Beranda / Fantasi / PARALLEL / Sang Pemburu Harta Karun

Share

Sang Pemburu Harta Karun

Vladivostok, Mei 2025

Alternatif tempat kedua setelah rumah sakit adalah kantor polisi. Xabi berhasil masuk ke sana dengan lancar. Ia sengaja memilih tempat beraksi tak jauh dari kantor polisi di Nadibaide St. agar langsung digiring ke sana setelah ketahuan. Ia merasa bersalah pada si gadis manis, tapi apa boleh buat. Ia butuh tempat bermalam. Agnes benar-benar tak berperasaan mengusirnya malam-malam begini. 

Polisi yang sedang bertugas menyita semua barang-barangnya dan memasukkan gadis itu ke sebuah sel kosong. Hari sudah larut dan mereka memutuskan akan memproses kasusnya esok pagi. Xabi mencoba tidur sambil duduk. Ia berharap malam itu tidak terlalu dingin karena kaus dan celana panjang yang dikenakannya adalah baju untuk musim panas. 

“Hari yang melelahkan, eh?” sapa suara berat dari sel seberang. Nampaknya hampir semua sel kosong. Hanya dua ruangan paling dekat pintu depan yang saling berhadapan ini yang berisi. 

Xabi merasa pernah mendengar suara itu entah di mana. Namun, ia lupa dan enggan bereaksi karena lelah. Ia berharap bisa tidur secepatnya. 

“Hei Nona, Kau sengaja masuk ke sini ya?” 

Mendengar hal itu Xabi mencondongkan wajahnya keluar agar melihat wajah lawannya lebih jelas lalu ia melempar tatapan yang kurang lebih berarti ‘Bagaimana kau bisa tahu?’ 

Pemuda itu melakukan hal yang sama dan tertawa kecil. 

“Tidak ada orang masuk sel dengan wajah sebahagia itu,” ledeknya. “Kau tidak punya rumah atau bagaimana? Kenapa bisa ada di sini?” 

“Aku punya harta karun tapi tidak bisa mengambilnya,” jawab Xabi asal. 

“Hahahaha! Bisa bicara juga ternyata. Kalau ucapanmu benar, kau telah bertemu orang yang tepat!” 

“Maksudnya?” 

“Namaku Wayne, aku seorang pemburu harta karun.” 

Xabi memandang heran tangan pria yang terulur dari dalam sel. “Kau tahu tanganku tidak sepanjang itu, 'kan?” 

“Oh, baiklah. Siapa namamu?” 

“Xavier.” 

“Kau serius soal harta karun itu, 'kan?” 

“Entahlah. Aku hanya tahu lokasinya. Teman-temanku bilang tinggal menungguku untuk eksekusi. Tapi keadaanku tidak memungkinkan.” Xabi memandang lurus kakinya yang masih belum bisa digunakan secara maksimal. 

“Di mana letaknya?” 

“Ada di ponselku dan para polisi itu menyitanya.” 

“Bagaimana kalau kita bekerja sama?” tawar Wayne. “Aku akan membantumu mendapatkan harta itu lalu kita bagi tujuh banding tiga setelah dikurangi semua biaya modal.” 

“Aku punya tawaran yang lebih bagus,” usul Xabi. “Keberadaan harta ini masih belum jelas. Aku akan memberitahu lokasinya pada kalian. Setelah memastikan ada harta di sana, kau harus membayar biaya kepulanganku ke Indonesia dengan tambahan sedikit biaya kompensasi. Harta karunnya ada di negara ini, kau boleh memiliki semuanya.” 

Wayne tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya tapi ia masih cukup waras untuk bertanya, “Bagaimana kalau ternyata hartanya tidak ada?” 

“Itu kemungkinan terburuk, tapi kau tidak bisa memintaku untuk mengganti kerugian yang kau alami karena sejak awal kau bersedia menerima kesepakatan ini. Anggap saja kau sedang berlibur dan bukan mencari harta karun. Kalau kau menolak, aku akan menarik lokasiku.” 

“How clever! kto ty devochka? (Pintar sekali! Siapa kau, Nona?” 

Senyum licik Xabi terkembang sambil mengatakan dalam hati bahwa ia adalah monster yang menyebabkan masalah serius. 

Seorang polisi datang dan membuka pintu sel Wayne. Xabi hanya bisa memandang mereka berlalu sambil menebak-nebak ke mana sang pemburu harta karun pergi. Satu jam lamanya Wayne tak kembali hingga gadis itu tertidur karena lelah. Namun, polisi yang tadi menjemputnya kembali datang dan membuka sel Xabi. Dengan sedikit kasar ia membangunkan dan meminta Xabi segera keluar. Gadis itu terpaksa bangkit dan keluar dengan malas. 

Betapa kagetnya Xabi mendapati kenyataan bahwa ia telah bebas. Polisi yang tadi menangkapnya menyerahkan semua barang-barangnya dan mengantarnya keluar. Gadis itu meneteskan air mata karena lapar dan lelah. Ia baru saja berpikir untuk kembali pada Agnes ketika sebuah mobil berhenti di hadapnnya. Jendela pintu depan mobil terbuka dan Wayne menyapanya. 

“Ey, detka. My dogovorilis’? (Apa kita sudah sepakat, Nona?)” 

Mau tak mau Xabi tersenyum dan cepat-cepat menghapus air matanya. 

