Peradaban yang modern dengan berbagai teknologi canggih, hirarki, pendidikan, ilmu pengetahuan yang sangat mumpuni semua ada di Kerajaan Wandara. Emas dan perak bertaburan di setiap sudut Kotanya, memang sangat menggiurkan bagi manusia yang serakah, sehingga berbagai dari belahan dunia lain berlomba-lomba menembus pintu gerbang Negara Kerajaan Wandara.

Seperti yang telah terjadi, gencatan senjata menggema lagi, segorombolan pasukan Inggris ingin berusaha mengambil paksa harta pada peti istana kerajaan yang berisi ribuan berlian, batu permata, hingga batangan emas yang tak ternilai harganya.
Raja Garsan dari dinasti ke tujuh terjun langsung dalam peperangan, mahkota ketahtaan ia pertaruhkan demi melindungi harkat martabat kerajaannya yang seringkali di usik.
Di dunia yang berbeda, letaknya di sebuah kampung, sore itu sekumpulan anak kecil sedang bermain, tak biasanya mereka bermain jauh dari Desa tempat tinggalnya. Salah satu kapal plastik anak itu hanyut hingga mereka berlari mengejar arus sungai kecil. Namun kelima anak itu melihat cahaya dua pilar emas di balik lebatnya hutan. Salah seorang dari mereka mendengar teriakan yang sama dengan suara Ayahnya.
"Itu suara Ayah," ujarnya yang tak melepaskan pandangan dari cahaya pilar tersebut.
Dia berlari menuju cahaya mengejar asal suara itu, menaiki anak tangga beton yang pantang bagi warga setempat. Konon, bila menaiki anak tangga itu, mereka akan berpindah dimensi ke dunia lain. Semua itu bukan mitos belaka, banyak yang sudah melewati pintu dimensi tersebut hingga membawa mereka ke negara yang amat dasyat megahnya, semua kota-kota metropolitan berhiaskan kendaraan mewah baik darat maupun udara.
Bangunannya terbuat dari perak, tak ada kemalaratan di Negara Kerjaan Wandara, bahkan penghuninya semua berperawakan tampan dan cantik. Sehingga banyak yang manusia dari dunia lain memutuskan untuk menetap di Wandara.
Gadis kecil itu berjalan menuju ke atas bukit, ke empat kawannya hanya bisa melihatnya dengan meneriaki.
"Maysa! Jangan kesana." Teriak mereka serentak.
Namun dia tak menghiraukan peringatan teman-temannya, gadis yang masih berusia sepuluh tahun itu melangkah dengan cepat hingga dia tenggelam dalam cahaya pilar itu, tak lama kemudian sosoknya sudah tak nampak lagi.
Sebab ketakutan, ke empat temannya berlari kembali menuju ke Desanya untuk melaporkan ke orangtua Maysa.Maysa kecil sudah berada di alam Wandara. Dia berpijak di atas jembatan kuning yang berlapis emas. Diseberang sungai pertempuran terjadi menjatuhkan banyak korban yang terhunus senjata dan pedang. Melihat pertempuran itu, Maysa berbelok arah, dia berlari ketakutan menyusuri pinggiran aliran sungai yang sangat jernih, sembari memeluk boneka anak beruangnya, dia terus memanggil Ayahnya yang ikut berperang dalam membela Kerajaan Wandara.
Cukup jauh perjalanannya, nafasnya terengah-engah, dia melihat di sekitarnya penuh tanaman buah yang yang tertata rapi.
Maysa terhenti saat dia berada di pohon apel yang termasuk wilayah perkebunan istana. Dia duduk tersungkur dengan tubuh yang sangat letih, berpindah dimensi menguras tenaga di tubuh mungilnya.
"Kau siapa?"
Ada suara menyeru dari arah belakangnya. Maysa kecil membalikkan badan dengan mimik wajah ketakutan, genggaman erat di bonekannya seakan meminta perlindungan pada benda mati itu.
Seruan tersebut berasal dari Anak laki-laki yang tampan. Mahkota kerajaan melekat gagah di atas kepalanya. Di kawal dua prajurit yang bertubuh besar seperti pegulat, Anak laki-laki yang seusia Maysa itu menghampirinya.
"Kau sedang apa disini? " tanya anak laki-laki itu lagi.
Maysa kecil yang juga tak mengerti apa-apa tak bergeming. Kedua bibirnya saling mengunci.
"Pangeran, tampaknya dia manusia dari dunia seberang," ujar pengawalnya yang memperhatikan garis di atas bibir Maysa.
Pangeran kecil itu makin mendekat pada Maysa, Gadis kecil berambut panjang itu menundukkan wajah, air matanya menetes karna ketakutan yang amat sangat sekarang ini.
"Siapa yang membawamu masuk kesini?" pangeran kecil itu belum puas sebab tak ada satupun pertanyaan di balas oleh Maysa.
"Prajurit, bawa dia ke Istana." Titahnya yang sudah bosan bertanya lagi sehingga dia memerintahkan kedua prajuritnya membawa paksa Maysa.
Maysa menjerit histeris, tubuhnya di bopong salahsatu prajurit itu. Mereka menuju istana dengan memakai Mobil yang rodanya mengambang satu cm dari tanah.
"Lepaskan aku!" Maysa memberontak. tangan mungilnya memukuli prajurit yang mengekang tubuhnya dalam lingkar tangan berotot itu.
"Pangeran yang mulia, kita mau bawa kemana gadis kecil ini ?" tanya prajurit itu.
"Bawa ke Istana Tapi tempatkan dia kamar rahasiaku, jangan sampai Ibu permaisauri atau Bunda ratu tahu ini." Sahut Pangeran cilik itu penuh kewibawaan sebagai Putra mahkota.
"Ya, Baginda."
Maysa di bungkus kain putih untuk menghilangkan kecurigaan penjaga istana, pangeran kecil itu memasuki lorong pribadi menuju kamar rahasianya yang berada di bagian belakang istana. Langkahnya di susul oleh dua prajurit yang masih menggendong Maysa.
"Bawa dia masuk ke kamar." Titah pangeran yang sudah ada di dalam kamar.
Prajuritnya meletakkan Maysa di lantai lalu membuka kain penutup itu. Maysa masih memeluk boneka beruangnya dengan air mata bercucuran. Suara lirih terdengar dari mulunya mengatakan ingin pulang.
"Silahkan kalian keluar," ujarnya pada kedua prajuritnya.
Pangeran menuang air di gelas peraknya, dia mendekat ke Maysa.
"Ini air, Kamu minum dulu." Ucapnya menyodorkan air itu.
Maysa menatap air yang di berikan padanya.
"Ini air biasa, kamu minum saja."
Maysa yang memang kehausan langsung mengambil air lalu meneguknya.
"Nama saya Arlesa. putra bungsu di Kerajaan Wandara ini." Dia memperkanalkan dirinya.
Maysa menjalarkan pandangan matanya ke setiap sudut ruangan yang ia tempati bersama Arlesa, sangat mewah, bahkan lebih mewah dari istana disneyland yang seringkali ia tonton. Semua furniture dan pernak pernik hiasan istana menyilaukan matanya, emas dan perak jadi bahan utama pembuatan semua furniture tersebut.
"Dari tadi kau hanya diam saja. Apakah kau bisu?" tanya Arlesa mengamati Maysa.
"Saya tidak bisu." Akhirnya Suara Maysa sudah terdengar jelas olehnya.
Arlesa tersenyum kecil.
"Namamu siapa?"
"Namaku, Maysa. Putri Maysa." Gadis kecil lugu itu masih bergetar, sebab yang ia naungi sekarang sangat berbeda dengan dunianya.
"Kenapa kau bisa sampai ke Wandara? "
Maysa mengeleng, ia tak tahu apa Wandara itu.
"Aku mendengar suara Ayahku dibalik cahaya di hutan." Jawab Maysa mengingat moment dia berpindah dimensi.
"Jika penduduk Wandara lain mendapatimu, kau mungkin takkan bisa keluar dari sini," ujar Pangeran Arlesa.
Mendengar itu Maysa menangis kembali. Dia memohon pada Arlesa agar mengembalikannya ke tempatnya semula.
"Aku mau pulang, Ibuku sudah mencariku." Maysa memohon.
Arlesa diam memikirkan sesuatu, Maysa harus ia pulangkan, kalau tidak dia mungkin akan di jadikan salah satu dayang istana oleh para Bunda ratunya.
"Seharusnya kau tidak boleh masuk tanpa ada orang yang menemanimu. Di sini dunia yang sangat berbeda dengan duniamu, kau hanya akan terluntah-luntah bila tak ada yang menemukanmu." Ucap tegas Arlesa.
Kewibawaan Arlesa sudah ia tampakkan sejak dini.

Maysa memohon, dia bersujud di hadapan Arlesa. Meminta kehibahan pangeran terhadap dirinya. Namun pangeran itu hanya berdiam diri, dia memikirkan cara agar dapat mengeluarkan Maysa dari kerajaannya. "Kamu istirahat saja dulu. Saya akan keluar mencari cara agar kau bisa pulang besok," ucap Arlesa. Dia meninggalkan Maysa seorang diri, di kamar pribadi Arlesa yang begitu mewah Maysa takut untuk bergerak. gadis kecil berkulit putih itu hanya diam di tempat, berharap Pangeran Arlesa cepat kembali.  "Aku ingin pulang, Bu." Lirih Maysa memeluk erat boneka beruangnya. Pangeran Arlesa menuju ke istana utama, saat memasuki lorong kecil, dia melihat prajurit baginda raja telah memasuki gerbang dengan suara teriakan kemenangan. Tampaknya Wandara kali ini sudah melumpuhkan musuh dari dunia seberang. Siapapun itu atau bahkan dari kerjaan mana pun, takkan bisa mengalahkan kekuatan prajurit Wa
Dia terbangun, matanya mengerjap, melihat di sekelilingnya. 'Ah ..ini kamar yang sama seperti kemarin' batinnya. Semalam terlewati, Maysa tertidur lelap seorang diri di kamar rahasia Pangeran Arlesa, meski tanpa Arlesa menjaganya, tetapi pengawal pribadi pengeran itu selalu menjaga Maysa dari luar pintu. Belum sempat ia turun ranjang, pintu kamar itu terketuk. Tanpa izinnya, para pelayan telah masuk membawakan sarapan pagi, dan ada juga yang membawa baju kuning serta perhiasan untuk Maysa pakai. Dayang istana itu meletakkan semua di meja lalu salah seorang menghampiri Maysa. "Adik, Maysa. Silahkan sarapan dulu." Ucapnya. Maysa memperhatikan dayang istana yang semuanya berparas cantik, mereka tak ada memiliki garis bibir. Tentu, ini jadi keanehan buat anak kecil sepertinya. "Ayo, Maysa duduk di kursi sana," serunya lagi pada Maysa.
Maysa yang tak sadarkan diri sudah di kelilingi sanak saudaranya, mereka berkumpul dengan melantunkan ayat suci Alqur'an untuk keselamatan anak perempuan dari Ibu Rohma itu. Di ujung kepala Maysa, ada Ibunya yang mengusap kepala anaknya dengan lembut.Di alam yang berbeda, Arlesa memasuki kamar rahasianya kembali, di lihatnya setiap sudut ruangan megah itu, dia terbayang dengan Maysa yang hadir di kamarnya, matanya mengarah ke sebuah boneka beruang berwarna coklat tergeletak di atas kasur, Arlesa meraih boneka beruang yang ia yakini itu milik Maysa.Dia memandangi boneka beruang kecil itu seraya berkata."Suatu saat aku akan mengembalikan ini padamu, Maysa."**************15 tahun kemudian..Dunia manusia."Apa pelanggan banyak siang tadi?" tanya perempuan berambut panjang itu pada seorang remaja laki-laki."Ah, lumayan, Kak. Cukup
"Ha, kenalkan nama saya Gus Alam. Seorang praktisi spiritual di kota ini." Ujarnya. Gus Alam masih penasaran dengan tujuan Arlesa menyambangi dunia manusia. "Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang." Sahut Arlesa yang mulai menyeruput kopinya. "Hmm, saya yakin seseorang itu pasti perempuan. Kau jatuh cinta pada perempuan di dunia kami?" tanya Gus Alam. Arlesa mengerutkan alis, baru kali ini ada orang yang selancang itu padanya, tetapi dia berusaha mengerti bahwa sekarang ia berada di dunia yang berbeda, tak ada orang yang tahu kastanya disini, termasuk Gus Alam. "Itu jadi rahasia pribadiku." Sahut Arlesa sembari mengguratkan ketegasan di wajahnya buat Gus Alam tergugu. "Maaf, saya sudah lancang." Gus Alam membekap mulutnya sendiri, terlihat mimik Arlesa sedikit kesal padanya. Wah, pria muda di hadapannyan menyimpan kharisma kebangsawanan
Di dunia yang berbeda, keluarga Kerajaan Wandara bersiap untuk makan malam, ketiga ratu dan ketiga pangeran lainnya sudah menunggu Raja Garsan di meja makan.Ratu Flora istri pertamanya, memiliki dua putra yang bernama Folan dan Jeval, sedangkan istri kedua Ratu Indara memiliki seorang putra bernama Rexa. Ketiga istrinya hidup rukun, namun dua di antara pangeran mereka tak sejalan dengan Arlesa, setiap pendapat Folan dan Jeval mereka selalu berujung bentrok dengan Arlesa, rasa cemburu pada Arlesa membawa mereka menyimpan kedengkian pada adik bungsunya tersebut.Terlebih lagi saat Raja Garsan berniat menjadikan Arlesa sebagai Raja berikutnya setelah dia turun tahta, buat Folan dan Jeval murka, mereka makin memusuhi Arlesa.Raja Garsan telah memasuki ruangan makan keluarga, dia duduk di kursi kepemimpinannya sebagai kepala keluarga. Dia melirik ke kursi Arlesa yang tak berpenghuni."Kenapa Arlesa sudah j
Gus Alam masih menunggu Arlesa di ruang tamu, Arlesa masih di dalam kamar mengganti pakaiannya, terlihat di laci meja boneka beruang coklat yang usang duduk lesuh, Arlesa tersenyum kecil pada boneka Maysa itu."Aku sudah menemukan, Tuanmu." Ucap Arlesa pada boneka itu.Dia membayangkan senyuman manis Maysa saat di Cafe, Ah, betapa manisnya gadis itu. Wajahnya penuh keluguan, ada ketulusan, hangat, dan ceria. Tak sia-sia dia menjaga hati untuk putri kecil itu, kata orang, cinta memang kadang buat orang bodoh, Arlesa menunggu waktu selama 15 tahun hanya bertemu dengan gadis dari dunia seberang.Padahal, di dunianya bertebaran gadis cantik yang sangat memujanya. Namun hanya Maysa yang menjebaknya dalam kenangan. Akankah Maysa mengingat Arlesa bila memperkenalkan diri lagi? Arlesa harap demikian.Setelah berganti pakaian dengan kaos oblong putih, Arlesa turun ke lantai bawah, di ruang tamu masih ada Gus Alam yang masih mengamati setiap interior rumah sewaan i
Maysa masih menilik setiap kalimat Arlesa. Pria tampan itu sangat santun bicara, lembut, juga meneduhkan. 'Pasti dia berasal dari keluarga ningrat, tutur bahasanya lembut sekali.' Imbuh Maysa dalam hati. "Arlesa, kamu berasal dari kota mana?" tanya Maysa mencoba akrab. Arlesa tergugu. Jawaban itu belum ia persiapkan. Dia sama sekali tak tahu nama Kota di dunia manusia. "Dari Kota Bandung." Ujar Gus Alam yang tiba-tiba nimbrung di antara mereka. Arlesa yang tadi tegang, kini bernafas lega. Tak rugi dia berteman dengan Gus Alam, pria paruh baya itu bisa menolongnya dari hal-hal yang tak dia ketahui di dunia manusia. "Bandung? wah, jauh, ya." Ujar Maysa. Arlesa megangguk, dia terjebak dalam kebohongan kecil lagi. Seharusnya dia memberitahu Maysa bahwa dirinya adalah Pangeran Arlesa dari kerajaan Wandara. Arlesa memberikan t
Malam itu, Ratu Risani di rundung kesedihan. Arlesa tidak pernah lagi memberi kabar letak keberadaannya. Seluruh pengawal istana, Rexa kerahkan secara diam-diam, tetapi jejak Arlesa sama sekali tak di temukan. Sehingga Rexa menyimpulkan bahwa adiknya itu berada di dunia seberang."Bunda Risani, saya yakin, Arlesa berada di dunia manusia." Ujar Rexa pada ibu tirinya.Ratu Risani perlahan duduk di kursi. Dia tak menyangka Arlesa nekat ke dunia manusia. Bagaimana bila ada manusia yang jahil ingin mengujinya? naluri seorang ibu begitu khawatir."Bunda juga bingung, Nak. Karena Arlesa tidak pernah memberitahu itu." Sahut Ratu Risani.Rexa berjongkok ke ibu tirinya."Biarkan saya menyeberang juga, Bunda. Saya akan mencari Arlesa." Pinta Rexa agar di beri izin."Tapi, Nak. Dunia manusia itu banyak yang jahat." Imbuh Ratu Risani mengingatkan."Saya punya kekuatan melebihi mereka, Bunda." Sahut Rexa meyakinkan."Iya, Tapi kamu hati-hati.
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal