Maysa yang tak sadarkan diri sudah di kelilingi sanak saudaranya, mereka berkumpul dengan melantunkan ayat suci Alqur'an untuk keselamatan anak perempuan dari Ibu Rohma itu. Di ujung kepala Maysa, ada Ibunya yang mengusap kepala anaknya dengan lembut.
Di alam yang berbeda, Arlesa memasuki kamar rahasianya kembali, di lihatnya setiap sudut ruangan megah itu, dia terbayang dengan Maysa yang hadir di kamarnya, matanya mengarah ke sebuah boneka beruang berwarna coklat tergeletak di atas kasur, Arlesa meraih boneka beruang yang ia yakini itu milik Maysa.
Dia memandangi boneka beruang kecil itu seraya berkata.
"Suatu saat aku akan mengembalikan ini padamu, Maysa."
**************
15 tahun kemudian..
Dunia manusia.
"Apa pelanggan banyak siang tadi?" tanya perempuan berambut panjang itu pada seorang remaja laki-laki.
"Ah, lumayan, Kak. Cukup memutar modal hari ini." Sahut adiknya yang masih meracik kopi untuk persiapan para pelanggannya.
"Alhamdulillah, syukur. Karna bulan ini banyak yang harus kita bayar, sewa tempat, uang kuliahmu, belum lagi Yoga harus masuk SMP, nanti malam kakak akan lembur." Tuturnya yang berlalu ke arah dapur utama cafe miliknya.
Dia mencuci semua buah-buah yang di belinya dari pasar, aktivitas kesehariannya hanya di habiskan bekerja mengelola cafe kecil yang ia rintis bersama adiknya, Gala. Semua kebutuhan hidup bergantung pada usahanya tersebut, sebagai tulang punggung keluarga, dia harus sadar diri agar tidak menjadi pribadi manja.
"Kak Maysa, aku ke toilet dulu. Ada pelanggan di luar, layani, ya," Gala berlalu ke toilet belakang.
Di meja pemesanan, sudah ada seorang pria tampan yang berdiri. Usianya tidak beda jauh dengan Maysa yang berusia 25 tahun, Pria itu memiliki badan tegap atletis, wajahnya oriental campur Eropa memiliki alis tebal dan hidung lancip.
Maysa memperhatikan pelanggannya itu, sepertinya orang itu baru pertama kali mampir di cafenya, semua yang ia kenakan melambangkan barang mahal. Orang ini pasti pengusaha dari luar kota, batin Maysa menerka.
"Mau pesan apa, Pak ?" tanya Maysa pada pria itu.
Waktu terasa berhenti berdetik, seakan Maysa dan pria di hadapannya mengalami Deja Vu, kenangan masa silam saat mereka kecil terkenang, tapi bagi Maysa suatu keanehan karna apa yang terbayang di pelupuk matanya hal yang tak pernah ia lakukan dan tempat itu sama sekali ia tak ketahui.
Pria itu masih memandangi Maysa yang kebingungan, matanya begitu sendu, wajah itu yang selama ini ia cari, lima belas tahun dia menantikan moment ini agar bertemu dengan gadis kecil yang pernah memasuki kerajaannya.
Dia Arlesa, dua minggu telah ia lewati mencari keberadaan Maysa, terakhir di Desa tempat Ayah Maysa berasal disitu Pangeran Arlesa berkeliling namun Maysa tak kunjung ia temukan. Info yang ia dapatkan dari warga Desa setempat Maysa dan keluarganya sudah tidak tinggal lagi di Desa tersebut.
Arlesa bersama kedua pengawalnya mencari informasi tentang Kota dimana Maysa menetap bersama keluarganya, perjuangan Arlesa menemukan titik terang, dari pengawal yang membantunya ada seseorang yang mengatakan Maysa dan keluarga berada di Kota Maluli, Arlesa memutuskan untuk ke Kota ini.
Memang Sejak kepergiaan Ayah Maysa, Ibu Rohma memilih untuk kembali ke Kota asalnya, dia membesarkan Maysa dan kedua adiknya tanpa seorang suami mendampingi.
"Pak, maaf. Tadi rasakan keanehan juga? seperti saya mengenali anda." tanya Maysa pada pelanggannya itu.
"Iya, saya juga merasakannya." Sahut Arlesa.
"Dimana? Maaf, saya terkejut karna baru kali ini saya membayangkan keanehan itu."
"Saya, ingin pesan kopi americano."
Arlesa mengalihkan pembicaraan, dia rasa ini belum saatnya untuk memberitahu Maysa bahwa dia adalah Arlesa putra mahkota Kerajaan Wandara.
Mendengar itu, tanpa mengulur waktu, Maysa langsung membuatkan kopi pesanan Arlesa, meski jawaban yang ia tunggu belum terjawab oleh pria tampan itu.
"Silahkan menunggu dulu, Pak. Pilih meja dan kursi yang nyaman untuk anda." Tutur Maysa mempersilahkan Arlesa duduk.
Sore itu cafe milik Maysa sangat sepi, entah karna hujan baru saja reda atau memang rezekinya lagi seret. Dia hanya memasrahkan diri saja, setidaknya kebutuhan bulanan harus tercukupi.
Arlesa memilih duduk di sudut paling kiri, cafe milik Maysa di desain minimalis dengan sentuhan klasik di interiornya. Tidak mewah, juga tidak sederhana. Lumayan nyaman buat hunting para muda mudi.
Sementara kopinya di racik, Arlesa membuka ponsel yang di kirim oleh Ratu Risani, Ibunya menanyakan keberadaannya sekarang, karna sudah dua minggu Arlesa tak kunjung kembali ke Wandara.
Ting ! ting !
Bunyi bel tamu terdengar lagi pertanda ada pelanggan yang akan memasuki Cafe. Pria paruh baya yang menenteng tas, memakai jas hitam dengan bandana hitam melingkar di kepalanya.
Mulut pria itu menganga, tercengang melihat penampakan Arlesa, perlahan dia mendekati Arlesa yang masih menatap ponselnya.
"Dari mencium aromamu, kau penghuni dunia lain. Seperti penghuni Wandara," ujar pria paruh baya itu mengamati garis wajah Arlesa, dia seorang praktisi spiritual yang sangat terkenal di Kota tersebut. Dia juga pernah menyambangi Kerajaan Wandara yang banyak membuat orang penasaran.
Tentu Arlesa terkejut sebab pria di hadapannya mengetahui jati dirinya. Dia masih mengunci mulut dengan rapat, Arlesa ingin menguji seberapa jauh ilmu spiritual pria di hadapannya itu.
Pria itu mengenduskan nafasnya kembali, cara itu agar lebih menerawang Arlesa dengan teliti.
"Kamu bukan jin muslim seutuhnya, ada darah manusia mengalir di tubuhmu. Kamu benar-benar penghuni Kerajaan Wandara." Tutur pria itu lagi penuh keyakinan.
"Tolong, rendahkan suaramu. Aku tidak ingin orang tahu dan ketakutan mendengarnya." Pinta Arlesa bernada rendah.
Tebakan pria itu sangat benar, Arlesa memiliki sebagian darah manusia pada tubuhnya itu karna Ibunya Ratu Risani seorang manusia seutuhnya, tetapi karna tregedi penyiksaan dari suami terdahulunya, Ratu Risani mengalami keputusasaan sehingga memberanikan diri memasuki Kerajaan Wandara lalu di nikahi oleh Raja Garsan.
"Iya, saya minta maaf. Tapi tebakanku benar, kan? Kamu penghuni Wandara? Ah, kenapa bisa ada disini?" sederet pertanyaan pria itu yang sudah duduk anteng di samping Arlesa.
Arlesa mengeluarkan sejumlah uang di tas selempang hitamnya, dia berniat untuk menutup mulut pria yang sangat mengganggu ketenangannya itu.
"Ini cukup untuk merahasiakan identitasku. Jangan sampai orang lain tahu akan hal ini, saya tidak ingin mereka ketakutan." Ujar Arlesa menyelipkan tumpukan uang di saku jas ahli spiritual itu.
