Aku segera menelpon Tama, diangkat, tapi pria itu mengatakan jika sedang rapat di kantor. Alhasil, aku langsung memesan ojol untuk mengantarku bertemu dengan sang kekasih.Perasaanku masih kesal, apalagi mengingat kejadian di depan restoran tadi, sungguh aku benar-benar muak dan juga ingin kembali mendatanginya untuk mencakar, menjambak, dan menendang miliknya yang tidak berguna itu.Apa dia pikir dengan keadaan keluarganya yang kaya itu bisa membuatku takut? Big no! Dia salah pilih lawan. Mungkin jika wanita lain masih mau nerima duit dia, padahal hanya akan dijadikan pemuas nafsunya doang.“Sudah sampai, Mbak,” ucap si ojol kepadaku.“Eh, udah nyampe, Bang?” tanyaku linglung.Ojol itu terkikik. “Ngelamun Mulu sih, mbaknya. Makanya gak sadar, kalau udah sampai.”Aku tertawa canggung. Untung juga ini ojol jujur, baik, dan tidak sombong nggak nyulik ane.Ok, karena si ojol ini orang baik maka aku akan memberikan dia tip. “Ini Bang uangnya. Makasih, yah!”“Loh, ini kebanyakan, Mbak? Ora
“Tunggu dulu dong, Sayang! Maaf, maaf kalau aku udah bikin kamu bete. Aku hanya shock tadi. Please, jangan marah, yah!” Kurasakan tangannya menarik lenganku, memintaku untuk menatapnya, tetapi aku lebih memilih untuk melihat ke arah lain“Na, aku benar-benar minta maaf. Aku tahu kamu mencintaiku dan aku pun sama, juga mencintaimu. Sayang, maaf,” katanya lembut.Aku masih menolak untuk melihatnya. Jujur, bete banget aku sama si makhluk ganteng di depanku. Emang dia doang yang bisa ngomel-ngomel, aku juga bisa, tapi aku malas.“Na, please!” Kurasakan embusan napas panjang mengenai rambutku, tetapi aku tidak peduli. Sekali lagi bahuku dipegang olehnya. “Apa, sih, Mas?” tanyaku, kesal.Untung keadaan masih sepi di lantai bawah, paling hanya ada satpam doang. Sepertinya yang lain masih pada sibuk di depan komputer, tapi bagus, deh. Tidak ada yang lihat drama picisan ini.Beda hal, kalau kami masih di sini setengah jam lagi, pasti karyawan lain akan melihat kami berdua yang sedang tengkar
Aku pun menjelaskan kejadiannya. Di mana si pria itu–aku malas menyebutkan namanya– mencoba merayuku, lalu memintaku untuk menerimanya menjadi kekasih.Yang membuatku semakin gondok dengannya adalah, di saat mulut pria itu mengatakan jika umur Kakek Darman udah gak bakalan lama lagi.Bangke gak, tuh! Njir! Kalau inget soal tadi pagi, bawaannya pengen nyunatin itu orang punya burung. Kesel banget.“Kurang ajar!” teriak Tama.“Astaga, kaget aku, Mas!” Aku langsung memegang bagian dada ketika dengan tiba-tiba Tama menggebrak meja. “Mas, ih!” Aku menepuk bahunya, protes.Tama hanya melihatku sekilas, lalu pria itu justru berdiri dan kembali memakai jas miliknya. Aku segera menahan lengannya. “Loh, kamu mau ke mana, Mas?” “Aku harus samperin itu orang. Berani sekali menggoda calon istriku dan juga menyumpahi Tuan Darman. Aku gak terima!” Tatapan matanya terlihat begitu dingin dan siap membumi hanguskan siapa pun yang sudah mengusik dirinya.“Ih, Mas ngapain, sih!” Aku segera memeluknya,
Aku menggigit bibir bawahku, sudah lama ingin sekali ku utarakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, selalu saja ada salah satu hal yang membuatku kembali urung mengungkapkannya.Apakah sekarang waktunya?“Naina!” panggil Tama, meraup tanganku untuk digenggamnya. Dia lalu memintaku untuk menatapnya karena aku sempat melihat ke arah lain. “Harus dengan cara apa agar kamu mau membuka mulutmu?”Hela napas panjang aku embuskan dari mulut. Sepertinya Tama memang harus tahu. “Jika kamu tak mau–” Aku segera meletakkan jari telunjuk tepat di depan bibir Tama. Menatapnya dengan ekspresi tak enak hati.“Biarkan aku berbicara.” Tama mengangguk dan aku mulai berkata, “Beberapa waktu lalu, aku sempat datang ke rumah kalian. Niat hati ingin bicara baik-baik. Tapi–”“Apa mama mengusirmu? Atau, jangan-jangan mama melukaimu? Mana … sebelah mana?” Tama justru dengan heboh memeriksa seluruh tubuhku. “Mas!” Aku meniup poniku kesal. “Dengerin dulu, dong!”Sepertinya lelaki satu ini sama sekali tak mau m
Ada yang tahu kenapa aku bisa ada di sini? Gak ada? Sama. Aku pun juga tidak mengerti kenapa aku bisa terdampar kembali di rumah sederhana ini. Rumah dari kekasih hatiku, Tama.Aku menelan ludah gugup saat merasakan tatapan menusuk dari arah depanku. Aku berusaha terlihat biasa saja, walau dalam hati kini tengah ketar-ketir sendiri.Sesekali, aku meremas, mengusap tanganku yang terasa basah oleh keringat. “Ini Tama sengaja banget apa gimana, sih? Kok, aku malah ditinggalin berdua doang sama mamanya!” batinku, gelisah.“Ngapain kamu ke sini?” Nah, lho!Suara Tante Anggun terdengar begitu sarkas hingga membuatku tak berkutik. Namun, jika aku terus diam seperti ini, masalah kami tak akan pernah usai. Restu dari beliau pun tak akan pernah turun.Aku harus maju!Ya, aku harus maju!Kuangkat kepalaku, menatap sosok ibu dari pria yang aku cintai, Anggun lie. Wajahnya yang masih begitu cantik di usia senja, membuatku salut padanya. “Eh, kok, malah sibuk ngurusin wajah orang lain. Come on, N
Sudah lebih dari 10 menit tak ada yang membuka suara. Tanganku sudah berkeringat, bahkan aku merasakan keringat sudah membasahi bagian punggungku. Aku melirik ke arah Tama dan pria itu juga sedari tadi hanya duduk diam. Aku mendengkus. Katanya dia mau bicara pada Kakek, tapi dia malah hanya diam saja. Aku jadi ragu.“Jadi, apa saya boleh tahu kenapa cucu saya ada di rumahmu, Tama?” Suara Kakek memecah keheningan dengan sebuah pengakuan yang ternyata mampu membuat seorang Tante Anggun memekik kaget. “C-cucu? D-dia cucu Anda?” Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Tante Anggun sekarang. Karena aku memilih untuk melihat ke arah Kakek. Aku meremas tanganku sendiri. Ada perasaan takut yang membuatku tak bisa berpikiran.Aku bisa mendengar Kakek berdecih. “Kenapa Anda menatap cucu saya dengan tatapan seperti itu? Atau, air mata cucuku tadi karena ulah Anda?” Skakmat!“Kakek.” Aku langsung duduk bersimpuh di kaki Kakek. Kepalaku menggeleng sambil menatapnya memelas. “Tolong jangan katakan
Sayangnya, aku tak jadi mati hanya karena tak makan semalaman. Inginku merajuk pada Kakek hingga satu minggu kemudian untuk mogok makan. Realitanya, pagi ini aku sudah duduk cantik dibalik meja makan bersama dengan Kakek.Plin-plan banget gak, sih? Tapi, yaudahlah daripada makanan seabrek di atas meja kagak ada yang makan, nanti mubazir, dosa. Emang siapa yang mau menanggung dosanya? Gak ada yang mau pasti. Sama, aku juga ogah.Aku melirik sebentar wajah Kakek yang sama sekali tak terusik sedikit pun akan kehadiranku yang ogah-ogahan. Bibirku cemberut. Kenapa, sih, para lelaki tajir sifatnya harus kek kutub semua? Masa meleleh nunggu mau kiamat, ya, gak mungkin, dong. Keburu koid nih ane. Huhuhu, sedih bet dah, ah, kalau kayak gini terus.Tak ada percakapan, hanya denting sendok dan garpu yang bertemu dengan piring memenuhi ruang makan yang bisa ditempati oleh 20 orang. Namun, kursi yang terisi sekarang hanya 2 saja.Apa seperti ini suasana makan Kakek setiap hari? Jika iya, aku gak
Kini, aku sudah berada di depan kantor Mas Tama, tentunya setelah Kakek memberikanku izin untuk bertemu dengannya. Sengaja aku tak langsung naik ke atas dan meminta satpam untuk memberitahukan padanya jika ada tamu di bawah. Tidak berselang lama, Mas Tama datang. “Sayang, kok kamu gak langsung naik, sih?” Kurasakan pelukan dan juga kecupan manis di puncak kepalaku. Aroma parfumnya langsung merasuk ke indra penciumanku, dan itu selalu membuatku nyaman. Ah, sial! Belum pergi saja aku sudah merindukannya. Sekarang, aku mulai bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa aku bisa hidup tanpa Mas Tama 2 tahun besok? Atau, apakah Mas Tama akan tetap setia menungguku hingga aku kembali? Lalu, bagaimana jika besok … tidak-tidak. Aku gak bilang banyak berpikiran jelek. Hentikan pikiran bodohmu itu, Naina. Kau hanya akan memperburuk keadaan jika bersikap begini. Come on, semangatlah! Namun, aku tak bisa untuk tak memaki pada keadaan yang selalu saja tak berpihak pada kami. Hatiku yang selembut mar