Menara Trophaeum, Mei 2025
Gadis itu mendekati dua belah pintu besar dengan tertatih-tatih. Mantel bulu musim dingin yang ia kenakan terkoyak di sana-sini dan staminanya telah terkuras habis. Ia mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mendorong kedua pintu itu hingga terbuka. Angin badai salju seketika menerpa wajahnya yang langsung mengeras karena sensasi dingin. Sebuah pemandangan serba putih karena dominasi butiran salju juga turut menyambut. Perlahan ia maju hingga tembok pembatas puncak menara dari bangunan setinggi dua ratus meter di atas pegunungan. Sebenarnya ia sudah terlalu letih, tetapi masih ada satu hal lagi yang harus dilakukan. “Ayolah! Kau bisa melakukannya, Xabi!” bisiknya menyemangati diri sendiri. Bagian atas tembok pembatas hanya setinggi dada. Ia membersihkan salju di area yang akan digunakan untuk berpijak. Ia harus cepat atau salju akan segera menutupinya kembali. Gadis itu kemudian melepas kedua sarung tangan dan sepatu, lalu menata mereka seolah ia akan datang dan menggunakannya lagi. Xabi menaiki dinding pembatas dan berusaha berdiri tegap di atasnya. Angin beserta phobia akan ketinggian membuat tubuhnya limbung. Ia menutup mata menahan rasa dingin dan sakit. Ada sesak di dada yang membuatnya ragu. Ia ingin menangis dan berteriak. Namun, air matanya telah beku dan tenggorokannya tercekat. Gadis itu membuka mata, ia tidak ingin melakukannya dengan mata tertutup. Sekali lagi diamatinya keadaan sekitar. Tidak ada satu orang pun, bahkan mereka yang tadi mengejar dan menghalangi juga sudah tidak terasa keberadaanya. Ia menarik napas pendek dan mengembuskannya untuk yang terakhir kali lalu menghambur ke depan dengan kedua tangan terentang seolah hendak memeluk sang kekasih. Sang badai pun menyambut dengan kebisuan dan kebekuan yang tiada terkira. Tubuh itu berpacu dengan salju. Angin dan gravitasi mempercepat laju keduanya untuk sampai ke permukaan tanah. ***Vladivostok, Mei 2025Xabi terbangun dari tidurnya. Matanya langsung terbelalak dengan napas pendek-pendek. Ia baru saja bermimpi jatuh dari tempat yang sangat tinggi. Butuh beberapa detik untuk mengembalikan semua kesadarannya. Lampu ruangan terlalu temaram hingga ia hampir tidak bisa melihat apapun kecuali selimut putih yang menutupi bagian dada hingga kaki.Bau cairan infus yang menguar dan adanya benda yang menempel di tangan kanan membuat Xabi merasa ia sedang berada di rumah sakit. Ia pun menekan sebuah tombol di samping kasur yang menurut hematnya adalah alat pemanggil perawat.
Tak lama kemudian pintu terbuka dan memberikan sinar tambahan yang membuat Xabi sadar betapa luasnya ruangan itu dan jarak antar pasien hanya dibatasi tirai. Siluet wanita berambut panjang dan berjubah dokter berjalan mendekati setelah menutup pintu. Xabi bisa melihat dengan jelas karena wanita tersebut membawa sebuah lentera. Tirai pembatas ruang Xabi tersibak dan seorang wanita berwajah asing masuk. Ia meletakkan lentera di sudut ruangan dan memberikan botol kecil berisi kapsul-kapsul hijau. “Telan saja dua butir!” pintanya. “Itu hanya vitamin, untuk memastikan kau tidak pingsan setelah mencoba duduk seperti sebelumnya.” Xabi menurut dan kemudian mengamatinya mengutak-atik sebuah alat di meja nakas tepat di samping kepala. “Syukurlah kau sudah sadar. Mereka bilang kau akan bangun tapi kemudian meragukannya, aah, hanya membuatku tambah cemas. Kau mungkin agak terkejut tapi tenang saja. Kita pindah ke sini dan meninimalisir penggunaan alat-alat.” Wanita itu mengambil kembali botol obat dari tangan Xabi dan menukarnya dengan sebuah kotak hitam pipih. “Milikmu. Aku tahu kau masih dalam keadaan lemah, tapi Bos mengatakan kau harus secepatnya menyusul. Letak harta karun sudah dipastikan dan mereka menunggumu untuk proses eksekusi.” Dahi Xabi berkerut mendengarnya. Ia mengamati kotak hitam pipih di tangannya. ‘Sebuah ponsel mungkin?’ pikirnya. Ia mencoba menggerakkan mulut untuk bicara.“Maaf, Anda … siapa?”
Wanita asing berambut hitam tebal itu melihat Xabi untuk pertama kalinya dengan serius. Gadis lemah itu menatapnya kosong. “Kau tidak apa-apa?” “Sepertinya begitu. Maaf, Anda siapa? Sejak kapan saya di sini? Mana keluarga saya?” Mata besar dan biru sang wanita dari balik kacamata kecil berframe tebal itu jelas menunjukkan bahwa ia sedang berpikir keras.“Kau bisa duduk?”
Xabi mengangguk dan sang wanita membantunya. Di luar dugaan, kepalanya terasa sangat berat dan berputar-putar. Ia segera meminum air mineral yang disodorkan sang perawat. Setelah beberapa saat dan dipastikan Xabi tidak pingsan, wanita tersebut duduk di kasur dan memegang pergelangan tangan Xabi yang dipasangi gelang pasien. “Namaku Agnes, aku perawat yang bertanggung jawab di sini. Bisakah kau menyebutkan nama lengkap dan tanggal lahir?” “Tentu, Xabi Amara Deratri, lahir 20 Agustus 1997, umur 17 tahun.” Agnes mengamati gelang pasien seolah mencocokkan informasinya. Ia sesekali melirik Xabi dengan heran. “Apa kau masih ingat nama yang sering kau gunakan saat bermain game?” “Ah ya, aku memakai nama Xavier saat bermain Dota.” “Karakter yang sering kau mainkan?” “Magical type damage character.” “Kapan pertama kali kau menjadi juara nasional?” “2013.” “Apa yang terjadi dua tahun setelahnya?” “Dua tahun? Bukannya sekarang masih 2014?”Agnes melepas tangan Xabi. Ekspresinya antara bingung dan marah. “Kau bercanda kan?” Xabi menggeleng. Wanita yang mengaku sebagai perawat itu menggigit kukunya. Ia tidak bisa memungkiri kepolosan yang ditunjukkan wajah Xabi. Namun, ia juga tidak ingin kejadian kaburnya salah satu penghuni fasilitas ini beberapa hari yang lalu terulang. “Bisakah kau memberiku makan? Aku lapar …” ujar Xabi setelah sekian lama Agnes larut dalam pikiran sendiri. “Oh! Baiklah, aku akan memindahkanmu dulu.” Agnes meraih sesuatu dari kantung jubahnya. Xabi agak terkejut mendapati Agnes mengeluarkan borgol dan mengaitkan tangan kirinya dengan bagian samping ranjang. “Tetap di sini. Aku akan mengambil kursi roda untuk membawamu.” Andai kepalanya tidak pening, Xabi akan memprotes habis-habisan tindakan Agnes. Rumah sakit mana yang memperbolehkan perawatnya memborgol pasien? Ia mencoba tak acuh karena hanya berpikir saja sudah cukup membuatnya mual dan ingin muntah. Apapun yang telah terjadi, kesehatannya harus membaik terlebih dulu agar ia bisa menanyakannya nanti. Perginya suster Agnes memberi kesempatan Xabi untuk mengamati kondisinya. Ia mencoba menggerakkan kaki tapi terasa berat karena ia tidak memiliki cukup tenaga. Ia menyibak selimut dan kaget melihat kedua kakinya kurus dan pucat. Begitu pula tangan dan tubuhnya. Sayang tidak ada cermin yang bisa digunakan untuk memeriksa wajah. Namun, Xabi tahu betul ada yang salah dengan rambutnya. Teksturnya tidak lagi terasa lembut dalam bentuk helaian melainkan dikepang kecil-kecil mulai dari kulit kepala hingga melewati bahunya sedikit. Xabi menarik napas panjang dan kemudian menyesal karena aroma cairan infus kini memenuhi rongga dadanya. Terlalu banyak hal yang ingin ia tanyakan. Situasinya saat ini lebih dari sekedar aneh dan rumah sakit ini ... tidakkah terlalu sunyi? Yang terdengar olehnya hanya tarikan napas melalui alat bantu pernapasan. Helaian napas itu sangat banyak dan sangat pelan. Seolah-olah suara itu bisa berhenti setiap saat lalu sesuatu menyerang Xabi secara tiba-tiba. Entahlah, yang jelas ia merasa terlalu lemah untuk merasa takut. Agnes tiba dengan kursi rodanya. Sebelum memindahkan Xabi, ia melepas kateter infus di tangan kanan dan borgol di tangan kiri. Di luar dugaan, tenaga Agnes sebagai perawat cukup besar. Ia mampu mengangkat dan membantu Xabi duduk di kursi roda. “Apakah mereka semua sedang tidur?” tanya Xabi ketika Agnes mendorong kursi melewati ranjang-ranjang pasien yang hampir semuanya telah berisi. Tirai yang tadi ia lihat hanya menutupi biliknya saja. Selebihnya tempat tidur itu berbaris rapi dan memenuhi ruangan. Masing-masing dilengkapi dengan kantung infus dan alat aneh di meja samping kepala. Jarak dari kasurnya ke pintu masuk membuatnya berkalkulasi ada sekitar lima puluh pasien atau lebih yang menempati ruang yang sama dengannya. “Da (Ya), Kau boleh menutup mata jika tidak ingin melihat.” Agnes terlihat jelas tidak ingin membahasnya dulu. Xabi terkesiap ketika melihat pemandangan luar untuk pertama kali. Kelap-kelip lampu pemukiman sama semaraknya dengan bintang gemintang di atas. Ada laut di bawah sana, berbatasan langsung dengan daratan yang agak menjorok ke dalam. Daratan itu tersambung dengan dua barisan pegunungan di ujung kanan dan kirinya hingga seolah membentuk sebuah kepala dengan dua tanduk. “Di mana ini?” tanya Xabi tanpa memalingkan pandangannya meski Agnes mendorong kursi roda di sepanjang beranda. “Vladivostok, wilayah timur Rusia.”***Vladivostok, Mei 2025Xabi mengamati benda kotak dan pipih di tangannya, Ia masih belum percaya benda ini adalah sebuah ponsel. Tidak ada tombol bahkan tempat baterai yang bisa dibongkar pasang. Belum lagi kameranya, satu di depan dan empat di belakang. Telepon genggam terakhir yang ia miliki adalah Blackberry paling tipis yang ia beli setelah memenangkan turnamen Dota 2.Suster Agnes memandanginya tak kalah takjub. Ia heran kenapa Xabi bisa melupakan semua yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan keberangkatannya ke Rusia sepuluh tahun silam juga telah terlupakan.Ia kembali memastikan apa saja yang diingat Xabi, mulai dari nama asli dirinya dan seluruh anggota keluarganya, tanggal lahir hingga daftar pertandingan game yang ia menangkan. Gadis kurus karena malnutrisi itu menjawab semuanya dengan benar. Namun, ketika ditanya tentang jenis pekerjaan dan jabatan yang dimilikinya saat ini, gadis itu mengeluh kepalanya sakit d
Vladivostok, Mei 2025Jalanan itu begitu lengang, para pejalan kaki yang berlalu lalang bisa dihitung dengan jari. Xabi duduk bersandar di sebuah halte bus mengamati toko-toko yang masih buka setelah matahari tenggelam. Sepintas kota itu mirip Jakarta dengan aroma berbeda. Ia sudah berada sejauh sepuluh kilometer dari fasilitas kesehatan. Setidaknya itu yang dikatakan pengemudi truk yang memberikan tumpangan gratis padanya.Gadis itu merasa tidak nyaman meninggalkan Agnes tapi apa yang baru didengarnya membuatnya memilih untuk lari. Sekitar dua jam yang lalu ia hendak mengembalikan Coove pada Agnes. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar perawat itu sedang berbicara dengan hologram yang duduk di depannya.Sang perawat tidak menyadari kehadirannya meski ia melihat ke luar langsung. Mungkin karena tertutup hologram pria yang bicara dengan suara berat itu. Xabi yang sempat melihat ke dalam sedikit memutuskan untuk tinggal dan menc
Vladivostok, Mei 2025Alternatif tempat kedua setelah rumah sakit adalah kantor polisi. Xabi berhasil masuk ke sana dengan lancar. Ia sengaja memilih tempat beraksi tak jauh dari kantor polisi di Nadibaide St. agar langsung digiring ke sana setelah ketahuan. Ia merasa bersalah pada si gadis manis, tapi apa boleh buat. Ia butuh tempat bermalam. Agnes benar-benar tak berperasaan mengusirnya malam-malam begini.Polisi yang sedang bertugas menyita semua barang-barangnya dan memasukkan gadis itu ke sebuah sel kosong. Hari sudah larut dan mereka memutuskan akan memproses kasusnya esok pagi. Xabi mencoba tidur sambil duduk. Ia berharap malam itu tidak terlalu dingin karena kaus dan celana panjang yang dikenakannya adalah baju untuk musim panas.“Hari yang melelahkan, eh?” sapa suara berat dari sel seberang. Nampaknya hampir semua sel kosong. Hanya dua ruangan paling dekat pintu depan yang saling berhadapan ini yang berisi.Xabi mera
Vladivostok, Mei 2025Tiga hari terasa cepat bagi Xabi yang menghabiskan waktunya untuk berlatih berjalan. Kini ia mampu berjalan dengan batuan satu tongkat saja. Sedikit terlambat memang, tapi ia mendapati akun bank dalam ponselnya masih memiliki sejumlah uang. Beruntung semua passcode yang digunakan adalah sidik jari dan retinanya.Dengan uang yang ia miliki, Xabi mengganti tongkat kayunya dengan pedang tebu berhias kepala elang di bagian pegangan. Sebuah revolver kecil untuk berjaga-jaga tak luput dibelinya dari toko senjata yang sama.Xabi juga memotong habis bagian rambutnya yang gimbal dan menyisakan rambut bob hingga bawah telinganya. Andai matanya tidak sipit, ia akan terlihat seperti gadis Perancis. Sedikit tambahan daging di area wajah akan membuatnya terlihat kembali nomal.“Apa kau mencari seseorang, Mademoisele?” sapa Wayne dari lantai dua ketika Xabi masuk dengan penampilan barunya.“Ini aku,
Vladivostok, Mei 2025“Сила есть , (Sheelah yest)” ujar suara di seberang.Kalimat singkat itu seolah menjadi kunci sebuah kotak ingatan Xabi yang kemudian terbuka sehingga gadis itu otomatis menjawab.“Ума не надо . (umah ni nahda)”“Xavier?”“Vasily.”“Seagull atau Pandora Box?”“Tidak keduanya.”“Bagus, tetaplah berjalan.”“Kenapa?”“Assassin dari Seagull sedang menuju markas Pandora Box.” Telepon ditutup.Xabi hanya mengingat kata sandi itu, sisanya adalah informasi dari Agnes dan inisiatifnya sendiri. Vasily mengontaknya dan hal itu seharusnya dihindari.Kini gadis itu justru bimbang. Apakah ia harus meneruskan perjalanannya atau kembali dan memperingatkan Ravil? Tunggu, kalau hanya memperingatkan ia bisa menggunakan ponselnya. Namun, R
Аппети́т прихо́дит во вре́мя еды́(Ahpeteet prihohdit va vryemya yedy)“Nafsu makan datang dengan makan.”Vladivostok, Mei 2025Pertandingan absurd sore itu bermula ketika Xabi mengizinkan Vash masuk. Melihat penampilan dan cara bicara Vash, sulit dipercaya ia adalah seorang assassin. Dengan mudah Xabi membuka pintu karena baik Wayne maupun Ravil selalu membiarkan pintu depan tidak terkunci sebelum jam sebelas malam.“Isyanov kau di dalam?”“Lihat siapa yang datang! Kupikir kau sudah lari ke ujung dunia,” sambutnya dari lantai dua yang dibatasi beranda kayu. “Apa maksudmu hah? Melarikan diri seperti itu.”“Ada tamu yang ingin bertemu Wayne.”“Dia sudah pergi, katakan untuk datang lagi nanti.” Ravil tidak suka jika lawan bicaranya mengalihkan pembicaraan.&nbs
Доверя́й, но проверя́й(daviryay noh praveryay)“Percaya tapi verifikasi”Vladivostok, Mei 2025Xabi tidur dengan keadaan kamar tanpa pintu dan Vash terikat di sudut kamar. Tentu saja tidurnya tidak nyenyak. Belum lagi ia mendapati Ravil sibuk melakukan sesuatu sepanjang malam. Persiapan untuk ke Vorkuta, katanya. Keesokan paginya Ravil pergi entah ke mana lalu kembali membawa makanan. Ah ya, tentu saja ia tidak bisa memasak karena dapur berantakan.“Bolehkah Vash makan bersama kita?” tanya Xabi saat Ravil memberikan jatah untuknya dan Vash.“Tidak bisa, dia sudah kalah dan aku tidak bisa membiarkannya kabur.”“Ты жульничаешь[1] (ty zhul’nichayesh), Isyanov!”“Berisik! Заткнись и ешь![2] (Zatknis’ I yesh’!)” hardik Ravil.Xabi membawa makanannya da
Ста́рый друг — лу́чше но́вых двух(Stahry drug luchsheh nohvyh dvukh)“Seorang teman lama lebih baik daripada dua teman baru.”Vorkuta, Mei 2025Jarak antara Vladivostok dan Vorkuta kurang lebih lima ribu kilometer. Setelah melakukan penerbangan selama dua puluh satu jam, Ravil dan seorang anggota Pandora Box lainnya bersiap hendak turun.“Apa kau bilang? Bekal makanan kita sudah habis?” tanya anggota yang baru dilihat Xabi untuk pertama kalinya. Menurut perkiraannya, pemuda itu pastilah Sergei.“Iya, Xavier yang menghabiskannya,” jawab Ravil santai membuat gadis itu terhenyak kaget. Ia memang makan hampir di sepanjang perjalanan, itu pun karena Ravil mengizinkan bahkan menyuapinya.“Kau ini! Nanti kita makan apa?” Sergei menepuk wajahnya sementara Ravil melirik Xabi. Ancaman akan memakan gadis itu akan segera te