Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."
===========
Aku menyapu setiap sudut kamar dengan desir pilu. Kamar yang kami tempati kurang lebih tiga tahun ini. Meskipun tak luput masalah mendera, selama kurun waktu itu malam-malam selalu kami lewati bersama. Tidak pernah sedikit pun firasat bahwa selamanya aku akan pergi dari sini.
Kabut sedikit menyungkup netra, perlahan detik mengubahnya menjadi embun yang siap bergulir. Cukup satu, kuhentikan kabut-kabut itu menguntai panjang.
Segera kutegakkan bahu kembali, memutar arah, serta mengokohkan langkah untuk meninggalkan tempat di mana kami mengukir indah selama ini.
Knop pintu kamar baru saja kuputar, celahnya pun baru tampak ketika kudengar hentakan benda menyentuh meja cukup keras.
Mas Harsa membanting berkas-berkas itu ke atas meja, sejenak setelah kutampak Ninik beranjak kasar dan tergesa menuju kamar tamu yang ia tempati. Dari sana, kudengar pintu tertutup keras.
Aku menghela napas dalam. Segala yang terjadi, bukan salahku!
Menggendong Emyr, aku melangkah pasti menuju kamar yang akan kami tempati, melewati mereka yang masih duduk terpaku di tempat masing-masing.
Melirik Mas Harsa yang duduk di sofa dengan kedua siku bertopang di lutut, dan kedua tangan menutup muka sebatas hidung, sisi jahat hatiku mensyukuri. Laki-laki itu sedang nelangsa.
'Kamu rasakanlah, Mas. Sejauh ini aku begitu sabar mendampingimu dalam keterbatasan, bersedia menerimamu dan menutupi segala kekurangan, ikhlas menyayangi keluargamu, ternyata begini kamu membalasnya.'
Dengan keadaannya seperti ini, andai Ninik akhirnya berbalik arah, maka apeslah laki-laki itu. Dia akhirnya tidak akan mendapat siapa-siapa. Mau untung, yang ada justru buntung.
Namun, semua itu bukan urusanku. Menikah atau tidak dia dan Ninik, talak yang kuterima malam ini akan berlaku selamanya.
Jika pada akhirnya mereka menyesal, maka cukuplah kata maaf saja yang diberikan. Memaafkan bukan berarti melupakan.
Luka memang akan sembuh, meskipun membutuhkan waktu yang lama. Namun, sekecil apapun luka yang sembuh, ia akan tetap menyisakan bekas. Apalagi luka yang menganga.
Kubaringkan Emyr di tempat tidur. Bocah itu menggeliat, kemudian terlelap kembali. Kuusap lembut pucuk kepalanya, menatap haru wajah damainya.
Dulu, aku ditinggal Bapak pergi saat duduk di kelas empat SD. Sekarang pun putraku ditinggalkan bapaknya, meskipun dalam konteks yang berbeda. Konteks yang justru lebih menyakitkan. Emyr harus kehilangan kasih sayang itu karena sebuah pengkhianatan bahkan saat masih berusia dua tahun.
Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."
Aku merapikan selimut dan bantal untuknya, meletakkan guling pada bagian bawah dan sisi ranjang yang jauh dari dinding. Emyr tidur cukup lasak, jadi pergerakannya kuhalangi guling agar saat berpindah tempat tidak bablas jatuh ke lantai. Ranjang ini tentu saja lebih kecil dari yang ada di kamar utama. Karena itu, harus ekstra hati-hati jika harus meninggalkannya walaupun hanya sebentar.
Setelahnya aku beringsut turun, hendak ke kamar mandi, menentramkan hati yang masih berkecamuk dengan sejuknya wudhu.
Aku hanya sendiri. Siapa lagi yang bisa menegakkan langkah dan menegarkan hati ini selain DIA.
Di atas sajadah, kupusatkan segenap jiwa, menenggelamkan hati dan pikiran hanya kepada-Nya, lalu mengeluhkan semua kesah.
Hanya kepada-Nya ketika aku datang dalam kondisi terlemah untuk menumpahkan air mata, selalu berbalas dengan kekuatan sekaligus memperoleh ketenangan.
Usai mengadu, kubaringkan raga di samping jagoan kecilku, meringkuk miring memeluk tubuh mungilnya. Hanya dia yang saat ini secara nyata mampu menyulam hatiku yang retak.
***
"Safiraaa!" Satu panggilan keras terdengar dari belakang rumah pagi ini. Satu malam babak baru telah terlewati.
Aku yang memang sengaja di kamar saja spontan menegakkan telinga. Belum genap pukul enam pagi, ada apa Ibu memanggil demikian kencang?
"Emyr di kamar saja, ya, habiskan susunya. Mama dipanggil Uti," ucapku pada bocah dua tahun itu. Dia masih gelimpang gelimpung dengan sebotol besar susu formula di tangannya.
Bocah itu mengangguk. Terus meneguk hisapan demi hisapan tanpa merasa terganggu. Aku segera turun dari ranjang, melangkah ke arah sumber suara.
"Jangan kemana-mana, kalau susunya sudah habis, main saja," ucapku lagi sebelum benar-benar keluar. Ia kembali mengangguk dengan tidak melepaskan botol dot dari mulutnya.
"Ya, Bu," sahutku setelah berada tidak jauh dari mereka. Tampak Ibu berdiri dengan berkacak pinggang di samping mesin cuci, sementara Santi tepat di depan mesin itu sambil memperhatikan bagian dalam tabungnya. Namun, tidak terlihat Ninik bersama mereka. Kemana perempuan itu?
"Ini mesin cuci kenapa airnya ndak bisa nampung?" tanya Ibu dengan intonasi tinggi. Netranya menatapku nanar.
"Oh ... Iya," sahutku santai sembari menepuk dahi.
"Saya lupa bilang kalau mesin cucinya rusak," lanjutku.
"Rusak?" Wanita itu tampak terperanjat hingga suaranya nyaris seperti memekik.
'Subhanallah!' Aku bahkan ikut terperanjat melihat ekspresinya, 'Biasa saja kali, Bu.'
"Bagaimana bisa rusak?" Tanyanya dengan intonasi masih tinggi dan garang.
.
"Ya bisa, Bu. Namanya juga buatan manusia. Manusia yang buatan Allah saja bisa rusak, bisa tamat," jawabku, "Apalagi mesin cuci."
Wanita itu mendengkus. Rautnya terlihat kesal.
"Sebenarnya memang sudah lama begitu. Knop pembuangan airnya dol. Jadi airnya ngalir terus. Masih bisa digunakan, sih. Tapi harus dibongkar," terangku.
"Kamu bongkarlah!" titahnya. Matanya menatapku tajam.
"Mmm, suruh Mas Harsa saja, Bu," tolakku tenang.
"Kamu menolak perintah, Ibu?" tanyanya melengking. Kenapa harus mau? Selama ini aku memang tidak pernah membantah apa yang Ibu titahkan. Akan tetapi, itu ketika hubungan kami masih bisa disebut baik-baik saja. Saat aku masih istri Mas Harsa. Sekarang berbeda.
"Harsa 'kan mau berangkat kerja. Mana belum sarapan lagi," protesnya ketus.
Belum sarapan? Padahal sudah mau jam enam. Jarak kebun dengan rumah cukup jauh, sekitar satu jam-an. Biasanya Mas Harsa sudah pada tahap persiapan akhir untuk berangkat pada jam segini.
"Minta tolong Mbak Ninik saja, Bu." Aku tetap menolak.
"Ninik masih tidur, lagi pula mana bisa dia bongkar-bongkar yang beginian." Wajah Ibu merengut bagai ditekuk seribu.
"Ya, dibangunkan dulu. Lagi pula ini sudah terang. Apa gak malu sama kambing belum bangun."
"Kamu saja yang sudah biasa bongkar, kenapa, sih?" ketusnya.
"Mbak Ninik saja, Bu. Lagi pula nanti dia yang setiap hari berhadapan dengan mesin cuci ini. Jadi harus terbiasa." Aku berdalih.
"Ninik tidak pernah bongkar mesin ini sebelumnya, mana dia bisa?"
"Dicoba saja, Bu. Panggil Mbak Niniknya dulu. Barangkali bisa. Dia 'kan pintar," lanjutku menyindir.
Ibu mendengkus. Lalu membuang muka.
"Mbak, tolong, dong. Pakaian Santi banyak yang kotor." Santi menatapku sambil merengut. Wajahnya tampak kesal.
"Kalau gak mau bongkar, kucek saja, San. Mbak kemarin juga ngucek karena malas mau bongkar," sahutku tenang.
"Sebenarnya, sih, sudah ada rencana mau ganti sejak lama. Sudah nabung juga sedikit. Tapi karena kemarin kalian mendadak mau pulang kampung, jadi dipending dulu. Uangnya untuk ongkos kalian."
Gadis manis itu kembali merengut, mungkin merasa usahanya untuk membujukku sia-sia. Lagi pula hanya mengucek, bukan suatu hal yang berat, mengapa harus heboh sekali.
"Ibu, deh, yang ngucek," ucapnya masih terdengar kesal. Raut wajahnya pun masam.
Aku memerhatikan adik calon mantan suamiku itu sambil menggeleng. Sebagai menantu saja, tidak pernah selama ini aku membiarkan Ibu mencuci pakaian sendiri. Meskipun bukan sekali dua kali mesin cuci itu macet baik karena rusak atau listrik padam, tetap kucuci pakaian Ibu walau harus dikucek.
Sementara Santi yang ia lahirkan dari rahimnya sendiri, tega memintanya untuk mengucek pakaian orang serumah.
'Nasibmu sekarang, Bu,' batinku.
"Enak saja kamu suruh ibu yang kucek." Wanita itu menatap Santi tajam.
"Terus bagaimana? Ini pakaian Mas Harsa tebal-tebal begini. Mana sanggup aku nguceknya! Terus tambah lagi ini ... pakaian Mbak Ninik," sungutnya.
Aku terkekeh miris dalam hati. Ninik belum apa-apa sudah menitipkan pakaiannya untuk dicuci?
Jangan-jangan begini kelakuannya di rumah suaminya yang pertama, karena itu rumah tangganya kandas.
"Yo, wis. Kucek sama-sama kalau begitu," ucap Ibu. Berdua, Ibu dan anak itu memasukkan pakaian ke dalam baskom besar, menambahkan air dan sabun, lalu duduk di atas dingklik dan mulai mencuci.
Aku tersenyum menatap keduanya.
'Maaf ya, Bu,' ucapku dalam hati.
Kubalikkan badan meninggalkan mereka untuk kembali ke kamar. Namun, nyaris saja aku terjungkal karena kaget ketika mendapati sosok Mas Harsa berdiri tepat di hadapanku.
Kuusap dada yang serasa bagai hendak keluar organ dalamnya. Aku menatap dingin rautnya. Apa dia sudah lama berdiri di sana? Untuk apa?
"Dek, tolong bikinkan mas sarapan," ucapnya pelan.
"Ha?" Keningku berkerut. Tidak salah dengar? Dalam masa tunggu, sah-sah saja, sih, dia memintaku menyiapkan sarapan atau kebutuhan lahir lainnya. Karena statusku adalah semi istri. Dia masih berhak sedikit atasku. Akan tetapi, apa dia tidak malu?
"Mmm ...." Laki-laki itu menggaruk-garuk tengkuk, "Tolong bikinkan sarapan, mas mau berangkat kerja," ulangnya.
"Memangnya belum ada sarapan di meja?" tanyaku datar.
"Belum." Ia menggeleng.
"Tinggal ceplok telur saja 'kan bisa sendiri? Gampang, gak lama."
"Gak ada nasi, Dek. Telurnya mau dimakan pakai apa?"
'Astagfirullahal'azim.' Aku mengusap wajah. Miris. Tidakkah Ibu atau Santi berinisiatif menyiapkan sarapan untuk seseorang yang menjadi tulang punggung mereka?
Aku memeriksa rice cooker. Memang kosong. Apa tidak ada sisa sama sekali nasi kemarin? Atau kemarin mereka tidak masak?
"Oke, hanya untuk hari ini," ucapku. Dia mengangguk. Tidak apa-apa hanya untuk hari ini, anggap saja bonus untuknya memahami pentingnya peranku selama ini.
Kemudian kutinggalkan wajah yang sejak tadi hanya bisa menunduk itu, mengambil sebungkus stok mie instan dan memasaknya dengan campuran telur.
Satu mangkuk mie telur kuletakkan di atas meja beserta secangkir teh hangat manis. Mas Harsa beringsut mendekat pada tempat di mana aku meletakkan sarapannya itu.
"Terima kasih," ucapnya. Aku bergeming. Tidak menjawab.
"Emyr sudah bangun?" tanyanya lagi ketika langkahku sudah satu dua menjauh darinya.
"Sudah," jawabku datar sambil terus melangkah. Tidak sedikit pun berniat untuk memutar badan.
Oleh-oleh dari MertuaKutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.Astagfirullahal'azim.Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur suda
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a
Ada apa dengan mereka?Ah, sudahlah. Aku tidak mau pusing dengan mengurusi mereka. Tidak ada untungnya.Kulanjutkan kembali menikmati makan malamku. Suasana hening dan terasa canggung. Kami terjerat dalam diam. Hanya suara sendok dan piring beradu.Kulirik Mas Harsa. Ia tampak masih telaten menyuapi Emyr. Seperti menyimpan berjuta rindu, tak henti diciuminya anak itu di sela setiap suapan. Ia peluk erat Emyr yang duduk manja di pangkuannya. Sesekali tangannya mengusap lembut kepala bocah itu."Toko rame? Sore baru pulang?" Suara berat Mas Harsa tiba-tiba terdengar. Ia bicara tanpa memandangku, tetap sibuk menyuapi Emyr.Aku mengangguk, "Ya," jawabku singkat. Kulirik lagi wajah diamnya. Teringat pertemuanku dengan Bu Mun tadi pagi."Ibu sebenarnya ingin bicara denganmu, boleh?" tanya beliau.Aku terdiam sejenak. Seketika mereka
Oleh-oleh dari MertuaBalas dendam terbaik adalah dengan cara menjadikan dirimu lebih baik. Itu kalimat Ali bin Abi Thalib yang selalu kudengungkan dalam diri.========"Enggak! ... Enggak! ...." jerit perempuan itu. Aku menghentikan aktivitasku.'Ada apa lagi?' pikirku."Sabar, Nduk. Sabar ...." Suara Ibu menenangkan."Gak! Kalian semua sama saja!""Jangan pergi, Nduk ...."Hah? Pergi? Perempuan itu pergi. Ingin tahu, aku segera beranjak."Emyr di sini saja, ya. Mama mau ke depan sebentar. Jangan kemana-mana. Jangan keluar," pintaku. Emyr yang seperti biasa, setiap pagi masih posisi enak menghabiskan susunya mengangguk.Gegas aku keluar. Menuju ruang di mana suara berasal. Ternyata dari ruang tamu. Wanita itu memegang gagang
“Mas ... boleh ... masuk?” tanyanya terbata, terkesan ragu.“Gak kerja?” selidikku.Ia menggeleng, “Gak,” jawabnya.Aku menatapnya sebentar. Berhitung untuk memenuhi permintaannya atau tidak. Namun, bagaimana pun dia masih berhak untuk bicara. Akhirnya kubuka juga pintu lebih lebar.Laki-laki itu melangkah perlahan, memindai seisi kamar dengan netranya. Melihat barang-barang yang sudah kukemas rapi, ia tampak terpaku beberapa lama. Kemudian terdengar ia menghela napas dalam.“Papa ....” Emyr yang sudah rapi dan wangi segera menghambur padanya, mengulurkan kedua tangan sambil menengadah, minta digendong.Mas Harsa segera menyambut tubuh itu, mengangkatnya tinggi sehingga bocah itu tergelak senang. Kemudian tubuh mungil itu ia sejajarkan dengan wajahnya, menciumnya bertubi-tubi, lalu mendekapnya erat
“Mbak mau pindah, San,” jawabku tenang. Kutatap raut penuh tanya mereka sambil menguntai senyum.“Pindah?” Ia tersentak.“Iya,” sahutku.“Mbak ... Mbak jangan pergi ...,” mohonnya serak. Kedua tangannya menggelayut di lenganku.“Mbak .... Santi minta maaf, Mbak,” lanjutnya, “Emyr ... Emyr jangan pergi, ya. Emyr sama bulek, yuk.”Ia membujuk sambil mengulurkan kedua tangan, hendak menggendong. Namun, bocah itu menggeleng, mendorong pelan tangannya yang ingin meraihnya.Manalah Emyr mau, selama ini Santi tidak pernah peduli padanya. Bahkan sering memarahi jika Emyr sedikit aktif.Aku mengulum senyum menyaksikan kekalutan calon mantan adik iparku itu. Dia sibuk mondar mandir tidak jelas, panik sendiri.“Jangan pergi, Mbak. Santi minta maaf tela
Dia mengangguk lemah, memberikan kesan bahwa kalimat-kalimat yang diucapkan sebelumnya sama sekali bukan berasal dari hati terdalam. Hanya suatu kepasrahan pada ketidakmampuan. Mungkin karena dia tidak akan merasa diuntungkan atas kepergianku."Sekarang begini saja, deh, coba Mbak Ninik tanya, apa Mas Harsa masih mau menjadikan Mbak Ninik istrinya?" tantangku, "Bukannya tadi Mbak disuruh pulang?" Perempuan itu terdiam. Wajahnya kembali tertunduk. Aku tahu dia malu, juga sedang menahan geram."Tanya juga, saat ini apa Ibu dan Bapak mau menjadikan Mbak Ninik menantu mereka? Dan apa Santi mau menjadikan Mbak kakak ipar?""Aku gak mau, gak asyik," sambar Santi. Gadis itu memandang Ninik sinis.Lagi, aku mengulum senyum. Suka dengan jawaban gercep Santi."Terima kasih, San," ucapku.Gadis itu cengengesan senang, "Sami-sami, Mbak," jawabnya. Aku mengg