Oleh-oleh dari Mertua
Kutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.
Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.
Astagfirullahal'azim.
Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.
Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur sudah tak beraturan lagi bentuk spreinya. Penuh oleh lego yang berserakan.
Rupanya dia sudah menghabiskan susunya. Botol kosong ia letakkan di atas nakas yang berada di kaki ranjang.
Kuusap lembut kepala bocah itu. Emyr adalah kekuatanku. Hanya menatap gemas wajahnya, segenap luka lara bagai terlupakan seketika, semangat hidup bangkit kembali.
Kusisihkan sedikit mainan yang memenuhi atas tempat tidur itu, memberi sedikit ruang untuk sendiri meluruskan tubuh di atasnya.
Duduk bersandar, kuambil gawai dan membuka layarnya. Jemariku mengarah pada aplikasi W******p, menggulirkan percakapannya ke bawah untuk mencari nama Bu Munziah.
Semalam. Ketika hati merasa yakin bahwa akan terjadi hal buruk dalam pernikahan kami, aku menghubungi sosok itu. Guru agama sekaligus pembina rohis ketika aku sekolah. Sosok yang lembut, yang tidak hanya sekadar mentransfer ilmu, tetapi demikian menyayangi para siswanya.
Aku begitu dekat dengan Bu Mun. Bahkan beliau telah kuanggap pengganti Ibu yang telah tiada. Kasih sayangnya terasa lebih besar dari bibi, tempatku bernaung setelah kepergian Ibu. Kepada Bu Mun, aku berbagi segala pelik permasalahan hidup.
Kubaca lagi percakapan kami tempo hari, dimana aku bercerita tentang rumah tanggaku padanya.
"Cerai?" tanyanya ketika aku mulai bercerita. Meskipun hanya melalui pesan singkat, aku tahu beliau pasti kaget.
"Iya," balasku singkat.
"Cerai itu perbuatan halal yang sangat dibenci Allah. Ada masalah apa, Nak? Hak cerai ada pada suami. Suami bisa menalak istri tanpa butuh alasan, tetapi istri tidak boleh menuntut cerai tanpa alasan. Ancamannya tidak akan mencium bau surga," tulis beliau. Lalu kuceritakan perlakuan Mas Harsa, juga tentang nafkah lahir yang selama ini kututupi.
"Mau mendengarkan nasihat Ibu?" tanyanya. Ciri khas Bu Mun selalu bertanya demikian sebelum menasihati. Menurut beliau, percuma menasihati jika yang dinasihati enggan menerima.
"Sangat mau, Bu," balasku.
"Nak, jika pada akhirnya suamimu mau menjatuhkan talak dan itu adalah talak satu atau dua, maka kamu harus tetap tinggal di rumahnya, menunggu masa iddah selama tiga bulan di sana," tulisnya.
"Harus tetap di sana? Bukankah sudah jatuh talak berarti saya dan Mas Harsa bukan mahram lagi, Bu? Apa tidak akan menimbulkan fitnah nantinya?" tanyaku tidak kalah kaget. Yang aku tahu dan sering kusaksikan di film atau sinetron, seiring talak terucap maka si istri pergi dari rumah.
"Kalau talak raj'i, yaitu talak satu atau dua, maka kamu masih ibarat semi istri baginya. Belum janda sepenuhnya. Hanya saja tidak boleh melakukan hubungan badan. Karena masih semi istri, maka suamimu harus tetap mencukupi kebutuhanmu, dan kamu tidak diperkenankan keluar kecuali atas izinnya. Kalau kamu keluar tanpa ada alasan, maka berdosa hukumnya. Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala dalam QS. At-Thalaq ayat 1. Coba nanti kamu baca tadabburnya. Wallahu’alam," terangnya.
Jemariku beralih pada aplikasi Al Qur'an digital yang ada di sana, membuka kembali surah At-Talaq untuk kembali menyelami maknanya.
"Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru."
(QS. At-Talaq 65: Ayat 1)
Aku menghela napas dalam, memahami makna ayat itu berulang-ulang. Apakah tidak ada lagi yang bisa meringankanku untuk pindah secepatnya? Menurut makna yang kupahami, masa tunggu memang utamanya dihabiskan di rumah suami. Akan tetapi, bisakah kondisiku ini menjadi suatu pengecualian? Di mana sikap yang tidak bersahabat dari keluarga Mas Harsa dan kehadiran Ninik di rumah ini.
Kututup gawaiku, memperhatikan Emyr yang masih asyik sendiri. Mungkin aku harus meminta penjelasan ulang dari Bu Mun.
"Bikin apa, Sayang?" tanyaku. Kupeluk tubuh mungil itu, menciumi pipinya bertubi-tubi untuk memupus segala rasa yang lagi-lagi menyesak dada. Emyr adalah obat penawar mujarab yang kupunya.
"Bikin petawat," jawabnya. Emyr sebenarnya cenderung tidak cadel kalau bicara untuk anak seumuran dia. Hanya saja dia belum bisa menyebut kata jika terdapat huruf S di tengahnya.
Pisang menjadi pitang. Pesawat menjadi petawat. Pisau menjadi pitau. Namun, jika S itu terletak di awal, dia bisa menyebut dengan baik, sungai, suka. Akan tetapi, anehnya menyebut susu menjadi tutu. Tidak sutu.
Meskipun cenderung tidak cadel, ada beberapa kata yang menjadi sangat berbeda, misalnya menyebut kata 'luar', bisa-bisanya menjadi 'kual'.
"Mana pesawatnya?" tanyaku.
"Ini," tunjuknya mengarahkan hasil karyanya. Bentuk yang menurutku sama sekali tidak mirip dengan pesawat. Entah apalah, hingga membuatku tertawa geli, melupakan semua beban yang dialami.
"Wah, pintar sekali anak mama?" pujiku. Apapun hasilnya selalu kupuji agar dia tetap semangat belajar. Bocah itu tertawa bahagia. Getarnya beresonansi padaku sehingga membuatku turut dalam bahagianya.
"Mandi, yuk, sudah siang," ajakku, "Setelah itu kita sarapan. Emyr mau sarapan apa?"
"Nasi goreng," sahutnya. Fokusnya tetap pada lego yang sejak tadi dibongkar kemudian dipasang kembali.
Emyr memang sangat suka nasi goreng. Boleh dikatakan itu adalah makanan favoritnya. Dicampur irisan sosis, dia bisa menghabiskan hampir sama dengan porsi makanku.
"Nasi goreng? Oke, siaaap. Nanti kita beli saja, ya. Tapi mandi dulu, yuk," balasku. Aku sangat jarang membeli makanan di luar. Namun, untuk hari ini tidak apa-apalah beli, belum cukup mood untuk memasak di rumah ini dengan situasi seperti ini.
Bocah itu melepaskan lego dari tangannya, lalu beranjak dan menggelayut di leherku. Sudah kebiasaan dia kumandikan pada jam-jam seperti ini. Jadi jika mau main, makan, atau ke mana saja sudah bersih.
Aku sendiri sudah mandi lebih awal, sebelum subuh. Sama dengan hari-hari sebelumnya. Meskipun mendapat masalah berat seperti ini, aku harus tetap kelihatan segar. Tidak boleh ngeluntruk. Tetap berpenampilan seperti biasa, masih memoles wajah meskipun tidak berlebihan.
Sengaja kutunjukkan pada mereka, aku tetap baik-baik saja.
Kamar ini tidak mempunyai kamar mandi di dalam. Hanya kamar utama yang ada. Aku keluar menggendong Emyr, handuk kusampirkan di bahu.
Melewati dapur, masih tampak Mas Harsa duduk di tempatnya sarapan. Apa mie-nya belum habis? Lama sekali? Kenapa tidak buru-buru berangkat? Padahal sudah siang.
"Emyr!" panggilnya. Bocah itu menyambut dengan tawa sambil mengalungkan tangannya ke leherku lebih kencang. Hari-hari biasanya, jika dia akan mandi dan sudah dalam keadaan polos begini, Mas Harsa akan datang untuk menggelitik perutnya.
Laki-laki itu beranjak dan kelihatan akan menuju ke arah kami, sehingga Emyr semakin mengeratkan pelukannya. Kakinya turut bergerak-gerak.
"Sebentar, Dek," tahan Mas Harsa ketika aku tetap meneruskan langkah.
Aku berhenti. Tanpa menoleh. Laki-laki itu mendekat lalu mengulurkan tangan, hendak menggendong Emyr.
"Gendong papa sebentar, yuk. Papa mau berangkat kerja," ucapnya pada Emyr. Bocah itu menurut.
"Tadi malam nyenyak boboknya?" tanyanya sambil menciumi bocah itu. Terlihat seperti telah lama tidak bertemu.
"Papa sepi tidur sendiri, gak ada kamu," lanjutnya lagi, masih terus menciumi.
"Bentar lagi 'kan ada teman baru," celetukku. Menyandar santai di tembok, aku menghadiahinya senyum sinis.
"Jadi gak bakal pernah kesepian lagi," sindirku.
Mas Harsa menatapku sendu. Air mukanya keruh. Terlihat lucu bagiku.
'Kenapa mukamu ngenes begitu, Mas?'
Ia menyerahkan Emyr kembali, "Mandi," ucapnya pada bocah itu, "Papa kerja dulu."
Tangannya terulur, meminta Emyr untuk salim. Ritual setiap akan berangkat kerja. Setelah Emyr mencium takzim, tangan itu pun terulur padaku. Aku bergeming, menatap dingin. Salah tingkah, ia menarik tangannya kembali.
Aku segera melanjutkan langkah kembali. Namun, lagi-lagi terhenti ketika mendapati Ninik sudah lebih dulu di depan pintu kamar mandi.
Berhadapan kembali dengannya, dadaku bergemuruh antara panas dan perih. Perempuan itu berhenti sejenak, menatap pada kami. Mulutnya terbuka lebar, menguap tanpa ditutup. Satu tangannya menggaruk kepala yang ditutup rambut liar berdiri, seperti singa kulihat.
"Baru bangun?" terdengar suara berat Mas Harsa dari belakang.
Perempuan itu mengangkat bahu, "Lihat sendiri 'kan?" jawabnya tak acuh.
"Jam segini baru bangun," ujar laki-laki itu lagi.
"Lha, kenapa gak bangunin?"
Mas Harsa terdengar mendengkus, "Emang gak bisa bangun sendiri lebih awal?"
"Kenapa, sih? Ini juga masih pagi?"
"Pagi? Safira sudah bangun dari tadi, sudah bikinkan sarapan untukku. Ibu dan Santi sudah mencuci." Intonasi bicara Mas Harsa meningkat. Duh, gerah telingaku mendengar mereka.
Ninik mengalihkan pandangan padaku, "Perempuan yang kamu puji itu, sudah kamu cerai," ucapnya sinis. Kusambut dengan senyum manis, setidaknya dia membantuku untuk mengingatkan Mas Harsa tentang statusku.
"Mbak Ninik pakai kamar mandinya, gak? Aku mau mandikan Emyr," ucapku. Lebih baik kusadarkan dari pada menonton mereka berdebat di depan kamar mandi.
Perempuan itu mendengkus, lalu membuka dan menutup pintu kasar. Aku menunggu sabar di depan pintu.
Sementara Mas Harsa terlihat kesal, melangkah lebar ke depan. Beberapa saat terdengar suara sepeda motornya mengaung semakin jauh.
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a
Ada apa dengan mereka?Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing dengan mengurusi mereka. Tidak ada untungnya.Kulanjutkan kembali menikmati makan malamku. Suasana hening dan terasa canggung. Kami terjerat dalam diam. Hanya suara sendok dan piring beradu.Kulirik Mas Harsa. Ia tampak masih telaten menyuapi Emyr. Seperti menyimpan berjuta rindu, tak henti diciuminya anak itu di sela setiap suapan. Ia peluk erat Emyr yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala bocah itu."Toko rame? Sore baru pulang?" Suara berat Mas Harsa tiba-tiba terdengar. Ia bicara tanpa memandangku, tetap sibuk menyuapi Emyr.Aku mengangguk, "Ya," jawabku singkat. Kulirik lagi wajah diamnya. Teringat pertemuanku dengan Bu Mun tadi pagi."Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya beliau.Aku terdiam sejenak. Seketika mereka
Oleh-oleh dari MertuaBalas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan dirimu lebih baik. Itu kalimat Ali bin Abi Thalib yang selalu kudengungkan dalam diri.========"Enggak! ... Enggak! ...." jerit perempuan itu. Aku menghentikan aktivitasku.'Ada apa lagi?' pikirku."Sabar, Nduk. Sabar ...." Suara Ibu menenangkan."Gak! Kalian semua sama saja!""Jangan pergi, Nduk ...."Hah? Pergi? Perempuan itu pergi. Ingin tahu, aku segera beranjak."Emyr di sini saja, ya. Mama mau ke depan sebentar. Jangan kemana-mana. Jangan keluar," pintaku. Emyr yang seperti biasa, setiap pagi masih posisi enak menghabiskan susunya mengangguk.Gegas aku keluar. Menuju ruang di mana suara berasal. Ternyata dari ruang tamu. Wanita itu memegang gagang
“Mas ... boleh ... masuk?” tanyanya terbata, terkesan ragu.“Gak kerja?” selidikku.Ia menggeleng, “Gak,” jawabnya.Aku menatapnya sebentar. Berhitung untuk memenuhi permintaannya atau tidak. Namun, bagaimana pun dia masih berhak untuk bicara. Akhirnya kubuka juga pintu lebih lebar.Laki-laki itu melangkah perlahan, memindai seisi kamar dengan netranya. Melihat barang-barang yang sudah kukemas rapi, ia tampak terpaku beberapa lama. Kemudian terdengar ia menghela napas dalam.“Papa ....” Emyr yang sudah rapi dan wangi segera menghambur padanya, mengulurkan kedua tangan sambil menengadah, minta digendong.Mas Harsa segera menyambut tubuh itu, mengangkatnya tinggi sehingga bocah itu tergelak senang. Kemudian tubuh mungil itu ia sejajarkan dengan wajahnya, menciumnya bertubi-tubi, lalu mendekapnya erat
“Mbak mau pindah, San,” jawabku tenang. Kutatap raut penuh tanya mereka sambil menguntai senyum.“Pindah?” Ia tersentak.“Iya,” sahutku.“Mbak ... Mbak jangan pergi ...,” mohonnya serak. Kedua tangannya menggelayut di lenganku.“Mbak .... Santi minta maaf, Mbak,” lanjutnya, “Emyr ... Emyr jangan pergi, ya. Emyr sama bulek, yuk.”Ia membujuk sambil mengulurkan kedua tangan, hendak menggendong. Namun, bocah itu menggeleng, mendorong pelan tangannya yang ingin meraihnya.Manalah Emyr mau, selama ini Santi tidak pernah peduli padanya. Bahkan sering memarahi jika Emyr sedikit aktif.Aku mengulum senyum menyaksikan kekalutan calon mantan adik iparku itu. Dia sibuk mondar mandir tidak jelas, panik sendiri.“Jangan pergi, Mbak. Santi minta maaf tela
Dia mengangguk lemah, memberikan kesan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya sama sekali bukan berasal dari hati terdalam. Hanya suatu kepasrahan pada ketidakmampuan. Mungkin karena dia tidak akan merasa diuntungkan atas kepergianku."Sekarang begini saja, deh, coba Mbak Ninik tanya, apa Mas Harsa masih mau menjadikan Mbak Ninik istrinya?" tantangku, "Bukannya tadi Mbak disuruh pulang?" Perempuan itu terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Aku tahu dia malu, juga sedang menahan geram."Tanya juga, saat ini apa Ibu dan Bapak mau menjadikan Mbak Ninik menantu mereka? Dan apa Santi mau menjadikan Mbak kakak ipar?""Aku gak mau, gak asyik," sambar Santi. Gadis itu memandang Ninik sinis.Lagi, aku mengulum senyum. Suka dengan jawaban gercep Santi."Terima kasih, San," ucapku.Gadis itu cengengesan senang, "Sami-sami, Mbak," jawabnya. Aku mengg
"Ra ...." Nur dan Endang menyapa bersamaan ketika melihatku hendak menuju kamar. Kamarku memang terletak berhadapan dengan ruang tengah di mana barang-barang dagangan disimpan. Sehingga jika aku ingin ke sana, pasti akan melewati mereka.Sorot mata mereka iba kepadaku. Kubalas dengan senyuman.Tidak ingin iba mereka berkelanjutan. Bagiku, seseorang boleh bersimpati dan berempati , tetapi jangan sampai kasihan. Simpati dan empati dapat menambah kekuatan, sedangkan kasihan justru melemahkan."Hai," balasku dengan logat biasa saja. Kini ekspresi mereka bertukar melongo. Sepertinya semakin bingung. Selama ini aku memang tidak pernah bercerita sedikut pun permasalahan intern rumah tanggaku kepada mereka. Sangat wajar jika mereka merasa heran mengapa tiba-tiba aku diantar ke rumah ini, dan semakin heran karena reaksiku yang seperti tidak ada masalah apa-apa.Bagiku, tidak elok membuka rahasia keluarga kepada orang lain. Rumah t