“Bukankah itu bagus? Kau harus cepat-cepat move on,” kata David ketika melihatku masuk ke dalam ruang rapat, lalu menyambar paper cup berisi kopi yang aku sodorkan padanya. Ia menyeruputnya sedikit dan wajahnya langsung berubah. “Ini pahit sekali, Mikky. Apa negara ini sudah kehabisan gula?”
“Tidak. Aku hanya menolong istrimu.” Aku menarik kursi di sampingnya. “Kau juga harus mengurangi donat-donat itu.” Di samping laptop David terdapat sebuah kotak kecil berisi donat. Seperti halnya dengan Watson, David mengalami sedikit obesitas. Ia suka sekali dengan gula.
“Sekarang kau terdengar seperti Anne,” ujarnya lirih.
David adalah sahabatku sejak kami masuk bersama di MollenLowe empat tahun yang lalu. Pria itu lulus dari Universitas Boston sedangkan aku dari Ann Arbor, Universitas Michigan. Aku mengambil jurusan periklanan sedangkan David komunikasi. Kami adalah duo maut di kantor ini, setidaknya untuk divisiku.
Tadi malam aku menelepon David dan memintanya datang ke kantor lebih pagi. Selain karena proyek yang belum selesai, aku juga ingin menceritakan banyak hal padanya. Aku sempat menceritakan beberapa pengantar untuknya agar aku tidak perlu bercerita terlalu banyak di kantor. Aku meyakinkan diriku jika aku butuh pendapat kedua. Dan, untungnya ia sahabat yang baik. Pria itu sudah datang lebih dahulu ketika aku tiba.
Kami berdua berada di ruangan rapat khusus devisi kreatif. Ruangan itu tidak terlalu besar tapi nyaman. Di tengah-tengah terdapat meja kaca bundar yang cukup besar dengan kaki-kaki hitam dari baja. Tepat di tengah meja itu terdapat pot kecil berwarna hitam dengan sebuah kaktus kecil di dalamnya. Entah itu ide siapa. Ada lima kursi mengelilingi meja itu. Ruangan itu berdinding kaca transparan. Jam sepuluh nanti, kami akan merapatkan kelanjutan proyek iklan yang sedang kami kerjakan. Jadi, sebelum jam itu, aku menyempatkan diri bercerita pada David apa yang belum aku ceritakan lewat telepon. Aku menceritakan semua yang terjadi sejak Sabtu malam dan malam-malam sebelumnya pada David. Termasuk lampu-lampu yang berkedip. Akan tetapi untuk bagian itu, ia sependapat dengan Nelson.
“Kau mungkin hanya sedang kelelahan, Mikky. Aku kadang pulang dan menemukan Anne seperti hantu. Dia suka sekali memakai masker sebelum tidur,” ujarnya.
“Menurutmu apakah ini tidak terlalu cepat? Aku bahkan tidak mengenal dia sama sekali.” Aku mengabaikan pendapatnya tentang lampu-lampu itu. Lagipula, aku memang tidak terlalu peduli hal-hal semacam itu. Aku lebih peduli pada Yui, rasa bersalahku ada Catty, dan kemungkinan Tod yang bisa muncul kapan saja.
Tanpa sengaja aku mendekati kotak donat David. Aku sudah sarapan sebelum berangkat dengan masakan Yui yang enak, tapi aku masih merasa sedikit lapar sehingga donat David terlihat menarik. David langsung memukul tanganku yang menjulur mendekati kotak donatnya.
“Kau boleh mengambil apa saja dalam hidupku kecuali donatku. Paham?” David menatapku seperti seorang polisi yang sedang memastikan bahwa aku mengerti tentang kesalahan yang aku perbuat. “Kau tahu, Mikky? Setiap malam, ratusan pria di negara ini membawa seorang gadis yang mereka temukan di club ke apartemennya. Kemudian, esok paginya jika mereka merasa cukup sampai di situ, mereka akan berpisah, lalu melanjutkan hidup seperti tidak pernah terjadi apa-apa, kecuali sebagai sebuah cerita. Jika mereka merasa cocok, mereka akan lebih sering bertemu dan memulai kencan. Apakah mereka yang terlalu berani atau kau yang terlalu khawatir?”
“Bukan begitu. Tapi, entah kenapa aku merasa seperti mengkhianati Catherine ....” kataku hati-hati.
“Hei! Kau bahkan tidak tahu gadis itu ada di mana sekarang.”
David benar, aku tidak tahu dimana Catty sekarang. Aku menghela napas pelan. “Sulit sekali meyakinkan diriku kalau dia pergi begitu saja. Dia membuang tiga tahun kebersamaan kami seolah-olah tidak ada artinya.”
David menggeser kotak donatnya padaku. “Karena kau sahabatku dan ini kali pertama aku melihatmu sedemikian putus asa, aku relakan satu donat untukmu. Gula bisa mengurangi stres.”
Namun, aku tidak menjamah donat David. Aku memilih menyeruput kopi pahitku. Mungkin rasa pahit di lidahku akan membuat rasa pahit di hatiku tidak terlalu terasa.
“Aku tahu ini sulit bagimu, Mikky. Tapi, ini kesempatan bukan? Aku rasa Yui gadis yang baik. Apakah kau tidak merasa kalau kalian itu mirip? Dari ceritamu, aku bisa melihat beberapa kesamaan kalian. Itu modal yang bagus untuk memulai sebuah hubungan. Kau begitu mencintai Catherine dan Yui sangat mencintai pria Irlandia itu. Jika tidak, dia tidak akan jauh-jauh datang ke South Boston. Kalian punya cara yang sama saat mencintai seseorang.”
Apa yang dikatakan David ada benarnya. Jika berniat menyembuhkan luka, Yui adalah obat paling mujarab. Namun, bukankah itu berarti aku memanfaatkan orang lain? Terlalu cepat untuk mengatakan kalau jatuh cinta, aku hanya tertarik dan iba pada Yui. Aku rasa itu awal yang baik. Dulu, aku jatuh cinta pada Catherine setelah berteman cukup lama dan merasa nyaman. Namun, aku ingat Tod. “Jika Tod kembali, bukankah dia bisa pergi juga?”
“Iya. Kalau dia wanita yang bodoh.” Karena aku tidak mengambil satu donat pun, David menarik kembali kotak donatnya dan meletakkannya di tempat yang lebih jauh dari jangkauanku.
Aku yakin, Yui bukan gadis bodoh. Aku menawarkan diri untuk membantunya mencari Tod tapi ia menolaknya. Sebelum aku mengatakan yang sebenarnya terjadi, Yui telah menentukan sendiri keputusannya. Namun, aku tetap merasa ini mengganjal.
“Aku tidak menyuruhmu menikahinya besok, Mikky.” Suara David hampir tak terdengar, donat memenuhi rongga mulutnya. Gula-gula putih dari donat yang ia makan berceceran di meja dan sekitar bibir pria tambun ini. Ia kemudian menenggak kopi pahit yang tadi aku berikan lalu menunjukkan wajah aneh setelahnya. “Seharusnya aku meminum kopi ini dahulu baru memakan donat. Setelah pahit baru manis. Sekarang rasa donat hilang begitu saja. Sialan.”
“Seminggu lagi Yui akan kembali ke New Hampshire. Dia akan melupakanku, melupakan Tod, dan memulai hidupnya yang baru.”
“Itu juga artinya kau punya waktu seminggu untuk melihat hubungan kalian akan berjalan sejauh apa. Asal kau mau membuka diri, Mikky. Aku tahu Catherine menghilang belum lama, tapi itu bukan alasan, bukan? Dia yang memintamu untuk melupakannya. Kau tidak perlu menyiksa dirimu sendiri dengan waktu. Menunggu saat yang pantas untuk beranjak. Saat yang pantas itu sebenarnya ketika dia mengirimkan surat itu. Sejak itu kau harus memikirkan dirimu sendiri.”
“Aku tidak tahu, Dave. Aku hanya merasa ini mimpi.”
David menepuk-depuk pundakku. Lalu orang-orang mulai masuk ke dalam ruang rapat.
***
Meeting berjalan dengan lancar. Klienku telah menyetujui usulan yang kami tawarkan untuk iklan produk mereka. Yang perlu aku persiapkan selanjutnya adalah lokasi pemotretan dan lokasi syuting untuk hal itu. Aku dan David telah memilih beberapa tempat. Kami hanya perlu untuk melakukan survei ke lokasi yang kami rencanakan.
Aku dan David masih berada di ruang meeting, sedangkan tim-ku yang lain sudah aku perintahkan untuk melakukan persiapan yang diperlukan. Kotak donat David telah kosong dan laptopnya sudah mati.
“Aku lebih penasaran dengan cerita Tod, Nelson, Nyonya Wendy Orsey, dan keanehan-keanehan yang kau ceritakan daripada Yui. Seharusnya kau juga begitu. Yui bukan sesuatu yang harus kau pikirkan terlalu dalam. Biarkan saja dirimu dan Yui mengalir seperti aliran sungai. Sedangkan Nelson dan wanita tua di samping unitmu itulah yang harusnya kau pikirkan. Apakah kau tidak merasa bahwa Nelson itu aneh? Atau benarkah orang yang berada di samping apartemenmu adalah Wendy?” kata David.
“Mungkin kau benar. Aku tidak perlu khawatir tentang Yui. Kalau dipikir-pikir apartemen itu memang agak berbeda. Penjaganya hanya ada pada malam hari. Nelson tidak pernah muncul pada siang hari. Lampunya bermasalah dan tidak ada yang berpikir menelpon seseorang untuk memperbaikinya. Mungkin yang dikatakan Nelson benar kalau yang mempermasalahkan lampu berkedip-kedip itu hanya aku seorang.”
“Keanehan lain adalah kau hampir berminggu-minggu berada di tempat itu tetapi tidak pernah bertemu dengan wanita di samping kamarmu. Padahal, Tod sering bertemu dengannya. Kalau dia mengurus neneknya, seharusnya kalian akan cukup sering bertemu di lobi, lorong, atau tempat-tempat lain di sekitar apartemen. Atau di minimarket.” David mengetuk-ngetukan jari-jarinya di laptop yang telah dilipatnya.
Aku termenung. Aku merasakan dahiku berkerut. Bayangan Tod tiba-tiba muncul di benakku. “Aku juga berpikir begitu. Tapi, aku terlalu sibuk dengan proyek ini. Klien kita satu ini sangat sulit, bukan?”kataku kemudian.
David mengangguk-angguk. “Aku jadi ingat. Mikky, bagaimana bisa kau pindah ke sana?” David mendorong bahu kiriku yang membuat kursiku berputar. Dia melihatku dengan tatapan yang aku artikan sebagai tatapan yang serius.
Jika mengingat-ingat kembali, aku baru menyadari David belum aku ceritakan sama sekali tentang kepindahanku ke apartemen baruku.
“Emmm. Sebentar.”
Aku mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi hampir sebulan yang lalu sebelum aku pindah. Pikiranku agak bercampur aduk sehingga agak sulit menemukan pangkalnya. Yang jelas, Catherine pergi, sewa apartemenku yang lama naik, lalu ada selebaran yang muncul di pintuku. Aku menelpon dan mendapatkan tawaran apartemen yang bagus. Aku pergi melakukan survei, suka dengan tempatnya karena harganya murah, lalu aku pindah.
“Terlalu banyak kenangan Catherine di tempat lamaku dan sewa apartemenku naik hampir dua kali lipat,” kataku pada David.
“Apakah itu berlaku juga pada semua penghuni? Apakah kau menanyakannya pada seseorang di sana?” David terlihat makin serius.
“Tidak. Aku tidak tahu. Lagipula pindah tidak buruk bukan?”
Jari-jari gemuk David masih mengetuk-getuk permukaan laptopnya. Kini tangan kirinya mengusap-usap dagunya. Ia mungkin sedang memikirkan sesuatu. “Mungkin kau berhalusinasi saat melihat Tod di taman bermain. Namun, kalau tidak, pasti berarti sesuatu. Bukankah terlihat sangat janggal kalau pria itu hanya berdiri menatapmu dari jauh? Sedang apa dia? Mengawasimu? Untuk apa? Yui? Dia bisa saja langsung mencarinya ke apartemenmu dan menarik Yui dari sana.”
“Kau benar. Lalu apa yang harus aku lakukan dengan semua ini?”
“Kita bisa memulainya dengan menelpon kantor pengelola apartemen. Adukan tentang listrik yang bermasalah dan kita lihat tanggapan mereka.”
“Kau betul juga.”
Aku kemudian mencari dompetku untuk melihat nomor yang diberikan Nyonya Milla Borden, wanita yang mengajakku melihat-lihat apartemen itu dan menjelaskan semuanya pada waktu itu. Agak susah menemukan kartu kecil yang diberikannya padaku karena aku menyelipkannya entah di mana. Aku tidak menemukan kartu itu di dompetku, ternyata ada di salah satu kantong di tas kerja. Untunglah aku menemukannya.
Di dalam kartu tersebut terdapat dua nomor. Yang pertama nomor seluler satu lagi telepon kantor. Aku mencoba yang pertama dan dihubungkan ke dalam kotak suara. Yang kedua diangkat.
“Halo!” sapaku, “bisa bicara dengan Nyonya Borden.”
“Halo, Sir.” Aku mendengar suara seorang laki-laki. “Di sini tidak ada yang bernama Nyonya Borden. Mungkin Anda memencet nomor yang salah.”
“Tidak.” Aku menyebutkan nomor yang aku tekan sampai bisa terhubung pada orang yang menjawab telepon. “Apakah itu nomor yang benar?”
“Iya. Anda menekan angka yang benar. Tapi, di sini tidak ada yang bernama Nyonya Borden.”
Jawaban itu membuatku tercenung. Apakah aku sedang kena tipu? Ini akan menjadi masalah besar kalau ternyata aku ditipu. David yang berdiri di sampingku melihatku dengan cemas. Aku yakin ia bisa menebak apa yang terjadi.
“Kita pergi ke alamat gedung itu dan mengeceknya. Mungkin ada kesalahan. Sambil survei lokasi untuk pengambilan gambar. Juga makan siang,” kata David.
Itu usul yang baik.
“Oke. Terima kasih atas informasinya.” Aku kemudian menutup telepon.
David menatapku lekat. “Sepertinya ada yang tidak beres, Mikky. Kau merasakannya, bukan?”
Aku mengangguk. “Iya. Kau benar David. Ada sesuatu yang salah di sini.”
Awalnya aku tidak terlalu memikirkan kejadian-kejadian yang aku alami. Meskipun merasakan kejanggalan, aku tidak terlalu khawatir. Namun, pendapat David dan fakta yang aku dapatkan siang itu cukup membuatku berpikir kembali. Apa yang terjadi jika aku ditipu? Aku sudah mengecek beberapa hal sebelum memutuskan untuk pindah apartemen. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Nyonya Borden terlihat begitu alami.Aku menyangka Nyonya Borden orang lokal. Ia terlihat sangat Irlandia seperti halnya Tod. Rambutnya agak kemerahan dengan tulang hidung yang tegas. Rahangnya lancip dan tubuhnya cukup jangkung. Ia memiliki mata hijau yang unik. Sebenarnya wanita itu cukup menarik. Gaya bicaranya juga teratur dan mampu menjelaskan detil dengan cepat dan singkat. Apalagi dengan balutan blazer hitam dengan rok pendek serta high heel yang sesuai dengan warna kulitnya. Ia sangat meyakinkan sebagai agen perumahan. Itulah kenapa aku masih mengingatnya hingga sekarang.Aku bahkan tidak b
Aku membeli sekotak pizza untuk aku bawa pulang. Ukuran sedang. Meskipun meninggalan sejumlah uang untuknya, aku takut Yui belum makan malam. Aku tidak tahu seleranya, mungkin saja ia tidak menyukai pizza. Namun, apa yang bisa aku beli lagi?Aku tidak pulang larut kali ini, baru pukul sembilan. Mungkin besok aku malah bisa pulang tepat waktu. Proyek iklan-ku sudah bisa ditangani dengan baik. Semua tim sudah tahu apa yang harus mereka lakukan dan bisa bekerja lebih kompak. Rapat tadi pagi benar-benar efektif. Sore tadi, aku dan David telah menemukan lokasi yang tepat dan berbicara dengan penanggung jawabnya. Artis yang akan kami gunakan sudah setuju dan hanya perlu menangani kontrak kerjasamanya saja. Rasanya cukup melegakan mengingat apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini.Selain hal itu, orang yang memberikanku kelegaan ialah Benjamin. Aku memutuskan meminta bantuan Benjamin untuk mengurus masalah Milla Borden. Ia berjanji akan menemukan agen itu. Aku juga meminta Be
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Aku tidak bisa menebak. Dari rasa pegal yang mendera otot lengan dan kakiku menunjukkan aku sudah disekap cukup lama. Kepalaku masih berdenyut-denyut. Terasa seperti ditusuk-tusuk seribu jarum kecil bersamaan. Semoga bukan cidera besar. Namun, agak konyol juga mengharapkan kalau cidera yang aku alami tidak serius, mengingat nasibku ke depannya bisa saja lebih mengkhawatirkan dari itu.Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam film saja. Siapa menyangka kejadian seperti ini malah menimpaku? Dunia memang tidak bisa ditebak. Sejak sadar tadi, aku bisa merasakan jantungku terus berdegub kencang. Aku sudah berusaha menenangkan diri, tetapi membayangkan apa yang mungkin terjadi padaku nanti sungguh membuatku tidak tenang.Aku makin yakin bahwa pingsan cukup lama karena merasa sangat haus. Sejak tadi aku hanya menelan ludahku sendiri. Akan tetapi, semakin aku melakukan hal itu
Mula-mula yang terlihat hanyalah sebuah titik kecil berwarna putih. Aku mengatakan demikian karena tidak bisa menebak jaraknya. Selain dari titik kecil itu, yang terlihat di sekelilingku hanyalah kepekatan. Mungkin saja titik itu sebenarnya sesuatu yang besar, tetapi karena teramat jauh, benda itu terlihat kecil. Namun, bisa saja titik itu memang hanya sebuah benda kecil saja. Karena hanya ada benda itu di depanku, aku menjadi sangat fokus padanya. Benda itu tidak berpendar. Ia hanya sebuah titik kecil di hadapanku. Tiba-tiba, titik itu perlahan berubah menjadi bulatan yang lebih besar. Ia tumbuh sebesar bola bisbol. Ia terus tumbuh dan melebar dengan cepat seperti noda tinta yang jatuh di atas kain. Dengan perlahan, bulatan itu makin membesar dan membesar: menjadi sebesar bola kaki, kemudian menjadi sebesar bola basket, lalu menjadi sebesar rumah, dan terus membesar sampai menutupi semua yang ada. Termasuk aku. Kini, aku tidak lagi berada dalam ruang yang pekat, gel
Saat aku terbangun, David sudah berada di sampingku. Aku terkejut melihatnya berada pinggir kasurku. Untuk apa pria itu berada di sini? Bukankah terlihat berlebihan jika seorang pria—meskipun ia sahabatku sendiri—duduk di samping tempat tidurku menungguku terbangun? David tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Pasti, ia memilih menungguku di depan televisi; menonton sebuah acara tidak berguna sambil melahap apa pun yang ada di dalam kulkas.Atau, mungkinkah klien menginginkan perubahan konsep iklan sehingga David harus segera memberitahukan hal itu? Aku tidak bisa membayangkan tekananan yang dideritanya sampai harus repot-repot datang ke apartemenku. Seingatku semua sudah beres. Kami sudah menyelesaikan semua yang diperlukan. Lagipula, kenapa klien malah menghubungi David? Seharusnya mereka menghubungiku sebagai penanggung jawab proyek. Masih masuk akal jika mereka menghubungi supervisorku. Namun, David? Itu berlebihan.Hal itulah yang menyebabk
Benar saja, esoknya tubuhku sudah terasa lebih baik. Meskipun tenagaku belum pulih seluruhnya, aku sudah bisa berjalan. Mungkin istirahat dua hari lagi akan membuatku pulih seperti semula. Yui benar-benar tahu apa yang dilakukannya. Aku membayangkan dirinya adalah seorang gadis tabib dari Asia.Akan tetapi, aku masih penasaran dengan beberapa lebam di tubuhku: perut sebelah kanan, bahu kiri, dan di paha sebelah kanan. Alasan bagian-bagian itu menjadi ungu dan terasa sakit seakan-akan dihilangkan dari ingatanku. Bukan sekali ini aku mabuk, tetapi seumur hidup tidak pernah sekalipun sampai membuat tubuhku sendiri seperti itu.Yui mengatakan padaku kalau hal itu bisa saja terjadi karena aku sangat mabuk. Akan tetapi, alasan itu tidak cukup logis dan tidak menjawab kenapa aku melupakan semua yang terjadi, bahkan sampai di mana aku minum dan bersama siapa saja. Bayangkan, aku minum seorang diri lalu pulang membawa mobil tanpa ditilang polisi dan tiba dengan selamat. Itu ter
