Aku menemukan Yui sedang menonton televisi. Matanya terpaku pada layar sehingga ia tidak sadar bahwa aku telah kembali. Ia menonton sebuah siaran tunda yang disiarkan secara langsung minggu sebelumnya. Aku mengetahuinya setelah melihat tulisan kecil di sisi kanan layar. Acara itu akan kembali disiarkan langsung malam ini. Aku yakin, itu bagian dari strategi mereka agar penonton bisa mengingat episode sebelumnya. Hanya saja, acara yang disaksikan Yui termasuk acara tua.
Vernors dan program televisi lama, selera Yui bertolak belakang dengan penampilannya. Seperti halnya kebanyakan Asia, Yui terlihat lebih muda dari usianya. Aku melihatnya seperti remaja belasan tahun. Apalagi sekarang, ia menggunakan tangtop dan hotpants.
Kulit orang eropa berwarna putih kemerahan seperti daging ayam sedangkan kulit Yui seperti daging ayam yang telah dilumuri madu sehingga terlihat sangat halus dan bercahaya:: putih, agak merah, dan agak keemasan. Tubuh Yui kecil, tapi padat. Rambutnya hitam legam. Aku perhatikan sedikit agak basah. Oh, ya, pasti Yui baru selesai mandi.
Jika menilai dari kondisi rambutnya, aku merasa hidupnya tidak terlalu buruk. Maksudku, tadi malam gadis itu bercerita bahwa ia menjalani kehidupan yang sulit. Jadi aku pikir, untuk orang dengan kehidupan sulit rambut Yui dirawat cukup baik. Aku merasa hal itu sedikit paradoks.
Aku berdeham. Yui menoleh. “Hai, Mikky. Kau sudah kembali?” sapanya.
Karena tidak ingin Yui memergokiku memandangi tubuhnya, aku membuang pandanganku ke dapur. Aku agak terkejut. Dapurku ternyata sangat bersih. Aku tahu piring telah dicuci sebelum aku pergi, tetapi aku masih melihat wajan teflon di pancuran cuci piring. Terlebih lagi, Yui tidak meninggalkan sisa apa pun di sana sebagai tanda bahwa ia pernah menggunakan dapur itu. Apartemenku juga terlihat sedikit berbeda. Aku merasa tempat ini menjadi lebih rapi dan mengkilat.
“Aku tidak bisa menumpang lalu hanya tidur-tiduran saja,” kata Yui. Ia mungkin melihatku memperhatian sekeliling ruangan.
“Kau tidak harus melakukannya,” jawabku sambil terus mengagumi bagaimana sentuhan wanita bisa mengubah banyak hal. Dulu, Catherine juga suka melakukan hal seperti ini. Tiap bulan perabotan di dalam apartemenku bisa berpindah tempat dua sampai tiga kali. Catherine suka sekali menggosok perabotan. Aku membayangkan Yui melakukan hal yang sama.
“Oh, ya. Sebelumnya aku minta maaf. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.” Yui menatapku lekat-lekat.
Keningku berkerut dalam. “Apa yang ingin kau katakan?”
“Aku sudah bilang padamu kalau aku kehilangan dompetku. Aku sudah menghubungi Nenek dan ibuku tapi mereka tidak bisa membantu. Untungnya salah satu temanku bisa aku hubungi. Katanya, dia bisa membantuku. Hanya saja, aku diminta sedikit bersabar. Jadi ....”
Aku mengerti maksud Yui. Ia tidak bisa ke mana-mana. “Berapa lama?”
“Aku tidak tahu pasti, mungkin satu minggu.”
“Baiklah. Selama kau di sini, aku akan membantumu mencari Tod. Aku juga akan bicara dengan Nelson nanti. Siapa tahu, kau bisa mendapatkan kunci cadangan apartemen Tod.”
“Entahlah.” Yui mematikan televisi. Lalu, Ia menatap ke arahku.”Aku mengacaukan banyak hal. Aku membuat keputusan yang buruk. Harusnya aku tidak perlu ke sini. Aku sekarang tidak yakin apa aku perlu mencari Tod lagi.”
“Apa maksudmu?”Aku agak susah mengerti apa yang Yui maksudkan.
“Maksudku ... dia ... dia mengatakan ingin putus denganku. Sekarang dia menghilang. Bukankah hal itu berarti dia memang tidak ingin bersamaku lagi?”
“Mungkin dia hanya sedang pergi sebentar.”
“Kau yakin?”
Tentu aku tidak yakin. Nelson sudah mengatakan padaku bahwa lelaki tolol itu pergi dengan koper besar. Bukankah tindakan Tod sangat memalukan. Nyalinya tidak sebesar otot-ototnya.
Kasihan Yui.
Suasana apartemen yang agak berbeda membuatku lupa dengan belanjaanku. Jadi, saat aku teringat, aku buru-buru mengambil Vernors dari dalam paperbag, lalu menyodorkannya ke arah Yui. “Terima kasih,” katanya, seraya beranjak dari sofa lalu melangkah menuju dapur.
Saat ia melewatiku, aku mencium wangi tubuhnya yang lembut. Aku tidak ingat sabunku berbau seperti itu. Aku tidak tahu merk parfum yang ia gunakan tapi wangi parfum selembut itu bisanya berasal dari barang mahal. Aku biasa bertemu model dan artis saat membuat iklan. Wangi mereka mirip Yui.
Yui langsung membuka salah satu laci, tempat aku menyimpan pembuka botol. Gadis itu seolah-olah sudah lama di tempat ini.
“Kau harus tetap mencarinya. Dia harus memberikan penjelasan. Bisa saja Tod hanya sedang kehilangan pikirannnya,” kataku. Aku meletakkan paperbag di meja dapur lalu mengeluarkan isinya satu persatu.
“Aku tidak yakin. Mungkin aku akan menunggu kabar dari temanku lalu pulang saja.”
“Kau menyerah?”
“Aku tidak tahu, Mikky. Aku hanya lelah.”
Yui kembai menuju sofa dan merebahkan badannya di sana. Ia menyalakan lagi televisi tapi mematikan volumenya. Ia menonton dalam keheningan. Yui terlihat begitu rapuh.
Setelah melihatnya seperti itu aku terhenyak. Bukankah aku sedang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan sia-sia? Aku sendiri tahu jika Tod mengkhianti Yui. Aku cukup menyesal bertingkah seperti itu. Aku akan memikirkan cara agar aku bisa mengatakan hal yang sesungguhnya. Sebaiknya Yui kembali saja ke New Hamsphire.
***
Aku mengobrol dengan Yui sepanjang sisa hari sambil menyaksikan acara televisi. Cukup menyenangkan rasanya bisa kembali menghabiskan waktu bersama seseorang. Kami duduk bersisian di sofa ditemani beberapa kaleng bir dan beberapa makanan ringan.
Yang aku ketahui dari Yui, gadis itu suka sekali mengomentari tingkah laku orang-orang di televisi. Kami menonton sebuah film lama yang diputar ulang di HBO dan sepanjang film Yui terus menerus mengomel seperti wanita tua. Menurutku hal itu agak konyol tapi sedikit imut. Ini seperti dejavu dengan orang yang berbeda. Dulu, aku biasa menghabiskan akhir pekan bersama Catherine.
“Kau pindah ke tempat ini setelah Tod pindah?” tanya Yui.
“Dari mana kau tahu?” Aku malah balik bertanya.
“Nelson. Dia yang menceritakannya padaku.”
Pria tua itu ternyata mengobrol banyak dengan Yui sebelum menyuruhnya menemuiku. Mungkin aku berpikir terlalu buruk tentangnya.
“Yeah. Sebelumnya aku tinggal di Back Bay. Tempat ini lebih jauh dari kantorku tapi aku suka lingkungannya. Dan murah.” Aku mengambil segenggam popcorn. Cemilan itu adalah salah satu yang aku beli di minimarket Watson.
“Pasti masalah wanita.”Yui melirik ke arahku dan aku menangkap senyum tipis di wajahnya.
“Apa maksudmu?”
