Haykal berjalan beriringan bersama Harsa dan Safira, melintasi makam demi makam untuk mencari nama seseorang pada salah satu nisan di sana.
Rencana Haykal dan Nur ke Bali saat itu batal. Keinginan Nur tidak terwujud. Akhirnya Safira dan Harsa yang memutuskan kembali ke Kalimantan demi mengucapkan kata maaf kepada sahabat terbaik atas apa yang terjadi, meski harus menunggu tiga bulan setelah lahiran.
Selain rindu pada sanak kerabat, Safira dan Harsa merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada dia yang kini berada di dalam pusara sana. Terutama Harsa, boleh dikatakan semua berawal darinya.
Setelah mengirimkan doa-doa, meminta agar nama itu diampuni dosa-dosanya, mereka meninggalkan area pemakaman.
"Tidak mampir?" tanya Haykal ketika mereka memutuskan akan berpisah.
"Tadi 'kan sudah. Lain kali kami akan berkunjung kembali," sahut Safira.
"Ya,
Bagian 1"Safira, kenalkan ini Ninik," ucap ibu mertua. Beliau beserta Bapak dan adik iparku baru saja dari pulang kampung di tanah Jawa.Aku tersenyum sembari hendak mengulurkan tangan."Ninik ini pacar Harsa sejak SMP dulu, cinta pertama Harsa," lanjutnya.Aku ternganga mendengar penuturan wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Tanganku mengambang tanggung untuk menyambut uluran tangan perempuan yang ia kenalkan. Apa maksudnya mengenalkan wanita itu sebagai pacar dan cinta pertama Mas Harsa? Apa pula maksudnya mengajaknya kemari?"Ninik akan menikah dengan Harsa. Karena Harsa masih berbaik hati tidak menceraikan kamu, maka kamu harus rela dimadu," ucap Ibu lagi dan serta merta membuatku menarik lagi tanganku.Kubiayai seluruh akomodasi dan transportasi pulang pergi mereka, tetapi ketika kembali oleh-oleh gundik yang aku terima.Aku m
Bagian 2Setelah membereskan bekas makan siang, aku masuk ke kamar. Di sana terlelap malaikat kecilku. Buah cintaku bersama Mas Harsa yang sama sekali tidak mereka tanyakan tadi. Bahkan Mas Harsa yang demikian dekat dengannya seolah lupa.Begitu penting perempuan itu bagi mertuaku sehingga tidak ada rindu sedikitpun untuk untuk cucu semata wayang mereka, padahal telah hampir sebulan tidak bersua.Bening yang sejak tadi kutahan akhirnya pecah juga dari sudut netra, membayangkan bocah tidak berdosa itu akan mendapat kasih sayang yang pincang. Namun, biarlah. Itu lebih baik dari pada hidup berkubang luka. Tidak mengapa pincang, daripada lumpuh karena digerogoti dari dalam.Kuusap kepala buah hatiku yang baru berusia dua tahun itu. Aku harus mampu membesarkannya sendiri. Tidak ada istilah berbagi keringat dalam kamus hidupku. Aku bukan penentang poligami, asal bukan suamiku yang melakuk
Bagian 3Ketika sudut mataku menghangat, kubiarkan ia mencair. Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh menangis. Menangis bukan pula berarti cengeng. Kita hanya perlu menakar porsi, memilih waktu dan tempat yang tepat. Menangis adalah caraku meluruhkan gumpalan di dada bersama air mata, lalu membuangnya bersama setiap tetes yang jatuh. Aku melajukan sepeda motor matic-ku menuju perumahan BTN Bali Permai yang terletak di jalan Jalur II. Rumah yang kelak akan menjadi istana untukku dan Emyr. Rasanya masih sulit percaya bahwa aku akan menjadi single parent dalam usia semuda ini, 22 tahun. Perempuan lain biasanya baru mengikat hubungan pada usia ini, tetapi aku justru sudah mengurainya.Aku memarkir sepeda motor secara asal di halaman rumah. Tampak beberapa sepeda motor lain yang terparkir, juga secara asal. Aku memang belum menata tempat parkir khusus untuk rumah ini karena jarang berada di sini.
Bagian 4Aku segera keluar kamar, menemui mereka yang tiba-tiba menjadi hening sejak menyadari kedatanganku tadi."Kita bicara di sini?" tanyaku sambil berdiri tegak. Mengukir raut tenang, tetapi tegas, kuarahkan pandang pada mata mereka.Biasanya aku selalu berlaku lembut, santun, dan merendah di hadapan Mas Harsa, apalagi pada Ibu dan Bapak. Tidak pernah kutegakkan diri dan berkesan tegas. Namun, saat ini situasi dan kondisi berbeda. Aku harus bisa menempatkan sikap. Jika pada situasi saat ini aku masih terus merendah, maka akan terkesan lemah. Mereka akan leluasa mengintimidasi.Semuanya bergeming. Termasuk Ibu. Padahal selama ini beliau selalu cepat menyambut bicaraku dengan kalimat ketus atau pedas.Begitu pula Mas Harsa yang seperti tercenung menatapku. Seolah aku mahkluk asing yang baru mereka temui."Apa kita tidak jadi bicara?" tanyaku lembut dan ten
Mas Harsa membiarkan amplop itu tergeletak di atas meja. Dia seperti tak berniat menyentuhnya sama sekali. "Apa perlu kujelaskan?" tanyaku ketika melihatnya tetap bergeming. Mungkin dia bingung, mengingat selama ini Mas Harsa hanya mengurus segalanya di awal, sedangkan detail setiap bulan pengaturan keuangan, aku yang mengelola. Tanganku meraih amplop itu kembali dan mengeluarkan berkasnya satu per satu. "Mbak Ninik juga boleh memperhatikan, karena nanti Mbak yang akan mengatur harta Mas Harsa," ucapku. Kulirik wajah yang menurutku biasa saja itu. Namun, khas putri Jawa. Mungkin itu yang membuatnya begitu istimewa di mata Ibu dan Mas Harsa. 'Maaf, Mbak. Kuserahkan estafet yang cukup berat ini padamu, agar Mbak tidak tuman ingin mengambil sesuatu karena terpesona pada keindahan luarnya,' batinku. "Ini berkas rumah." Kuserahkan beberapa lembar kertas pen
Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."===========Aku menyapu setiap sudut kamar dengan desir pilu. Kamar yang kami tempati kurang lebih tiga tahun ini. Meskipun tak luput masalah mendera, selama kurun waktu itu malam-malam selalu kami lewati bersama. Tidak pernah sedikit pun firasat bahwa selamanya aku akan pergi dari sini.Kabut sedikit menyungkup netra, perlahan detik mengubahnya menjadi embun yang siap bergulir. Cukup satu, kuhentikan kabut-kabut itu menguntai panjang.Segera kutegakkan bahu kembali, memutar arah, serta mengokohkan langkah untuk meninggalkan tempat di mana kami mengukir indah selama ini.Knop pintu kamar baru saja kuputar, celahnya pun baru tampak ketika kudengar hentakan benda menyentu
Oleh-oleh dari MertuaKutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.Astagfirullahal'azim.Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur suda
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr