Maysa masih menilik setiap kalimat Arlesa. Pria tampan itu sangat santun bicara, lembut, juga meneduhkan.
'Pasti dia berasal dari keluarga ningrat, tutur bahasanya lembut sekali.' Imbuh Maysa dalam hati."Arlesa, kamu berasal dari kota mana?" tanya Maysa mencoba akrab.
Arlesa tergugu. Jawaban itu belum ia persiapkan. Dia sama sekali tak tahu nama Kota di dunia manusia."Dari Kota Bandung." Ujar Gus Alam yang tiba-tiba nimbrung di antara mereka.
Arlesa yang tadi tegang, kini bernafas lega. Tak rugi dia berteman dengan Gus Alam, pria paruh baya itu bisa menolongnya dari hal-hal yang tak dia ketahui di dunia manusia.
"Bandung? wah, jauh, ya." Ujar Maysa.
Arlesa megangguk, dia terjebak dalam kebohongan kecil lagi. Seharusnya dia memberitahu Maysa bahwa dirinya adalah Pangeran Arlesa dari kerajaan Wandara.
Arlesa memberikan tatapan tajam ke Gus Alam, pria itu mengerti bahwa dia tak mau ganggu, dia ingin berdua dengan Maysa saja. Gus Alam pamit diri untuk keluar membeli rokok.
Setelah Gus Alam enyah, Arlesa kembali berfokus pada ingatan Maysa.
"Maysa, apa yang kau ingat dengan sesuatu di masa kecilmu?"
Maysa menyerngit. Dia mengangguk lalu menjawab, " Ada banyak yang kulalui bermain dengan temanku." Arlesa rasa salah memberi pertanyaan, lalu bertanya lagi , " maksudku, apa yang pernah kamu alami di masa kecil, hingga kamu di bawa pulang oleh pria berbadan kekar?" Maysa tak mengerti apa yang di maksud oleh Arlesa. ekspresi kebingungan nampak jelas di wajah manisnya."Aku tidak mengerti apa maksudmu."
Arlesa belum putus asa, dia mencoba membantu Maysa agar mengingat saat dia di Wandara."Aku Arlesa Dirhantara. Lima belas tahun yang lalu, ada seorang anak laki-laki yang menemukanmu di kebun istana." Jelas Arlesa.
Maysa makin bingung, sejak kapan dia ke istana? dia bahkan ke luar pulau belum pernah apalagi ke istana kerajaan yang di maksud Arlesa, batinnya."Kamu ingat, saat bunda Ratu Risani datang ke kamar rahasia istana, dia datang bersamaku juga panglima Rajab." Arlesa mulai mengungkap satu per satu identitasnya di depan Maysa.
Tentu Maysa tercengang atas pengakuan Arlesa itu. Tetapi di benaknya, Arlesa mungkin sedang berhalusinasi. Bisa saja pria itu juga mabuk, pikir Maysa geli."Kamu mabuk berat juga .." Lirihnya agak menjauhkan diri dari Arlesa.
Arlesa berusaha menenangkan Maysa yang mulai menjauh darinya.
"Aku tidak mabuk, aku tidak suka mabuk. Aku sedang dalam keadaan sadar Maysa. Apa kamu pernah tersesat di hutan?"Maysa seketika mengingat lima belas tahun lalu, dimana dia tersesat di hutan seorang diri di malam hari."Iya, aku pernah tersesat di hutan .."Arlesa tersenyum kecil.
"Maysa, kamu mengingatnya."
"Lalu kenapa? aku tersesat karena tidak tahu jalan pulang, bukan karena dari istana ataupun kerajaan." Lanjut Maysa.Seketika wajah Arlesa berubah. Maysa sungguh tidak mengingatnya dan juga Wandara. Secepat itu kah Maysa melupakan itu? sementara Arlesa menanti moment ini setiap saat.
Arlesa menyeberang dunia agar bisa bertemu Maysa, juga ingin mengatakan cinta. Tetapi, wanita itu sama sekali tidak mengingatnya.
Arlesa merasa Maysa selalu mengingat janji mereka, ternyata itu salah, sikap Maysa tidak sesuai harapannya. Gadis itu melupakan janji mereka lima belas tahun yang lalu."Arlesa, kamu kenapa?" tanya Maysa membuyarkan lamunannya.Arlesa menelan saliva. Dia mencoba mengeyahkan rasa kecewanya, agar tak terbaca oleh Maysa."Aku baik-baik saja," sahut Arlesa menyipitkan mata.
Bagaimana cara agar cintanya pada Maysa bisa terungkap? sementara ingatan gadis itu hilang."Apa ada yang salah?" tanya Maysa menyelidik di tatapan misteri Arlesa."Apakah kau pernah mendengar Wandara?" tanya Arlesa yang ingin meyakinkan hasratnya lagi.Maysa tersentak. Pria itu menanyakan Wandara yang terkenal sebagai kerjaan tak kasat mata terbesar di Asia. Maysa hanya mengetahui itu lewat sosial media, juga dari legenda yang banyak di bicarakan dari mulut ke mulut sampai sekarang ini."Aku pernah dengar, itu kerajaan jin, kan?"Arlesa mengangguk kecil. Jin? bila manusia awam mendengar nama jin, pasti ketakutan. Apakah Maysa akan bereaksi demikian? semoga tidak. Lagi pula Arlesa bukan jin sepenuhnya, ada darah manusia dari Bunda Risani mengalir di tubuhnya. "Aku buatkan kopi, supaya kita lebih fresh lagi." Imbuh Maysa berlalu ke bartender.Arlesa menghela nafas. Dia berpikir keras, agar Maysa mengingatnya. Apa yang sudah terjadi, ingatan pada saat di Wandara tak mudah begitu saja di lupakan oleh manusia, karena Wandara dunia yang mengesankan, itu kata manusia yang pernah berkunjung kesana. Arlesa tidak mengetahui, bahwa sebelum Maysa di lepas ke dunianya, Panglima Rajab sudah menghapus ingatan Maysa selama di Wandara. Ini demi menjaga kerahasiaan istana."Ini kopinya, americano." Seru Maysa."Terima kasih," ucapnya seraya menenangkan hati.
Maysa menatap wajah Arlesa yang nyaris sempurna. Bukan, pria itu sudah sempurna bila melihat sudut kacamata manusia.
'Kenapa aku merasa pernah mengenal Arlesa?' batin Maysa. Tanpa ia sadari, batinnya memanggil untuk menyatu pada pangeran Wandara itu. Ada takdir yang sudah mengikat mereka untuk menjalani kisah yang berlawanan dunia.
Takdir yang berkesinambungan agar mengungkap misteri hidup orang-orang di sekitar mereka. Waktu yang akan menjawab, kisah Arlesa dan Maysa sudah di gariskan menjadi sebuah legenda di Kerajaan Wandara kelak.Arlesa memandangi lagi Maysa.
"Setiap malam kamu sendiri disini?" tanyanya"Ya, jika adikku Gala sudah pulang, aku sendiri.""Kenapa kamu harus buka cafe di malam hari?" Maysa tersenyum. Pria itu tidak tahu bagaimana sulitnya hidup di dunia manusia. Seperti Maysa yang berjuang untuk sesuap nasi. Jelas sangat berbeda dengan kesejaterahaan di Wandara."Kalau aku tidak kerja keras, mana mungkin keluargaku bisa makan? adikku juga kuliah dan sekolah. Ini tanggung jawabku." Sahut Maysa lalu menyeruput kopinya.Arlesa terenyuh. Luar biasa, itu yang di simpulkan untuk Maysa. Dia berharap bisa membantu Maysa, tapi bila itu berupa uang langsung, tentu Maysa akan menolaknya. Lalu, apakah dengan cara melindugi dia di malam hari? atau? Arlesa punya rencana. Besok dia akan melakukan itu bersama dengan Gus Alam."Apa akau bisa menemanimu setiap malam disini? hem, kebetulan aku orang yang sulit tidur malam. Jadi, aku ingin berada disini saja setiap malam." Ujar Arlesa.
Antara senang dan khawatir, Maysa masih belum seutuhnya percaya dengan Arlesa. Pria itu di kenalnya tadi siang, waspada tentu juga menyeringainya."Apa kau bisa di percaya?" tanya Maysa agak curiga.Arlesa tertawa kecil, ada lesung pipi nampak di kedua pipinya."Tentu saja, aku bukan orang jahat."
Malam itu mereka habiskan waktu bercengkrama hingga subuh menjelang. Arlesa mengantar Maysa pulang dengan menggunakan taksi. Biasanya, itu tugas Gala yang menjemput kakaknya. Tetapi, ini akan jadi rutinitas Arlesa setiap subuh."Terima kasih, kamu baik sekali, Arlesa." Ucap Maysa polos. "Ya, kamu masuk. Aku akan pergi setelah kamu masuk ke rumah." "Mulai sekarang kita akan jadi teman," imbuh Maysa dengan senyuman manisnya."Teman? ya teman dulu." Sahut Arlesa pelan seakan kalimat itu tak ingin di dengarkan oleh gadis pujaannya.Maysa membuka pintu pagar kayunya, rumah Maysa begitu sederhana, letaknya di pinggiran kota.
Saat di teras rumah, Maysa melambaikan tangan pada Arlesa. Pria itu tersenyum lagi, lalu masuk ke dalam taksi kembali.
Malam itu, Ratu Risani di rundung kesedihan. Arlesa tidak pernah lagi memberi kabar letak keberadaannya. Seluruh pengawal istana, Rexa kerahkan secara diam-diam, tetapi jejak Arlesa sama sekali tak di temukan. Sehingga Rexa menyimpulkan bahwa adiknya itu berada di dunia seberang."Bunda Risani, saya yakin, Arlesa berada di dunia manusia." Ujar Rexa pada ibu tirinya.Ratu Risani perlahan duduk di kursi. Dia tak menyangka Arlesa nekat ke dunia manusia. Bagaimana bila ada manusia yang jahil ingin mengujinya? naluri seorang ibu begitu khawatir."Bunda juga bingung, Nak. Karena Arlesa tidak pernah memberitahu itu." Sahut Ratu Risani.Rexa berjongkok ke ibu tirinya."Biarkan saya menyeberang juga, Bunda. Saya akan mencari Arlesa." Pinta Rexa agar di beri izin."Tapi, Nak. Dunia manusia itu banyak yang jahat." Imbuh Ratu Risani mengingatkan."Saya punya kekuatan melebihi mereka, Bunda." Sahut Rexa meyakinkan."Iya, Tapi kamu hati-hati.
Pelanggan Cafe Zona semua sudah pulang, Bahan di kulkas juga sudah habis. Gala tak sanggup lagi bila dia harus mengantar Maysa ke pasar. Mendengar keluhan Gala, Arlesa menawarkan diri . Dia beranjak ke bartender."Aku bisa antar kamu." Kata Arlesa.Maysa termangu. "Yakin, tidak merepotkan?" tanyanya.Arlesa menganggukkan kepala, "iya.""Baiklah, kita ke pasar sekarang."Mereka berdua menuju ke mobil yang baru saja di beli oleh Gus Alam." Ah, Arlesa bisa saja mengambil kesempatan." Ketus Gus Alam.Sebelum mengemudi, Arlesa mengaktifkan GPSnya. Jalur kota itu belum sepenuhnya ia ketahui. Maysa tersenyum kecil melihat itu."Tenang saja, itu tugasku yang arahkan kamu." Tukas Maysa.Sepulang dari pasar buah, mereka kembali menuju lagi ke Cafe. Arlesa melajukan mobilnya pelan. Dia ingin lebih banyak waktu bersama Maysa. Ada yang ingin ia katakan."Maysa, apa kamu percaya dengan kehidupan metafisik?"
Maysa mengambil bonekanya. Dia tersenyum mengingat moment ketika ayahnya memberikan boneka itu saat berulang tahun yang ke- 9."Ayah .." Lirih Maysa berkaca-kaca."Maysa, kamu mengingatnya?" tanya Arlesa.Maysa mengangguk, "Ini boneka dari ayahku, terakhir kali aku menghilangkannya di hutan.""Aku harap kamu juga mengingatku," ucap Arlesa.Maysa menenggelamkan wajah Arlesa di kedua bola matanya."Aku belum bisa mengingatmu. Tapi aku percaya itu." Sahut Maysa dengan mata berbinar.Arlesa memeluknya kembali. Mengusap kepala Maysa dengan lembut."Aku hampir gila selama lima belas tahun."Maysa belum membalas pelukannya. Tapi ketulusan Arlesa menyentuh kalbunya."Kenapa kamu bisa begitu? aku hanya manusia biasa.""Kamu satu-satunya yang buat aku selalu berpikir tentang cinta." Sahut Arlesa
Malam pun tiba, Arlesa dan Gus Alam duduk di ruang tamu. Sedari tadi, Arlesa hanya berdiam diri. Tak ada sepatah kata pun terucap oleh bibirnya. Gus Alam sedih melihat temannya itu."Arlesa, jangan menyerah. Ada prinsip di dunia kami berkata, sebelum janur kuning melengkung, kita masih bisa punya kesempatan merebutnya." "Itu hal yang tidak baik, Pak Gus. Sama saja merebut dari seseorang yang akan berhak padanya." Timpal Arlesa yang memakai ajaran budi pekerti guru istana kerajaan. Gus Alam tergugu. Dia lupa dengan siapa ia bicara, bukan manusia biasa, melainkan penghuni Wandara yang memiliki hirarki tinggi. "Lalu? kau mau bagaimana? menyerah begitu saja setelah lima belas tahun mencintainya?" Gus Alam protes. Arlesa menghela nafas. Dia juga tak punya jawaban. Tok ! Tok ! Ada yang mengetuk pintu dari luar. Gus Alam beranjak membukanya. Saat memutar knop pintu, di baliknya ada kelima pria kekar. Betapa terkejut
Di dunia berbeda, Maysa juga merenung. Saat ini dia tidak bisa lagi memilih hati Fandi, dia tak akan memberi hidupnya pada pria arogan seperti Fandi. Maysa hanya memikirkan tentang Arlesa yang sudah kecewa tanpa belum mendengarkan jawabannya.Gala juga sudah tak menyetujui bila kakaknya melanjutkan hubungan dengan Fandi. Remaja itu tak bisa membayangkan hari-hari kakaknya berumah tangga dengan pria itu."Kak Maysa, sudah pulanglah. Biar aku saja yang jaga malam ini." Ujar Gala."Tidak usah, kita tutup saja. Lagi pula kita sudah banyak omset." Maysa melepas celmeknya.Gala ingin menanyakan sesuatu. Ini yang sedari tadi mengusik jiwa penasarannya."Kak Maysa memang ada hubungan dengan Arlesa?" tanya Gala pelan."Belum ..." Sahut Maysa lemas."Belum?! Berarti akan?""Entahlah," Maysa tak mampu menerawang itu.Gala tersenyum. Dia menilai Arlesa pribadi yang baik dan sopan. Jiwa dan cara bicaranya lembut bersikap. Jika
Setiba di jalan trans Sulawesi, Gus Alam menghentikan mobilnya, sebelah kiri mereka ada hamparan kebun kopi. Di sebelah jalan itulah, ada anak tangga yang menuju gerbang dimensi Wandara."Benar, disini tempat terakhir aku bermain dulu. Aku ingat, sungai kecil ini, dan tangga ini." Gumam Maysa."Kamu ingat sebagian, tetapi kenapa ingatan kamu di hapus oleh Panglima itu? padahal ada banyak manusia yang keluar masuk dari sini. Tapi ingatan mereka tidak di hapus. Aneh.." Gus Alam berusaha menyelidik.Gala memutuskan hanya menunggu di mobil saja. Dia takut bila sudah berhubungan dengan alam gaib.Gus Alam menuntun Maysa menaiki anak tangga itu, semakin naik melewati aliran sungai kecil."Tunggu disini, Maysa. Saya akan menciba membuka pintu dimensi wandara." Kata Gus Alam.Dia melangkah ke depan. Menangkupka kedua tangan ke dada. Matanya ia pejamkan. Batinnya menembus ke pintu gerbang utama. G
Di Istana Raja Garsan mencari keberadaan Arlesa, anaknya bungsunya itu sudah tidak ada di kursi kebesarannya. Mata Raja Garsan menyorot Ratu Risani, dia meminta jawaban atas perginya Arlesa secara tiba-tiba. Rexa mengetahui adiknya sudah menyeberang dunia lagi. Ini jadi tugasnya untuk menenangkan keadaan tanpa Arlesa. "Ayah, Arlesa terkejut dengan silisilah ini. Dia hanya keluar menenangkan diri," ucap Rexa pada Raja Garsan. Raja Garsan memahami itu. Sementara Rexa kembali ke tempatnya. Dia berencana untuk menyelidiki di balik silsilah yang mengejutkan ini. Di dunia manusia .. Gus Alam membawa Arlesa kembali ke Kota P, bersama Maysa dan Gala. Maysa dan Arlesa duduk di jok belakang. Sepanjang perjalanan, Arlesa mengenggam tangan Maysa. Wajah keduanya tak henti menyungging rona bahagia. Tetapi ada yang menganggu pikiran Arlesa, silsilah itu. Dia tak menyangka di dalam catatan silsilah kakeknya tertulis
Acara silsilah telah usai, Ratu Risani mengikuti Raja Garsan ke kamarnya. Ibu Arlesa itu juga tak menerima silsilah itu. Dia sangat tahu sifat Arlesa, anaknya tidak mungkin mau menikahi wanita yang tidak ia cintai. "Ayah, aku tidak yakin silsilah itu di terima oleh Arlesa," kata Ratu Risani. Raja Garsan juga gelisah, semua yang ada di silsilah itu merubah aturan yang ada di Wandara. "Itu salah satunya Risani, di tambah lagi pintu dimensi harus di tutup selamanya, bagaimana nasib rakyat kita yang sudah menikah di dunia manusia," ujar Raja Garsan. Dia menilik semua yang ada di silsilah itu, tak ada satu pun sama dengan yang di sampaikan oleh ayahnya, Raja Al Chamy. "Padahal, ayah pernah bilang, Arlesa akan di nikahkan dengan anak manusia, itu karena balas budi pada ayah Salim Imran." Raja Garsan sempat di beri tahu oleh Raja Al Chamy tentang pernikahan Arlesa kelak dengan anak manusia, namun kenyataann
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal