Oleh-oleh dari Mertua
Ninik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.
Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.
Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.
Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.
Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr.
Bukankah merusak ikatan pernikahan itu adalah prestasi terbaik iblis? Jika Ninik berhasil mengurai ikatan pernikahanku, artinya status mereka dapat disamakan.
"Mbak Ninik!" Suara Santi melengking dari belakang. Perempuan itu urung melangkah kembali ke kamar. Ia menoleh pada sumber suara.
"Opo?" tanyanya sambil menuju ke sana.
Aku segera masuk ke kamar mandi, tetapi telingaku bisa menangkap apa yang mereka bicarakan.
"Pakaian, Mbak, kucek sendiri. Aku capek, Mbak," keluh calon mantan adik iparku itu.
"Kucek? Kenapa gak pakai mesin cuci?" Suara itu terdengar keberatan.
"Mesin cucinya rusak, Mbak."
"Rusak?"
"Iyo."
Tak kudengar suara Ibu menyela. Andai saja yang bangun siang itu aku ....
Hening. Tidak ada lagi suara. Sepertinya mereka kembali sibuk kucek mengucek.
Segera kubersihkan tubuh Emyr. Bocah itu sedikit terlonjak ketika siraman air pertama membasahi tubuhnya, "Dingin?" tanyaku.
"Dingin, Ma," sahutnya sambil merapatkan kedua tangan di dada, memeluk tubuh sendiri. Ia getarkan badannya. Aku memang tidak lagi memandikannya dengan air hangat.
"Tahan, ya," ucapku sambil menyabuninya. Setelah itu membantunya menggosok gigi. Semua kulakukan cepat agar dia tidak kedinginan lebih lama. Selesai membilas, kubalut tubuhnya dengan handuk, menggendong sambil memeluk erat agar tubuh dinginnya menjadi hangat.
"Kok begitu, Mbak?" Suara Santi terdengar kembali dari belakang.
"Begitu apanya?"
"Nguceknya. Cuma begitu, mana bersih?"
"Lha, piye?"
"Ish, Mbak bisa nyuci gak, sih?" Suara Santi terdengar kesal.
"Iya, apa kamu gak pernah nyuci, Nduk?" tanya Ibu.
"Biasa nyuci pakai mesin cuci, Bu. Gak pernah ngucek begini," jawab perempuan itu.
Aku yang telah selesai memandikan Emyr segera keluar dari kamar mandi. Dari pintu yang terbuka lebar, dapat kulihat mereka duduk berkeliling menghadapi baskom besar berwarna hitam dengan masing-masing pakaian di tangan.
"Kasian ... Kasian ... Kasian ...." Gumamku pelan sambil sedikit cekikik geli, menirukan logat Upin Ipin.
Di kamar, segera kukenakan Emyr pakaian. Tidak lupa sebelumnya membubuhkan minyak telon. Selain membuat hangat, aku suka aroma khas bayi jika dia menggunakan minyak itu.
"Yuk, cari sarapan," ajakku ketika semua beres. Dia telah rapi dan menggemaskan dengan stelan celana jeans pendek dan kaos panjang, sedangkan aku rapi dengan stelan kulot-tunik serta long outer kekinian. Tidak lupa pashmina membalut kepala.
Kujaga penampilan tetap segar, berharap seisi rumah ini takjub dan dapat melihat bahwa aku bisa lebih baik tanpa ATM dari Mas Harsa. Keluar rumah, kugunakan masker untuk menutup wajah agar tidak dikatakan tebar pesonanya mencari laki-laki lain.
Kugandeng tangan mungil Emyr dan keluar dari kamar.
Setelah sarapan, rencananya aku langsung ke BTN. Aku harus lebih fokus mengelola usaha sekarang. Menjadi single parent pastilah akan berat. Jika bersama Mas Harsa, meskipun saat ini punya banyak tanggungan, tetapi di masa depan ketika tanggungan itu clear, kami bisa bahu membahu dalam membesarkan Emyr. Berbeda jika aku sendiri. Aku harus bekerja double untuk bisa mencukupi kebutuhan Emyr.
"Tadi bikin sarapan untuk Harsa?" Suara Ibu mengagetkan ketika aku baru saja keluar kamar.
"Iya, Bu," jawabku singkat. Sepertinya beliau sudah selesai mencuci bersama Santi dan menantu barunya.
"Gak sekalian bikin banyak?" tanyanya lagi.
"Saya hanya masak indomie telur, Bu. Gak ada nasi," tanggapku.
"Kenapa gak segera masak. Saya juga lapar," ucapnya.
"Hanya masak mie instan, Bu. Kalau saya tadi masakkan sekalian, akan mengembang dan tidak enak lagi," jawabku tenang, "Ibu bisa minta menantu baru Ibu buat masakkan Ibu kalau lapar."
Wanita paruh abad itu mendengkus, "Lagi pula Harsa itu kerjanya jauh. Cuma sarapan mie instan, gak ada tenaganya." Cicitan-cicitan Ibu seperti ini, dulu biasa saja bagiku. Akan tetapi, mengapa sekarang telinga terasa sakit olehnya.
"Istri macam apa, gak mikirkan kondisi suami," lanjutnya.
Aku menghela napas panjang, lalu mengucap istighfar untuk menenangkan hati yang mulai terpancing panas.
"Tapi saya sudah ditalak, Bu. Dan Mas Harsa juga sudah punya calon istri," ucapku lembut. Tetap kuterbitkan satu senyum untuknya meskipun hati sakit mendengar ucapan yang kurangkai sendiri itu.
Aku masih belum sepenuhnya menerima kehadiran Ninik beserta kehancuran yang dia bawa, masih teramat sakit ketika ingat saat Ibu mengenalkan perempuan itu sebagai cinta pertama Mas Harsa.
Wajah Ibu yang semula merah, mungkin karena marah tiba-tiba meredup. Pucat. Wanita itu hilang aksara, seketika membisu. Netranya menatap tidak fokus, beralih-alih arah, sebentar padaku, sebentar pada tempat kosong.
"Saya ijin keluar, mau cari sarapan sekalian kerja. Assalamualaikum," pamitku. Ibu tetap diam, membiarkanku berangkat tanpa suara. Tidak pula menjawab salam. Beliau berdiri tak acuh sambil mengarahkan pandang pada sisi kosong.
Aku melangkah dengan tubuh tegak, tetapi langkah santai, meninggalkan beliau, menuju garasi untuk mengeluarkan sepeda motor.
"Safira ...." Ibu menyusul ke garasi.
"Ya, Bu?" Aku urung men-starter sepeda motor.
"ATM Harsa kan kosong, Ibu pinjam uang untuk makan hingga bulan depan," ucapnya pelan. Tumben tidak ketus.
"Saya 'kan hanya jualan online, Bu. Berapalah hasilnya, saya butuh juga untuk makan dan beli susu Emyr," sindirku. Masih ingat bagaimana Ibu merendahkan hasil kerjaku, padahal dulu Mas Harsa pernah membela dan mengatakan pendapatanku cukup besar. Namun, Ibu tidak pernah percaya.
"Lagi pula, kalau hanya urusan makan, saya kira stok masih cukup. Yang penting tidak kelaparan," lanjutku, "Beras, semua bumbu sudah saya stok sampai akhir bulan. Masih ada mie instan, telur, juga sosis dan bakso frozen. Ayam beku itu juga masih cukup untuk sekali makan."
"Apa enaknya makan yang begitu?" Kali ini suara Ibu kembali ketus.
"Kita sama-sama hidup prihatin dulu lah, Bu. Namanya juga banyak hutang, yang penting masih bisa makan saja sudah bersyukur."
"Jajan Santi kuliah bagaimana?"
"Banyak hutang, kok, mikir jajan," sinisku, "Hidup prihatin, makan di rumah saja dulu."
"Rokok bapakmu?"
"Ya berhenti saja. Lebih sehat 'kan?" balasku, "Atau Bapaknya disuruh kerja. 'Kan Bapak masih sehat, masih punya kewajiban juga terhadap Ibu dan Santi. Bangun siang terus juga gak baik."
"Kamu mulai berani menasihati?" Intonasi suara Ibu semakin tinggi.
"Cuma menyarankan, Bu," balasku tenang, "Di dengar syukur, gak juga gak apa-apa. Atau coba Ibu tanya menantu baru. Barangkali dia punya banyak tabungan?" Aku tersenyum manis semanis-manisnya. Bukankah perempuan itu yang disayang, seharusnya kepadanya Ibu bergantung, bukan kepadaku.
Ibu terdengar mendengkus. Wajahnya ditekuk. Bibirnya terkunci seperti kehabisan kata.
Kuputar posisi sepeda motor agar mengarah keluar kemudian men-starternya, "Saya berangkat ya, Bu," ucapku segera berlalu, meninggalkan sejenak luka lara di sini.
***
"Bu Mun?" seruku riang. Nyaris histeris karena terlalu senang ketika mendapati sosok itu duduk di ruang tamu BTN. Aku baru saja sampai setelah mencari sarapan bersama Emyr.
Segera kuulurkan tangan, lalu mencium takzim punggung tangan tuanya. Surprise sosok penyayang itu hadir menemuiku.
