"Ha, kenalkan nama saya Gus Alam. Seorang praktisi spiritual di kota ini." Ujarnya.
Gus Alam masih penasaran dengan tujuan Arlesa menyambangi dunia manusia.
"Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang." Sahut Arlesa yang mulai menyeruput kopinya.
"Hmm, saya yakin seseorang itu pasti perempuan. Kau jatuh cinta pada perempuan di dunia kami?" tanya Gus Alam.
Arlesa mengerutkan alis, baru kali ini ada orang yang selancang itu padanya, tetapi dia berusaha mengerti bahwa sekarang ia berada di dunia yang berbeda, tak ada orang yang tahu kastanya disini, termasuk Gus Alam.
"Itu jadi rahasia pribadiku." Sahut Arlesa sembari mengguratkan ketegasan di wajahnya buat Gus Alam tergugu.
"Maaf, saya sudah lancang."
Gus Alam membekap mulutnya sendiri, terlihat mimik Arlesa sedikit kesal padanya. Wah, pria muda di hadapannyan menyimpan kharisma kebangsawanan, Gus Alam yakin, pria muda ini bukan orang biasa di Kerajaan Wandara, dan itu menariknya untuk mencari tahu tentang siapa identitas Arlesa di Wandara sana.
"Siapa nama kamu?"
"Arlesa."
"Iya, Arlesa, jika kamu butuh bantuan, atau ada seseorang yang mengganggumu, bilang padaku." Ujar Gus Alam.
Arlesa hanya mengangguk saja, Gus Alam tidak mengetahui kemampuan Arlesa yang sudah sangat menguasai bela diri, menggunakan pedang, pistol, berbagai ilmu bela diri lainnya dari Ayahnya, Raja Garsan.
Maysa sudah membawakan jus jeruk milik Gus Alam, telinganya menyimak sedikit pembicaraan para tamunya itu yang berkata 'Kamu pasti bukan dari keluarga sembarangan' itu penuturan Gus Alam pada Arlesa yang di dengar oleh Maysa.
Iya, memang benar, bila melihat penampilan Arlesa yang berstyle seperti pangeran dari kerajaan Eropa, aura kebangsawanannya pun terpancar jelas di wajah tampannya.
"Ini jusnya, Pak." Maysa meletakkannya tepat di depan Gus Alam.
"Oh, terima kasih." Ucap Gus Alam.
Mata Arlesa mencuri pandang ke Maysa, jauh di dalam lubuk hatinya dia ingin berlama-lama memandangi gadis yang sangat ia rindukan itu, namun waktu ini belum memungkinkannya melakukan hal demikian, yang ada nanti buat Maysa kebingungan dan merasa tidak nyaman.
Setelah Maysa enyah dari hadapan mereka, Gus Alam lagi-lagi berceletuk, sudah dua kali ia memasuki Kerajaan Wandara, tetapi banyak misteri yang belum terpecahkan olehnya, berbagai fakta kehidupan yang ia temui di Wandara buat dirinya tercengang, aktivitas keagamaan begitu kental disana, belum lagi teknologi di Negara Wandara sangat maju.
"Di Wandara itu di pimpin oleh Raja? Kalau boleh tau, siapa rajanya? Hm, aku dengar dari orang-orang yang penghuni disana , ada yang pernah melihat Pak Soekarno, memang iya?" deretan pertanyaan Gus Alam buat Alesa mengeleng.
Arlesa malah menyeruput kopinya, tak ada jawaban yang akan di berikan pada Gus Alam, ia pikir Gus Alam belum bisa menelaah semua kerjaan Wandara, lagipula ini rahasia kerajaannya, Arlesa tak mungkin sembarang mengungkapkan segala misteri itu pada manusia yang tak di kenalnya.
"Ck, aku tahu, kamu tidak akan menjawab hal -hal seperti itu. Ya sudah, aku tidak akan bertanya lagi." Ketus Gus Alam kecewa.
Arlesa kembali pada tujuannya datang ke cafe itu, dari jauh dia terus memperhatikan kesibukan Maysa yang mengelap meja dan kursi pelanggan. Gadis itu tumbuh menjadi pribadi yang rajin dan pekerja keras, sempat Arlesa berpikir bila Maysa menjadi gadis yang manja dan nakal di era modern seperti ini, tetapi melihat itu semua, Arlesa makin kagum padanya.
Gus Alam mengamati tatapan misteri Arlesa pada gadis pemilik cafe zona itu, dia pun menyimpulkan bahwa tujuan Arlesa mungkin saja adalah gadis yang melayaninya itu.
"Pasti gadis itu .." Lirih Gus Alam dalam hati.