"Tidak, tidak usah. Saya bukan manusia mata duitan, saya hanya ingin memastikan bahwa kamu memang benar penghuni Wandara, ambil uangmu kembali. Tanpa itu pun, aku tetap menutup mulut."
Arlesa menatap menyelidik, dia mencari kebohongan di mata pria itu, namun dia menemukan suatu kejujuran bahwa pria itu memang akan menutupi rahasianya.
"Kalau begitu, terima kasih." Ucapnya.
Dengan suara berbisik, pria itu kembali bertanya.
"Apa yang kau lakukan di dunia manusia? mencari kelurgamu? atau ada yang kau inginkan?"
"Iya, bisa di bilang begitu. Aku juga mencari keluarga Ibuku dan juga mencari seseorang."
Pria itu mengangguk, ada banyak yang ingin ia tanyakan pada Arlesa, tetapi Maysa sudah datang mengantarkan kopi Arlesa yang mengepulkan asap beraroma.
"Ini kopi americanonya, Oh ya, teman anda mau pesan minuman apa?" tanya Maysa pada pria yang di samping Arlesa.
"Saya orange jus saja." Sahut pria itu.
Ketika Maysa sudah meninggalkan mereka berdua, pria itu kembali menyusun kalimat pertanyaannya.
"Apa yang kau inginkan di dunia kami, ha, saya yakin hal itu pasti sangat penting. Dunia kamu lebih maju di banding disini, masa hanya karna ingin berjalan-jalan di dunia kami, kamu keluar dari Wandara." Imbuh Pria itu.
"Ha, kenalkan nama saya Gus Alam. Seorang praktisi spiritual di kota ini." Ujarnya. Gus Alam masih penasaran dengan tujuan Arlesa menyambangi dunia manusia. "Aku hanya ingin bertemu dengan seseorang." Sahut Arlesa yang mulai menyeruput kopinya. "Hmm, saya yakin seseorang itu pasti perempuan. Kau jatuh cinta pada perempuan di dunia kami?" tanya Gus Alam. Arlesa mengerutkan alis, baru kali ini ada orang yang selancang itu padanya, tetapi dia berusaha mengerti bahwa sekarang ia berada di dunia yang berbeda, tak ada orang yang tahu kastanya disini, termasuk Gus Alam. "Itu jadi rahasia pribadiku." Sahut Arlesa sembari mengguratkan ketegasan di wajahnya buat Gus Alam tergugu. "Maaf, saya sudah lancang." Gus Alam membekap mulutnya sendiri, terlihat mimik Arlesa sedikit kesal padanya. Wah, pria muda di hadapannyan menyimpan kharisma kebangsawanan
Di dunia yang berbeda, keluarga Kerajaan Wandara bersiap untuk makan malam, ketiga ratu dan ketiga pangeran lainnya sudah menunggu Raja Garsan di meja makan.Ratu Flora istri pertamanya, memiliki dua putra yang bernama Folan dan Jeval, sedangkan istri kedua Ratu Indara memiliki seorang putra bernama Rexa. Ketiga istrinya hidup rukun, namun dua di antara pangeran mereka tak sejalan dengan Arlesa, setiap pendapat Folan dan Jeval mereka selalu berujung bentrok dengan Arlesa, rasa cemburu pada Arlesa membawa mereka menyimpan kedengkian pada adik bungsunya tersebut.Terlebih lagi saat Raja Garsan berniat menjadikan Arlesa sebagai Raja berikutnya setelah dia turun tahta, buat Folan dan Jeval murka, mereka makin memusuhi Arlesa.Raja Garsan telah memasuki ruangan makan keluarga, dia duduk di kursi kepemimpinannya sebagai kepala keluarga. Dia melirik ke kursi Arlesa yang tak berpenghuni."Kenapa Arlesa sudah j
