Malam hari, Rexa berpindah dimensi, saat itu dunia masih pagi, bersama kedua pengawalnya mereka mengangganti baju menjadi kaos biasa, tak lagi memakai style eropa modern.
Ketiga mahluk wandara itu menyambangi Desa Salatiga, dimana Fitri berasal. Desa itu sudah ramai, tak seperti sepuluh tahun yang lalu saat terakhir kali Rexa kesana."Pangeran Rexa, kita harus mulai dari mana?" tanya salah satu pengawalnya."Uhs, jangan pakai nama pangeran, panggil Rexa saja, orang-orang disini semua tahu wandara, mereka bisa curiga," protes Rexa.Karena tak terbiasa, pengawal itu sangat sulit memanggil anak rajanya dengan sebutan nama biasa. "Itu rumah Fitri, kita kesana." Rexa menuju rumah Fitri yang sudah berganti yang dulunya hanya rumah kayu menjadi tembok bata.Dengan pelan, pengawal itu mengucap salam seraya mengetuk pintu. Di balik pintu yang terbuka ada nampak wanita tua penuh garis keriput. Matanya mengamatRexa tergugu. Tak ada yang bisa di bantahkan bila bibir sudah berbicara tentang cinta. Dia pun merasakan hal demikian tergila-gila dengan Fitri sampai sekarang ini. Rexa yakin, ini keputusan Arlesa yang tak bisa lagi di ganggut gugat."Lanjutkan, kakak dukung kamu."Bel rumahnya berbunyi lagi, saat Gus Alam membuka pintu, nampak Maysa sedang menenteng rantang."Maysa, pagi-pagi sudah datang, hm .. kau rindu pada jin muslimku, ya?" Gus Alam menggodanya."Aku bawa sarapan, ini dari ibu," sahut Maysa.Maysa di tuntun Gus Alam ke ruang tamu. Di sana Maysa terkejut dengan kehadiran ketiga pria lain yang lebih kekar lagi dari Arlesa. Melihay kehadiran Maysa, Rexa memandangi pacar adiknya itu dari ujung kaki hingga kepala, pantas saja adiknya itu jatuh cinta pada manusia, perempuab itu begitu anggun dengan kerudungnya , Maysa memang berbeda dari gadis yang ada di Wandara. Pikir Rexa."Dia Kak Rexa, ka
Malam pun tiba. Rexa dan Gus Alam masih meninjau rumah pak Hendra dari kejauhan. Rumah itu hanya terlihat Fandi yang sejak tadi keluar bersama mobilnya. Tak ada sosok bu Rosa dan pak Hendra. Karena lelah menunggu, Rexa memutuskan untuk turun dari mobil, di ikuti pula oleh Gus Alam. Mereka masuk ke rumah itu lagi. Sepertu biasa Bi Nasih mengendap-ngendap membukakan pintu. "Kebetulan, bu Rosa dan pak Hendra tak ada di rumah, mereka keluar kota. Tuan Fandi juga sedang keluar rumah," kata Bi Nasih. Gus Alam dan Rexa memakai mata batinbya menyelidik rumah itu. Ada satu ruangan dari rumah itu yang begitu panas menyambut mereka. "Pangeran juga bisa merasakannya?" tanya Gus Alam. "Iya, tidak di lantai ini, tapi ada di bagian bawah," sahut Rexa. "Kalau boleh tahu kalian siapa? kenapa mencari Bu Fitri?" tanya Bi Nasih. "Ka
Arlesa sudah tiba di rumah, dia melihat ada Rexa, Gus Alam, dan kedua pengawalnya sedang berunding di ruang santai. "Sudah kencannya?" tanya Rexa. Arlesa hanya tersenyum. Dia begitu bahagia hari ini bisa menghabiskan waktu bersama Maysa. "Kak, bagaimana dengan pencarian Fitri?" Arlesa balik bertanya. Kakaknya hanya bisa menghela nafas. Tak tahu harus menjawab apa, dia masih belum bisa memastikan apa Fitri baik-baik saja atau memang dia sudah meninggal. "Saya curiga, Ayah dan Ibu Fandi menyembunyikan Fitri, kami penasaran dengan ruang bawah tanah di rumah itu," ujar Gus Alam. "Benarkah, Pak Gus? kalau begitu kita memang harus cari cara agar bisa turun ke bawah," timpal Arlesa. "Caranya? sulit bila kita orang asing harus masuk ke rumah itu sesuka hati, tidak mungkin," tukas Gus Alam. Arlesa memikirkan sesuatu, Maysa lama berpacara dengan Fandi, tentu dia sering
Pagi hari Rexa kembali bersiap-siap untuk ke rumah Fandi. Sehabis mencuci mobil, Gus Alam sudah menunggu di bawa, mobil Arlesa dan mobil barunya sudah bersih lagi."Kita jemput Maysa dulu di Cafe," kata Arlesa.Setiba mereka di cafe zona, Arlesa melihat Maysa sedang berbincang dengan Suni."Itukan wanita yang semalam, dia juga ganggu, Maysa," lirih Arlesa dalam hati.Suni melihat kedatangan Arlesa dan Rexa juga dua pengawal buat dia terkejut, ke empat pria itu semua jin muslim. Dia melempar senyum ke Arlesa, tapi pacar Maysa itu membuang pandangan. Arlesa malah menghampiri Maysa lalu merangkul tubuh pacarnya."Kamu lama menunggu, ya?" tanya Arlesa."Aku baru datang, oh ya, ini Suni pemiliki cafe run di pantai itu," ucap Maysa mengenalkan Suni.Arlesa hanya tersenyum masam. Dia lagi-lagi menolak uluran tangan Suni. Melihat itu Maysa tidak enak hati pada Suni karena sikap pacarnya. Arlesa sangat
Arlesa mengusap kepala Maysa, "Kamu tidak di sakiti pria itu, kan?" tanyanya. "Aman, tapi aku yakin, Fandi marah besar saat ini," tukas Maysa. Rexa diam memikirkan rencana selanjutnya. Dia harus bisa menerobos langsung rumah Fandi. Jika penemuan Maysa membuat dia yakin akan jejak Fitri, dia tak mungkin tenang bila kebenaran itu belum jua terungkap. "Rumah itu memang luar biasa mistisnya. Kita harus cermat lagi untuk menerobos," imbuh Gus Alam. "Tapi jangan bawa Maysa lagi, ini sangat bahaya bagi perempuan," kata Arlesa. Kesempatan mereka hanya malam ini, kata Bi Nasih, pak Hendra dan Bu Rosa akan kembali esok hari. "Aku tahu, bagaimana cara aku dan pangeran Rexa masuk ke rumah itu nanti malam," kata Gus Alam mengemukakan ide cemerlangnya. Ide itu di bisikkan kepada Rexa, kakak Arlesa pun itu menyetujui. Mereka kembali pulang lagi ke rumah menyusun taktik untuk malam nanti. Sementara &nb
Sehabis mahgrib rumah Fandi mengalami kerusakan listrik. Rumah mewah pak Hendra begitu gelap mengcekam. Bi Nasih hanya menyalakan lilin di setiap ruangan, tapi tetap saja kegelapan tak mampu di kalahkan cahaya lilin itu. Karena pelembab ruangan mati, Fandi pun kepanasan di kamarnya, dia bergegas keluar rumah."Panas banget, Bi. Aku keluar dulu, jaga rumah baik-baik," kata Fandi yang menenteng kunci mobilnya. Di luar ada Rexa yang menyamar sebagai petugas PLN, meski agak gugup, Rexa, Gus Alam, dan kedua pengawalnya mencoba menyapa Fandi di teras rumah."Maaf, Pak. Kami petugas PLN di minta untuk mengecek kerusakan kabel utama di rumah ini," kata Gus Alam merendah. Saat itu sulit untuk Fandi mengenalinya sebab wajah ahli spiritual itu di tutupi masker. Mereka memang sengaja memadamkan listrik di rumah Fandi, ini cara agar Fandi keluar rumah dan mereka lebih leluasa berpetualang di rumah misteri itu."Ya, silahkan masuk," sahut Fandi mengiba
Pagi pun tiba, Arlesa sudah mandi juga sudah rapi, sementara Maysa masih tertidur, pria ini memang sudah disiplin sejak kecil. Naluri kedisiplinannya melekat kuat hingga dewasa. Dia merasa ada sosok jin kafir yang memang mengintai Maysa dari jaih, entah itu berasal dari mana, tapi selama Arlesa ada di dekat Maysa, jin kafir itu enggan mendekati calon istrinya. Arlesa menepuk-nepuk lembut pipi Maysa. Lakon ini mungkin setiap pagi akan ia lakukan, Maysa akan selalu terjaga di malam hari karena ketakutan pada sosok mahluk-mahluk yang acapkali mengintainya dengan kehadiran Arlesa. "Maysa, bangun, sudah pagi," ujarnya berbisik. Mata indah Maysa mengerjap. Sempat bingung melihat kehadiran Arlesa namun seketika ia sadari, dia memang sedang tidur rumah Arlesa. "Kamu mandi sekarang, lalu kita sarapan, kita akan semua menyeberang ke wandara," lanjut Arlesa. Maysa bangun dengan mata yang menyipit. Di
Setiba di gerbang dimensi itu lagi, Rexa meminta penjaga gerbang pertama agar merahasiakan kedatangan mereka. Rexa saling bergenggaman tangan dengan Fitri, begitu pun Arlesa yang saling mengikat erat dengan lengan Maysa."Genggam tanganku juga, ayo," seru Gus Alam pada salah satu pengawal wandara."Istriku dayang istana, jika melihat kita, aku tidak dapat jatah nanti," keluh pengawal Rexa.Gus Alam menepuk lengan kekar pengawal itu."Badanmu saja yang besar! Ternyata jin juga takut istri, astaga dunia-dunia .." Gus Alam mengerutu."Kalian siap?" tanya Rexa."Maysa, ikuti langkahku, jangan menoleh, jika takut dengan cahaya, pejamkan saja matamu," kata Arlesa.Perlahan mereka memasuki gerbang pertama, cahaya mulai menyinari mata Maysa yang begitu rapat terpejam, pintu itu di jaga oleh kedua pengawal kekar memakai atribut tentara.Pintu kedua cahayanya makin terang, hingga
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal