Bagian 1
"Safira, kenalkan ini Ninik," ucap ibu mertua. Beliau beserta Bapak dan adik iparku baru saja dari pulang kampung di tanah Jawa.
Aku tersenyum sembari hendak mengulurkan tangan.
"Ninik ini pacar Harsa sejak SMP dulu, cinta pertama Harsa," lanjutnya.
Aku ternganga mendengar penuturan wanita yang telah melahirkan suamiku itu. Tanganku mengambang tanggung untuk menyambut uluran tangan perempuan yang ia kenalkan. Apa maksudnya mengenalkan wanita itu sebagai pacar dan cinta pertama Mas Harsa? Apa pula maksudnya mengajaknya kemari?
"Ninik akan menikah dengan Harsa. Karena Harsa masih berbaik hati tidak menceraikan kamu, maka kamu harus rela dimadu," ucap Ibu lagi dan serta merta membuatku menarik lagi tanganku.
Kubiayai seluruh akomodasi dan transportasi pulang pergi mereka, tetapi ketika kembali oleh-oleh gundik yang aku terima.
Aku mengalihkan pandangan pada laki-laki yang berdiri di belakang perempuan bernama Ninik itu. Ia terlihat sangat tenang dan santai menjinjing sebuah tas besar. Barangkali tas milik calon istri mudanya itu. Pantas saja tadi dia begitu semangat menjemput dan melarangku ikut. Ia memintaku memasak yang banyak dan enak, rupanya ada yang istimewa.
Hatiku berdesir perih. Rasanya nyaris ambruk. Sedih dan amarah berpadu. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada tanda apa-apa yang menjadi sebuah firasat hal semenyakitkan ini akan terjadi.
Ibu mertua memang tidak setuju dengan pernikahan kami sejak awal. Aku yang hanya tamat SMA, di matanya tidak punya pekerjaan, serta disebut masih bocah karena saat menikah masih usia muda. Alasan lain yang selalu dia dengungkan pula adalah aku bukan berasal dari tanah yang sama dengan mereka. Aku asli putri Borneo.
"Opo ora enek perawan Jawa sing ayu. Kok, nggowo adoh-adoh soko Kalimantan," ucapnya ketika Mas Harsa mengenalkanku. Namun, kala itu Mas Harsa kukuh melanjutkan hubungan kami. Katanya hanya aku yang mampu membuatnya move on dari Ninik yang telah mengkhianatinya.
Ya!
Aku tahu Ninik sebelumnya. Memang dia cinta pertama Mas Harsa. Aku yang kedua dan merasa bahagia karena berpikir menjadi yang terakhir. Akan tetapi, nyatanya aku salah. Bukan aku yang terakhir.
Mas Harsa merantau ke pulau Borneo ini untuk mengadu peruntungan nasib. Ia bekerja sebagai asisten di perkebunan kelapa sawit ternama di kota ini, kota Ngabang, Kalimantan Barat.
Meninggalkan Ninik dalam waktu yang lama, membuat perempuan itu menjatuhkan pilihan pada laki-laki lain.
Mas harsa pernah dikhianati, tahu rasanya disakiti, tetapi mengapa sekarang tega menyakitiku?
Cukup berani jika dia ingin beristri dua. Padahal sudah jelas aturan dari perusahaan yang melarang poligami.
"Masuklah dulu. Kita bicarakan di dalam," tuturnya tenang. Namun, muak terdengar dirunguku. Ingin rasanya kuusir wanita tidak tahu diri itu. Seenaknya pergi dan seenaknya pula datang kembali ketika Mas Harsa sudah berstatus suamiku. Dia hanya memikirkan perasaan sendiri.
Ingin pula kucakar laki-laki yang telah mengikat janji setia padaku itu. Akan tetapi, berlaku kasar tidaklah elegan. Akan terbukti ucapan Ibu bahwa aku masih bocah.
Aku menarik napas panjang, meredam emosi dan sakit yang merajai sukma. Semua harus dihadapi dengan anggun.
"Silakan," ucapku. Aku menepi dari mulut pintu, memberi ruang untuk mereka berlalu.
Mas Harsa memegang pundak Ninik, mengiringnya menuju kamar tamu dengan lembut.
Allahu Rabbi. Hatiku teriris rasanya. Sakit sekali menyaksikan laki-laki yang masih berstatus suamiku itu berlaku mesra pada perempuan lain. Sudut mata seketika menghangat. Segera kutarik napas dalam. Tidak boleh ada air mata yang keluar di hadapan mereka. Hal itu hanya akan menunjukkan aku lemah. Aku bukan wanita lemah.
Langkah kuarahkan menuju dapur. Menyiapkan minuman untuk menyambut kehadiran mereka, sekaligus menata makan siang yang telah aku siapkan sejak tadi. Setelah itu aku menemui mereka kembali yang sedang bercengkrama di ruang keluarga.
"Mau langsung makan atau istirahat dulu?" tanyaku. Kutahan emosi sedemikian rupa agar sikap dan bicaraku tampak tenang. Aku tidak mau ibu mertua bersorak girang atas keterpurukanku. Beliau harus menyaksikan bahwa apa yang mereka rencanakan tidak akan mempengaruhiku. Meskipun itu hanya di luar. Karena hatiku remuk. Namun, mereka tidak boleh melihat keremukan itu.
"Makan dulu saja. Sudah lapar," jawab Mas Harsa.
"Nik, Safira masak makanan kesukaanmu," ucapnya pada wanita di sampingnya. Parasnya tidak ada yang istimewa. Standar saja. Kulitnya lebih gelap dibandingkan denganku. Namun, mungkin karena dia adalah cinta pertama Mas Harsa, maka semua padanya terlihat istimewa.
Aku merutuk. Ternyata tadi dia memintaku masak rawon karena itu makanan kesukaan perempuan itu.
'Astagfirullahal'azim,' batinku menahan perih, 'Sungguh kamu dan keluargamu telah berkomplot menyakiti hati ini, Mas. Jika memang ingin berpoligami, tidak begini caranya. Apa yang telah kalian lakukan ini benar-benar menyakitiku. Dan aku pantang disakiti.'
"Iya. Yuk, makan," ajakku tetap berusaha tenang. Bukankah air yang tenang itu biasanya dalam? Dan air yang dalam akan menenggelamkan.
Mereka semua beranjak. Aku mendahului menuju meja makan, menarik satu kursi untuk Mas Harsa. Kemudian duduk di sampingnya.
"Biarkan Ninik duduk di situ, kamu di sana saja," ujar Ibu sambil menunjuk kursi pada sisi yang lain.
"Mbak Ninik belum menikah dengan Mas Harsa. Sebaiknya memang jauh-jauhan dulu. Belum halal. Dosa," jawabku tenang. Tanganku menciduk satu entong nasi untuk Mas Harsa, meletakkannya ke dalam piring, kemudian menyiramnya dengan rawon.
Ibu mencebik, "Sabar ya, Nik. Besok kamu segera nikah dengan Harsa. Kamu adalah cinta pertama Harsa. Sama-sama sarjana. Kamu lebih pantas mendampingi Harsa dibandingkan dia. Lihat saja nanti kalau sudah menikah, pasti kamu yang diistimewakan," ujarnya laksana air garam yang menyiram luka hatiku.
Dadaku bergemuruh. Ingin kusiramkan kuah rawon itu ke wajah mereka. Akan tetapi, benakku masih bisa bekerja bahwa itu tidak bijaksana.
Mas Harsa memegang tanganku, "Tenang, Sayang. Mas akan berusaha adil," ucapnya.
Aku terdiam.
'Sayang ... sayang kepala loe peyang. Kalau sayang tidak akan mendua,' batinku.
Adil? Bahkan saat ini sudah terbaca bagaimana perlakuan yang akan kuterima. Dari dia menatap perempuan itu, memintaku masak makanan kesukaannya, dan semangatnya dia menjemput ke bandara sudah menjelaskan bahwa memang wanita itu yang akan dinomor-satukan.
"Cinta pertama yang dulu memilih berkhianat. Hati-hati nanti dikhianati lagi," sindirku.
"Jangan asal bicara jika tidak tahu cerita sebenarnya," sanggah ibu mertua.
"Oh ... jadi bagaimana cerita sebenarnya?" tanyaku santai sambil menyuap makananku. Susah payah aku menahan agar makanan itu masuk dengan aman dalam perut. Karena sebenarnya selera makanku seketika hilang ketika tadi Ibu mengenalkan perempuan itu.
Kulihat Ibu menelan ludah. Sementara Ninik menunduk.
"Bagaimana?" tanyaku ketika beberapa lama mereka hanya diam.
"Dulu hanya sebuah kesalahpahaman saja. Ninik sering menghubungi mas, tetapi karena mas di kebun, jadi jarang ada signal. Ninik mengira mas berpaling." Mas Harsa yang bersuara.
"Ooo ... Kenapa dulu tidak menyusul ke Kalimantan saja?" tanyaku sambil menatap tajam.
"Perempuan menyusul laki-laki itu tidak etis. Tidak sopan," sahut ibu mertua membela.
"Ya, dari pada nyusul suami orang, lebih tidak etis lagi 'kan?" sinisku, "Mestinya dulu itu disusul saja. Tabayyun dulu, tanya kenapa gak bisa dihubungi. Jadi gak asal tuduh terus gegabah mengambil keputusan. Menyesal 'kan? Dari pada nekatnya sekarang, dia sudah beristri, lho. Dan sepertinya Mbak Ninik harus menyiapkan mental baja. Karena bisa-bisa akan dipanggil pelakor sama orang-orang." Kuletakkan telapak tangan di sisi mulut, menyebutkan kalimat terakhir dengan setengah berbisik. Perempuan itu menunduk.
Ah, dia itu menunduk karena merasa tidak enak atau hanya akting agar terlihat tertindas?
"Jangan macam-macam. Kalau sampai Ninik mendapat perlakuan tidak baik dari warga, saya pastikan kamu akan dicerai. Kamu itu yang pelakor. Kamu yang mengambil Harsa dari Ninik," ancam Ibu sinis.
Aku mendengkus. Tidak perlu menunggu Mas Harsa menceraikanku. Aku yang akan menggugat jika dia benar-benar akan mendua.
"Mbak Ninik menikah lebih dulu dari kami. Tidak mungkin saya merebut Mas Harsa," balasku kalem sambil menyeruput kuah rawon. Tidak peduli dengan netra Ibu yang menyorot tajam.
"Sudah, Nik. Ayo dilanjutkan makannya. Jangan didengar omongan orang sakit hati. Dia tidak akan berani macam-macam. Bisa apa dia tanpa Harsa," ucapnya sambil mengusap tangan Ninik yang terulur di atas meja.
Aku mengulum bibir. Tersenyum miris. Ibu selama ini memang tahunya aku yang bergantung pada Mas Harsa. Menurut beliau aku menguasai seluruh gaji suamiku.
Gaji Mas Harsa sebagai asisten perkebunan terdengar cukup besar, mendekati delapan juta perbulan. Namun, besar kecilnya pendapatan itu relatif, tergantung dari gaya hidup atau besarnya pengeluaran. Yang namanya harta, sedikit cukup, banyak habis.
Ibu tidak pernah tahu bahwa sebagai pedagang online, pendapatanku lebih besar dari suamiku. Aku punya toko yang Ibu tidak tahu tempatnya. Sengaja tidak kuceritakan secara gamblang karena jika beliau tahu pendapatanku besar, dia akan meminta jatah bulanan lebih besar.
Aku hanya sesekali memantau toko. Pengelolaannya kuserahkan pada dua orang teman SMA yang kupercaya menjadi tangan kanan. Usaha online telah kurintis ketika masih duduk kelas X. Berawal hanya sebagai dropshiper, kemudian keuntungannya mulai membesar dan aku merambah menjadi reseller dengan menyetok barang sedikit-sedikit.
Aku memang hanya tamat SMA, dan masih muda. Namun, kerasnya cobaan hidup telah menempaku. Ayah meninggal ketika aku kelas empat SD. Disusul Ibu yang selalu sakit-sakitan karena terpukul atas kepergian ayah empat tahun kemudian. Sejak SMP aku yatim piatu, tinggal bersama bibi dan harus mengerjakan tugas rumah layaknya orang dewasa. Tidak berani meminta uang keperluan sekolah memaksaku memutar otak untuk mencari uang sendiri.
Kelas XII usaha online-ku mulai melesat. Aku memiliki puluhan reseller aktif. Setahun berikutnya aku bisa membelu perumahan BTN yang saat ini digunakan sebagai gudang penyimpanan barang a.k.a toko.
Jika Ibu bertanya bisa apa aku tanpa Mas Harsa? Maka biarlah beliau melihat bisa apa Mas Harsa tanpa aku. Atau biar beliau sendiri merasakan bisa apa tanpa aku. Aku yang menutup lubang menganga pengeluaran keluarga mereka selama ini, termasuk biaya kuliah Santi--adik iparku.
"Pokoknya Ibu dukung sepenuhnya kamu sama Harsa. Kalian berdua bagi ibu udah cocok banget," lanjutnya. Aku cuma berkedik. Meski hati ini teramat sakit. Umpana daging yang dipotong dengan cara disayat-sayat sembilu tipis. Perih.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum. Mungkin senyum kemenangan karena dibela calon mertua. Ia mulai menyuap makanan yang ada di piringnya. Aku menatapnya tajam.
"Setelah makan, istirahatlah Mbak. Pasti lelah. Piringnya biarkan saja. Nanti saya yang bereskan. Mungkin akan menjadi kali terakhir saya mencuci piring di rumah ini," ujarku. Lalu kualihkan netra pada Mas Harsa, menatap sinis laki-laki yang juga balas menatapku tak mengerti.
Bagian 2Setelah membereskan bekas makan siang, aku masuk ke kamar. Di sana terlelap malaikat kecilku. Buah cintaku bersama Mas Harsa yang sama sekali tidak mereka tanyakan tadi. Bahkan Mas Harsa yang demikian dekat dengannya seolah lupa.Begitu penting perempuan itu bagi mertuaku sehingga tidak ada rindu sedikitpun untuk untuk cucu semata wayang mereka, padahal telah hampir sebulan tidak bersua.Bening yang sejak tadi kutahan akhirnya pecah juga dari sudut netra, membayangkan bocah tidak berdosa itu akan mendapat kasih sayang yang pincang. Namun, biarlah. Itu lebih baik dari pada hidup berkubang luka. Tidak mengapa pincang, daripada lumpuh karena digerogoti dari dalam.Kuusap kepala buah hatiku yang baru berusia dua tahun itu. Aku harus mampu membesarkannya sendiri. Tidak ada istilah berbagi keringat dalam kamus hidupku. Aku bukan penentang poligami, asal bukan suamiku yang melakuk
Bagian 3Ketika sudut mataku menghangat, kubiarkan ia mencair. Menjadi tegar bukan berarti tidak boleh menangis. Menangis bukan pula berarti cengeng. Kita hanya perlu menakar porsi, memilih waktu dan tempat yang tepat. Menangis adalah caraku meluruhkan gumpalan di dada bersama air mata, lalu membuangnya bersama setiap tetes yang jatuh. Aku melajukan sepeda motor matic-ku menuju perumahan BTN Bali Permai yang terletak di jalan Jalur II. Rumah yang kelak akan menjadi istana untukku dan Emyr. Rasanya masih sulit percaya bahwa aku akan menjadi single parent dalam usia semuda ini, 22 tahun. Perempuan lain biasanya baru mengikat hubungan pada usia ini, tetapi aku justru sudah mengurainya.Aku memarkir sepeda motor secara asal di halaman rumah. Tampak beberapa sepeda motor lain yang terparkir, juga secara asal. Aku memang belum menata tempat parkir khusus untuk rumah ini karena jarang berada di sini.
Bagian 4Aku segera keluar kamar, menemui mereka yang tiba-tiba menjadi hening sejak menyadari kedatanganku tadi."Kita bicara di sini?" tanyaku sambil berdiri tegak. Mengukir raut tenang, tetapi tegas, kuarahkan pandang pada mata mereka.Biasanya aku selalu berlaku lembut, santun, dan merendah di hadapan Mas Harsa, apalagi pada Ibu dan Bapak. Tidak pernah kutegakkan diri dan berkesan tegas. Namun, saat ini situasi dan kondisi berbeda. Aku harus bisa menempatkan sikap. Jika pada situasi saat ini aku masih terus merendah, maka akan terkesan lemah. Mereka akan leluasa mengintimidasi.Semuanya bergeming. Termasuk Ibu. Padahal selama ini beliau selalu cepat menyambut bicaraku dengan kalimat ketus atau pedas.Begitu pula Mas Harsa yang seperti tercenung menatapku. Seolah aku mahkluk asing yang baru mereka temui."Apa kita tidak jadi bicara?" tanyaku lembut dan ten
Mas Harsa membiarkan amplop itu tergeletak di atas meja. Dia seperti tak berniat menyentuhnya sama sekali. "Apa perlu kujelaskan?" tanyaku ketika melihatnya tetap bergeming. Mungkin dia bingung, mengingat selama ini Mas Harsa hanya mengurus segalanya di awal, sedangkan detail setiap bulan pengaturan keuangan, aku yang mengelola. Tanganku meraih amplop itu kembali dan mengeluarkan berkasnya satu per satu. "Mbak Ninik juga boleh memperhatikan, karena nanti Mbak yang akan mengatur harta Mas Harsa," ucapku. Kulirik wajah yang menurutku biasa saja itu. Namun, khas putri Jawa. Mungkin itu yang membuatnya begitu istimewa di mata Ibu dan Mas Harsa. 'Maaf, Mbak. Kuserahkan estafet yang cukup berat ini padamu, agar Mbak tidak tuman ingin mengambil sesuatu karena terpesona pada keindahan luarnya,' batinku. "Ini berkas rumah." Kuserahkan beberapa lembar kertas pen
Kukecup lembut pipi halusnya, "Tumbuhlah kuat, Nak. Bahu mama selalu kokoh untuk tempatmu bersandar. Jika semua ini perih bagimu, maka belajarlah untuk mengerti bahwa begitu penting menjaga kesetiaan."===========Aku menyapu setiap sudut kamar dengan desir pilu. Kamar yang kami tempati kurang lebih tiga tahun ini. Meskipun tak luput masalah mendera, selama kurun waktu itu malam-malam selalu kami lewati bersama. Tidak pernah sedikit pun firasat bahwa selamanya aku akan pergi dari sini.Kabut sedikit menyungkup netra, perlahan detik mengubahnya menjadi embun yang siap bergulir. Cukup satu, kuhentikan kabut-kabut itu menguntai panjang.Segera kutegakkan bahu kembali, memutar arah, serta mengokohkan langkah untuk meninggalkan tempat di mana kami mengukir indah selama ini.Knop pintu kamar baru saja kuputar, celahnya pun baru tampak ketika kudengar hentakan benda menyentu
Oleh-oleh dari MertuaKutinggalkan Mas Harsa sendiri. Melihatnya, dekat dengannya membuat luka di hati berdenyut semakin nyeri. Sakit tak berperi.Rasa-rasanya aku tidak akan kuat menghabiskan masa tunggu hingga tiga bulan ke depan di sini. Bertahan di tengah mereka, menerima setiap perlakuan yang tidak menyenangkan dari Ibu serta melihat Mas Harsa bersama perempuan itu tidak hanya akan menyirami luka yang telah basah, melainkan dapat menggores luka baru.Astagfirullahal'azim.Aku mengusap wajah, memikirkannya saja perihnya sudah sangat terasa. Apalagi harus menjalaninya. Padahal aku sudah punya tempat berteduh sendiri. Menurutkan hati, ingin kupergi saja sejak talak itu ia ucapkan.Kuteruskan langkah menuju kamar. Di sana, Emyr terlihat asyik dengan mainan bongkar pasang, menumpuk-numpuk menjadi bentuk sesuai imanjinasinya. Tempat tidur suda
Oleh-oleh dari MertuaNinik keluar dari kamar mandi dengan raut tetap merengut. Masam. Dia mengerling tajam padaku yang masih menunggu di depan pintu. Tatapannya menebar aura tidak suka.Aku membalas kerlingannya berani, menantang tatapnya dengan kening berkerut, tetapi bibir terkekeh geli. Entah mengapa sikapnya itu terlihat lucu bagiku.Kenapa dia jadi sewot sendiri? Seperti dongkol dan tidak suka padaku. Bukankah dia yang datang untuk merebut sesuatu dariku. Seharusnya aku yang sewot. Aku yang dongkol karena aku yang dirugikan.Aku menggeleng-geleng kecil sambil melangkah masuk ke kamar mandi. Memang dalam hidup ini, siapa yang bermain api, dia yang kepanasan.Ninik telah bermain api dengan berani datang ke dalam rumah tanggaku, maka dia akan merasakan panasnya. Akan sakit sendiri. Tidak ada kesejukan yang akan dia kecap dengan bahagia di atas lukaku dan Emyr
"Baru pulang?" Mas Harsa menyambut di teras, sedang duduk menyandar lemah di kursi. Ketika aku dan Emyr tiba, laki-laki itu segera duduk menegakkan punggung.Ia masih mengenakan pakaian lapangan, sepatu boot pun belum dilepas. Terdapat bercak-bercak tanah kuning pada sepatu dan beberapa spot celananya. Sepertinya jalan menuju kebun sedikit diguyur hujan. Wajahnya lelah.Pukul lima sore, padahal waktu biasanya dia pulang satu jam yang lalu."Ya," sahutku. Dingin. Kugendong Emyr untuk masuk dengan melewatinya. Sekilas kulihat netranya mengikuti kami."Ikut Papa ...," rengek bocah itu menahan langkahku. Mas Harsa mendongak, menatap sendu."Papa belum mandi," dalihku.Apa aku jahat menahan anak ingin bermanja dengan papanya? Namun, rasanya sakit melihat dua lelakiku itu bersama, bercengkerama demikian lekat sementara sebentar lagi mereka a