Gus Alam masih menunggu Arlesa di ruang tamu, Arlesa masih di dalam kamar mengganti pakaiannya, terlihat di laci meja boneka beruang coklat yang usang duduk lesuh, Arlesa tersenyum kecil pada boneka Maysa itu."Aku sudah menemukan, Tuanmu." Ucap Arlesa pada boneka itu.Dia membayangkan senyuman manis Maysa saat di Cafe, Ah, betapa manisnya gadis itu. Wajahnya penuh keluguan, ada ketulusan, hangat, dan ceria. Tak sia-sia dia menjaga hati untuk putri kecil itu, kata orang, cinta memang kadang buat orang bodoh, Arlesa menunggu waktu selama 15 tahun hanya bertemu dengan gadis dari dunia seberang.Padahal, di dunianya bertebaran gadis cantik yang sangat memujanya. Namun hanya Maysa yang menjebaknya dalam kenangan. Akankah Maysa mengingat Arlesa bila memperkenalkan diri lagi? Arlesa harap demikian.Setelah berganti pakaian dengan kaos oblong putih, Arlesa turun ke lantai bawah, di ruang tamu masih ada Gus Alam yang masih mengamati setiap interior rumah sewaan i
Maysa masih menilik setiap kalimat Arlesa. Pria tampan itu sangat santun bicara, lembut, juga meneduhkan. 'Pasti dia berasal dari keluarga ningrat, tutur bahasanya lembut sekali.' Imbuh Maysa dalam hati. "Arlesa, kamu berasal dari kota mana?" tanya Maysa mencoba akrab. Arlesa tergugu. Jawaban itu belum ia persiapkan. Dia sama sekali tak tahu nama Kota di dunia manusia. "Dari Kota Bandung." Ujar Gus Alam yang tiba-tiba nimbrung di antara mereka. Arlesa yang tadi tegang, kini bernafas lega. Tak rugi dia berteman dengan Gus Alam, pria paruh baya itu bisa menolongnya dari hal-hal yang tak dia ketahui di dunia manusia. "Bandung? wah, jauh, ya." Ujar Maysa. Arlesa megangguk, dia terjebak dalam kebohongan kecil lagi. Seharusnya dia memberitahu Maysa bahwa dirinya adalah Pangeran Arlesa dari kerajaan Wandara. Arlesa memberikan t
Malam itu, Ratu Risani di rundung kesedihan. Arlesa tidak pernah lagi memberi kabar letak keberadaannya. Seluruh pengawal istana, Rexa kerahkan secara diam-diam, tetapi jejak Arlesa sama sekali tak di temukan. Sehingga Rexa menyimpulkan bahwa adiknya itu berada di dunia seberang."Bunda Risani, saya yakin, Arlesa berada di dunia manusia." Ujar Rexa pada ibu tirinya.Ratu Risani perlahan duduk di kursi. Dia tak menyangka Arlesa nekat ke dunia manusia. Bagaimana bila ada manusia yang jahil ingin mengujinya? naluri seorang ibu begitu khawatir."Bunda juga bingung, Nak. Karena Arlesa tidak pernah memberitahu itu." Sahut Ratu Risani.Rexa berjongkok ke ibu tirinya."Biarkan saya menyeberang juga, Bunda. Saya akan mencari Arlesa." Pinta Rexa agar di beri izin."Tapi, Nak. Dunia manusia itu banyak yang jahat." Imbuh Ratu Risani mengingatkan."Saya punya kekuatan melebihi mereka, Bunda." Sahut Rexa meyakinkan."Iya, Tapi kamu hati-hati.
Pelanggan Cafe Zona semua sudah pulang, Bahan di kulkas juga sudah habis. Gala tak sanggup lagi bila dia harus mengantar Maysa ke pasar. Mendengar keluhan Gala, Arlesa menawarkan diri . Dia beranjak ke bartender."Aku bisa antar kamu." Kata Arlesa.Maysa termangu. "Yakin, tidak merepotkan?" tanyanya.Arlesa menganggukkan kepala, "iya.""Baiklah, kita ke pasar sekarang."Mereka berdua menuju ke mobil yang baru saja di beli oleh Gus Alam." Ah, Arlesa bisa saja mengambil kesempatan." Ketus Gus Alam.Sebelum mengemudi, Arlesa mengaktifkan GPSnya. Jalur kota itu belum sepenuhnya ia ketahui. Maysa tersenyum kecil melihat itu."Tenang saja, itu tugasku yang arahkan kamu." Tukas Maysa.Sepulang dari pasar buah, mereka kembali menuju lagi ke Cafe. Arlesa melajukan mobilnya pelan. Dia ingin lebih banyak waktu bersama Maysa. Ada yang ingin ia katakan."Maysa, apa kamu percaya dengan kehidupan metafisik?"
