“Mbak mau pindah, San,” jawabku tenang. Kutatap raut penuh tanya mereka sambil menguntai senyum.
“Pindah?” Ia tersentak.
“Iya,” sahutku.
“Mbak ... Mbak jangan pergi ...,” mohonnya serak. Kedua tangannya menggelayut di lenganku.
“Mbak .... Santi minta maaf, Mbak,” lanjutnya, “Emyr ... Emyr jangan pergi, ya. Emyr sama bulek, yuk.”
Ia membujuk sambil mengulurkan kedua tangan, hendak menggendong. Namun, bocah itu menggeleng, mendorong pelan tangannya yang ingin meraihnya.
Manalah Emyr mau, selama ini Santi tidak pernah peduli padanya. Bahkan sering memarahi jika Emyr sedikit aktif.
Aku mengulum senyum menyaksikan kekalutan calon mantan adik iparku itu. Dia sibuk mondar mandir tidak jelas, panik sendiri.
“Jangan pergi, Mbak. Santi minta maaf tela
Dia mengangguk lemah, memberikan kesan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya sama sekali bukan berasal dari hati terdalam. Hanya suatu kepasrahan pada ketidakmampuan. Mungkin karena dia tidak akan merasa diuntungkan atas kepergianku."Sekarang begini saja, deh, coba Mbak Ninik tanya, apa Mas Harsa masih mau menjadikan Mbak Ninik istrinya?" tantangku, "Bukannya tadi Mbak disuruh pulang?" Perempuan itu terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Aku tahu dia malu, juga sedang menahan geram."Tanya juga, saat ini apa Ibu dan Bapak mau menjadikan Mbak Ninik menantu mereka? Dan apa Santi mau menjadikan Mbak kakak ipar?""Aku gak mau, gak asyik," sambar Santi. Gadis itu memandang Ninik sinis.Lagi, aku mengulum senyum. Suka dengan jawaban gercep Santi."Terima kasih, San," ucapku.Gadis itu cengengesan senang, "Sami-sami, Mbak," jawabnya. Aku mengg
"Ra ...." Nur dan Endang menyapa bersamaan ketika melihatku hendak menuju kamar. Kamarku memang terletak berhadapan dengan ruang tengah di mana barang-barang dagangan disimpan. Sehingga jika aku ingin ke sana, pasti akan melewati mereka.Sorot mata mereka iba kepadaku. Kubalas dengan senyuman.Tidak ingin iba mereka berkelanjutan. Bagiku, seseorang boleh bersimpati dan berempati , tetapi jangan sampai kasihan. Simpati dan empati dapat menambah kekuatan, sedangkan kasihan justru melemahkan."Hai," balasku dengan logat biasa saja. Kini ekspresi mereka bertukar melongo. Sepertinya semakin bingung. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita sedikut pun permasalahan intern rumah tanggaku kepada mereka. Sangat wajar jika mereka merasa heran mengapa tiba-tiba aku diantar ke rumah ini, dan semakin heran karena reaksiku yang seperti tidak ada masalah apa-apa.Bagiku, tidak elok membuka rahasia keluarga kepada orang lain. Rumah t
"Ibu?" panggilku masih tak percaya. Wanita yang awalnya berdiri celingak celinguk memeriksa setiap sudut ruang tamu, serta merta menoleh. Beliau menatapku dengan sorot yang sulit kuartikan.Aku melangkah mendekati perempuan itu, "Ada apa, Bu?" tanyaku benar-benar ingin tahu."Di sini rupanya kamu tinggal?" ucapnya tanpa menjawab tanyaku. Atau mungkin itulah jawabannya. Bahwa tujuan dia kemari untuk menyelidiki tempat tinggalku. Namun, entah mengapa aku merasa ada nada meremehkan dalam kalimatnya. Apalagi ketika matanya terus menilik setiap bagian ruangan itu."Kupikir rumah yang lebih mewah sehingga rela pindah mendadak, ternyata ...." Beliau mengedikkan bahu sambil membuka kedua tangan. Seolah ingin menunjukkan bahwa tidak tega menyebutkan kata yang pas untuk menggambarkan kondisi rumahku.Aku mengulum senyum, "Ternyata apa, Bu?" tanyaku sabar, "Kecil? Tidak apa kecil, Bu. Yang penting menyejukkan d