Sejam mereka lewati duduk bersantai di cafe zona, Arlesa memutuskan untuk pulang dulu, Gus Alam pun demikian, Arlesa menuju ke meja kasir untuk membayar minuman mereka tadi, disana sudah ada Maysa yang duduk sembari memainkan ponselnya.
"Ini untuk minumanku tadi, sekalian aku membayarkan bapak itu." Ujar Arlesa memberikan lembaran 1 juta pada Maysa.
Mata Maysa membelalak, dia mengeleng lalu berkata,
"Ini kebanyakan, harga totalnya hanya 50 rb saja."
"Ambil saja, Minuman buatanmu sangat enak, baginya uang ini hanya recehan saja. Sudah, ambil saja. Anggap ini tip dari kami." Gus Alam mencoba memaksanya.
Tangan Maysa masih saja berat meraih lembaran uang dari tangan pemuda tampan di hadapannya.
"Ini .." Arlesa meletakkan di atas meja kasir.
Dia berlalu keluar dari cafe itu di susul oleh Gus Alam, meninggalkan Maysa yang merasa tidak enak hati mendapat uang sebanyak itu dari pelanggannya.
"Kenapa pria itu sangat royal, ini banyak sekali, ya Allah." Gumam Maysa memilah-milah uang itu.
"Kak, itu uang siapa?" seru Gala yang dari dapur mengupas buah. Remaja itu terkejut melihat uang di tangan kakaknya.
"Ini tip dari pelanggan tadi."
"Dari Laki-laki yang gagah itu? Wah, dia pasti kaya raya." Imbuh Gala.
"Sepertinya, dia pernah kamu layani sebelumnya? karna kakak baru lihat dia mampir disini."
" Aku juga baru melihatnya, Kak. Ini rejeki kita, aku minta dong selembar."
Maysa memberikan 300 rb pada Gala.
"Ini kamu belikan sepatu dan baju. Sisanya aku mau kasih ke Ibu." Ujar Maysa.
Di ujung trotoar Arlesa masih menunggu taksi pesanannya, Gus Alam masih mengkutinya, pria paruh baya itu makin penasaran dengan Arlesa, dia ingin mengetahui tempat tinggal penghuni wandara itu selama di dunia manusia.
"Pak Gus Mau ikut ke rumahku?" tanya Arlesa.
"Jika boleh, aku senang hati." Sahut Gus Alam.
"Baik, Pak Gus bisa bertamu ke rumahku, tapi ini sudah jadi rahasia kita." Pinta Arlesa lagi memperingatkan Gus Alam.
"Siap, aku manusia yang bisa di percaya."
Taksi online pun sudah nampak dari jauh, sopir taksi melambaikan tangan pada kedua pria itu, memastikan mereka adalah calon penumpangnya. Arlesa membalas dengan anggukan kepala. Mereka sudah memasuki taksi itu.
"Sesuai titik ya, Pak." Ujar Sopir muda itu.
"Iya." Sahut Arlesa.
Mobil itu melaju ke belahan kota yang berada di komplek perumahan mewah di kota itu. Perumahan yang hanya dinaungi pengusaha juga pejabat negara yang berpangkat tinggi. Gus Alam mengeleng dengan gaya hidup penghuni wandara itu, luarbiasa bisa berkeliaran di dunianya namun bisa hidup dengan di tunjangi fasilitas rumah mewah.
"Sudah sampai, Pak, sesuai titiknya." Ujar sopir itu melihat peta GPS.
Arlesa lagi-lagi membayar lebih pada sopir taksi itu, ucapan syukur dan terima kasih di lontarkannya pada Arlesa, Gus Alam hanya tertegun melihat royalnya mahluk wandara tersebut.
Arlesa membuka gembok pagar rumahnya, Gus Alam makin terperangah melihat kemewahan rumah Arlesa, berlantai dua. Rumah itu di perkirakan seharga 3 miliar harga jualnya. Dia saja yang bertahun-tahun menjadi ahli spiritual tidak akan mampu membeli rumah semegah itu.
"Ayo, masuk Pak Gus." Ucap Arlesa.
"Ha, rumah ini sangat besar, kamu membelinya?"
"Tidak, aku tidak punya surat lengkap untuk itu, jadi hanya aku menyewanya saja selama setahun." Sahut Arlesa sudah melangkah masuk ke ruang tamunya.
"Arlesa, kau seperti anak konglomerat di dunia kami. Luar biasa .." Gus Alam tak henti melantunkan pujiannya.
"Berhentilah berkata seperti itu, Pak Gus, aku hanya numpang di dunianya Pak Gus." Tukas Arlesa.
Di dunia yang berbeda, keluarga Kerajaan Wandara bersiap untuk makan malam, ketiga ratu dan ketiga pangeran lainnya sudah menunggu Raja Garsan di meja makan.Ratu Flora istri pertamanya, memiliki dua putra yang bernama Folan dan Jeval, sedangkan istri kedua Ratu Indara memiliki seorang putra bernama Rexa. Ketiga istrinya hidup rukun, namun dua di antara pangeran mereka tak sejalan dengan Arlesa, setiap pendapat Folan dan Jeval mereka selalu berujung bentrok dengan Arlesa, rasa cemburu pada Arlesa membawa mereka menyimpan kedengkian pada adik bungsunya tersebut.Terlebih lagi saat Raja Garsan berniat menjadikan Arlesa sebagai Raja berikutnya setelah dia turun tahta, buat Folan dan Jeval murka, mereka makin memusuhi Arlesa.Raja Garsan telah memasuki ruangan makan keluarga, dia duduk di kursi kepemimpinannya sebagai kepala keluarga. Dia melirik ke kursi Arlesa yang tak berpenghuni."Kenapa Arlesa sudah j
Gus Alam masih menunggu Arlesa di ruang tamu, Arlesa masih di dalam kamar mengganti pakaiannya, terlihat di laci meja boneka beruang coklat yang usang duduk lesuh, Arlesa tersenyum kecil pada boneka Maysa itu."Aku sudah menemukan, Tuanmu." Ucap Arlesa pada boneka itu.Dia membayangkan senyuman manis Maysa saat di Cafe, Ah, betapa manisnya gadis itu. Wajahnya penuh keluguan, ada ketulusan, hangat, dan ceria. Tak sia-sia dia menjaga hati untuk putri kecil itu, kata orang, cinta memang kadang buat orang bodoh, Arlesa menunggu waktu selama 15 tahun hanya bertemu dengan gadis dari dunia seberang.Padahal, di dunianya bertebaran gadis cantik yang sangat memujanya. Namun hanya Maysa yang menjebaknya dalam kenangan. Akankah Maysa mengingat Arlesa bila memperkenalkan diri lagi? Arlesa harap demikian.Setelah berganti pakaian dengan kaos oblong putih, Arlesa turun ke lantai bawah, di ruang tamu masih ada Gus Alam yang masih mengamati setiap interior rumah sewaan i
Maysa masih menilik setiap kalimat Arlesa. Pria tampan itu sangat santun bicara, lembut, juga meneduhkan. 'Pasti dia berasal dari keluarga ningrat, tutur bahasanya lembut sekali.' Imbuh Maysa dalam hati. "Arlesa, kamu berasal dari kota mana?" tanya Maysa mencoba akrab. Arlesa tergugu. Jawaban itu belum ia persiapkan. Dia sama sekali tak tahu nama Kota di dunia manusia. "Dari Kota Bandung." Ujar Gus Alam yang tiba-tiba nimbrung di antara mereka. Arlesa yang tadi tegang, kini bernafas lega. Tak rugi dia berteman dengan Gus Alam, pria paruh baya itu bisa menolongnya dari hal-hal yang tak dia ketahui di dunia manusia. "Bandung? wah, jauh, ya." Ujar Maysa. Arlesa megangguk, dia terjebak dalam kebohongan kecil lagi. Seharusnya dia memberitahu Maysa bahwa dirinya adalah Pangeran Arlesa dari kerajaan Wandara. Arlesa memberikan t
Malam itu, Ratu Risani di rundung kesedihan. Arlesa tidak pernah lagi memberi kabar letak keberadaannya. Seluruh pengawal istana, Rexa kerahkan secara diam-diam, tetapi jejak Arlesa sama sekali tak di temukan. Sehingga Rexa menyimpulkan bahwa adiknya itu berada di dunia seberang."Bunda Risani, saya yakin, Arlesa berada di dunia manusia." Ujar Rexa pada ibu tirinya.Ratu Risani perlahan duduk di kursi. Dia tak menyangka Arlesa nekat ke dunia manusia. Bagaimana bila ada manusia yang jahil ingin mengujinya? naluri seorang ibu begitu khawatir."Bunda juga bingung, Nak. Karena Arlesa tidak pernah memberitahu itu." Sahut Ratu Risani.Rexa berjongkok ke ibu tirinya."Biarkan saya menyeberang juga, Bunda. Saya akan mencari Arlesa." Pinta Rexa agar di beri izin."Tapi, Nak. Dunia manusia itu banyak yang jahat." Imbuh Ratu Risani mengingatkan."Saya punya kekuatan melebihi mereka, Bunda." Sahut Rexa meyakinkan."Iya, Tapi kamu hati-hati.
Pelanggan Cafe Zona semua sudah pulang, Bahan di kulkas juga sudah habis. Gala tak sanggup lagi bila dia harus mengantar Maysa ke pasar. Mendengar keluhan Gala, Arlesa menawarkan diri . Dia beranjak ke bartender."Aku bisa antar kamu." Kata Arlesa.Maysa termangu. "Yakin, tidak merepotkan?" tanyanya.Arlesa menganggukkan kepala, "iya.""Baiklah, kita ke pasar sekarang."Mereka berdua menuju ke mobil yang baru saja di beli oleh Gus Alam." Ah, Arlesa bisa saja mengambil kesempatan." Ketus Gus Alam.Sebelum mengemudi, Arlesa mengaktifkan GPSnya. Jalur kota itu belum sepenuhnya ia ketahui. Maysa tersenyum kecil melihat itu."Tenang saja, itu tugasku yang arahkan kamu." Tukas Maysa.Sepulang dari pasar buah, mereka kembali menuju lagi ke Cafe. Arlesa melajukan mobilnya pelan. Dia ingin lebih banyak waktu bersama Maysa. Ada yang ingin ia katakan."Maysa, apa kamu percaya dengan kehidupan metafisik?"
Maysa mengambil bonekanya. Dia tersenyum mengingat moment ketika ayahnya memberikan boneka itu saat berulang tahun yang ke- 9."Ayah .." Lirih Maysa berkaca-kaca."Maysa, kamu mengingatnya?" tanya Arlesa.Maysa mengangguk, "Ini boneka dari ayahku, terakhir kali aku menghilangkannya di hutan.""Aku harap kamu juga mengingatku," ucap Arlesa.Maysa menenggelamkan wajah Arlesa di kedua bola matanya."Aku belum bisa mengingatmu. Tapi aku percaya itu." Sahut Maysa dengan mata berbinar.Arlesa memeluknya kembali. Mengusap kepala Maysa dengan lembut."Aku hampir gila selama lima belas tahun."Maysa belum membalas pelukannya. Tapi ketulusan Arlesa menyentuh kalbunya."Kenapa kamu bisa begitu? aku hanya manusia biasa.""Kamu satu-satunya yang buat aku selalu berpikir tentang cinta." Sahut Arlesa
Malam pun tiba, Arlesa dan Gus Alam duduk di ruang tamu. Sedari tadi, Arlesa hanya berdiam diri. Tak ada sepatah kata pun terucap oleh bibirnya. Gus Alam sedih melihat temannya itu."Arlesa, jangan menyerah. Ada prinsip di dunia kami berkata, sebelum janur kuning melengkung, kita masih bisa punya kesempatan merebutnya." "Itu hal yang tidak baik, Pak Gus. Sama saja merebut dari seseorang yang akan berhak padanya." Timpal Arlesa yang memakai ajaran budi pekerti guru istana kerajaan. Gus Alam tergugu. Dia lupa dengan siapa ia bicara, bukan manusia biasa, melainkan penghuni Wandara yang memiliki hirarki tinggi. "Lalu? kau mau bagaimana? menyerah begitu saja setelah lima belas tahun mencintainya?" Gus Alam protes. Arlesa menghela nafas. Dia juga tak punya jawaban. Tok ! Tok ! Ada yang mengetuk pintu dari luar. Gus Alam beranjak membukanya. Saat memutar knop pintu, di baliknya ada kelima pria kekar. Betapa terkejut
Di dunia berbeda, Maysa juga merenung. Saat ini dia tidak bisa lagi memilih hati Fandi, dia tak akan memberi hidupnya pada pria arogan seperti Fandi. Maysa hanya memikirkan tentang Arlesa yang sudah kecewa tanpa belum mendengarkan jawabannya.Gala juga sudah tak menyetujui bila kakaknya melanjutkan hubungan dengan Fandi. Remaja itu tak bisa membayangkan hari-hari kakaknya berumah tangga dengan pria itu."Kak Maysa, sudah pulanglah. Biar aku saja yang jaga malam ini." Ujar Gala."Tidak usah, kita tutup saja. Lagi pula kita sudah banyak omset." Maysa melepas celmeknya.Gala ingin menanyakan sesuatu. Ini yang sedari tadi mengusik jiwa penasarannya."Kak Maysa memang ada hubungan dengan Arlesa?" tanya Gala pelan."Belum ..." Sahut Maysa lemas."Belum?! Berarti akan?""Entahlah," Maysa tak mampu menerawang itu.Gala tersenyum. Dia menilai Arlesa pribadi yang baik dan sopan. Jiwa dan cara bicaranya lembut bersikap. Jika
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal