidak bercahaya. Tenaganya hampir habis. Tapi lebih dari itu—jiwanya terkuras."Jenderal Li! Anda tak apa-apa?" seruan seorang prajurit membuatnya menoleh. Suaranya lemah, tapi cukup untuk membuatnya sadar bahwa ia belum sendirian. Masih ada yang selamat. Masih ada yang menggantungkan harapan padanya."Ang… angkat yang terluka! Jangan biarkan
Hening. Itulah yang pertama kali dirasakan Li Feng saat menatap hamparan tanah luas di perbatasan selatan Kekaisaran. Tapi di balik keheningan itu… ah, jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena angin musim semi yang mengalir dari pegunungan, tapi karena ia tahu—ini hanya ketenangan sebelum badai. “Li Feng,” suara berat itu datang dari sosok bertopeng yang berdiri di sampingnya, pendekar misterius dari negeri seberang yang kemarin malam menyatakan diri sebagai sekutu. “Ya?” Li Feng tak menoleh, tatapannya masih terpaku ke garis cakrawala. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti tanah yang akan segera dipenuhi darah. “Pasukan utama dari Kerajaan Timur Laut telah bergerak. Mereka tidak hanya datang untuk mengambil perbatasan. Mereka ingin menaklukkan seluruh kekaisaranmu.” Hah! Li Feng menghela napas. “Kuharap kau bergurau.” “Sayangnya tidak.” Diam. Tak ada suara lagi selain deru a
“Li Feng! Tunggu—!” Suara teriakan itu tertinggal jauh di belakang, tersapu angin malam yang menggigit. Langkah-langkah kuda memacu deras di jalanan berbatu, membelah kabut tipis yang menyelimuti perbukitan selatan kekaisaran. Di bawah cahaya bulan separuh, wajah Li Feng terlihat letih, mata penuh bayang-bayang kenangan. Tangannya menggenggam erat tali kekang, seolah jika ia melepaskannya, maka seluruh ingatan tentang siapa dirinya akan ikut tercerai-berai. “Haah… haah…” napasnya berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kasatmata. Perang telah meledak ke segala penjuru, dan meski kemenangannya di beberapa medan telah menjadi buah bibir para jenderal, hatinya justru makin terasa hampa. "Aku… harus kembali," gumamnya lirih, seperti mengingatkan diri sendiri. "Kembali ke tempat semuanya dimulai…" Tiga hari perjalanan, dan akhirnya ia tiba di gerbang kota tua itu. Tianxiang.
Angin malam menyapu lembut daun-daun plum di halaman belakang Kedai Tianxiang. Aroma wangi dari sup rebusan khas musim gugur perlahan menguar dari dapur, bercampur dengan bayang-bayang nostalgia yang belum usai. Li Feng berdiri diam di bawah pohon tua itu—tempat ia dulu sering duduk diam sambil mencuci piring dan mendengarkan nyanyian kecil Xiao Lan. “Ah…” napasnya mengembus lirih. “Sudah sejauh ini aku melangkah.” Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Xiao Lan datang membawa secangkir teh panas, matanya lembut seperti biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya, meski tersenyum, menyembunyikan kekhawatiran yang dalam. “Kau kembali untuk tinggal?” tanyanya pelan. Li Feng menatap teh itu sejenak, lalu menggeleng. “Tidak. Hanya... ingin mengingat.” Ia menatap meja kayu tempat pertama kali ia duduk sebagai pelayan. “Tempat ini… seperti akar. Aku tak bisa mencabutnya dari hatiku.” Sebelum Xiao La
