Aku bangun terlalu siang. Weker di samping tempat tidurku menunjukkan pukul dua. Kepalaku berdenyut-denyut, seolah-olah seribu paku kecil menusuknya bersamaan, Aku membuka laci di samping kasur, mengambil sebutir aspirin, lalu langsung menelannya. Semoga obat itu bisa meredakan sakit kepalaku dengan cepat.
Dengan gontai aku berjalan menuju pintu dan agak terkejut karena pintu ternyata terkunci. Aku termenung sejenak sebelum mengingat bahwa tadi malam aku mengunci pintu kamar ini. Seorang gadis asing menginap. Namun, ketika membayangkan orang asing yang aku maksudkan dan menyadari bahwa aku bisa melewati malam dengan aman, aku merasa seperti pria bodoh. Tadi malam—mengunci pintu kamar—aku anggap sebagai keputusan yang tepat. Mungkin aku bisa mengelak dengan mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak aku kenal berada di luar kamarku dengan koper besar yang aku tidak tahu apa isinya. Tubuh Yui memang kecil tapi aku tidak ingin menebak benda yang dibawanya di dalam kopernya yang berat itu. Namun, sekarang hal ini terlihat begitu menyedihkan. Aku seperti seorang pria pengecut yang takut pada kecoa.
“Selamat pagi!” sapa Yui tanpa menoleh. Aku meliriknya sebentar sebelum mengambil botol air di kulkas. Pinggangnya yang kecil dan ramping dililit celemek biru. Kaos putih berada di balik celemek yang ia gunakan. Itu celemek milik Cataherine. Aku ingat menyimpannya di salah satu laci di konter dapur. Mungkin Yui menemukannya di sana. Gadis itu terlihat seperti seorang remaja yang sedang belajar memasak. Maksudku, tinggi badan Yui dan tinggi konter dapur yang hampir setara. Ia mungkin sedang menggoreng telur.
“Aku hanya bisa melakukan hal ini karena dompetku hilang. Jadi, bahan-bahannya aku ambil dari kulkasmu. Aku harap kau tidak keberatan,” kata Yui sambil sesekali menoleh ke belakang.
Tentu aku tidak keberatan.
“Apa yang kau masak?” tanyaku sambil berjalan menuju sofa dan merebahkan badanku di sana. Aku menyalakan televisi, tetapi tidak membesarkan suaranya. Entah, apa memang aku berniat ingin menonton atau tidak.
“Omlet. Aku harap kau menyukainya,” sahutnya. Suara terdengar cukup riang. Pantas saja ada bau telur, pikirku.
Aku juga bepikir kalau Tod adalah pria paling bodoh di dunia. Pria itu meninggalkan seorang wanita seperti Yui? Apa yang dilihat oleh pria tolol itu pada wanita yang bersamanya di taman selain rambut pirang dan badan yang tinggi? Dasar dangkal.
Yui mengingatkanku pada Catherine. Mantanku itu juga suka memasak. Catherine juga tidak sejangkung pacar Tod yang baru, tapi juga tidak sependek Yui. Aku pikir Yui dan Catherine memiliki sedikit kesamaan.
Aku menatap punggung Yui. Dulu, di saat seperti ini, aku akan menyelinap pelan-pelan di belakang Catherine lalu memeluknya. Aku akan menyusupkan tanganku ke balik celemeknya dan memelukknya dengan erat. Ia akan menggeliat di dalam pelukanku dan mengeluarkan suara yang seksi. Setelahnya, aku akan menghujani lehernya dengan ciuman.
Yui menoleh sebentar, mungkin ia merasa jika aku memperhatikannya.
“Aku jarang memasak di rumah. Aku biasanya memesan,” kataku. Aku tidak ingin ia berpikir aneh-aneh karena merasa aku memerhatikannya.
“Aku bisa melihatnya. Dapurmu sangat bersih.”
“Sudah berapa lama kau di Amerika?”
“Aku lahir di sini. New Hampshire. Nenekku pindah sejak lama. Ibuku lahir di Jepang, sedang ayahku Amerika.”
“Kau pasti terlihat sangat mirip ibumu?”
“Ya, kau benar. Secara fisik. Tapi seperti katanya, aku sebodoh ayahku. Maksudku untuk masalah Tod. Sebenarnya bukan itu saja. Kuliahku, hidupku, pergaulanku ... masa depanku. Entahlah. Nenekku bahkan mengatakan bahwa aku adalah contoh yang sempurna untuk menunjukkan kegagalan Asia di Amerika. Jadi, mungkin sekarang kau cukup mengerti kenapa Tod penting bagiku.”
Sedangkan Tod mengabaikanmu, kataku dalam hati.
***
Omlet buatan Yui merupakan omlet paling enak yang pernah aku rasakan. Meskipun pengalaman mencicipi omlet bukan salah satu yang bisa aku andalkan, aku berani menjamin hal itu. Jika gadis itu selama seminggu ke depan membuatkan omlet sebagai sarapan pagi, makan siang, dan makan malam, aku sangat yakin tidak akan bosan. Yui koki yang bisa diandalkan.
Setelah menggosok gigi dan mengganti baju, aku berniat keluar. Selain ingin membeli beberapa keperluan, aku juga ingin menghirup sedikit udara segar. Aku pikir hal itu baik untuk kepalaku meskipun sudah tidak sepening tadi. Mungkin, itu hanya gara-gara kurang tidur.
“Aku akan keluar sebentar. Kau mau ikut?” tanyaku pada Yui. Gadis itu sedang menonton televisi. Aku melirik ke arah dapur, seluruh piring kotor telah dicuci. Namun, wajan teflon masih teronggok di pancuran cuci piring.
“Maaf, aku masih merasa lelah. Aku perlu mandi juga. Aku belum mandi dari pagi kemarin. Tidak apa-apa kan kalau aku menggunakan kamar mandimu?” Yui balik bertanya.
“Tentu, tidak apa-apa. Kau mau menitip sesuatu?”
Yui tersenyum. “Kalau tidak merepotkan, bisakah kau membelikanku Vernors?”
“Ada yang lain?” Aku tidak akan keberatan bila gadis itu menitipkan barang yang lebih pribadi untuk dibeli. Aku terbiasa membelikan barang kebutuhan wanita untuk Catty.
“ Tidak, terima kasih. Itu saja sudah cukup.”
“Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu.”
Yui berdiri, hendak mengantarku ke pintu, tapi aku mencegahnya. Kurasa itu berlebihan. Aku kemudian meninggalkan Yui di apartemen. Mungkin dengan begitu, ia memiliki sedikit privasi.
Aku keluar dari lift dan menemukan lobi yang kosong. Nelson hanya berjaga setelah gelap. Siang begini, tidak ada siapa pun di biliknya. Bukahkah seharusnya pengelola memperkerjakan seorang penjaga di siang hari? Akan sangat merepotkan jika ada keperluan. Aku sebaiknya bicara dengan pengelola untuk masalah ini.
Aku melewati taman bermain. Siang ini cerah dan hangat. Taman kecil itu penuh dengan anak-anak. Suara mereka yang ramai membuatku tenang. Aku jadi menyadari bahwa semuanya masih berjalan normal.
Tidak ingin tergesa-gesa ke minimarket, aku menyempatkan diri duduk di sebuah bangku di pinggir taman. Aku sudah tinggal cukup lama di lingkungan ini tapi belum pernah menikmati taman ini dengan benar. Aku edarkan padangan ke segala penjuru. Di dekatku, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir berusia sekitar tiga tahun berkejaran dengan anjingnya. Ayah anak itu mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh. Di sisi timur, aku mengasihani jungkat-jungkit yang malang. Kedua ujungnya diisi masing-masing dua anak perempuan. Salah satu gadis menunjuk-nunjuk pada kawannya yang agak gendut. Temannya sudah pasti menganggapnya biang masalah karena menyebabkan jungkat-jungkit itu tidak bergerak semestinya. Kotak pasir juga penuh dengan anak-anak yang membawa ember dan sekop plastik.
“Yeeeuh. Tai anjing!” Seorang anak berteriak. Yang lain menertawakannya. Seorang wanita dewasa bergerak cepat. Ia mendekati anak tersebut lalu memasukkan kotoran itu ke dalam sebuah plastik. Wanita itu segera menuju tempat sampah.
Itulah kenapa aku tidak memelihara anjing. Jika kau memiliki anjing dan mau mengajaknya berjalan-jalan keluar, kau harus membawa sebuah plastik kecil dan penjepit kotoran. Kau tidak bisa membiarkan anjingmu membuang kotorannya sembarangan. Anjingmu adalah tanggung jawabmu, termasuk kotorannya.
Suasana itu membuatku agak melankolis. Aku juga pernah bermimpi memiliki anak. Sepasang: lelaki dan perempuan. Jika menjadi ayah, mungkin aku akan mirip seperti pria yang mengawasi anaknya itu. Aku akan membiarkan ia bebas bermain dan belajar dari sekelilingnya dan juga pengalaman. Seperti ayahku. Dulu, aku berharap mewujudkan mimpi itu bersama Catherine. Namun, sekarang ia telah pergi.
Aku tersentak dari lamunanku karena merasa di kejauhan seperti melihat Tod. Meskipun sosoknya tidak terlihat jelas, aku merasa cukup yakin. Bentuk tubuh dan kepalanya yang botak benar-benar seperti Tod. Orang-orang yang berkelintaran di depan pria itu membuatku susah untuk memastikan. Apa ini efek aspirin? Apa aku berhalusinasi lagi? Pria berotot mirip Tod berdiri di bawah pohon elm yang teduh. Ia memandang lurus ke arahku.
Aku berdiri, “Hei, Tod!” Aku berharap ia mendengar.
Aku langsung berjalan dengan cepat untuk melintasi taman. Sebenarnya, aku ingin berlari. Namun, aku takut menabrak salah satu anak yang sedang bermain.
Meski hanya berjalan, aku hampir menabrak bocah kecil tiga tahun yang bermain dengan anjingnya. Aku terlalu tergesa-gesa.
“Hei. Lihat jalanmu,Bung!” Ayah anak itu berteriak padaku.
“Maaf, Sir!” Aku tidak ada waktu untuk meladeni pria itu. Aku terus saja berjalan melintasi taman.
Saat aku melintasi bak pasir, debu pasir tiba-tiba terbang ke wajahku. Sekilas aku melihat seorang anak menutup mulutnya.
“Ups, maaf!”
Aku terlambat melindungi wajahku. Sepertinya, ada pasir yang masuk ke dalam mataku. Aku menunduk sambil menggosok-gosoknya dengan ujung lengan kardigan. Mataku berair. Aku tidak bisa melihat dengan jelas, seperti agak berbayang. Aku kembali melihat ke arah Tod. Meskipun tidak jelas, aku yakin dia masih berdiri di sana, di bawah pohon elm.
Setelah penglihatanku agak lumayan, aku segera berjalan kembali menuju Tod. Namun, setelah sampai di sisi itu—dimana Tod berdiri sebelumnya—aku tidak menemukan siapa-siapa.
Aku menyapukan pandangan ke seluruh tempat itu mencari keberandaannya. Pada seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari pohon elm itu, aku menanyakan Tod.
“Aku tidak melihat siapa-siapa di sana. Maksudku, mungkin ada yang pernah berdiri di sana tapi aku tidak memperhatikan. Tapi, aku cukup yakin, tidak ada siapa-siapa sejak tadi,” kata wanita itu.
“Terima kasih, Mam. Semoga harimu menyenangkan.” Aku berlalu.
Aku pikir kejadian aneh ini telah berhenti. Kejadian ini benar-benar membuatku makin frustasi. Apakah tadi benar Tod? Jangan-jangan ia dan Nelson bekerjasama untuk mengerjaiku. Mereka akan menjadi pasangan yang sempurna. Tod merasa aku akan menjadi pesaingnya dan Nelson salah paham, mengira aku mengerjainya. Mereka berdua memiliki motif.
Jangan-jangan, suara yang aku dengar tadi malam dari lorong adalah suara Tod. Ia bersembunyi dari Yui; Membiarkan gadis malang itu kebingungan. Ini benar-benar membuatku kesal.
Aku akhirnya pergi ke Rotary Variety. Pemilik minimarket itu bernama Watson Blank. Sepertinya, aku sudah mengatakan sebelumnya. Ia pria yang suka mengobrol. Berdasarkan ceritanya, ia termasuk orang lama di lingkungan ini. Ia mengatakan bahwa ia mengenal pemilik gedung apartemenku dan juga Nelson. Sayangnya, ia tidak pernah mengatakan nama pemiliknya.
“Nenekmu sedang berkunjung?” tanya Watson setelah menerima keranjang berisi belajaan di meja kasir.
Watson Blank adalah pria Amerika pendek dengan tubuh tambun. Bukan sesuatu yang ganjil karena obesitas menjadi salah satu masalah negara ini. Yang menarik dari Watson selain keramahannya adalah bola matanya yang berwarna abu-abu. Ia bilang, itu warisan terbaik dari nenek moyangnya yang berasal dari Jerman. Namun, anehnya, namanya sendiri sangat Amerika.
“Apa maksudmu?” Aku bingung apa yang sebenarnya Watson maksudkan.
Dia mengangkat pesanan Yui. “Vernors?”
“Bukan. Itu pesanan orang. Seorang gadis ... ah lupakan. Eh, ngomong-ngomong, apakah kau melihat Tod beberapa waktu belakangan ini?”
“Tod?” Watson tampak kebingungan.
“Penghuni gedungku juga. Pria Irlandia besar berotot. Berkepala botak.”
“Oh, Maksudmu Horgan? Tod Horgan?”
Aku mengangguk. “Ya benar, dia.”
“Yeah. Beberapa hari ini aku tidak melihatnya. Ada masalah, Mikky? Waktu itu aku melihatmu dengannya di lorong rak. Aku pikir kalian tidak akrab.”
Aku mendengkus. Pastilah orang lain akan melihat hal ini sedikit aneh. Aku tidak akrab dengan Tod tapi mencari-carinya.
“Aku pikir kau melihatnya. Aku memiliki sedikit urusan dengannya. Jika kau tidak pernah melihatnya, tidak apa-apa. Abaikan saja. Anggap saja aku tidak pernah bertanya. Berapa semuanya, Tuan Blank?”
Watson lalu menyebutkan jumlah yang harus aku bayar. Ia memasukkan semua belanjaanku ke dalam paperbag. Saat aku mendorong pintu untuk keluar, Watson berkata, “Mikky! Sebaiknya kau jangan berurusan dengan Tod.”
Aku mengangguk, lalu segera pergi dari tempat itu.
Aku menemukan Yui sedang menonton televisi. Matanya terpaku pada layar sehingga ia tidak sadar bahwa aku telah kembali. Ia menonton sebuah siaran tunda yang disiarkan secara langsung minggu sebelumnya. Aku mengetahuinya setelah melihat tulisan kecil di sisi kanan layar. Acara itu akan kembali disiarkan langsung malam ini. Aku yakin, itu bagian dari strategi mereka agar penonton bisa mengingat episode sebelumnya. Hanya saja, acara yang disaksikan Yui termasuk acara tua.Vernors dan program televisi lama, selera Yui bertolak belakang dengan penampilannya. Seperti halnya kebanyakan Asia, Yui terlihat lebih muda dari usianya. Aku melihatnya seperti remaja belasan tahun. Apalagi sekarang, ia menggunakan tangtop dan hotpants.Kulit orang eropa berwarna putih kemerahan seperti daging ayam sedangkan kulit Yui seperti daging ayam yang telah dilumuri madu sehingga terlihat sangat halus dan bercahaya:: putih, agak merah, dan agak keemasan. Tubuh Yui kecil, tapi padat. Ra
Mataku langsung silau. Ternyata, tadi malam aku lupa mematikan lampu kamar. Butuh sedikit waktu agar mataku bisa menyesuikan suasana. Kepalaku agak pusing. Aku rasa kali ini bukan karena kurang tidur seperti kemarin, tetapi karena alkohol. Aku dan Yui minum bir terlalu banyak.Aku baru menyadari bahwa aku tidur di pinggir ranjang. Biasanya aku tidur di tengah-tengah. Ketika melihat benda-benda yang tergeletak di lantai kamar, aku langsung mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ah, sialan! Ini akan menjadi lebih rumit!Aku yakin, apa yang terjadi antara aku dan Yui tadi malam karena alkohol, rasa sedih, dan perasaan senasib. Tiga hal itu bercampur menjadi satu menciptakan suasana yang melankolis sehingga membuat kami berdua tidak bisa mengendalikan diri. Namun, tetap saja rasanya salah.Senin besok saat aku bercerita pada David, pria itu pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku lakukan. Ia pasti akan menyebutku bodoh. Lalu, apa kira-kira yang akan terjadi pad
“Bukankah itu bagus? Kau harus cepat-cepat move on,” kata David ketika melihatku masuk ke dalam ruang rapat, lalu menyambar paper cup berisi kopi yang aku sodorkan padanya. Ia menyeruputnya sedikit dan wajahnya langsung berubah. “Ini pahit sekali, Mikky. Apa negara ini sudah kehabisan gula?”“Tidak. Aku hanya menolong istrimu.” Aku menarik kursi di sampingnya. “Kau juga harus mengurangi donat-donat itu.” Di samping laptop David terdapat sebuah kotak kecil berisi donat. Seperti halnya dengan Watson, David mengalami sedikit obesitas. Ia suka sekali dengan gula.“Sekarang kau terdengar seperti Anne,” ujarnya lirih.David adalah sahabatku sejak kami masuk bersama di MollenLowe empat tahun yang lalu. Pria itu lulus dari Universitas Boston sedangkan aku dari Ann Arbor, Universitas Michigan. Aku mengambil jurusan periklanan sedangkan David komunikasi. Kami adalah duo maut di kantor ini, setid
Awalnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian yang aku alami. Meskipun merasakan kejanggalan, aku tidak terlalu khawatir. Namun, pendapat David dan fakta yang aku dapatkan siang itu cukup membuatku berpikir kembali. Apa yang terjadi jika aku ditipu? Aku sudah mengecek beberapa hal sebelum memutuskan untuk pindah apartemen. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Nyonya Borden terlihat begitu alami.Aku menyangka Nyonya Borden orang lokal. Ia terlihat sangat Irlandia seperti halnya Tod. Rambutnya agak kemerahan dengan tulang hidung yang tegas. Rahangnya lancip dan tubuhnya cukup jangkung. Ia memiliki mata hijau yang unik. Sebenarnya wanita itu cukup menarik. Gaya bicaranya juga teratur dan mampu menjelaskan detil dengan cepat dan singkat. Apalagi dengan balutan blazer hitam dengan rok pendek serta high heel yang sesuai dengan warna kulitnya. Ia sangat meyakinkan sebagai agen perumahan. Itulah kenapa aku masih mengingatnya hingga sekarang.Aku bahkan tidak b
Aku membeli sekotak pizza untuk aku bawa pulang. Ukuran sedang. Meskipun meninggalan sejumlah uang untuknya, aku takut Yui belum makan malam. Aku tidak tahu seleranya, mungkin saja ia tidak menyukai pizza. Namun, apa yang bisa aku beli lagi?Aku tidak pulang larut kali ini, baru pukul sembilan. Mungkin besok aku malah bisa pulang tepat waktu. Proyek iklan-ku sudah bisa ditangani dengan baik. Semua tim sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bisa bekerja lebih kompak. Rapat tadi pagi benar-benar efektif. Sore tadi, aku dan David telah menemukan lokasi yang tepat dan berbicara dengan penanggung jawabnya. Artis yang akan kami gunakan sudah setuju dan hanya perlu menangani kontrak kerjasamanya saja. Rasanya cukup melegakan mengingat apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.Selain hal itu, orang yang memberikanku kelegaan ialah Benjamin. Aku memutuskan meminta bantuan Benjamin untuk mengurus masalah Milla Borden. Ia berjanji akan menemukan agen itu. Aku juga meminta Be
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Aku tidak bisa menebak. Dari rasa pegal yang mendera otot lengan dan kakiku menunjukkan aku sudah disekap cukup lama. Kepalaku masih berdenyut-denyut. Terasa seperti ditusuk-tusuk seribu jarum kecil bersamaan. Semoga bukan cidera besar. Namun, agak konyol juga mengharapkan kalau cidera yang aku alami tidak serius, mengingat nasibku ke depannya bisa saja lebih mengkhawatirkan dari itu.Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam film saja. Siapa menyangka kejadian seperti ini malah menimpaku? Dunia memang tidak bisa ditebak. Sejak sadar tadi, aku bisa merasakan jantungku terus berdegub kencang. Aku sudah berusaha menenangkan diri, tetapi membayangkan apa yang mungkin terjadi padaku nanti sungguh membuatku tidak tenang.Aku makin yakin bahwa pingsan cukup lama karena merasa sangat haus. Sejak tadi aku hanya menelan ludahku sendiri. Akan tetapi, semakin aku melakukan hal itu
Mula-mula yang terlihat hanyalah sebuah titik kecil berwarna putih. Aku mengatakan demikian karena tidak bisa menebak jaraknya. Selain dari titik kecil itu, yang terlihat di sekelilingku hanyalah kepekatan. Mungkin saja titik itu sebenarnya sesuatu yang besar, tetapi karena teramat jauh, benda itu terlihat kecil. Namun, bisa saja titik itu memang hanya sebuah benda kecil saja. Karena hanya ada benda itu di depanku, aku menjadi sangat fokus padanya. Benda itu tidak berpendar. Ia hanya sebuah titik kecil di hadapanku. Tiba-tiba, titik itu perlahan berubah menjadi bulatan yang lebih besar. Ia tumbuh sebesar bola bisbol. Ia terus tumbuh dan melebar dengan cepat seperti noda tinta yang jatuh di atas kain. Dengan perlahan, bulatan itu makin membesar dan membesar: menjadi sebesar bola kaki, kemudian menjadi sebesar bola basket, lalu menjadi sebesar rumah, dan terus membesar sampai menutupi semua yang ada. Termasuk aku. Kini, aku tidak lagi berada dalam ruang yang pekat, gel
Saat aku terbangun, David sudah berada di sampingku. Aku terkejut melihatnya berada pinggir kasurku. Untuk apa pria itu berada di sini? Bukankah terlihat berlebihan jika seorang pria—meskipun ia sahabatku sendiri—duduk di samping tempat tidurku menungguku terbangun? David tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Pasti, ia memilih menungguku di depan televisi; menonton sebuah acara tidak berguna sambil melahap apa pun yang ada di dalam kulkas.Atau, mungkinkah klien menginginkan perubahan konsep iklan sehingga David harus segera memberitahukan hal itu? Aku tidak bisa membayangkan tekananan yang dideritanya sampai harus repot-repot datang ke apartemenku. Seingatku semua sudah beres. Kami sudah menyelesaikan semua yang diperlukan. Lagipula, kenapa klien malah menghubungi David? Seharusnya mereka menghubungiku sebagai penanggung jawab proyek. Masih masuk akal jika mereka menghubungi supervisorku. Namun, David? Itu berlebihan.Hal itulah yang menyebabk