"Emyr salim nenek," ucapku pada buah hatiku itu. Tangan mungilnya segera terulur, juga mencium takzim punggung tangan Bu Mun.
"Ibu ada perlu apa? Kenapa gak hubungi saya saja, biar saya yang ke sana?" tanyaku tidak enak. Beliau adalah guruku. Jadi wajarnya aku yang berkunjung, bukan sebaliknya.
"Tidak apa-apa, Ibu memang ingin berkunjung kemari," jawabnya. Tidak ketinggalan senyumnya yang begitu teduh.
"Ibu sama siapa?"
"Itu!" Tangannya mengarah pada satu sosok yang duduk di sisi berbeda. Terlalu bahagia akan kedatangan Bu Mun, aku sampai tidak sadar ada seseorang yang duduk di sana.
"Masih ingat gak?" tanya Bu Mun sambil tertawa lembut. Aku memperhatikan laki-laki yang duduk malu-malu ketika kutatap sebentar.
Aku mengernyitkan dahi sambil kembali menatap perempuan lima puluh tahunan bermata teduh di depanku.
"Pangling?" tanyanya lagi diiringi tawa yang lebih renyah.
Aku tertawa tidak enak. Mungkin sedikit pangling, lagi pula dia laki-laki. Mana berani aku menatap lekat. Hanya melihat sekilas, ingatanku tidak sampai. Meskipun rasa-rasanya pernah mengenalnya, tetapi entah di mana?
"Dia Haykal," terang Bu Mun.
"Oh, Haykal?" Aku melihat lagi sosok itu sekilas, "Apa kabar?" tanyaku sembari menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Baik," balasnya sambil balas menangkupkan kedua tangan pula.
"Beda sekarang," ujarku kembali pada Bu Mun. Haykal adalah putra Bu Mun, sekelas denganku. Dulu tubuhnya ceking. Biasa kami sebut kutilang, kurus, tinggi, langsing. Sekarang badannya kekar berisi.
"Iya, tapi pemalunya masih sama," tutur wanita lembut itu. Kembali tawa renyah yang terdengar begitu akrab darinya menyapu hangat telinga. Aku turut tertawa.
"Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya wanita itu memutus tawaku. Beliau menatapku sendu.
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a
Ada apa dengan mereka?Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing dengan mengurusi mereka. Tidak ada untungnya.Kulanjutkan kembali menikmati makan malamku. Suasana hening dan terasa canggung. Kami terjerat dalam diam. Hanya suara sendok dan piring beradu.Kulirik Mas Harsa. Ia tampak masih telaten menyuapi Emyr. Seperti menyimpan berjuta rindu, tak henti diciuminya anak itu di sela setiap suapan. Ia peluk erat Emyr yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala bocah itu."Toko rame? Sore baru pulang?" Suara berat Mas Harsa tiba-tiba terdengar. Ia bicara tanpa memandangku, tetap sibuk menyuapi Emyr.Aku mengangguk, "Ya," jawabku singkat. Kulirik lagi wajah diamnya. Teringat pertemuanku dengan Bu Mun tadi pagi."Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya beliau.Aku terdiam sejenak. Seketika mereka
Oleh-oleh dari MertuaBalas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan dirimu lebih baik. Itu kalimat Ali bin Abi Thalib yang selalu kudengungkan dalam diri.========"Enggak! ... Enggak! ...." jerit perempuan itu. Aku menghentikan aktivitasku.'Ada apa lagi?' pikirku."Sabar, Nduk. Sabar ...." Suara Ibu menenangkan."Gak! Kalian semua sama saja!""Jangan pergi, Nduk ...."Hah? Pergi? Perempuan itu pergi. Ingin tahu, aku segera beranjak."Emyr di sini saja, ya. Mama mau ke depan sebentar. Jangan kemana-mana. Jangan keluar," pintaku. Emyr yang seperti biasa, setiap pagi masih posisi enak menghabiskan susunya mengangguk.Gegas aku keluar. Menuju ruang di mana suara berasal. Ternyata dari ruang tamu. Wanita itu memegang gagang
“Mas ... boleh ... masuk?” tanyanya terbata, terkesan ragu.“Gak kerja?” selidikku.Ia menggeleng, “Gak,” jawabnya.Aku menatapnya sebentar. Berhitung untuk memenuhi permintaannya atau tidak. Namun, bagaimana pun dia masih berhak untuk bicara. Akhirnya kubuka juga pintu lebih lebar.Laki-laki itu melangkah perlahan, memindai seisi kamar dengan netranya. Melihat barang-barang yang sudah kukemas rapi, ia tampak terpaku beberapa lama. Kemudian terdengar ia menghela napas dalam.“Papa ....” Emyr yang sudah rapi dan wangi segera menghambur padanya, mengulurkan kedua tangan sambil menengadah, minta digendong.Mas Harsa segera menyambut tubuh itu, mengangkatnya tinggi sehingga bocah itu tergelak senang. Kemudian tubuh mungil itu ia sejajarkan dengan wajahnya, menciumnya bertubi-tubi, lalu mendekapnya erat
“Mbak mau pindah, San,” jawabku tenang. Kutatap raut penuh tanya mereka sambil menguntai senyum.“Pindah?” Ia tersentak.“Iya,” sahutku.“Mbak ... Mbak jangan pergi ...,” mohonnya serak. Kedua tangannya menggelayut di lenganku.“Mbak .... Santi minta maaf, Mbak,” lanjutnya, “Emyr ... Emyr jangan pergi, ya. Emyr sama bulek, yuk.”Ia membujuk sambil mengulurkan kedua tangan, hendak menggendong. Namun, bocah itu menggeleng, mendorong pelan tangannya yang ingin meraihnya.Manalah Emyr mau, selama ini Santi tidak pernah peduli padanya. Bahkan sering memarahi jika Emyr sedikit aktif.Aku mengulum senyum menyaksikan kekalutan calon mantan adik iparku itu. Dia sibuk mondar mandir tidak jelas, panik sendiri.“Jangan pergi, Mbak. Santi minta maaf tela
Dia mengangguk lemah, memberikan kesan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya sama sekali bukan berasal dari hati terdalam. Hanya suatu kepasrahan pada ketidakmampuan. Mungkin karena dia tidak akan merasa diuntungkan atas kepergianku."Sekarang begini saja, deh, coba Mbak Ninik tanya, apa Mas Harsa masih mau menjadikan Mbak Ninik istrinya?" tantangku, "Bukannya tadi Mbak disuruh pulang?" Perempuan itu terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Aku tahu dia malu, juga sedang menahan geram."Tanya juga, saat ini apa Ibu dan Bapak mau menjadikan Mbak Ninik menantu mereka? Dan apa Santi mau menjadikan Mbak kakak ipar?""Aku gak mau, gak asyik," sambar Santi. Gadis itu memandang Ninik sinis.Lagi, aku mengulum senyum. Suka dengan jawaban gercep Santi."Terima kasih, San," ucapku.Gadis itu cengengesan senang, "Sami-sami, Mbak," jawabnya. Aku mengg
"Ra ...." Nur dan Endang menyapa bersamaan ketika melihatku hendak menuju kamar. Kamarku memang terletak berhadapan dengan ruang tengah di mana barang-barang dagangan disimpan. Sehingga jika aku ingin ke sana, pasti akan melewati mereka.Sorot mata mereka iba kepadaku. Kubalas dengan senyuman.Tidak ingin iba mereka berkelanjutan. Bagiku, seseorang boleh bersimpati dan berempati , tetapi jangan sampai kasihan. Simpati dan empati dapat menambah kekuatan, sedangkan kasihan justru melemahkan."Hai," balasku dengan logat biasa saja. Kini ekspresi mereka bertukar melongo. Sepertinya semakin bingung. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita sedikut pun permasalahan intern rumah tanggaku kepada mereka. Sangat wajar jika mereka merasa heran mengapa tiba-tiba aku diantar ke rumah ini, dan semakin heran karena reaksiku yang seperti tidak ada masalah apa-apa.Bagiku, tidak elok membuka rahasia keluarga kepada orang lain. Rumah t
"Ibu?" panggilku masih tak percaya. Wanita yang awalnya berdiri celingak celinguk memeriksa setiap sudut ruang tamu, serta merta menoleh. Beliau menatapku dengan sorot yang sulit kuartikan.Aku melangkah mendekati perempuan itu, "Ada apa, Bu?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Di sini rupanya kamu tinggal?" ucapnya tanpa menjawab tanyaku. Atau mungkin itulah jawabannya. Bahwa tujuan dia kemari untuk menyelidiki tempat tinggalku. Namun, entah mengapa aku merasa ada nada meremehkan dalam kalimatnya. Apalagi ketika matanya terus menilik setiap bagian ruangan itu."Kupikir rumah yang lebih mewah sehingga rela pindah mendadak, ternyata ...." Beliau mengedikkan bahu sambil membuka kedua tangan. Seolah ingin menunjukkan bahwa tidak tega menyebutkan kata yang pas untuk menggambarkan kondisi rumahku.Aku mengulum senyum, "Ternyata apa, Bu?" tanyaku sabar, "Kecil? Tidak apa kecil, Bu. Yang penting menyejukkan d