Bagian 3
Ketika sudut mataku menghangat, kubiarkan ia mencair. Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh menangis. Menangis bukan pula berarti cengeng. Kita hanya perlu menakar porsi, memilih waktu dan tempat yang tepat. Menangis adalah caraku meluruhkan gumpalan di dada bersama air mata, lalu membuangnya bersama setiap tetes yang jatuh.
Aku melajukan sepeda motor matic-ku menuju perumahan BTN Bali Permai yang terletak di jalan Jalur II. Rumah yang kelak akan menjadi istana untukku dan Emyr. Rasanya masih sulit percaya bahwa aku akan menjadi single parent dalam usia semuda ini, 22 tahun. Perempuan lain biasanya baru mengikat hubungan pada usia ini, tetapi aku justru sudah mengurainya.
Aku memarkir sepeda motor secara asal di halaman rumah. Tampak beberapa sepeda motor lain yang terparkir, juga secara asal. Aku memang belum menata tempat parkir khusus untuk rumah ini karena jarang berada di sini.
Sebagai toko, Alhamdulillah rumah ini tidak pernah sepi. Selalu ada pembeli dan reseller yang datang.
Di dalam toko, terlihat Nur sedang melayani pelanggan melihat-lihat barang. Sedangkan Endang packing barang-barang yang akan dikirim, baik pengiriman ke luar kota melalui jasa ekspedisi maupun pengiriman lokal. Untuk pengiriman dalam kota, aku mempekerjakan orang khusus yang mengenal seluk beluk kota.
“Ramai?” tanyaku pada mereka.
Kedua orang terbaikku itu menyambut dengan senyum semringah, menjelaskan bahwa hari ini barang yang keluar cukup baik.
“Sekalian ini.” Aku mengulurkan catatan pesanan yang masuk ke akunku kepada Endang. Sebenarnya aku sudah mencantumkan kontak Nur dan Endang sebagai admin untuk konsumen yang mau melakukan pembelian, tetapi ada yang merasa sudah nyaman denganku terutama pelanggan lama, tetangga, atau mereka yang sudah mengenalku di dunia nyata.
“Siap,” balasnya. Setelah menyerahkan rekapan itu, aku beranjak hendak menuju kamar. Ada dua kamar di rumah ini. Satu kugunakan untuk pribadi, tempat istirahat kalau aku dan Emyr sedang berkunjung dan yang satu digunakan Nur dan Endang.
“Emyr mau ikut mama atau di sini,” tanyaku ketika bocah itu terlihat asyik di antara tumpukan barang.
“Di sini,” jawabnya.
“Ya sudah. Titip, ya,” ucapku pada kedua temanku. Mereka mengangguk.
Di kamar, aku duduk di atas petiduran, bersandar pada pucuknya sambil terpejam. Berulang kali kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya lagi. Berharap bersama embusan napas itu, beban yang menyesak turut serta keluar. Namun, ternyata tidak semudah itu. Dada terasa demikian sesak, amat sakit. Amarah, kecewa, juga luka kokoh bertahta dalam jiwa, hingga kedua tanganku mengepal menahannya.
Akhirnya aku bangkit, mengarahkan langkah menuju kamar mandi. Kubasuh organ tubuhku dengan wudhu, menyejukkan hati yang luka dan perih.
Aku sudah terbiasa sendiri. Sejak Ibu pergi ketika aku masih remaja, tiada lagi bahu yang senantiasa ada untukku bersandar. Tiada lagi rungu yang bersedia dijadikan pendengar.
Semua kesah hanya kubisikkan pada bumi, berharap ia bisa merambat hingga ke langit.
Ketika sudut mataku menghangat, kubiarkan ia mencair. Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh menangis. Menangis bukan pula berarti cengeng. Kita hanya perlu menakar porsi, memilih waktu dan tempat yang tepat. Menangis adalah caraku meluruhkan gumpalan di dada bersama air mata, lalu membuangnya bersama setiap tetes yang jatuh.
Karena itu, menangis adalah salah satu caraku untuk menjaga agar diri tetap waras.
Pikiranku melayang pada awal pertemuanku dengan Mas Harsa. Lelaki yang tidak butuh waktu banyak untuk memutuskan melamarku itu, kukira benar-benar menyimpan berjuta cinta. Ternyata aku hanya dijadikan pengalihan.
Aku mengenal Mas Harsa dari seorang teman SMA yang menjadi kerani di kebun tempat Mas Harsa bekerja. Hanya sebulan berkenalan, Mas Harsa mantap melamar dan membawaku pulang ke tanah Jawa, mengenalkan ku pada kedua orangtuanya.
Dengan keteguhan hati, dia meyakinkan Ibu yang kala itu kukuh menolak.
Aku terharu dengan usahanya. Aku merasa sangat dicintai. Siapa sangka, dihatinya ternyata tidak ada aku. Benar kata pepatah, dalamnya laut dapat diukur, hati orang siapa yang tahu. Ternyata aku hanyalah pelarian dari cintanya yang kandas. Bukan sepenuhnya sosok yang mampu mengalihkan hatinya dari perempuan yang ia cintai.
Sekarang, ketika bahtera rumah tangga Ninik hancur, ia menawarkan bahtera kami untuk berlindung dengan menyisihkan keberadaanku. Perih.
Sebelum menikah, Mas Harsa tinggal di perumahan kebun. Awal menikah, ia memboyong semua keluarganya ke Kalimantan dengan alasan Bapak sulit mencari pekerjaan di Jawa. Kami membeli rumah dengan mengajukan pinjaman Bank. Mas Harsa tahu usaha online-ku, karena itu ia merasa aman meskipun gajinya dipotong untuk membayar cicilan.
Aku telah berusaha menjadi menantu yang baik. Tidak masalah meskipun pada akhirnya Bapak tidak pernah mau bekerja, sukarela kutanggung segala kebutuhan termasuk biaya kuliah putri bungsu mereka. Hadirnya Bapak dan Ibu kuanggap pengganti kedua orangtuaku yang telah tiada.
Kulayani butuh mereka dengan baik, memasak makanan yang mereka sukai, mencuci pakaian, membersihkan rumah agar mereka nyaman. Semua kulakukan bukan karena kebodohan diri yang sudi dijadikan pembantu di rumah sendiri, tetapi penuh kesadaran sebagai bakti seorang anak. Kepada mereka kucurahkan kasih sayang yang hilang.
Sifat cerewet dan sinis yang Ibu tunjukkan selalu kuyakini sebagai tanda kasih sayang orang tua kepada anaknya. Sebagaimana ibuku dulu yang sering memarahi, bukan karena benci melainkan untuk mendidik.
Namun, ternyata aku salah menilai mereka. Rupanya benar-benar tidak ada kasih sayang untukku. Hati mereka telah terkunci oleh rasa tidak suka sehingga apapun yang kuperbuat, enggan diterima.
Aku bisa menerima segala sikap sinis Ibu selama ini, tetapi membawa perempuan lain dalam rumah tanggaku tidak bisa ditoleransi. Apalagi cara yang ditempuh begitu menyakitkan.
Ibu yang selalu mendewakan gelar, Mas Harsa yang masih mengingat perempuan itu meskipun tak kurang baktiku selama ini, Ninik yang tak punya perasaan sesama wanita, serta Bapak dan Santi yang juga mendukung. Semua merasa tak penting atas keberadaanku, maka biarlah kuturuti ingin mereka, memulai hidup baru tanpa keberadaanku.
Ba’da isya, aku kembali ke rumah Mas Harsa di dusun Tungkul. Segala butuhku dan Emyr sudah kutunaikan. Perut sudah terisi, badan sudah bersih. Jadi, sampai di rumah nanti aku bisa langsung menidurkan Emyr, lalu memenuhi ingin Mas Harsa untuk bicara.
Pintu depan tampak terbuka ketika sepeda motorku memasuki pekarangan. Langsung kuarahkan kuda besi itu menuju garasi. Dari sini, kudengar tawa renyah bahagia keluarga itu dari dalam rumah. Suara tawa Ibu juga terdengar lepas dan bahagia. Berdesir perih lagi hati ini, selama ini tidak pernah Ibu bercengkrama demikian gembira denganku. Selalu ketus dan sinis yang aku terima. Padahal tak kurang baktiku, sementara perempuan itu sudah berkhianat sebelum ikatan tercipta.
“Karena itu, kamu cepat-cepatlah menikah dengan Harsa.” Terdengar suara Ibu. Entah apa pembicaraan mereka sebelumnya, topik pernikahan lagi yang kudengar. Eneg rasanya.
“Iya, Bu. Saya juga sudah tidak sabar,” sahut perempuan itu. Aku tertawa miris. Sudah ngempet benar rupanya. Apa tidak sungkan dia mengucapkan kalimat itu di depan laki-laki dan keluarganya? Tidak malu?
“Saya juga tidak mau pisah lagi dari Mas Harsa. Saya berjanji akan setia mendampingi nya,” lanjutnya.
‘Yoi. Kita buktikan,’ batinku sambil membenarkan posisi sepeda motor. Begitu asyiknya mereka mengobrol sehingga tidak mendengar deru suara kendaraanku.
Kugendong Emyr dan melangkah perlahan. Terus terang saja, rasa ingin tahuku masih tinggi tentang apa yang mereka bicarakan.
“Terima kasih, Sayang.” Suara Mas Harsa.
Duh ... Mengepal tanganku. Bergetar tubuhku menahan emosi. Kurasa jika diturutkan, tangan ini mampu mengangkat sepeda motor yang baru kutunggangi itu dan melemparkannya ke muka Mas Harsa, sekaligus perempuan yang ada di sampingnya.
Namun, sabar ... Safira. Aku mengusap dada, menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Kulakukan berulang hingga kepala yang panas terasa sejuk kembali oleh aliran oksigen. Kuucap istighfar berkali-kali.
“Sama-sama, Mas. Aku yang terima kasih karena Mas mau menerimaku,” jawabnya terdengar drama di telingaku.
“Apapun kondisi kamu, mas selalu menerima. Selama ini mas selalu menunggumu kembali,” balas laki-laki itu.
“Cie ... cie ....” Terdengar suara Santi kemudian diikuti tawa Ibu dan Bapak.
Allahu Akbar. Panas benar-benar panas hatiku. Kuucap lagi istighfar. Kemudian meneruskan langkah untuk masuk, tidak sanggup lagi rasanya mendengar celoteh mereka.
“Assalamualaikum,” ucapku setelah berusaha sekuat tenaga menenangkan emosi. Tidak ada jawaban. Masih terdengar tawa renyah dari mereka semua.
“Tapi bagaimana dengan Safira?” Suara perempuan itu masih dapat kudengar seiring gerak kakiku.
“Gampanglah itu Safira,” jawab Ibu meremehkan.
“Iya, nanti mas yang bicara dengannya. Dia pasti bisa menerima. Kamu lihat sendiri ‘kan tadi dia tidak apa-apa,” tutur laki-laki itu.
“Iya, Mbak Ninik. Aku gak apa-apa. Yang penting Mbak Ninik, aku mah gampang,” celetukku santai. Semua mata yang ada dalam ruangan itu mengarah padaku. Mendadak suasana lengang, sepertinya mereka cukup terkejut dengan kehadiranku.
“Asyik banget ngobrolnya, sampai aku mengucap salam pun gak dengar,” lanjutku lagi. Satu senyum kuterbitkan dari bibirku.
“Sudah lama sampai, Dek?” tanya Mas Harsa. Gestur tubuhnya terlihat gugup.
“Lumayan,” sahutku. Kupindai raut mereka yang seketika hening, tak satu pun di antaranya terlihat tenang. Sepertinya mereka resah aku sudah mencuri dengar beberapa kalimat yang mereka ucapkan.
“Aku tidurkan Emyr dulu, ya. Setelah itu kita bicara,” lanjutku lalu melangkah menuju kamar.
Kubaringkan buah hatiku di atas tempat tidur, kemudian mendekapnya dari samping. Merapalkan doa pengantar tidur, sambil memberi kecupan dan usapan lembut. Mata yang memang sudah mengantuk itu terlelap tanpa butuh waktu lama.
Setelah merapikan bantal dan selimutnya, aku beringsut turun dari ranjang. Beranjak menyiapkan surat-surat yang selama ini diberikan Mas Harsa, menyatukannya dalam sebuah amplop coklat besar untuk kuwariskan kepada Ninik.
Aku tersenyum sinis. Ini akan menjadi hadiah terbaik bagi mereka untuk memulai lembaran baru.
Bagian 4Aku segera keluar kamar, menemui mereka yang tiba-tiba menjadi hening sejak menyadari kedatanganku tadi."Kita bicara di sini?" tanyaku sambil berdiri tegak. Mengukir raut tenang, tetapi tegas, kuarahkan pandang pada mata mereka.Biasanya aku selalu berlaku lembut, santun, dan merendah di hadapan Mas Harsa, apalagi pada Ibu dan Bapak. Tidak pernah kutegakkan diri dan berkesan tegas. Namun, saat ini situasi dan kondisi berbeda. Aku harus bisa menempatkan sikap. Jika pada situasi saat ini aku masih terus merendah, maka akan terkesan lemah. Mereka akan leluasa mengintimidasi.Semuanya bergeming. Termasuk Ibu. Padahal selama ini beliau selalu cepat menyambut bicaraku dengan kalimat ketus atau pedas.Begitu pula Mas Harsa yang seperti tercenung menatapku. Seolah aku mahkluk asing yang baru mereka temui."Apa kita tidak jadi bicara?" tanyaku lembut dan ten
Mas Harsa membiarkan amplop itu tergeletak di atas meja. Dia seperti tak berniat menyentuhnya sama sekali. "Apa perlu kujelaskan?" tanyaku ketika melihatnya tetap bergeming. Mungkin dia bingung, mengingat selama ini Mas Harsa hanya mengurus segalanya di awal, sedangkan detail setiap bulan pengaturan keuangan, aku yang mengelola. Tanganku meraih amplop itu kembali dan mengeluarkan berkasnya satu per satu. "Mbak Ninik juga boleh memperhatikan, karena nanti Mbak yang akan mengatur harta Mas Harsa," ucapku. Kulirik wajah yang menurutku biasa saja itu. Namun, khas putri Jawa. Mungkin itu yang membuatnya begitu istimewa di mata Ibu dan Mas Harsa. 'Maaf, Mbak. Kuserahkan estafet yang cukup berat ini padamu, agar Mbak tidak tuman ingin mengambil sesuatu karena terpesona pada keindahan luarnya,' batinku. "Ini berkas rumah." Kuserahkan beberapa lembar kertas pen
Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."===========Aku menyapu setiap sudut kamar dengan desir pilu. Kamar yang kami tempati kurang lebih tiga tahun ini. Meskipun tak luput masalah mendera, selama kurun waktu itu malam-malam selalu kami lewati bersama. Tidak pernah sedikit pun firasat bahwa selamanya aku akan pergi dari sini.Kabut sedikit menyungkup netra, perlahan detik mengubahnya menjadi embun yang siap bergulir. Cukup satu, kuhentikan kabut-kabut itu menguntai panjang.Segera kutegakkan bahu kembali, memutar arah, serta mengokohkan langkah untuk meninggalkan tempat di mana kami mengukir indah selama ini.Knop pintu kamar baru saja kuputar, celahnya pun baru tampak ketika kudengar hentakan benda menyentu
Oleh-oleh dari MertuaKutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.Astagfirullahal'azim.Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur suda
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a
Ada apa dengan mereka?Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing dengan mengurusi mereka. Tidak ada untungnya.Kulanjutkan kembali menikmati makan malamku. Suasana hening dan terasa canggung. Kami terjerat dalam diam. Hanya suara sendok dan piring beradu.Kulirik Mas Harsa. Ia tampak masih telaten menyuapi Emyr. Seperti menyimpan berjuta rindu, tak henti diciuminya anak itu di sela setiap suapan. Ia peluk erat Emyr yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala bocah itu."Toko rame? Sore baru pulang?" Suara berat Mas Harsa tiba-tiba terdengar. Ia bicara tanpa memandangku, tetap sibuk menyuapi Emyr.Aku mengangguk, "Ya," jawabku singkat. Kulirik lagi wajah diamnya. Teringat pertemuanku dengan Bu Mun tadi pagi."Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya beliau.Aku terdiam sejenak. Seketika mereka
Oleh-oleh dari MertuaBalas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan dirimu lebih baik. Itu kalimat Ali bin Abi Thalib yang selalu kudengungkan dalam diri.========"Enggak! ... Enggak! ...." jerit perempuan itu. Aku menghentikan aktivitasku.'Ada apa lagi?' pikirku."Sabar, Nduk. Sabar ...." Suara Ibu menenangkan."Gak! Kalian semua sama saja!""Jangan pergi, Nduk ...."Hah? Pergi? Perempuan itu pergi. Ingin tahu, aku segera beranjak."Emyr di sini saja, ya. Mama mau ke depan sebentar. Jangan kemana-mana. Jangan keluar," pintaku. Emyr yang seperti biasa, setiap pagi masih posisi enak menghabiskan susunya mengangguk.Gegas aku keluar. Menuju ruang di mana suara berasal. Ternyata dari ruang tamu. Wanita itu memegang gagang