Maysa mengambil bonekanya. Dia tersenyum mengingat moment ketika ayahnya memberikan boneka itu saat berulang tahun yang ke- 9."Ayah .." Lirih Maysa berkaca-kaca."Maysa, kamu mengingatnya?" tanya Arlesa.Maysa mengangguk, "Ini boneka dari ayahku, terakhir kali aku menghilangkannya di hutan.""Aku harap kamu juga mengingatku," ucap Arlesa.Maysa menenggelamkan wajah Arlesa di kedua bola matanya."Aku belum bisa mengingatmu. Tapi aku percaya itu." Sahut Maysa dengan mata berbinar.Arlesa memeluknya kembali. Mengusap kepala Maysa dengan lembut."Aku hampir gila selama lima belas tahun."Maysa belum membalas pelukannya. Tapi ketulusan Arlesa menyentuh kalbunya."Kenapa kamu bisa begitu? aku hanya manusia biasa.""Kamu satu-satunya yang buat aku selalu berpikir tentang cinta." Sahut Arlesa
Malam pun tiba, Arlesa dan Gus Alam duduk di ruang tamu. Sedari tadi, Arlesa hanya berdiam diri. Tak ada sepatah kata pun terucap oleh bibirnya. Gus Alam sedih melihat temannya itu."Arlesa, jangan menyerah. Ada prinsip di dunia kami berkata, sebelum janur kuning melengkung, kita masih bisa punya kesempatan merebutnya." "Itu hal yang tidak baik, Pak Gus. Sama saja merebut dari seseorang yang akan berhak padanya." Timpal Arlesa yang memakai ajaran budi pekerti guru istana kerajaan. Gus Alam tergugu. Dia lupa dengan siapa ia bicara, bukan manusia biasa, melainkan penghuni Wandara yang memiliki hirarki tinggi. "Lalu? kau mau bagaimana? menyerah begitu saja setelah lima belas tahun mencintainya?" Gus Alam protes. Arlesa menghela nafas. Dia juga tak punya jawaban. Tok ! Tok ! Ada yang mengetuk pintu dari luar. Gus Alam beranjak membukanya. Saat memutar knop pintu, di baliknya ada kelima pria kekar. Betapa terkejut
Sean mengelilingi seluruh kota bersama keempat pengawalnya. Namun sosok Luna tak ia temukan, jalanan yang ia telusuri tak memberikan jejak Luna sedikitpun. Alhasil Sean menyimpulkan yang sedari tadi ia curigai."Stop kita mencari seperti manusia," ujar Sean."Kenapa, Pangeran?" tanyanya pengawalnya."Luna tidak ada di dunia manusia, kita telah di tipu oleh jin Wandara itu."Keempat pengawalnya menyimpulkan demikian, bila tak menemukan jejak di dunia manusia maka alam jin cara yang paling tepat untuk mereka.Sean yang saat itu terdiam mencari cara agar Ray bisa ia bawa ke Sarajana. Itu cara yang tepat melindungi anaknya agar tak di ganggu oleh orang-orang yang ingin berniat jahat di dunia manusia."Ikut saya, kita ke kembali ke Sarajana membawa Ray," titah Sean.Keempat pengawalnya menurut saja, meskipun mereka khawatir ini akan membuat kerajaan Sarajana gempar dengan kehadiran Ray di ist
Sean menuju ke kota dengan mengunakan taksi, ia seolah-olah menjadi manusia pada umumnya. Di dalam taksi, dia mempersiapkan kata-kata ketika menemui Luna. Terbersit di pikirannya agar lebih baik jujur pada Luna tentang siapa dirinya sebenarnya. "Apakah dia akan takut? mungkinkah dia mau menerimaku setelah dia tahu aku ayah Ray?" Sean bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Laju taksinya kian cepat, berharap semau akan baik-baik saja setelah bertemu dengan Luna. Namun tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam menghadang taksi itu. Rem di injak mendadak oleh supirnya, Sean yang berada di jok belakang ikut pula terpental ke depan. "Ya ampun! siapa sih, orang itu?" gerutu supir taksi. Pria berjubah hitam itu begitu pelan melewati mereka, sedetikpun tak melirik ke arah mobil, langkahnya bagai zombie yang sedang berjalan. Sean yang curiga berinisiatif untuk turun dari taksi, tapi ia cegah oleh supir itu. "Jangan, Bang. Bis
Usai upacara adat, Sean segera bubar dari tatanan keluarga kerajaan. Man Ras melirik ke Raja Rahadian, mimik ayah Sean itu terlihat menyimpan ketidaksukaan pada sikap anaknya."Maaf pangeran, jangan pergi dulu," ucap Man Ras pada Sean."Apalagi, Man Ras?""Ada banyak yang Pangeran harus kerjakan, jangan pergi.""Saya belum jadi Raja, jadi biarkan saya menikmati kebebasan dulu, lagi pula saya memiliki urusan yang sangat penting, ini menyangkut Raja Arlesa," kata Sean yang terpaksa berbohong. Dengan membawa nama Arlesa, dia tahu nyali ayah dan Man Ras akan ciut mencegatnya.Tanpa membuang waktu lama, Sean menaiki kuda putihnya. Memacu dengan cepat menuju gerbang dimensi yang tak jauh dari kebun kopi milik kerajaan."Tunggu aku, Luna. Aku harus jujur, tapi apakah kau akan menerima kejujuran itu?"Sean tak henti bertanya-tanya dalam hat
Luna masih memikirkan semua kalimat Sean yang penuh makna. Dia membocorkan Ray sembari membandingkan wajah pria yang tampan itu. "Ah, kenapa kamu jadi ide dia sih, Lun.." Luna menggerutu seorang diri. Bayangan Sean tiga hari belakangan ini berkelebat di pikirannya. Seolah hati dan pikirannya menanti Sean namun kegengsian buat dia harus menolak semua keinginan itu. Dari luar ada suara Cia mengetuka memanggilnya. Luna beranjak membuka pintu kamarnya.
Luna membenamkan kedua mata. Sentuhan Sean memabukkan dirinya, lupa daratan bahwa ada Ray yang menyaksikan mereka tanpa berkedip. Anak bayi yang bertingkah lucu itu sesekali menjerit kegirangan saat ibunya mengeluarkan desahan karena kecupan Sean yang menyerang di leher. "Mari kita ulang kembali kenikmatan itu," lirih Sean dengan kalimat yang penuh arti. Luna tak mendengar jelas apa yang di katakan Sean, hanya hembusan nafas yang hangat tersembul mesra di belakang telinganya. Mungkin karena gairah yang telah memuncak sehingga barisan kata Sean tak terbaca lagi olehnya. Sean membaringkan tubuh Luna di kasur lagi, menciumi punggung Luna dari arah belakang. Desahan kecil sudah mulai rutin menghiasi mulut mantan istri Hadi itu. Tangan kannanya menyusup di selipan pelindung dua benda kenyal milik Luna, meremas juga memilin-milin puting coklatnya. "Hamm.. Ahh.." Desah Luna. Sean perlahan melepas baju Luna,
Luna sedang membereskan butik bersama Bu Cia. Saat itu Ray ia titipkan di pengasuh lagi. Cia sudah mulai merenanakan untuk membuat Luna tersiksa setaip harinya. Ibu kandung Shera itu membuatkan teh Luna menaruh obat pencuci perut ke dalamnya. Ini cara halus untuk membuat Luna kelelahan dan tersiksa untuk menebus dendamnya atas kematian Shera."Bu Cia tolong bersihkan ruang jahit ya, aku ingin istirahat dulu, oh ya makasih teh nya," ucap Luna.Cia hanya mengangguk, dia masuk ke dalam ruang jahit seraya tersenyum miring, meski itu hanya hal kecil, namun ia tahu Luna akan merasa tidak nyaman hingga hari esok.Sembari mengamati desain butiknya, Luna menyeruput teh hangatnya tak henti-henti. Ia teringat tenang baju-baju yang sobat di pakai oleh Ratu Risani saat bertemu dulu. Baju Ratu ke empat wandar itu sangat elegan dan mewah, tak pernah ia lihat sebelumnya koleksi itu ada di dunia manusia. Tercetus di benak Luna unt