“Iya, Pak,” jawab Nur. Sedangkan Endang cuek. “Sudah lama?” “Sudah lama banget, Pak. Sejak sekolah.” “Sudah menikah?” “Endang sudah, Pak. Saya belum.” “Sudah punya anak?” Kali ini laki-laki hampir enam puluh tahun itu beralih pada Endang. “Belum,” jawab Endang malas. “Sudah lama menikahnya?” “Dua tahun.” “Wah, lama juga. Mengapa belum jadi. Kurang genjot kali,” kelakarnya lalu terbawa dibuat seolah sangat geli. Dia sendiri yang tertawa. Kami justru menyorot tajam. Aku mengamati Bapak mertuaku itu. Mataku sampai menyipit karena terlalu heran. Mengapa gayanya seperti tebar pesona? Bertanya hal-hal yang tidak penting. Lalu tertawa berlebihan. Sangat tidak etis ditanyakan pada lawan jenis saat pertemuan pertama. Apa ini has
“Ehem.” Satu suara mengagetkan ketika aku fokus mengantar kepulangan Bu Mun dan Haykal. Sontak aku menoleh ke belakang.“Ibu juga pamit,” ucap pemilik suara. Di belakangnya Bapak juga tampak berdiri tegak.“Oh, iya. Hati-hati, Bu. Sudah segar ‘kan?” tanyaku. Wanita itu mengalihkan pandangan sejenak. Lalu mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Aku melongo. Jarang-jarang Ibu mau bersentuhan denganku. Biasa pada moment tertentu, jika aku ingin menyalami, tak jarang Ibu enggan mengulurkan tangan.Tak urung, kusambut juga uluran tangan beliau. Kucium takzim layaknya seorang anak kepada orangtua. Demikian juga Bapak, kucium takzim pula punggung tangan beliau.“Hati-hati, Pak, Bu, jangan lupa makan,” ucapku mengantar langkah mereka. Aku tertawa agak mengejek. Aduh, mengapa jadi kurang asem begini. Astaghfirullaha
“Jalan-jalan, yuk.” Suara Mas Harsa membangunkanku yang tenggelam dalam pikiran sendiri.“Jalan-jalan?” sambut Emyr antusias. Dalam dua minggu ini, aku tidak pernah membawanya kemana-mana karena aku pun tidak kemana-mana. Aku sengaja mengurangi keluar rumah jika tidak ada hal mendesak. Sebab menurut Bu Mun, wanita yang menjalani masa idah harus lebih banyak di rumah.Belanja keperluan sayur dan kebutuhan lain, aku meminta tolong Nur atau Endang. Memang sesekali Emyr diajak oleh mereka. Haykal pun pernah membawa bocah itu jalan-jalan. Namun, pastinya berbeda jika jalan-jalan itu bersama kedua orangtuanya.“Mau?” tanya Mas Harsa, tampak tak kalah antusias.“Mau!” seru Emyr riang.“Emyr mau jalan-jalan ke mana?” tanyanya."Ke CS," sahut Emyr menyebut salah satu nama mini market.
“Ada apa ini, San?” Kutanya Santi yang masih berdiri angkuh. Mata gadis itu menatap nyalang ke arah Ninik.“Dia itu ternyata ular, Mas. Dan sangat berbisa,” jawab Santi.“Yang jelas jawabnya. Mas gak ngerti!” ucapku kesal.“Ibu ajak kamu ke sini untuk dinikahkan dengan Harsa, Nduk. Menyelamatkan kamu dari omongan orang-orang, menaikkan derajatmu karena Ibu sangat menyayangimu. Mengapa kamu justru menikam Ibu seperti ini. Sakit, Nduk. Sakit ....” Ibu meratap pilu diujung sedannya.Dahiku semakin berkerut, semakin bingung apa yang terjadi?“Menaikkan derajat apa? Justru aku terhinakan di sini. Ibu mengatakan istri Mas Harsa itu bodoh. Tapi dia pelan dan pasti menjatuhkanku dengan sangat dalam. Santi mulai meremehkanku. Dan Mas Harsa mengingkari janjinya,” sahut perempuan itu sinis, “Kehidupan nyaman yan
Kutatap nanar dua mahluk itu bergantian. Rahang kembali bergemeletuk. Kedua tangan mengepal menahan amarah. Benar-benar pasangan tidak bermoral. Kecewa membuncah di relung jiwa.Yang satu, anak tidak dapat, bapak pun jadi.Yang satu, milik anak, bapak dulu yang coba."Kemaskan semua barang-barangmu. Jangan sampai ada yang tertinggal," ucapku tajam pada perempuan itu. Wajah innocent-nya terperangah, menatapku mengiba."Maafkan aku, Mas," ucapnya. Aku berdecih. Masih berani dia meminta maaf?"Aku tidak mau melihatmu ada di rumahku lagi setelah ini," lanjutku abai dengan permohonan maafnya. Lalu pandanganku beralih pada Bapak."Jenengan boleh ikut, Pak. Atau barangkali jenengan mau nikahi dia sekalian," ucapku miris. Laki-laki itu tergeragap sebentar membalas tatapku, lalu tertunduk di tempatnya. Berlagak menyesal. Kembali mual aku mengingat rautnya yang telah b