Langit di atas Gunung Esmeralda tampak kelabu, seolah menyatu dengan kabut pekat yang menggulung di sekitar kaki gunung. Aroma tanah basah dan darah yang lama mengering menyelimuti udara. Li Feng berdiri tegak, matanya menatap tajam sosok berjubah hitam di hadapannya—Penjaga Gerbang Neraka. Di tangan kanannya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggerogoti udara."Hancurkan pedang itu sekarang juga, sebelum terlambat," ujar si Penjaga, suaranya datar namun tegas. Tak ada emosi, hanya keyakinan.Li Feng menggeleng perlahan. "Tidak. Pedang ini telah membawaku sejauh ini. Ia bukan hanya senjata, tapi saksi dari segala pengorbanan.""Pengorbanan? Hmph," suara si Penjaga merendah seperti gemuruh jauh di bawah tanah. "Itu hanya awal. Kutukan pedang itu tidak mengenal belas kasihan. Ia akan membunuh semua yang kau cintai. Satu demi satu.""Bohong!""Apakah kau benar-benar yakin?"Tiba-tiba, dunia d
Kabut hitam yang menggulung lembah seakan berhenti bergerak. Angin mendadak lenyap. Suasana di makam kuno itu seperti membeku. Suara langkah kaki menggema… pelan, berat, dan dalam. Duk… Duk… Duk… Li Feng berdiri membatu. Tubuhnya masih terbungkus jubah yang koyak oleh pertempuran sebelumnya, darah kering di bahunya belum sempat dibersihkan. Di hadapannya, dari balik gerbang batu yang setengah runtuh, muncul sosok berjubah hitam. "Siapa… kau?" gumam Li Feng, nafasnya terengah. Sosok itu tak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan ke tengah altar batu yang dikelilingi patung pendekar tua. Suara langkahnya seperti gema dari dunia lain. "Hahh… Astaga… hawa ini…" Li Feng memegangi dadanya. Pedang Naga Langit di punggungnya mulai bergetar. Tidak seperti biasa. Getaran itu terasa… seperti ketakutan. Lalu, suara berat itu terdengar. "Aku adalah Penjaga Gerbang Neraka." Apa?!
Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan darah yang belum kering dari pertempuran semalam. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar menyayat, seolah ikut meratapi nasib yang tertulis malam itu. Di balik bayang-bayang pepohonan gelap, seorang pria muda melangkah pelan, membawa luka dalam dada yang tak kasat mata. "Ling’er..." bisik Li Feng, nyaris tanpa suara. Sehelai kain merah—robek dan ternoda darah—masih tergenggam erat di tangannya. Panah yang menancapkannya di batang pohon telah ia patahkan, tetapi rasa sakit yang ditinggalkan lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia terima. Ling’er... ditangkap. Ling’er... terluka. Dan ia... gagal. "ARGHHH!!!" Pekikan itu menggema di hutan, menggetarkan dedaunan dan membuat burung-burung malam beterbangan. Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya menggenggam tanah. Gigi terkatup rapat, rahangnya bergetar. Luka di bahu kirinya belum kering, tetapi amarah dan rasa
"Ling’er! Ling’er!!" Li Feng menerobos asap tebal dan kobaran api yang menjilat langit malam. Debu, bara, dan darah bercampur jadi satu. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya koyak oleh pertempuran, namun matanya liar mencari satu sosok—sosok yang ia rindukan, yang tak pernah ingin ia lepaskan lagi. Tapi... kosong. "Tidak!!" Ia berlari menuju tenda tempat terakhir ia melihat Putri Ling’er. Di sana—puing-puing tenda terbakar, bercak darah segar, dan... sehelai kain merah. Kain itu, terburai ditiup angin malam, tertancap panah hitam panjang di ujungnya. Jantung Li Feng seakan diremas. Ia berlutut. Tangannya gemetar saat ia menyentuh kain merah itu. Bekas sobekan di pinggirnya—ia mengenalinya. Itu dari gaun tempur milik Ling’er. Gaun yang ia pilihkan sendiri, saat mereka bersiap menyambut serangan pertama dari musuh. “Supaya kau bisa bertarung dengan tetap anggun,” katanya waktu itu. Dan ia tertawa, jenaka seperti biasa.
Langit malam begitu pekat. Bintang-bintang seolah lenyap di balik selimut mendung yang menggantung berat. Suara jangkrik yang biasanya mengiringi malam terasa sunyi, terlalu sunyi. Seolah seluruh alam menahan napas. "Hm?" Li Feng membuka matanya perlahan. Dada kirinya terasa sesak. Entah kenapa, firasat buruk menyelimutinya, membuat tengkuknya dingin meski api unggun masih menyala di tengah kamp. Baru saja ia hendak bangkit dari balai-balai tempatnya beristirahat, terdengar pekikan—keras, tajam, memilukan! "Serangaaaan!! Musuh menyerang!!" BRAAAK! Tembok kayu sisi utara roboh dihantam benda berat. Api menyala dari arah dapur logistik. Dalam hitungan detik, kamp utama kekaisaran berubah menjadi neraka di tengah malam. "Ling’er!! Di mana Putri Ling’er!?" Li Feng melonjak bangun, menghunus Pedang Naga Langit yang kini bersinar samar, seolah menyerap cahaya kebencian di sekelilingnya.
Gubrak! Kursi di ruang sidang Dewan Perang jatuh ke lantai ketika Li Feng berdiri mendadak. Matanya menatap lurus ke depan, namun dunia di sekelilingnya seolah memutar cepat dan memudar. "Jenderal Yu…?" gumamnya, nyaris tak terdengar. "Mustahil…" Tetapi tatapan kosong para perwira dan ekspresi getir Kaisar mengkonfirmasi satu hal: ini bukan kesalahan. Ini kenyataan. Pahit dan tajam. Jenderal Yu, lelaki tua yang selama ini dianggap sebagai pilar setia kekaisaran… ternyata bagian dari konspirasi yang selama ini menghancurkan negeri. "Aku... tak percaya...," desis Li Feng. "Feng'er, kendalikan dirimu," bisik Putri Ling’er di sampingnya. Ia menggenggam lengan pemuda itu erat-erat, seakan mencoba menahan tubuh Li Feng yang nyaris roboh oleh beban kabar itu. Namun hatinya bukan hanya remuk oleh pengkhianatan Jenderal Yu. Ada hal lain. Sebuah nama yang berputar-putar dalam pikirannya, t
Udara pagi di ibu kota terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman dalam Istana Timur, tempat Dewan Perang biasa berkumpul. Suara langkah kaki terdengar nyaring memecah keheningan, disusul oleh suara pintu besar yang berderit pelan saat dibuka. "Masuklah," ujar suara berat Jenderal Panglima Wei, tatapannya tajam menelusuri satu per satu wajah para jenderal dan penasihat yang hadir. Ia mengenakan jubah perang dengan benang emas di bahunya, lambang kepercayaan penuh dari Kaisar. Li Feng berdiri di sudut ruangan, dengan tatapan waspada. Ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak laporan tentang dokumen rahasia yang dibakar tersebar. Ia tahu, ada pengkhianat di antara mereka—dan pagi ini, kebenaran itu akan terungkap. "Tutup pintunya," perintah Panglima Wei. Suasana menjadi hening. Tak ada suara selain napas tertahan dan detak jantung yang memburu. Panglima Wei mengangkat satu gulun
“Hah… terlalu banyak darah di tanah ini,” desah Kaisar perlahan, memandang keluar jendela ruang strateginya. Mata tuanya, yang dulu tajam dan penuh wibawa, kini suram dan bergetar. Di luar, langit kelabu seperti ikut meratap. Asap tipis mengepul dari kejauhan — sisa-sisa serangan malam yang telah merenggut ratusan nyawa. Tanah kekaisaran, dulu damai, kini nyaris tak bisa dibedakan dari medan perang. “Ampun, Paduka…” suara Perdana Menteri Han bergetar. “Jika kita tak bertindak segera, gerbang selatan bisa jatuh dalam dua hari.” “Dua hari?” Kaisar memalingkan pandangan. “Tidak. Mereka akan menyerang malam ini.” Seketika ruangan itu hening. Bahkan para jenderal yang berdiri di sisi kanan dan kiri ruangan saling pandang, kaget. “Mal—malam ini, Yang Mulia?” tanya Jenderal Mo sambil menahan napas. Kaisar mengangguk. “Aku bisa merasakannya. Mereka sudah menyusup terlalu dalam. Bahkan dalam mimpiku, ak