Maysa keluar dari kamar Dalisah, begitu pun pula Almira, rombongan itu akan kembali ke istana utama, tetapi mereka tak sengaja bertemu dengan Jeval.Maysa yang masih saja trauma dengan kisah antara dia dengan Jeval hanya melempar senyum lalu menundukkan wajah. Tentu istri Arlesa itu merasa tidak nyaman dengan pertemuan tiba-tiba mereka itu. Sementara Almira menyinggung senyum cantik pada suami Dalisah itu, sejak. Di bangku sekolah dasar, Almira memang menyimpan rasa terhadap Jeval."Terima kasih kalian sudah menjenguk Dalisah,"ucap Jeval.Maysa hanya mengangguk-angguk. Tak sanggup membalas ucapan terima kasih Jeval, keintimandan cinta sesaat yang pernah mereka lalui tentu buat keduanya gugup bilang bertemu."Maaf, kami harus kembali ke istana utama," kata Maysa pamit berlalu begitu saja melewati Jeval. Suami Dalisah itu hanya bisa menghela nafas, dia tahu Maysa masih trauma akan perlakuannya terdahulu.
Almira tahu Dalisah sakit parah, untuk menghilangkan rasa pemasarannya, dia mengejar Maysa yang hampir masuk ke dalam litf. "Tunggu, Ratu." Almira mengejar sembari berteriak memanggil nama Maysa. Para pengawal saat itu geram akan tingkah anak dari menteri sosial itu karena sudah lancang pada Ratu utama wandara. "Ya, Almira, Ada apa?" tanya Maysa. "Maaf yang mulia, Ratu. Saya sudah menghambat Ratu, bolehkah juga saya menjenguk Ratu Dalisah?" pinta Almira. Maysa terdiam sejenak, dia tahu, sebagai pengurus ketaatan istana wandara, Almira juga sangat dekat dengan Ratu Wandara lainnya, termasuk pula dengan Dalisah. Karena menurut Maysa itu hal baik, dia pun mengiyakan permintaan Almira yang ingin ikut menjenguk Dalisah di ruang rawat istri Jeval itu. "Baiklah, ayo kita sama-sama besuk Ratu Dalisah," kata Maysa. Mereka masuk lift, menukik ke lantai atas bagian istana ke empat wilaya
Satu tahun kemudian, Jeval berdiri melihat sosok Dalisah yang agak pucat, istrinya itu terlihat tak memiliki daya untuk bergerak. Dalisah memang saat itu sedang hamil besar. Selama kehamilannya, dia terus saja sakit-sakitan, bahkan hari-hari ia habiskan hanya berdiam diri di tempat tidur. Ada penyakit yang sulit di sembuhkan oleh dokter senior Wandara. Berbagai upaya Kebal telah lakukan agar dia bisa menyembuhkan istrinya dan bayi yang di kandung Dalisah tetap pula selamat. "Kamu sangat pucat, kamu makan dulu ya," kata Jeval. "Aku tidak lapar, entah kenapa semua terasa pahit tak bergairah," ujar Dalisah. Jeval akhir-lahir ini merasakan tidak enak, pikirannya selalu takut bila kehilangan Dalisah. Semenjak di nobatkan sebagai Raja ke empat, Jeval belum maksimal menjalankan tugasnya itu, ini karena kesehatan Dalisah yang kian menurun. "Usia kandunganku sudah sembilan bulan, aku boleh minta sesuatu padamu," kata Dal