***

Keesokan harinya Xabi merasa sepuluh kali lebih sehat karena mendapat tidur dan makan yang cukup. Ia menghabiskan waktunya setelah sarapan dengan mondar-mandir di ruang tamu kediaman Wayne yang cukup besar. Awalnya ia menggunakan dua tongkat, lama-lama, ia mencoba menggunakan satu saja. 

Kelakuan gadis berambut gimbal itu lantas membuat asisten Wayne, Ravil Isyanov merasa terganggu. Dari lantai dua tempatnya menganalisis ponsel Xabi, ia memandang sebal anggota baru yang seenaknya direkrut oleh sang ketua dari penjara. 

Belum ada yang tahu dan peduli jika Ravil terpaksa menggunakan uang pribadi untuk menebus Wayne yang ditangkap polisi karena mabuk dan mengamuk di bar. Ia telah menunggu hingga tiga hari agar paling tidak bosnya merasa kapok dan tidak mengulangi lagi keusilannya. Hasilnya, Wayne justru memintanya untuk membawa uang tambahan dalam rangka menebus anggota baru yang katanya berpotensi memberikan informasi tentang posisi harta karun. Melihat penampilan Xabi yang gimbal dan pincang, asisten ketua merangkap asisten rumah tangga itu tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya. 

“Bisa kau hentikan itu?” tanya Ravil dengan nada sinis. 

“Ups! Maaf, aku akan melakukannya di kamar.” Gadis itu baru saja akan meninggalkan lantai bawah ketika Wayne masuk dan menyeruak naik tangga. 

“Anggap saja rumah sendiri, Xav!” celetuknya. 

Tentu saja Xabi bingung mendengarnya. Wayne adalah pemilik rumah dan ia bersikap sangat baik padanya. Sedangkan Ravil terlihat jelas tidak menyukainya. Akhirnya Xabi hanya duduk di anak tangga terbawah sambil mengamati sinar matahari yang menyeruak masuk dari pintu depan. 

“Dokumen rumah ini sudah aku gadaikan,” ujar Ravil menyambut bosnya.

“Apa?” Wayne belum sempat duduk dan tentu saja kaget mendengarnya. Bangunan simetris berlantai dua yang berhias jendela di tiap ruang depan dan berada di daerah pinggir kota adalah aset tunggalnya. 

“Kau pikir darimana aku mendapatkan uang untuk menebus kalian, hah? Lagipula kalau informasi ini benar dan kita dapat hartanya, kau bisa menebusnya kembali, ok? Ka-lau harta itu memang benar-benar ada.” 

Mendengar hal itu Xabi merasa peringkat satu orang paling menyebalkan dalam hatinya telah terisi sebuah nama. 

“Baiklah, kau dapat sesuatu, Rav?” Wayne duduk di dekat meja kerja asistennya. 

“Posisinya agak … tidak masuk akal.” Ravil menunjukkan lokasi yang dimaksud Xabi dari laptopnya, letaknya jauh di utara. 

“Xav?” 

“Teman-temanku di sana, kalau kau melihat mereka di tempat itu, bisa dipastikan positif!” Xabi berteriak memastikan suaranya terdengar. 

“Kau dengar? Minta Sergei membawa Yuri dan Annet ke sana!” pinta Wayne. “Setelah memastikan hartanya ada, kau harus mempersiapkan tiket dan keperluan Xavier untuk kembali ke negaranya.” Wayne mengedipkan sebelah matanya pada Ravil. Pemuda pirang berusia dua puluhan itu merasa muak. Ia dan bosnya sama-sama bajingan, tapi bosnya lebih pandai mengelabuhi orang dengan sikap pura-pura baiknya. 

‘Aku berbeda, aku jahat dan tidak munafik,’ ujarnya dalam hati setiap kali meyakinkan diri sebelum bertindak. 

“Aku tidak sabar menunggu kepulanganmu, Nona Xavier,” sindir Ravil malas. 

“Dan aku akan sangat merindukanmu Isyanov!” sahut Xabi tak kalah ketus.  

“Whoa.. whoa! Sejak kapan kalian seakrab ini?” Wayne mencoba mengendalikan tekanan udara yang panas akibat tekanan emosi antara dua anak buahnya. “Santai saja Xavier, Ravil tidak akan menggigitmu.” 

“Aku bisa melihatnya!” 

“Dan kau Ravil, jaga bahasamu, sebisa mungkin buat ia merasa nyaman.” 

“Akan kulakukan yang terbaik!” 

“Bagus! Pertahankan itu, bagaimanapun, kita adalah keluarga. Seluruh anggota Pandora Box adalah keluarga.” 

“Maaf, Wayne. Ada berapa banyak anggota kelompok ini?” tanya Xabi. 

“Ditambah kau sebagai anggota baru dan aku sebagai ketua semuanya tujuh orang.” 

“Aku harap bisa bertemu anggota lainnya sebelum pulang.” 

“Yak tentu saja, kenapa tidak?” 

“Apakah Pandora Box memiliki izin khusus? Dan kartu anggota mungkin?” Xabi memegangi dua dog tag yang menjuntai dibalik bajunya. Sisa dari organisasi tempatnya bekerja dulu yang bahkan belum diingatnya. 

Wayne tertawa dan Ravil yang menjawab, “Tidak dan tidak. Kami hanya mencari harta karun dan langsung pergi setelah mengambilnya.” 

“Aha! Terdengar menyenangkan!” Xabi bangkit dan mengambil kedua tongkatnya. “Aku akan meneruskan latihan berjalan di kamar.” 

‘Siapa tahu aku harus segera berlari cepat dalam waktu dekat ini,’ sambungnya dalam hati. 

***  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status