Bagian 2
Setelah membereskan bekas makan siang, aku masuk ke kamar. Di sana terlelap malaikat kecilku. Buah cintaku bersama Mas Harsa yang sama sekali tidak mereka tanyakan tadi. Bahkan Mas Harsa yang demikian dekat dengannya seolah lupa.
Begitu penting perempuan itu bagi mertuaku sehingga tidak ada rindu sedikitpun untuk untuk cucu semata wayang mereka, padahal telah hampir sebulan tidak bersua.
Bening yang sejak tadi kutahan akhirnya pecah juga dari sudut netra, membayangkan bocah tidak berdosa itu akan mendapat kasih sayang yang pincang. Namun, biarlah. Itu lebih baik dari pada hidup berkubang luka. Tidak mengapa pincang, daripada lumpuh karena digerogoti dari dalam.
Kuusap kepala buah hatiku yang baru berusia dua tahun itu. Aku harus mampu membesarkannya sendiri. Tidak ada istilah berbagi keringat dalam kamus hidupku. Aku bukan penentang poligami, asal bukan suamiku yang melakukannya. Aku tahu kualitas dirinya yang tidak akan mampu berlaku adil. Jika dia kukuh, maka aku yang akan melepaskan.
Kubaringkan diri disamping tubuh mungil putraku. Terpejam, kuhapus jejak basah yang tadi sempat tercipta. Meskipun hati ini sakit, tidak perlu menangis berlebihan. Cukuplah sekedar membuat lega, membuang sesuatu yang menyesak dada. Me-recharge energi sekarang lebih penting untuk bekal menjalani rencana selanjutnya, menguatkan hati untuk menghadapi tingkah mereka yang pastinya menyakitkan hati.
Emyr Salim—putraku—masih tampak begitu pulas. Kutenangkan pikiran agar dapat pulas pula disampingnya.
***
Aku terbangun ketika petiduran terasa bergerak. Kemudian satu tangan mungil terasa meraba pipiku. Kebiasaan Emyr ketika bangun, selalu meraba wajah orang yang ada di sampingnya.
“Anak mama sudah bangun?” tanyaku gemas. Kuangkat tubuhnya ke atas dadaku, kemudian mencium gemas wajahnya bertubi-tubi. Kupeluk erat dengan gemas pula tubuh mungilnya. Renyah tawanya menentramkan hatiku.
“Nen,” ucapnya sambil hendak membuka baju atasku.
“Eits, nen-nya sekarang ‘kan bukan ini lagi,” tolakku halus. Bocah itu merengek. Dia baru saja kusapih, jadi masih sering minta ASI.
“Kita bikin nen di dapur, yuk,” hiburku. Kugendong bocah menggemaskan itu menuju arah pintu.
Ketika pintu terbuka, di ruang televisi yang terletak persis di depan kamarku, aku dihadapkan dua sosok yang gelagapan karena terkejut kehadiranku yang tiba-tiba. Keduanya menarik masing-masing wajah mereka yang sebelumnya seperti menyatu.
“Ehem, masih siang Mas. Mbok ya Mbak Niniknya dibiarkan istirahat dulu,” sindirku sinis. Laki-laki itu nyengir salah tingkah.
“Emyr, lihat Papa diambil Bude,” ucapku. Mataku menatap tajam perempuan yang duduk rapat di samping suamiku. Emyr paling tidak suka kalau ada yang berkata bahwa aku atau Mas Harsa diambil orang. Segera kuturunkan bocah itu dan melihat apa yang akan dia lakukan.
Emyr bergegas berlari ke arah Mas Harsa, kemudian mendorong kasar tubuh Ninik. Perempuan itu cengengesan kikuk. Terlebih ketika mata bocah itu menyorot penuh amarah. Meskipun tidak sebesar amarah yang ada pada diriku, tetapi aku cukup puas dan merasa terwakilkan.
“Hai, siapa namanya,” tanya perempuan itu SKSD. Ia mendekat dan mengulurkan tangan hendak menjawil pipi Emyr.
“Gak mau! Pergi sana! Jangan ambil Papa!” seru Emyr dengan logat kanak-kanaknya. Cepat, ia menepis tangan Ninik. Aku tersenyum puas. Bukan mengajarkan anak tidak sopan, tetapi menunjukkan bahwa kita perlu mempertahankan hak milik kita. Meskipun aku tidak ingin mempertahankan Mas Harsa. Dia bagai hak milik yang sudah usang.
“Emyr, gak boleh begitu, Sayang. Ayo salim sama Bunda,” ucap Mas Harsa. Mendidih darahku mendengar ia membahasakan Bunda pada perempuan itu. Inginku berkata kasar, tetapi sekuat hati kutahan. Aku tidak boleh terpancing. Bisa-bisa nanti kekasaran itu akan dijadikan alasan bagi mereka untuk menjatuhkanku.
Emyr diam. Tidak menuruti ucapan Mas Harsa.
“Emyr, salim Bude dulu, Nak,” pintaku lembut. Ogahlah aku menyebutnya Bunda. Tidak rela. Ambil saja Mas Harsa. Anakku, secuil pun tidak kuijinkan. Meskipun hanya menyangkut sebuah panggilan. Karena umur perempuan itu lebih tua dariku, kubahasakan saja Bude. Bocah itu menurut.
“Yuk, ke dapur. Bikin susu,” ucapku sambil mengulurkan tangan. Lagi-lagi bocah itu menurut.
“Emyr ke dapur dulu ya, Bude,” ucapku.
Kemudian kujulurkan kepala agak mendekat pada keduanya.
“Agak ditahan-tahan ya, Mbak, Mas. Aku tahu kalian udah ngempet. Tapi kalau belum halal itu dosa. Kata Rasulullah ada enam bahaya yang akan mengikuti kalau kalian gak mampu nahan. Di dunia, cahaya akan hilang dari wajah kalian, umur kalian akan pendek, kalian akan kekal dalam kemiskinan, terus diakhirat murka Allah menanti. Iii serem,” tuturku sinis sambil bergidik. Lalu meninggalkan mereka yang memerah wajahnya. Entah malu atau marah. Biarlah, aku tidak peduli.
Aku menghembuskan napas setelah tiba di dapur, menenangkan emosi yang memuncak. Pantas saja ada seorang istri yang sampai menumpahkan cabai pada organ sensitif perempuan simpanan suaminya, ternyata semenyakitkan ini rasanya.
Namun, aku tidak mau mengotori tangan dan namaku dengan perbuatan anarkis. Karena apa yang aku lakukan sekarang akan meninggalkan jejak sejarah. Akan kuukir jejak sejarah yang indah untuk namaku. Agar kelak anak cucuku mengenangnya penuh bangga. Sehingga menjadi contoh yang baik untuk mereka dalam menyelesaikan masalah.
Setelah membuatkan susu untuk Emyr, aku kembali ke kamar, melintasi mereka yang tampak duduk kikuk sambil menonton FTV di salah satu chanel televisi swasta. Sedikit geli aku melihat gelagat mereka. Memuakkan, sih, tetapi ada lucu-lucunya gitu.
Kubiarkan Emyr menikmati susunya sambil kembali berbaring di atas tempat tidur. Sementara aku bersiap diri. Kepulangan mertua beserta oleh-olehnya membuat suhu kepalaku meningkat. Jika tidak diangin-anginkan sebentar, aku takut akan meledak. Lebih baik aku ke BTN, mendinginkan diri di sana.
“Sudah habis?” Aku bertanya kepada Emyr, sekadar basa basi ketika ia menyerahkan botol yang telah kosong. Kumasukkan botol itu sekalian ke dalam tas. Biar dicuci di sana saja nanti. Setelah semua siap, aku segera keluar. Menemui dua sejoli yang masih saja duduk kikuk di depan televisi.
“Mas,” panggilku. Laki-laki itu menoleh. Sedikit terkejut melihat penampilanku.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Aku mau ke BTN. Pulang mungkin agak malam. O ya, nanti makan saja, tidak usah menunggu. Aku sama Emyr makan di luar,” tuturku. Kutatap sebentar wajah tidak enak perempuan di sampingnya.
“Lauknya kalau masih, suruh Mbak Ninik panaskan saja. Kalau gak cukup, masak sajalah apa yang ada di kulkas. Nasi juga lihat, kalau gak cukup, masak,” ucapku. Sebenarnya aku enggan untuk mengurus makan mereka. Mau makan atau tidak, kelaparan sekalian pun aku tidak peduli. Hanya saja aku ingin menunjukkan powerku di rumah ini pada perempuan itu.
“Ninik ‘kan baru datang, Dek. Kasihanlah masih capek. Lagi pula, dia juga baru. Manalah bisa langsung di suruh ini itu,” bela laki-laki itu.
“Makanya, tadi ‘kan aku suruh istirahat. Ngapain mau diajak mepet-mepetan,” sinisku.
“Dek!” serunya. Sepertinya dia tidak senang dengan sindiranku.
“Gak usah ngegas. Slowly. Itu benar ‘kan?” tanyaku kalem.
“Kalau Mbak Ninik belum paham seluk beluk rumah ini, nanti tolong Mas jelaskan. Atau tanya Ibu. ‘Kan besok-besok dia yang akan jadi menantu dan istri kesayangan di rumah ini,” tuturku tetap kalem.
“Maksud kamu apa?” tanya laki-laki itu masih dengan frekuensi tinggi.
“Ya, begitulah maksudku. Pahami sendiri. Masa sarjana begitu saja gak paham,” sindirku.
“Dek!” serunya lagi.
“Sssttt. Ibu lagi tidur, nanti bangun. Sudah ya, Mas, Mbak. Aku berangkat dulu,” pamitku sambil menggandeng tangan mungil Emyr. Beberapa langkah, laki-laki itu kembali memanggil. Aku menghentikan langkah.
“Ada apa lagi?” tanyaku. Kesal sebenarnya, tetapi tetap kulembutkan bicaraku.
“Kita perlu bicara,” sahutnya.
“O iya, tentu saja. Nanti malam kita musyawarah keluarga,” balasku santai.
Pastilah dia ingin membicarakan tentang pernikahan mereka. Aku pun sudah tidak sabar membahasnya. Lebih cepat lebih baik. Akan kuberikan hadiah yang mengejutkan untuk mereka jika tetap kukuh ingin menikah. Hingga bukan hanya surprise yang akan mereka rasakan, bahkan mungkin saja syok.
“Sudah, ya. Aku pamit. Assalamualaikum,” ucapku.
Bagian 3Ketika sudut mataku menghangat, kubiarkan ia mencair. Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh menangis. Menangis bukan pula berarti cengeng. Kita hanya perlu menakar porsi, memilih waktu dan tempat yang tepat. Menangis adalah caraku meluruhkan gumpalan di dada bersama air mata, lalu membuangnya bersama setiap tetes yang jatuh. Aku melajukan sepeda motor matic-ku menuju perumahan BTN Bali Permai yang terletak di jalan Jalur II. Rumah yang kelak akan menjadi istana untukku dan Emyr. Rasanya masih sulit percaya bahwa aku akan menjadi single parent dalam usia semuda ini, 22 tahun. Perempuan lain biasanya baru mengikat hubungan pada usia ini, tetapi aku justru sudah mengurainya.Aku memarkir sepeda motor secara asal di halaman rumah. Tampak beberapa sepeda motor lain yang terparkir, juga secara asal. Aku memang belum menata tempat parkir khusus untuk rumah ini karena jarang berada di sini.
Bagian 4Aku segera keluar kamar, menemui mereka yang tiba-tiba menjadi hening sejak menyadari kedatanganku tadi."Kita bicara di sini?" tanyaku sambil berdiri tegak. Mengukir raut tenang, tetapi tegas, kuarahkan pandang pada mata mereka.Biasanya aku selalu berlaku lembut, santun, dan merendah di hadapan Mas Harsa, apalagi pada Ibu dan Bapak. Tidak pernah kutegakkan diri dan berkesan tegas. Namun, saat ini situasi dan kondisi berbeda. Aku harus bisa menempatkan sikap. Jika pada situasi saat ini aku masih terus merendah, maka akan terkesan lemah. Mereka akan leluasa mengintimidasi.Semuanya bergeming. Termasuk Ibu. Padahal selama ini beliau selalu cepat menyambut bicaraku dengan kalimat ketus atau pedas.Begitu pula Mas Harsa yang seperti tercenung menatapku. Seolah aku mahkluk asing yang baru mereka temui."Apa kita tidak jadi bicara?" tanyaku lembut dan ten
Mas Harsa membiarkan amplop itu tergeletak di atas meja. Dia seperti tak berniat menyentuhnya sama sekali. "Apa perlu kujelaskan?" tanyaku ketika melihatnya tetap bergeming. Mungkin dia bingung, mengingat selama ini Mas Harsa hanya mengurus segalanya di awal, sedangkan detail setiap bulan pengaturan keuangan, aku yang mengelola. Tanganku meraih amplop itu kembali dan mengeluarkan berkasnya satu per satu. "Mbak Ninik juga boleh memperhatikan, karena nanti Mbak yang akan mengatur harta Mas Harsa," ucapku. Kulirik wajah yang menurutku biasa saja itu. Namun, khas putri Jawa. Mungkin itu yang membuatnya begitu istimewa di mata Ibu dan Mas Harsa. 'Maaf, Mbak. Kuserahkan estafet yang cukup berat ini padamu, agar Mbak tidak tuman ingin mengambil sesuatu karena terpesona pada keindahan luarnya,' batinku. "Ini berkas rumah." Kuserahkan beberapa lembar kertas pen
Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."===========Aku menyapu setiap sudut kamar dengan desir pilu. Kamar yang kami tempati kurang lebih tiga tahun ini. Meskipun tak luput masalah mendera, selama kurun waktu itu malam-malam selalu kami lewati bersama. Tidak pernah sedikit pun firasat bahwa selamanya aku akan pergi dari sini.Kabut sedikit menyungkup netra, perlahan detik mengubahnya menjadi embun yang siap bergulir. Cukup satu, kuhentikan kabut-kabut itu menguntai panjang.Segera kutegakkan bahu kembali, memutar arah, serta mengokohkan langkah untuk meninggalkan tempat di mana kami mengukir indah selama ini.Knop pintu kamar baru saja kuputar, celahnya pun baru tampak ketika kudengar hentakan benda menyentu
Oleh-oleh dari MertuaKutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.Astagfirullahal'azim.Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur suda
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a
Ada apa dengan mereka?Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing dengan mengurusi mereka. Tidak ada untungnya.Kulanjutkan kembali menikmati makan malamku. Suasana hening dan terasa canggung. Kami terjerat dalam diam. Hanya suara sendok dan piring beradu.Kulirik Mas Harsa. Ia tampak masih telaten menyuapi Emyr. Seperti menyimpan berjuta rindu, tak henti diciuminya anak itu di sela setiap suapan. Ia peluk erat Emyr yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala bocah itu."Toko rame? Sore baru pulang?" Suara berat Mas Harsa tiba-tiba terdengar. Ia bicara tanpa memandangku, tetap sibuk menyuapi Emyr.Aku mengangguk, "Ya," jawabku singkat. Kulirik lagi wajah diamnya. Teringat pertemuanku dengan Bu Mun tadi pagi."Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya beliau.Aku terdiam sejenak. Seketika mereka