Maysa mengambil bonekanya. Dia tersenyum mengingat moment ketika ayahnya memberikan boneka itu saat berulang tahun yang ke- 9.
"Ayah .." Lirih Maysa berkaca-kaca.
"Maysa, kamu mengingatnya?" tanya Arlesa.
Maysa mengangguk, "Ini boneka dari ayahku, terakhir kali aku menghilangkannya di hutan."
"Aku harap kamu juga mengingatku," ucap Arlesa.Maysa menenggelamkan wajah Arlesa di kedua bola matanya.
"Aku belum bisa mengingatmu. Tapi aku percaya itu." Sahut Maysa dengan mata berbinar.
Arlesa memeluknya kembali. Mengusap kepala Maysa dengan lembut.
"Aku hampir gila selama lima belas tahun."
Maysa belum membalas pelukannya. Tapi ketulusan Arlesa menyentuh kalbunya.
"Kenapa kamu bisa begitu? aku hanya manusia biasa.""Kamu satu-satunya yang buat aku selalu berpikir tentang cinta." Sahut ArlesaMalam pun tiba, Arlesa dan Gus Alam duduk di ruang tamu. Sedari tadi, Arlesa hanya berdiam diri. Tak ada sepatah kata pun terucap oleh bibirnya. Gus Alam sedih melihat temannya itu."Arlesa, jangan menyerah. Ada prinsip di dunia kami berkata, sebelum janur kuning melengkung, kita masih bisa punya kesempatan merebutnya." "Itu hal yang tidak baik, Pak Gus. Sama saja merebut dari seseorang yang akan berhak padanya." Timpal Arlesa yang memakai ajaran budi pekerti guru istana kerajaan. Gus Alam tergugu. Dia lupa dengan siapa ia bicara, bukan manusia biasa, melainkan penghuni Wandara yang memiliki hirarki tinggi. "Lalu? kau mau bagaimana? menyerah begitu saja setelah lima belas tahun mencintainya?" Gus Alam protes. Arlesa menghela nafas. Dia juga tak punya jawaban. Tok ! Tok ! Ada yang mengetuk pintu dari luar. Gus Alam beranjak membukanya. Saat memutar knop pintu, di baliknya ada kelima pria kekar. Betapa terkejut
Di dunia berbeda, Maysa juga merenung. Saat ini dia tidak bisa lagi memilih hati Fandi, dia tak akan memberi hidupnya pada pria arogan seperti Fandi. Maysa hanya memikirkan tentang Arlesa yang sudah kecewa tanpa belum mendengarkan jawabannya.Gala juga sudah tak menyetujui bila kakaknya melanjutkan hubungan dengan Fandi. Remaja itu tak bisa membayangkan hari-hari kakaknya berumah tangga dengan pria itu."Kak Maysa, sudah pulanglah. Biar aku saja yang jaga malam ini." Ujar Gala."Tidak usah, kita tutup saja. Lagi pula kita sudah banyak omset." Maysa melepas celmeknya.Gala ingin menanyakan sesuatu. Ini yang sedari tadi mengusik jiwa penasarannya."Kak Maysa memang ada hubungan dengan Arlesa?" tanya Gala pelan."Belum ..." Sahut Maysa lemas."Belum?! Berarti akan?""Entahlah," Maysa tak mampu menerawang itu.Gala tersenyum. Dia menilai Arlesa pribadi yang baik dan sopan. Jiwa dan cara bicaranya lembut bersikap. Jika
Setiba di jalan trans Sulawesi, Gus Alam menghentikan mobilnya, sebelah kiri mereka ada hamparan kebun kopi. Di sebelah jalan itulah, ada anak tangga yang menuju gerbang dimensi Wandara."Benar, disini tempat terakhir aku bermain dulu. Aku ingat, sungai kecil ini, dan tangga ini." Gumam Maysa."Kamu ingat sebagian, tetapi kenapa ingatan kamu di hapus oleh Panglima itu? padahal ada banyak manusia yang keluar masuk dari sini. Tapi ingatan mereka tidak di hapus. Aneh.." Gus Alam berusaha menyelidik.Gala memutuskan hanya menunggu di mobil saja. Dia takut bila sudah berhubungan dengan alam gaib.Gus Alam menuntun Maysa menaiki anak tangga itu, semakin naik melewati aliran sungai kecil."Tunggu disini, Maysa. Saya akan menciba membuka pintu dimensi wandara." Kata Gus Alam.Dia melangkah ke depan. Menangkupka kedua tangan ke dada. Matanya ia pejamkan. Batinnya menembus ke pintu gerbang utama. G
Di Istana Raja Garsan mencari keberadaan Arlesa, anaknya bungsunya itu sudah tidak ada di kursi kebesarannya. Mata Raja Garsan menyorot Ratu Risani, dia meminta jawaban atas perginya Arlesa secara tiba-tiba. Rexa mengetahui adiknya sudah menyeberang dunia lagi. Ini jadi tugasnya untuk menenangkan keadaan tanpa Arlesa. "Ayah, Arlesa terkejut dengan silisilah ini. Dia hanya keluar menenangkan diri," ucap Rexa pada Raja Garsan. Raja Garsan memahami itu. Sementara Rexa kembali ke tempatnya. Dia berencana untuk menyelidiki di balik silsilah yang mengejutkan ini. Di dunia manusia .. Gus Alam membawa Arlesa kembali ke Kota P, bersama Maysa dan Gala. Maysa dan Arlesa duduk di jok belakang. Sepanjang perjalanan, Arlesa mengenggam tangan Maysa. Wajah keduanya tak henti menyungging rona bahagia. Tetapi ada yang menganggu pikiran Arlesa, silsilah itu. Dia tak menyangka di dalam catatan silsilah kakeknya tertulis
Acara silsilah telah usai, Ratu Risani mengikuti Raja Garsan ke kamarnya. Ibu Arlesa itu juga tak menerima silsilah itu. Dia sangat tahu sifat Arlesa, anaknya tidak mungkin mau menikahi wanita yang tidak ia cintai. "Ayah, aku tidak yakin silsilah itu di terima oleh Arlesa," kata Ratu Risani. Raja Garsan juga gelisah, semua yang ada di silsilah itu merubah aturan yang ada di Wandara. "Itu salah satunya Risani, di tambah lagi pintu dimensi harus di tutup selamanya, bagaimana nasib rakyat kita yang sudah menikah di dunia manusia," ujar Raja Garsan. Dia menilik semua yang ada di silsilah itu, tak ada satu pun sama dengan yang di sampaikan oleh ayahnya, Raja Al Chamy. "Padahal, ayah pernah bilang, Arlesa akan di nikahkan dengan anak manusia, itu karena balas budi pada ayah Salim Imran." Raja Garsan sempat di beri tahu oleh Raja Al Chamy tentang pernikahan Arlesa kelak dengan anak manusia, namun kenyataann
Maysa mengajak Arlesa masuk ke rumahnya. Jujur, dia merasa minder sebab rumahnya tak sebagus rumah para tetangganya. Maysa membawa semua belanjaanya ke dalam kamar. Bu Rohma yang sedang menonton tv terkesima melihat perubahan penampilan Maysa. "Anakku, andaikan dari dulu kau begini, " ketus ibunya. "Iya, karena Fandi yang melarangku, Bu," ketus Maysa. "Dia memang tidak baik untukmu, kata Gala dia kasar sama kamu?" Maysa mengangguk. "Bu, di luar ada pacarku, namanya Arlesa, ibu temui dulu." Pinta Maysa. "Kau sudah putus dengan Fandi?" "Sudah." "Maysa, bisakah kamu jangan pacaran lagi, ibu hanya ingin melihat kau menikah," keluh Bu Rohma. "Iya, Bu. Di luar itu lebih baik dari Fandi, ibu keluar temui dia." Ibu Rohma menuju ruang tamu, tertegun melihat pacar baru
Malam hari, Rexa berpindah dimensi, saat itu dunia masih pagi, bersama kedua pengawalnya mereka mengangganti baju menjadi kaos biasa, tak lagi memakai style eropa modern. Ketiga mahluk wandara itu menyambangi Desa Salatiga, dimana Fitri berasal. Desa itu sudah ramai, tak seperti sepuluh tahun yang lalu saat terakhir kali Rexa kesana. "Pangeran Rexa, kita harus mulai dari mana?" tanya salah satu pengawalnya. "Uhs, jangan pakai nama pangeran, panggil Rexa saja, orang-orang disini semua tahu wandara, mereka bisa curiga," protes Rexa. Karena tak terbiasa, pengawal itu sangat sulit memanggil anak rajanya dengan sebutan nama biasa. "Itu rumah Fitri, kita kesana." Rexa menuju rumah Fitri yang sudah berganti yang dulunya hanya rumah kayu menjadi tembok bata. Dengan pelan, pengawal itu mengucap salam seraya mengetuk pintu. Di balik pintu yang terbuka ada nampak wanita tua penuh garis keriput. Matanya mengamat
Rexa tergugu. Tak ada yang bisa di bantahkan bila bibir sudah berbicara tentang cinta. Dia pun merasakan hal demikian tergila-gila dengan Fitri sampai sekarang ini. Rexa yakin, ini keputusan Arlesa yang tak bisa lagi di ganggut gugat."Lanjutkan, kakak dukung kamu."Bel rumahnya berbunyi lagi, saat Gus Alam membuka pintu, nampak Maysa sedang menenteng rantang."Maysa, pagi-pagi sudah datang, hm .. kau rindu pada jin muslimku, ya?" Gus Alam menggodanya."Aku bawa sarapan, ini dari ibu," sahut Maysa.Maysa di tuntun Gus Alam ke ruang tamu. Di sana Maysa terkejut dengan kehadiran ketiga pria lain yang lebih kekar lagi dari Arlesa. Melihay kehadiran Maysa, Rexa memandangi pacar adiknya itu dari ujung kaki hingga kepala, pantas saja adiknya itu jatuh cinta pada manusia, perempuab itu begitu anggun dengan kerudungnya , Maysa memang berbeda dari gadis yang ada di Wandara. Pikir Rexa."Dia Kak Rexa, ka
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal