Vladivostok, Mei 2025
Xabi mengamati benda kotak dan pipih di tangannya, Ia masih belum percaya benda ini adalah sebuah ponsel. Tidak ada tombol bahkan tempat baterai yang bisa dibongkar pasang. Belum lagi kameranya, satu di depan dan empat di belakang. Telepon genggam terakhir yang ia miliki adalah Blackberry paling tipis yang ia beli setelah memenangkan turnamen Dota 2. Suster Agnes memandanginya tak kalah takjub. Ia heran kenapa Xabi bisa melupakan semua yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan keberangkatannya ke Rusia sepuluh tahun silam juga telah terlupakan. Ia kembali memastikan apa saja yang diingat Xabi, mulai dari nama asli dirinya dan seluruh anggota keluarganya, tanggal lahir hingga daftar pertandingan game yang ia menangkan. Gadis kurus karena malnutrisi itu menjawab semuanya dengan benar. Namun, ketika ditanya tentang jenis pekerjaan dan jabatan yang dimilikinya saat ini, gadis itu mengeluh kepalanya sakit dan tidak mau menjawab. Ketika tiba giliran Xabi yang menanyakan perihal dirinya, suster Agnes bungkam. Ia hanya mengatakan bahwa bosnya yang bernama Okami akan datang dan menjelaskan semuanya. Terlalu rumit jika ia sebagai bawahan menjawab pertanyaan macam kenapa ia jadi kurus dan sulit berjalan, kenapa rambutnya berubah jadi gimbal, kenapa ia bisa berada sejauh ini dari keluarganya di Indonesia. Sebagai ganti tidak bisa menjawab ke mana sepuluh tahun masa hidupnya menghilang, suster Agnes mengajari Xabi menggunakan ponselnya. Bagaimana cara membuka kunci dengan sidik jari atau memindai retina, lalu membuka dan membalas pesan yang masuk. Xabi menunjukkan sebuah undangan di daftar email terbaru. Undangan ke acara reuni SMA yang diadakan secara virtual. Ia mengatakan keinginannya untuk hadir. Dengan teknologi masa kini, tentu saja hal ini sangat mungkin dilakukan tanpa meninggalkan Vladivostok selangkah pun. Namun, Xabi juga merasa malu jika bertemu dengan salah seorang teman yang pernah ditaksirnya. “Dia dapat beasiswa dan kuliah di luar negeri. Apa aku juga dapat beasiswa dan kuliah di sini ya?” Xabi berandai-andai sekaligus penasaran. Suster Agnes kembali berusaha menahan diri. Ucapan Okami saat di telepon terus terngiang-ngiang di telinganya. “Jangan ceritakan apa pun padanya. Bisa repot kalau dia salah paham dan kabur. Lebih repot lagi jika ternyata ia hanya pura-pura agar bisa melarikan diri dari tanggung jawab.” “Bolehkan aku hadir ke acara ini?” pinta Xabi. “Siapa tahu aku bisa mengingat beberapa hal setelah bertemu teman-teman sekolah. Perpisahan dengan mereka seolah baru terjadi kemarin.” Agnes mengangguk dan memindahkan Xabi ke kursi roda. Acara baru akan dimulai satu jam lagi. Namun, mereka jelas butuh persiapan. “Ayo, kita butuh ruang yang lebih luas untuk acara reuni ini.” Mereka meninggalkan ruang pribadi yang baru ditinggali Xabi selama tiga hari tiga malam. Kesehatan gadis itu cepat membaik dan ia makan cukup banyak. Agnes melihat semangatnya untuk pulih sebagai sesuatu yang membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Kamar baru Xabi masih menghadap pemandangan laut atas permintaanya. Aula yang dimaksud Agnes berada di belakang sehingga mereka harus berputar dan melewati ruang pasien kemarin. Xabi sedikit bergidik saat mencium aroma infus dan mendengar napas-napas berat mereka. Agnes meletakkan tangan kanan di bahu Xabi sambil berkata, “Mereka baik-baik saja.” Seolah mencoba menenangkan. Xabi mengangguk dan berusaha abai hingga mereka tiba di depan sebuah ruangan yang gelap dan luas. Mereka tetap berada di dekat pintu. Agnes menunjuk sesuatu di tengah langit-langit ruangan. “Benda itu disebut Coove, bentuknya seperti kelereng dan mampu menampilkan hologram hingga tiga ratus enam puluh derajat. Berikan ponselmu, kita akan lihat apakah alat ini masih berfungsi.” Xabi menyerahkan ponselnya pada Agnes yang kemudian mondar-mandir dalam ruangan untuk menyalakan Coove. Beberapa saat berlalu dan hasilnya nihil, “Izvinite (maaf), Ruangan ini sudah lama tidak dipakai. Aku yakin ada kabel listrik yang putus sehingga alatnya tidak menyala.” Xabi mengangguk mengerti tapi ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekecewaan di wajahnya. Agnes tersenyum melihatnya. “Aku punya beberapa alat ini di ruanganku. Ayo kita ambil dan coba di halaman.” Rasa senang Xabi mampu mengurangi rasa ingin protes atas penerangan di faslilitas kesehatan yang terlalu minim saat menuju tangga. Agnes memasukkan Xabi dan kursi rodanya di sebuah lift yang dioperasikan secara manual. Ruangan seluas satu kali satu meter itu turun ketika Agnes menekan tombol ‘Down’. Ia sendiri turun melalui tangga biasa di samping lift dan mengambil kembali Xabi yang sudah lebih dulu sampai. Setiap ruangan bahkan lift memiliki kunci dan Agnes selalu mengeluarkan kunci-kunci yang telah disatukan dari kantung jubahnya. ‘Terlalu ceroboh,’ pikir Xabi. Gadis itu agak kaget ketika melihat ruang kerja Agnes terbuka lebar, ia hanya masuk sebentar lalu mereka menuju halaman. Dari tempatnya berdiri, Xabi bisa melihat pintu gerbang dengan jelas. Namun, ia harus melewati ruang kerja Agnes jika ingin ke sana. Perawat yang enerjik itu meletakkan Coove di tengah-tengah halaman. “Yak! Tempat ini sudah cukup luas. Alat ini akan berfungsi maksimal karena malam telah turun, tapi kau hanya punya waktu sekitar satu jam hingga baterainya habis.” Alat berbentuk kelereng besar dalam mangkuk itu berputar lambat dan berpendar. Bola mata Xabi berkilauan melihat satu persatu hologram teman-temannya muncul. Yang ia lihat adalah tampilan utama para tamu yang hadir di lokasi. “Itu sudah cukup, spasibo (terima kasih),” sahut Xabi. “Kau bisa merubah tampilan dan bertemu dengan siapa pun dengan menggunakan ini.” Suster Agnes menyerahkan ponsel Xabi sebelum berlalu. “Aku ada di ruang kerja jika kau membutuhkan sesuatu. Selamat bersenang-senang.” Agak lama gadis itu terdiam dan hanya mengamati. Jangankan bergerak dan mengajak seseorang di sana bicara. Menekan ponsel untuk mengisi daftar hadir saja ia tidak berani. Ia takut salah menekan kursor lalu semuanya tiba-tiba menghilang. Para tamu pun kelihatan tak acuh padanya. Ada beberapa wajah yang terlihat familiar bagi Xabi. Kebanyakan mereka tampil membawa pasangan dan anak-anak. “Heiii, pengkhianat negara!” Sebuah suara renyah membuyarkan lamunan Xabi. Gadis itu sedikit terperanjat tapi berusaha tetap tenang. Panggilan itu pasti bukan untuknya. “Eeh sombong ya!” sambung suara itu disusul bayangan seorang wanita cantik bertubuh mungil yang kemudian duduk di depannya. Mata Xabi membulat dan ia menutup mulut ketika mengatakan nama sahabatnya, “Nanda!!!” “Hehe… Masih ingat juga ternyata. Gimana Rusia?” sapanya sambil mengajak Xabi toss secara virtual. “Dingin,” sahut Xabi pendek. “Kok sendirian?” “Iih jangan ngingetin sama hal-hal yang nyebelin deh. Masih single tauk! Bawalah sini cowok bule barang satu atau tiga.” “Yee, serakah! Cintailah produk dalam negeri, hahahaha!” “Ngaca donk! Ngaca!” Perut Xabi terasa sakit ketika tertawa. Sebisa mungkin ia bersikap normal di hadapan sahabatnya. Ia bersyukur Ananda tidak sedikit pun menyinggung perubahan fisiknya. “Ngapain?” tanya Xabi melihat Ananda mengutak-atik ponselnya. “Ayo kita temuin pengkhianat negara lainnya!” “Eeeh! Tunggu, tunggu!” Xabi ingin mengatakan betapa ia tidak siap tapi terlambat, sebuah hologram pemuda berdiri tak jauh dari mereka. “Halo Pak Cik!” sapa Ananda. “Halo Ananda!” balas sang pemuda sambil melambai. “Eh, Amara! Apa kabar?” Xabi tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. ‘Kabar baik dan tidak ingat apa-apa sejak pertemuan terakhir kita,’ jawabnya dalam hati. “Udah lama banget ya! Suaminya mana?”Xabi masih tersenyum dan memperlihatkan jari-jari kurusnya. Tidak ada cincin di sana. “Oowh! Kerja terus sih ya!” “Nan, bisa tolong sumpelin mulutnya?” Tawa pemuda itu meledak sementara Nanda menyahut, “Iya nih rese! Udah bapak-bapak juga!” “Mau kenalan sama keluarga gue nggak?” tawar bapak-bapak yang terlihat masih sangat muda karena usianya memang sama dengan Xabi dan Ananda. “Boleh aja kalau mereka lebih waras dari pada lo, Syed!” Tampilan berikutnya adalah seorang wanita cantik berhijab dengan tiga putri imut yang masih kecil-kecil. Syed memperkenalkan istrinya, seorang Dato diraja Malaysia. Putri pertamanya berusia lima tahun, sedangkan si kembar masih tiga tahun. Xabi dan Ananda bersikap sopan di hadapan keluarga kecil itu dan kembali brutal setelah mereka pergi. Syed tetap tinggal. “Enak lo ya hidup di tanah orang! Awas lo kalau pulang!” ancam Nanda setelah mengatahui Syed bekerja sebagai eksekutif manager di sebuah kilang. Jabatan yang ia peroleh setelah bertahun-tahun mengabdi sejak lulus kuliah di negara itu.“Ngapain pulang ke negeri para barbar. Sini Nan, dijamin gak bakal mau pulang. Kalau nggak percaya tanya aja Amara.” “Aku pengen pulang.” “Hah?” Ananda dan Syed kaget mendengar jawaban Xabi. Gadis itu tak kalah kaget melihat reaksi teman-temannya. “Ada yang salah?” tanya Xabi. “Uuhm, nggak juga sih. Cuma dulu lo kan pernah bilang kalau nggak mau pulang sampai kapan pun,” sahut Ananda. “Dan sekarang kayaknya tujuan hidup lo udah tercapai,” sambung Syed. “Jadi gipsi.” Mereka tertawa lalu Xabi pamit dan mematikan Coove begitu saja. Bukan karena durasi yang dikatakan Agnes telah habis. Ia hanya ingin membiarkan kabut yang menyelimuti pikirannya perlahan menghilang. Agnes tidak bohong, ia kehilangan semua memorinya selama sepuluh tahun terakhir.Vladivostok, Mei 2025Jalanan itu begitu lengang, para pejalan kaki yang berlalu lalang bisa dihitung dengan jari. Xabi duduk bersandar di sebuah halte bus mengamati toko-toko yang masih buka setelah matahari tenggelam. Sepintas kota itu mirip Jakarta dengan aroma berbeda. Ia sudah berada sejauh sepuluh kilometer dari fasilitas kesehatan. Setidaknya itu yang dikatakan pengemudi truk yang memberikan tumpangan gratis padanya.Gadis itu merasa tidak nyaman meninggalkan Agnes tapi apa yang baru didengarnya membuatnya memilih untuk lari. Sekitar dua jam yang lalu ia hendak mengembalikan Coove pada Agnes. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar perawat itu sedang berbicara dengan hologram yang duduk di depannya.Sang perawat tidak menyadari kehadirannya meski ia melihat ke luar langsung. Mungkin karena tertutup hologram pria yang bicara dengan suara berat itu. Xabi yang sempat melihat ke dalam sedikit memutuskan untuk tinggal dan menc
Vladivostok, Mei 2025Alternatif tempat kedua setelah rumah sakit adalah kantor polisi. Xabi berhasil masuk ke sana dengan lancar. Ia sengaja memilih tempat beraksi tak jauh dari kantor polisi di Nadibaide St. agar langsung digiring ke sana setelah ketahuan. Ia merasa bersalah pada si gadis manis, tapi apa boleh buat. Ia butuh tempat bermalam. Agnes benar-benar tak berperasaan mengusirnya malam-malam begini.Polisi yang sedang bertugas menyita semua barang-barangnya dan memasukkan gadis itu ke sebuah sel kosong. Hari sudah larut dan mereka memutuskan akan memproses kasusnya esok pagi. Xabi mencoba tidur sambil duduk. Ia berharap malam itu tidak terlalu dingin karena kaus dan celana panjang yang dikenakannya adalah baju untuk musim panas.“Hari yang melelahkan, eh?” sapa suara berat dari sel seberang. Nampaknya hampir semua sel kosong. Hanya dua ruangan paling dekat pintu depan yang saling berhadapan ini yang berisi.Xabi mera
Vladivostok, Mei 2025Tiga hari terasa cepat bagi Xabi yang menghabiskan waktunya untuk berlatih berjalan. Kini ia mampu berjalan dengan batuan satu tongkat saja. Sedikit terlambat memang, tapi ia mendapati akun bank dalam ponselnya masih memiliki sejumlah uang. Beruntung semua passcode yang digunakan adalah sidik jari dan retinanya.Dengan uang yang ia miliki, Xabi mengganti tongkat kayunya dengan pedang tebu berhias kepala elang di bagian pegangan. Sebuah revolver kecil untuk berjaga-jaga tak luput dibelinya dari toko senjata yang sama.Xabi juga memotong habis bagian rambutnya yang gimbal dan menyisakan rambut bob hingga bawah telinganya. Andai matanya tidak sipit, ia akan terlihat seperti gadis Perancis. Sedikit tambahan daging di area wajah akan membuatnya terlihat kembali nomal.“Apa kau mencari seseorang, Mademoisele?” sapa Wayne dari lantai dua ketika Xabi masuk dengan penampilan barunya.“Ini aku,
Vladivostok, Mei 2025“Сила есть , (Sheelah yest)” ujar suara di seberang.Kalimat singkat itu seolah menjadi kunci sebuah kotak ingatan Xabi yang kemudian terbuka sehingga gadis itu otomatis menjawab.“Ума не надо . (umah ni nahda)”“Xavier?”“Vasily.”“Seagull atau Pandora Box?”“Tidak keduanya.”“Bagus, tetaplah berjalan.”“Kenapa?”“Assassin dari Seagull sedang menuju markas Pandora Box.” Telepon ditutup.Xabi hanya mengingat kata sandi itu, sisanya adalah informasi dari Agnes dan inisiatifnya sendiri. Vasily mengontaknya dan hal itu seharusnya dihindari.Kini gadis itu justru bimbang. Apakah ia harus meneruskan perjalanannya atau kembali dan memperingatkan Ravil? Tunggu, kalau hanya memperingatkan ia bisa menggunakan ponselnya. Namun, R
Аппети́т прихо́дит во вре́мя еды́(Ahpeteet prihohdit va vryemya yedy)“Nafsu makan datang dengan makan.”Vladivostok, Mei 2025Pertandingan absurd sore itu bermula ketika Xabi mengizinkan Vash masuk. Melihat penampilan dan cara bicara Vash, sulit dipercaya ia adalah seorang assassin. Dengan mudah Xabi membuka pintu karena baik Wayne maupun Ravil selalu membiarkan pintu depan tidak terkunci sebelum jam sebelas malam.“Isyanov kau di dalam?”“Lihat siapa yang datang! Kupikir kau sudah lari ke ujung dunia,” sambutnya dari lantai dua yang dibatasi beranda kayu. “Apa maksudmu hah? Melarikan diri seperti itu.”“Ada tamu yang ingin bertemu Wayne.”“Dia sudah pergi, katakan untuk datang lagi nanti.” Ravil tidak suka jika lawan bicaranya mengalihkan pembicaraan.&nbs
Доверя́й, но проверя́й(daviryay noh praveryay)“Percaya tapi verifikasi”Vladivostok, Mei 2025Xabi tidur dengan keadaan kamar tanpa pintu dan Vash terikat di sudut kamar. Tentu saja tidurnya tidak nyenyak. Belum lagi ia mendapati Ravil sibuk melakukan sesuatu sepanjang malam. Persiapan untuk ke Vorkuta, katanya. Keesokan paginya Ravil pergi entah ke mana lalu kembali membawa makanan. Ah ya, tentu saja ia tidak bisa memasak karena dapur berantakan.“Bolehkah Vash makan bersama kita?” tanya Xabi saat Ravil memberikan jatah untuknya dan Vash.“Tidak bisa, dia sudah kalah dan aku tidak bisa membiarkannya kabur.”“Ты жульничаешь[1] (ty zhul’nichayesh), Isyanov!”“Berisik! Заткнись и ешь![2] (Zatknis’ I yesh’!)” hardik Ravil.Xabi membawa makanannya da
Ста́рый друг — лу́чше но́вых двух(Stahry drug luchsheh nohvyh dvukh)“Seorang teman lama lebih baik daripada dua teman baru.”Vorkuta, Mei 2025Jarak antara Vladivostok dan Vorkuta kurang lebih lima ribu kilometer. Setelah melakukan penerbangan selama dua puluh satu jam, Ravil dan seorang anggota Pandora Box lainnya bersiap hendak turun.“Apa kau bilang? Bekal makanan kita sudah habis?” tanya anggota yang baru dilihat Xabi untuk pertama kalinya. Menurut perkiraannya, pemuda itu pastilah Sergei.“Iya, Xavier yang menghabiskannya,” jawab Ravil santai membuat gadis itu terhenyak kaget. Ia memang makan hampir di sepanjang perjalanan, itu pun karena Ravil mengizinkan bahkan menyuapinya.“Kau ini! Nanti kita makan apa?” Sergei menepuk wajahnya sementara Ravil melirik Xabi. Ancaman akan memakan gadis itu akan segera te
Друг познаётся в беде́(Drug paznayotsya v byedye)“Kau akan menemukan teman sejati ketika kau mengalami kesusahan.”Vorkuta, Mei 2025Xabi, Vash, dan Sergei tengah menikmati daging kering yang disediakan Sergei ketika derik-derik sepatu itu mendekat. Vash yang menyadarinya lebih dulu dan berbisik, “Кто-тоидет[1] (kto-to idet).”Sergei buru-buru membereskan perlengkapannya tanpa mengeluarkan suara. Xabi hanya bisa berdoa semoga itu bukan Ravil. Kalau iya, gadis itu tidak akan segan-segan menghambur dan menggigit telinganya hingga putus. Sergei sudah siap dengan pistol dan belatinya ketika sosok itu berdiri di ambang pintu. Kedua pemuda itu sama-sama terkejut ketika sang tamu tak diundang menampakkan wajahnya dibalik topi lebar yang mengingatkan mereka pada warga Orok di pulau Shakalin.“Wayne!!” teriak Xabi. “Dasar Brengsek!!! Beraninya kau dan