“Aku melihat foto seorang wanita di atas meja di dalam kamarmu ....” Tiba-tiba wajah Yui menegang. Aku sudah tahu Yui masuk ke kamarku. Letak foto Catherine agak bergeser. Yui pasti merasa bersalah karena merasa sudah lancang. “Maaf. Saat aku bersih-bersih tadi, aku juga masuk ke kamarmu. Aku tidak mengambil apa-apa, kau bisa mengeceknya sekarang.”
“Sudahlah. Tidak apa-apa. Itu Catherine.”Aku mengibaskan sebelah tangan di depan wajahku.
“Mantan?”tanya Yui kembali.
“Nelson memberitahukanmu juga tentang itu?” Akan terdengar aneh jika Yui menjawab iya. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun kecuali David—teman kantorku.
“Tentu tidak. Aku menebak begitu karena menurutku dia muda dan cantik, tapi tidak terlihat sepertimu. Jadi aku pkir dia pasti bukan adikmu.”
“Lalu?”
“Seorang pria lebih suka menghindari badai daripada menghadapinya. Menurutku kau juga bukan orang yang suka bermain api. Dari tadi malam, kau tidak meminta permakluman siapa pun dan tidak ada yang menelepon. Hari ini juga akhir pekan dan tidak wanita yang menelepon atau mengetuk pintu.”
“Hei Sherlock. Kenapa kau tidak menggunakan analisamu untuk mencari Tod?”
Yui meringis. Namun, ekpresinya langsung berubah. Aku langsung merasa bersalah karena lagi-lagi mengatakan hal sia-sia itu.
“Masalah Tod bukan hanya tentang menemukannya bukan? Kau tahu itu. Apakah setelah aku menemukannya semuanya akan seperti semula? Sebenarnya aku cukup yakin bisa menemukannya. Tapi, aku ragu dengan apa yang akan aku lakukan setelahnya.”
Yui tiba-tiba meremas lenganku lalu membenamkan wajahnya di sana. “Sebenarnya aku sangat marah. Apa yang dia lakukan bukan sekadar meninggalkanku. Dia membenarkan semua yang dikatakan Nenek dan ibuku. Tod adalah pilihan yang salah. Aku selalu membuat kesalahan.”
Aku mendengar isakan. Kepala dan bahu Yui mulai bergerak-gerak seperti orang yang menahan tangisnya.
“Menangislah. Kau tidak perlu menahannya.”
Lalu, isakan Yui terdengar makin keras.
Catherine meninggalkanku dengan cara yang sama. Maksudku, tidak sama persis seperti Tod meninggalkan Yui, tetapi ada kemiripan. Catherine mengembalikan semua barang-barang yang pernah aku berikan padanya lewat paket dengan sebuah pesan bahwa ia tidak bisa bersamaku lagi. Aku yakin, itu karena ia memilih bersama orang lain. Ia memintaku jangan mencarinya. Aku tidak mematuhi keinginannya dengan tetap mencarinya, tetapi ia menghilang. Catty pergi begitu saja.
Aku sebenarnya tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, beberapa hari sebelum mengirimkan semua hadiah yang aku berikan Catherine bertingkah agak aneh. Ia seperti sengaja membuatku kesal. Catherine sengaja tidak mengangkat teleponku, ia marah saat aku tidak segera mengangkat teleponnya, atau ia datang ke apartemenku dengan tiba-tiba lalu marah-marah. Aku dan Catherine memang tidak hidup bersama, tetapi setiap akhir pekan ia akan menginap di apartemenku.
Pekerjaan Catherine cukup unik. Ia seorang pencari bakat. Pencari bakat global. Gadis itu sering bepergian ke luar negeri untuk mencari atlet-atlet yang memiliki bakat. Ia kemudian akan menawarkan sponsorship dan pengembangan bakat. Kemudian, altlet itu akan dikelola oleh perusahaannya.
Aku menduga bahwa Catherine mungkin bertemu dengan seorang pria saat bekerja. Entah pria di belahan dunia mana. Yang pasti, si pria mungkin sangat menawan sehingga bisa meruntuhkan hubungan yang kami susun selama tiga tahun. Sebelum ia pergi aku pernah memergokinya menelepon malam-malam. Ia terlihat sangat terkejut dan aku menangkap sirat ketakutan saat aku menanyakan dengan siapa ia berbicara.
“Yui. Aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Aku mengangkat wajahnya dengan kedua tanganku. Matanya sembab. Mukanya terlihat agak bengkak karena menangis.
“Apa?”tanyanya. Kedua matanya bergerak-gerak seperti kelereng yang tidak bisa diam.
“Mengenai Tod.” Aku mengatakannya dengan pelan dan hati-hati. Yui mengambil selembar tisu lalu mencoba menahan isaknya.
“Jangan suruh aku bersabar dan menyuruhku untuk mencarinya, Mikky. Aku sedang tidak ingin mendengar hal itu.”
“Bukan. Aku minta maaf. Seharusnya aku tidak menyuruhmu mencarinya. Aku tahu sesuatu. Seharusnya aku mengatakannya sebelumnya padamu.”
Kening Yui mengernyit. Aku menarik napas sebelum mengatakan yang aku tahu tentang Tod. Lalu, aku menceritakan semua yang aku tahu dan apa yang terjadi padaku. Wajah Yui benar-benar berubah setelah mendengar semuanya. Yui tiba-tiba mendorong tubuhku.
“Apa aku harus mempercayaimu?” tanya Yui.
“Tidak. Tidak harus.”
Yui menatap mataku lama. Ia tiba-tiba melompat ke arahku dan memelukku. Tubuhnya yang kecil melingkar erat di tubuhku dan Yui menangis tersedu-sedu.
“Aku tahu Nenek dan ibuku benar,” katanya penuh isakan. Tubuhnya makin berguncang.
Aku mengelus punggungnya. “Tenanglah. Setidaknya kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang.”
Yui mengendurkan pelukannya, menarik wajahnya, dan kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat. Gadis itu kembali menangis di dadaku.
Aku mengguncang kaleng bir karena sejak tadi terasa sangat ringan. Setelah tidak mendengar suara cairan yang bergejolak, aku memutuskan untuk mengambil satu kaleng lagi di kulkas. Aku mendorong tubuh Yui yang masih sesenggukan.
“Kau mau sekaleng lagi?” tanyaku.
Yui mengangguk. Aku kemudian berdiri menuju kulkas. Aku dan Yui sebenarnya sudah minum cukup banyak, tetapi, saat meraih dua kaleng bir lagi aku berpikir untuk mengambil seluruh kaleng yang tersisa. Yui membutuhkan sedikit ketenangan dan sisa kaleng bir ini akan membantunya.
“Aku bukan bermaksud membuatmu mabuk,” kataku.
“Aku tahu,” sahut Yui. “Terima kasih atas semua yang telah kau lakukan padaku, Mikky. Kau bahkan baru mengenalku. Aku berharap bisa melakukan sesuatu untukmu.”
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
Suasana sempat canggung, tetapi setelah kembali menyalakan televisi, suasan canggung itu lenyap. Sebuah film komedi lawas muncul di HBO dan kami berdua terpingkal-pingkal menontonnya.
Kaleng bir telah habis. Seluruh kantong cemilan telah kosong. Yui bersandar di dadaku. Aku memeluknya. Tanpa maksud apa-apa, aku mengelus kepalanya. Lalu, tiba-tiba ia menggeliat. Aku menatap ke arahnya. Yui menatap ke arahku. Gadis itu tersenyum lalu perlahan mencium bibirku. Aku gelagapan karena semua itu sangat tiba-tiba. Aku tahu, kami berdua mabuk, tapi bukan berarti aku mengharapkan kejadian seperti itu. Namun, setelah bisa menguasai diri, aku membalas ciumannya.
Mataku langsung silau. Ternyata, tadi malam aku lupa mematikan lampu kamar. Butuh sedikit waktu agar mataku bisa menyesuikan suasana. Kepalaku agak pusing. Aku rasa kali ini bukan karena kurang tidur seperti kemarin, tetapi karena alkohol. Aku dan Yui minum bir terlalu banyak.Aku baru menyadari bahwa aku tidur di pinggir ranjang. Biasanya aku tidur di tengah-tengah. Ketika melihat benda-benda yang tergeletak di lantai kamar, aku langsung mengingat apa yang terjadi tadi malam. Ah, sialan! Ini akan menjadi lebih rumit!Aku yakin, apa yang terjadi antara aku dan Yui tadi malam karena alkohol, rasa sedih, dan perasaan senasib. Tiga hal itu bercampur menjadi satu menciptakan suasana yang melankolis sehingga membuat kami berdua tidak bisa mengendalikan diri. Namun, tetap saja rasanya salah.Senin besok saat aku bercerita pada David, pria itu pasti tidak akan percaya dengan apa yang aku lakukan. Ia pasti akan menyebutku bodoh. Lalu, apa kira-kira yang akan terjadi pad
“Bukankah itu bagus? Kau harus cepat-cepat move on,” kata David ketika melihatku masuk ke dalam ruang rapat, lalu menyambar paper cup berisi kopi yang aku sodorkan padanya. Ia menyeruputnya sedikit dan wajahnya langsung berubah. “Ini pahit sekali, Mikky. Apa negara ini sudah kehabisan gula?”“Tidak. Aku hanya menolong istrimu.” Aku menarik kursi di sampingnya. “Kau juga harus mengurangi donat-donat itu.” Di samping laptop David terdapat sebuah kotak kecil berisi donat. Seperti halnya dengan Watson, David mengalami sedikit obesitas. Ia suka sekali dengan gula.“Sekarang kau terdengar seperti Anne,” ujarnya lirih.David adalah sahabatku sejak kami masuk bersama di MollenLowe empat tahun yang lalu. Pria itu lulus dari Universitas Boston sedangkan aku dari Ann Arbor, Universitas Michigan. Aku mengambil jurusan periklanan sedangkan David komunikasi. Kami adalah duo maut di kantor ini, setid
Awalnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian yang aku alami. Meskipun merasakan kejanggalan, aku tidak terlalu khawatir. Namun, pendapat David dan fakta yang aku dapatkan siang itu cukup membuatku berpikir kembali. Apa yang terjadi jika aku ditipu? Aku sudah mengecek beberapa hal sebelum memutuskan untuk pindah apartemen. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Nyonya Borden terlihat begitu alami.Aku menyangka Nyonya Borden orang lokal. Ia terlihat sangat Irlandia seperti halnya Tod. Rambutnya agak kemerahan dengan tulang hidung yang tegas. Rahangnya lancip dan tubuhnya cukup jangkung. Ia memiliki mata hijau yang unik. Sebenarnya wanita itu cukup menarik. Gaya bicaranya juga teratur dan mampu menjelaskan detil dengan cepat dan singkat. Apalagi dengan balutan blazer hitam dengan rok pendek serta high heel yang sesuai dengan warna kulitnya. Ia sangat meyakinkan sebagai agen perumahan. Itulah kenapa aku masih mengingatnya hingga sekarang.Aku bahkan tidak b
Aku membeli sekotak pizza untuk aku bawa pulang. Ukuran sedang. Meskipun meninggalan sejumlah uang untuknya, aku takut Yui belum makan malam. Aku tidak tahu seleranya, mungkin saja ia tidak menyukai pizza. Namun, apa yang bisa aku beli lagi?Aku tidak pulang larut kali ini, baru pukul sembilan. Mungkin besok aku malah bisa pulang tepat waktu. Proyek iklan-ku sudah bisa ditangani dengan baik. Semua tim sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bisa bekerja lebih kompak. Rapat tadi pagi benar-benar efektif. Sore tadi, aku dan David telah menemukan lokasi yang tepat dan berbicara dengan penanggung jawabnya. Artis yang akan kami gunakan sudah setuju dan hanya perlu menangani kontrak kerjasamanya saja. Rasanya cukup melegakan mengingat apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.Selain hal itu, orang yang memberikanku kelegaan ialah Benjamin. Aku memutuskan meminta bantuan Benjamin untuk mengurus masalah Milla Borden. Ia berjanji akan menemukan agen itu. Aku juga meminta Be
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Aku tidak bisa menebak. Dari rasa pegal yang mendera otot lengan dan kakiku menunjukkan aku sudah disekap cukup lama. Kepalaku masih berdenyut-denyut. Terasa seperti ditusuk-tusuk seribu jarum kecil bersamaan. Semoga bukan cidera besar. Namun, agak konyol juga mengharapkan kalau cidera yang aku alami tidak serius, mengingat nasibku ke depannya bisa saja lebih mengkhawatirkan dari itu.Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam film saja. Siapa menyangka kejadian seperti ini malah menimpaku? Dunia memang tidak bisa ditebak. Sejak sadar tadi, aku bisa merasakan jantungku terus berdegub kencang. Aku sudah berusaha menenangkan diri, tetapi membayangkan apa yang mungkin terjadi padaku nanti sungguh membuatku tidak tenang.Aku makin yakin bahwa pingsan cukup lama karena merasa sangat haus. Sejak tadi aku hanya menelan ludahku sendiri. Akan tetapi, semakin aku melakukan hal itu
Mula-mula yang terlihat hanyalah sebuah titik kecil berwarna putih. Aku mengatakan demikian karena tidak bisa menebak jaraknya. Selain dari titik kecil itu, yang terlihat di sekelilingku hanyalah kepekatan. Mungkin saja titik itu sebenarnya sesuatu yang besar, tetapi karena teramat jauh, benda itu terlihat kecil. Namun, bisa saja titik itu memang hanya sebuah benda kecil saja. Karena hanya ada benda itu di depanku, aku menjadi sangat fokus padanya. Benda itu tidak berpendar. Ia hanya sebuah titik kecil di hadapanku. Tiba-tiba, titik itu perlahan berubah menjadi bulatan yang lebih besar. Ia tumbuh sebesar bola bisbol. Ia terus tumbuh dan melebar dengan cepat seperti noda tinta yang jatuh di atas kain. Dengan perlahan, bulatan itu makin membesar dan membesar: menjadi sebesar bola kaki, kemudian menjadi sebesar bola basket, lalu menjadi sebesar rumah, dan terus membesar sampai menutupi semua yang ada. Termasuk aku. Kini, aku tidak lagi berada dalam ruang yang pekat, gel
Saat aku terbangun, David sudah berada di sampingku. Aku terkejut melihatnya berada pinggir kasurku. Untuk apa pria itu berada di sini? Bukankah terlihat berlebihan jika seorang pria—meskipun ia sahabatku sendiri—duduk di samping tempat tidurku menungguku terbangun? David tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Pasti, ia memilih menungguku di depan televisi; menonton sebuah acara tidak berguna sambil melahap apa pun yang ada di dalam kulkas.Atau, mungkinkah klien menginginkan perubahan konsep iklan sehingga David harus segera memberitahukan hal itu? Aku tidak bisa membayangkan tekananan yang dideritanya sampai harus repot-repot datang ke apartemenku. Seingatku semua sudah beres. Kami sudah menyelesaikan semua yang diperlukan. Lagipula, kenapa klien malah menghubungi David? Seharusnya mereka menghubungiku sebagai penanggung jawab proyek. Masih masuk akal jika mereka menghubungi supervisorku. Namun, David? Itu berlebihan.Hal itulah yang menyebabk
Benar saja, esoknya tubuhku sudah terasa lebih baik. Meskipun tenagaku belum pulih seluruhnya, aku sudah bisa berjalan. Mungkin istirahat dua hari lagi akan membuatku pulih seperti semula. Yui benar-benar tahu apa yang dilakukannya. Aku membayangkan dirinya adalah seorang gadis tabib dari Asia.Akan tetapi, aku masih penasaran dengan beberapa lebam di tubuhku: perut sebelah kanan, bahu kiri, dan di paha sebelah kanan. Alasan bagian-bagian itu menjadi ungu dan terasa sakit seakan-akan dihilangkan dari ingatanku. Bukan sekali ini aku mabuk, tetapi seumur hidup tidak pernah sekalipun sampai membuat tubuhku sendiri seperti itu.Yui mengatakan padaku kalau hal itu bisa saja terjadi karena aku sangat mabuk. Akan tetapi, alasan itu tidak cukup logis dan tidak menjawab kenapa aku melupakan semua yang terjadi, bahkan sampai di mana aku minum dan bersama siapa saja. Bayangkan, aku minum seorang diri lalu pulang membawa mobil tanpa ditilang polisi dan tiba dengan selamat. Itu ter
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”
Setelah kembali ke Old Harbor, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yui. Meskipun aku tidak bisa mengabaikan kecurigaan David, membiarkan Yui menghadapi masalahnya sendiri terlihat tidak benar. Ia telah menjelaskan alasannya melakukan perbuatannya. Aku pikir, itu patut dipertimbangkan. Lagipula, gadis itu telah mengurusku dengan baik. Aku terus-menerus memikirkan hal itu sambil memandang jalanan dari jendela kamar.Kamar yang disediakan Benjamin berada di lantai dua dan jendelanya mengarah ke jalan raya. Aku bisa melihat mobil Ford David masih terparkir seperti keadaannya tadi siang. Aku rasa jika jendela itu dibuka, angin laut akan menyelesup membawa bau-bau kehidupan yang bebas. Dindingnya bercat putih seperti ruangan lain yang pernah aku lihat di rumah ini. Ranjangnya lebih besar dari milikku di apartemen. Pastilah akan sangat nyaman berbaring di sana. Akan tetapi, aku sedang tidak ingin berbaring. Selain itu, tidak ada benda apa-apa lagi di dalam kamar ini.Benjamin
“Kita akan ke Mercer Street?” tanyaku pada Willy setelah berada di dalam mobil. Pria itu tidak menjawab sedang matanya memandang lurus ke depan. Aku sampai mengikuti arah pandangannya, melewati kaca depan yang mulai basah oleh rintik hujan dan hanya menemukan van hitam yang tidak bergerak. Karena tidak menemukan apa-apa, aku menoleh kembali padanya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. “Watson tidak ada di tokonya?” Malah David yang menyahut. Aku menoleh pada David yang duduk di bangku belakang lalu mengangguk. “Tidak ada siapa-siapa di sana.” “Wendy?” Aku menggeleng. “Toko itu seperti tidak pernah dimasuki siapa pun setelah aku meninggalkannya tadi siang.” “Lalu, siapa yang berada di Mercer Street?” tanyanya kembali. “Apartemen Watson. Pemilik toko reparasi sepatu yang tokonya bersebelahan dengan minimarket Watson memberitahukan alamat tempat tinggalnya pada kami. Tapi sayangnya, dia tidak tahu nomor apartemennya,” jawabku. Aku
Setelah berada di dalam mobil tua Benjamin yang terlihat bobrok dari luar, aku langsung menyadari alasan pria tua itu meminta Willy menggunakannya daripada mobil Ford David. Mobil itu ternyata garang. Aku yakin, Ford David tidak ada apa-apanya bila dibandingkan sedan ini. Willy mengaku kalau dialah yang memodifikasi mobil tersebut. Pria Asia yang dipekerjakan Benjamin itu mungkin memiliki lebih banyak bakat selain komputer, mesin, dan beladiri. Aku tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti ia merayap di dinding seperti Spiderman atau mengaku kalau sebenarnya dia adalah Bruce Wayne. Sedan putih yang lusuh: warna putihnya kotor, kulit joknya robek, dan modelnya lama. Sangat meragukan kalau dilihat dari luar. Namun, suara mesinnya meraung-raung gahar ketika pedal gasnya diinjak keras dan mobil itu mampu berlari secepat kilat. Bukan berarti aku memahami seluk-beluk mesin mobil, tetapi aku cukup yakin bahwa mobil itu dimodifikasi dengan ekstrem. Tebakanku, mobil itu sengaj