David menjadi aneh. Ia bersikeras untuk berbicara padaku secara langsung jika aku menanyakan tentang kejadian yang menimpaku dan apa yang diketahuinya tentang hal itu. Ia juga hanya mau menanggapi urusan kantor yang terbengkalai saat aku berbicara dengannya di telepon. Namun, aku sudah cukup bersyukur. Berkat David, supervisorku memaklumi apa yang terjadi padaku.Aku akan menemui David, tetapi tidak sekarang. Aku ingin menenangkan diri sejenak. Meskipun penasaran dengan apa yang terjadi, aku harus bisa mengendalikan diri. Aku merasa, hal-hal yang terjadi padaku karena aku tergesa-gesa, jadi menahan diri adalah pilihan yang baik.Ketika merasa sudah cukup kuat untuk berjalan jauh, aku pergi ke minimarket Watson. Selain butuh udara segar, aku juga butuh beberapa hal. Kaleng –kaleng bir di dalam kulkasku secara ajaib diganti dengan soda jahe: Vernors. Mungkin botol bir kemarin yang diberikan Yui kepada Wendy adalah yang terakhir. Aku tidak menyangka Yui sangat menyu
“Kau kenal Watson?” tanyaku pada Wendy.“Tentu saja. Apakah ada penghuni apartemen yang tidak mengenalnya? Tempat ini adalah minimarket paling dekat di sekitar sini. Lagipula, dia membukanya sampai larut malam. Sangat membantu,” jawab Wendy.“Kau datang untuk membeli apa?” tanyaku kembali.“Vernors.” Wendy menunjuk ke salah satu show case yang berada di sebelahku. “Tapi sekarang, mungkin aku tidak perlu membelinya lagi, tetapi tinggal mengambilnya saja. Hitung-hitung biaya menjaga toko. Aneh sekali si Gendut itu? Kenapa dia pergi begitu saja dan meninggalkan tokonya seperti ini? Bukan berarti aku keberatan menunggui tokonya. Aku sedang bebas hari ini.”Menurutku juga begitu. Tingkah Watson begitu mencurigakan. Pria itu seperti habis melihat hantu. Hal konyol yang aku pikirkan saat ini adalah ia memiliki indera keenam seperti anak indigo lalu melihat hantu di belakang Wendy. Alasan tidak
“Kau ingat iklan bir yang kita buat di Cheko, David? Bukankah tempat ini mirip?” tanyaku setelah memerhatikan dengan seksama ruang bawah tanah tempat aku disekap. Ruanganku adalah ujung dari sebuah lorong—yang aku yakin cukup panjang—dengan langit-langit berbentuk lonjong. Dindingnya terbuat dari bata merah setinggi tiga meter. Lorong itu cukup lebar untuk bisa dilalui empat orang sekaligus.“Maksudmu Pilsen? Yeah, lorongnya memang mirip. Kalau kau ingat kata-kata Benjamin, tidak seharus kau terkejut. Bangunan ini sama tuanya.”Aku tidak pernah menyangkan akan ada ruangan seperti ini di bawah apartemenku. Selain ruangan tempat aku disekap terdapat dua ruangan lain yang pintunya tertutup. Sepertinya, aku akan menemukan banyak ruangan seperti itu sepanjang perjalanan keluar.Lorong panjang di depanku diterangi oleh lampu-lampu neon yang dipasang di atasnya. Andaikata neon-neon itu dimatikan pastilah tempat ini akan gelap-g
Kematian Wendy membuat Nelson menyerah. Setelah gadis itu lenyap menjadi debu, Nelson langsung berlutut dan mengangkat tangannya.“Semua penyihir di dunia ini akan mengejarku. Dan, karena Wendy telah mati, aku tidak bisa berlindung lagi di balik punggungnya. Lebih lagi, sebenarnya Wendy Orsey telah melanggar hukum yang ditetapkan oleh Hareruha dengan berusaha mengambil persembahan dengan sihir hipnotis. Ini adalah kesempatan besar bagi Nyonya Borden untuk menghabisi seluruh penyihir yang mengikuti Wendy,” kata Nelson panjang lebar. Aku tidak benar-benar mengerti apa yang dikatakannya. “Aku menyerah, lebih baik mati di tangan kalian daripada di tangan mereka.”Setelahnya, pria itu menuruti semua perintah dari Willy dan Benjamin Black. Nelson didudukkan di tempat aku diikat sebelumnya. Namun, tangannya tidak diikat seperti aku. Hanya saja, Willy mengarahkan sebuah pistol tua—seperti pistol milik Van Helsing di film—ke tempurung kepalan
Mataku terbuka dengan pelan bersamaan dengan sayup-sayup nada lembut yang menggelitik indera pendengaranku. Aku seperti bayi yang sedang dibuai agar tertidur dengan lelap. Ditambah lagi desir angin yang sepoi membasuh wajahku, membuat mataku ingin segera kembali terpejam. Namun, entah apa yang mendorongku untuk menahan kantuk itu dan meyakinkan diri untuk terjaga.Aku mencium bau laut. Mendengar debur ombak dan desis pantai yang tergerus. Rasa hangat yang nyaman merayapi sekujur tubuh. Terang mentari yang mencerahkan segalanya memenuhi mataku yang berusaha mengenali di mana aku berada.Dengan pelan, aku bangkit dan terduduk. Pada akhirnya aku bisa mengenali dimana aku saat ini. Sebuah pantai tropis yang sangat indah membentang di depanku.Aku yakin bahwa aku tak pernah sekalipun menginjakkan kaki di tempat ini, tetapi entah kenapa aku merasa mengenali suasananya. Tubuhku tidak bereaksi seperti orang yang pertama kali datang, tetapi laksana orang ya
Saat membuka mata, aku langsung diserang rasa sakit di perut yang menusuk-nusuk. Aku sampai meringis karena berupaya menahan rasa sakitnya. Belum selesai dengan rasa sakit itu, bau busuk menyerangku dengan membabi-buta. Aku menerka bahwa sekamar dengan bangkai anjing.Aku langsung mual. Apa pun yang hendak keluar dari mulutku sudah mencapai ujung tenggorokan. Mati-matian aku menahannya, tetapi sia-sia. Jadi, dengan penglihatan yang masih samar, aku muntah sejadi-jadiya. Semua masakan Benjamin keluar dari perutku, menambah bau busuk di ruangan ini. Lalu, bersama bau busuk sebelumnya, mereka menyerang penciumanku dengan membabi-buta.Sambil terengah-engah, aku menatap muntahanku yang membanjiri lantai. Aku jijik sendiri sehingga muntah kembali. Tampaknya aku tidak mengunyah spagetiku dengan benar karena sebagaian muntahanku masih menunjukkan bentuk asli dari makanan itu. Sialnya, celana dan sepatuku terkena muntahanku sendiri.Setelah isi perutku hampir seluruhnya
Yui melempar ransel ke punggungnya sedangkan aku langsung mengangkat tas tenis sembari menyambar tangannya. Aku berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun, aku merasakan Yui menolak tarikan tanganku. Saat menoleh, aku mendapatkan Yui bergeming di tempatnya dengan raut wajah yang sulit dijelaskan. Jari tangan Yui saling meremas. Aku menatap matanya dan merasakan binarnya meredup.“Kita akan ke mana?” tanya gadis itu. Aku menangkap getar dalam suaranyaAku menjatuhkan tas tenis lalu mendekat pada Yui. Dengan pelan, aku mengelus pipinya. Kulit pipinya terasa lembut di tanganku. “Ke tempat aman sampai semuanya selesai. Setelah semuanya selesai, kita akan mengurus semua masalahmu,” jawabku. “Percayalah padaku. Aku tidak akan meninggalkanmu.”Yui menatapku tajam sebelum mengangguk. Kedua tangannya meraih lenganku lalu menggenggamnya dengan erat. “Aku percaya padamu, Mikky. Aku akan selalu menggenggam tanganmu seerat ini dan ta
Benjamin dan Willy entah berada di mana karena aku tidak melihat mereka di mana-mana: di ruang depan, di ruang televisi, di dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain yang pernah aku masuki. Aku kembali ke kamar. Di dalam kamar sudah ada David dengan sweater yang agak kebesaran. Karena penghangat rumah ini tidak dinyalakan, hawa dingin sehabis hujan yang menyelinap masuk terasa menusuk.“Benjamin dan Willy tidak ada di ruang depan,” kataku pada David yang sedang duduk di ranjangku. Aku berdiri di depannya sedangkan David melihat arloji di tangannya. Kalau tidak salah, ini sudah pukul sebelas malam. Aku sempat melirik jam dinding di ruang televisi sebelum mendaki tangga ke lantai dua. “Sepertinya pintu depan juga tidak terkunci. Ini saatnya aku pergi,” lanjutku.“Kau benar-benar yakin akan pergi ke sana, Mikky?” tanya David. Aku menangkap rasa khawatir pada suaranya.“Iya. Aku tidak bisa membiarkan Yui sendirian.”
Setelah kembali ke Old Harbor, aku tidak bisa berhenti memikirkan Yui. Meskipun aku tidak bisa mengabaikan kecurigaan David, membiarkan Yui menghadapi masalahnya sendiri terlihat tidak benar. Ia telah menjelaskan alasannya melakukan perbuatannya. Aku pikir, itu patut dipertimbangkan. Lagipula, gadis itu telah mengurusku dengan baik. Aku terus-menerus memikirkan hal itu sambil memandang jalanan dari jendela kamar.Kamar yang disediakan Benjamin berada di lantai dua dan jendelanya mengarah ke jalan raya. Aku bisa melihat mobil Ford David masih terparkir seperti keadaannya tadi siang. Aku rasa jika jendela itu dibuka, angin laut akan menyelesup membawa bau-bau kehidupan yang bebas. Dindingnya bercat putih seperti ruangan lain yang pernah aku lihat di rumah ini. Ranjangnya lebih besar dari milikku di apartemen. Pastilah akan sangat nyaman berbaring di sana. Akan tetapi, aku sedang tidak ingin berbaring. Selain itu, tidak ada benda apa-apa lagi di dalam kamar ini.Benjamin
“Kita akan ke Mercer Street?” tanyaku pada Willy setelah berada di dalam mobil. Pria itu tidak menjawab sedang matanya memandang lurus ke depan. Aku sampai mengikuti arah pandangannya, melewati kaca depan yang mulai basah oleh rintik hujan dan hanya menemukan van hitam yang tidak bergerak. Karena tidak menemukan apa-apa, aku menoleh kembali padanya. Aku menunggunya mengatakan sesuatu. “Watson tidak ada di tokonya?” Malah David yang menyahut. Aku menoleh pada David yang duduk di bangku belakang lalu mengangguk. “Tidak ada siapa-siapa di sana.” “Wendy?” Aku menggeleng. “Toko itu seperti tidak pernah dimasuki siapa pun setelah aku meninggalkannya tadi siang.” “Lalu, siapa yang berada di Mercer Street?” tanyanya kembali. “Apartemen Watson. Pemilik toko reparasi sepatu yang tokonya bersebelahan dengan minimarket Watson memberitahukan alamat tempat tinggalnya pada kami. Tapi sayangnya, dia tidak tahu nomor apartemennya,” jawabku. Aku
Setelah berada di dalam mobil tua Benjamin yang terlihat bobrok dari luar, aku langsung menyadari alasan pria tua itu meminta Willy menggunakannya daripada mobil Ford David. Mobil itu ternyata garang. Aku yakin, Ford David tidak ada apa-apanya bila dibandingkan sedan ini. Willy mengaku kalau dialah yang memodifikasi mobil tersebut. Pria Asia yang dipekerjakan Benjamin itu mungkin memiliki lebih banyak bakat selain komputer, mesin, dan beladiri. Aku tidak akan terkejut kalau suatu saat nanti ia merayap di dinding seperti Spiderman atau mengaku kalau sebenarnya dia adalah Bruce Wayne. Sedan putih yang lusuh: warna putihnya kotor, kulit joknya robek, dan modelnya lama. Sangat meragukan kalau dilihat dari luar. Namun, suara mesinnya meraung-raung gahar ketika pedal gasnya diinjak keras dan mobil itu mampu berlari secepat kilat. Bukan berarti aku memahami seluk-beluk mesin mobil, tetapi aku cukup yakin bahwa mobil itu dimodifikasi dengan ekstrem. Tebakanku, mobil itu sengaj